Lilani menarik napas panjang. Aneh dan sukar benar pemuda ini. Belum pernah selama hidupnya ia menghadapi seorang pemuda seperti ini. Hampir setiap laki-laki yang pernah ditemuinya, baik pemuda maupun sudah tua, selalu akan memandangnya dengan mata gairah, tersenyum-senyum dan segera mengeluarkan ucapan-ucapan menggoda atau memuji.
Akan tetapi pemuda ini… menengok pun tidak, bahkan diam saja seperti patung! Sungguh hampir tak dapat dipercaya wajah pemuda yang seelok dan setampan itu ternyata didampingi oleh watak yang demikian angkuh dan aneh.
“Kau telah menolongku dari bahaya maut…”
“Tak perlu dibicarakan hal sekecil itu.” Lie Siong memotong.
Lilani berpaling dan menggigit bibir. Alangkah sukarnya menghadapi orang ini, pikirnya.
“Bolehkah aku mengetahui namamu?”
“Aku she Lie dan namaku Siong.”
Lilani menarik napas lega. Sedikitnya pemuda ini tidak merahasiakan namanya. Akan tetapi ia masih merasa penasaran karena dalam menjawab pertanyaannya, pemuda itu sama sekali belum mau menengoknya, bahkan duduknya pun membelakanginya!
“Dimanakah ayahku? Dimana dia?” tanya Lilani.
Tiba-tiba pemuda itu menarik napas panjang, lalu mendayung perahunya ke tepi. Ia menghentikan perahunya di tempat yang dangkal, lalu memutar tubuhnya, menghadapi gadis itu.
Ternyata bahwa Lie Siong bukan karena keangkuhannya semata maka ia tidak mau menengok gadis itu, akan tetapi sebagian besar karena rasa terharu mengingat akan nasib gadis ini. Sebelum tewas orang tua berbangsa Haimi itu mengatakan bahwa Lilani telah menjadi yatim piatu, maka itu berarti bahwa ibu gadis ini telah meninggal dunia pula.
Melihat sikap pemuda itu, Lilani menjadi pucat dan mengulang pertanyaan lagi.
“Katakanlah, dimana dia?”
“Ayahmu telah tewas.”
Gadis itu tidak kelihatan terkejut, juga tidak menangis menjerit-jerit. Ia hanya meramkan kedua matanya dengan kening berkerut. Akan tetapi, keadaannya ini lebih mengharukan hati Lie Siong yang mungkin takkan demikian terharu kalau melihat gadis itu menangis tersedu-sedu.
Lama mereka duduk berhadapan dalam keadaan demikian. Lilani duduk bagaikan patung, sedangkan Lie Siong duduk memandangnya dengan penuh keharuan hati yang tak diperlihatkan.
“Sudah kuduga…”
Akhirnya Lilani dapat juga mengeluarkan kata-kata seperti berbisik. Ketika ia membuka kembali matanya, selaput matanya menjadi merah, tanda bahwa ia telah mengerahkan seluruh tenaga untuk menahan membanjirnya air mata. Betapapun juga masih nampak beberapa titik air mata mengalir perlahan menuruni pipinya yang pucat.
“Tentu oleh anak buah keparat she Gui itu, bukan?”
Kata-kata ini merupakan pertanyaan dan tuntutan kepada Lie Siong untuk menceritakan semua peristiwa yang terjadi, maka ia pun lalu menceritakannya tentang pertempurannya membantu Manako dan betapa orang tua itu terbunuh oleh keroyokan para perwira.
Mendengar penuturan ini, gadis itu memandang ke arah awan yang bergerak perlahan di angkasa, mengepal kedua tangannya yang kecil, menggigit bibirnya dan membiarkan air matanya mengalir turun bagaikan sumber air kecil, lalu, berkata,
“Bangsaku dimusnahkan! Ibuku terbunuh, kini ayahku terbunuh pula! Terkutuklah manusia-manusia berjiwa iblis itu…!”
Mendengar ucapan ini, Lie Siong merasa tertarik dan lalu ia minta gadis itu menuturkan riwayatnya. Ia mulai merasa kagum melihat ketabahan hati gadis cantik ini, yang dapat menahan perasaannya sehingga tidak menangis menjerit-jerit seperti gadis lain yang tertimpa bencana sehebat itu.
“Benar-benarkah kau ingin mengetahui riwayat seorang yang rendah dan bodoh seperti aku, Tai-hiap?” tanya Lilani sambil memandang melalui air matanya ketika ia mendengar permintaan Lie Siong.
“Tentu saja. Setelah ayahmu minta kepadaku untuk menolongmu, sudah sepatutnya aku mengetahui keadaanmu untuk menetapkan kemudian apa yang selanjutnya harus kulakukan dengan kau.”
Lilani menghela napas, menghapus air matanya dengan ujung baju kemudian menuturkan riwayatnya dengan singkat.
Lilani adalah puteri tunggal dari Manako, kepala suku bangsa Haimi yang terdiri tiga ratus orang suku bangsa Haimi yang hidup berkelompok dan berpindah-pindah. Manako adalah suami dari Meilani dan suami-isteri ini hidup dengan rukun dan saling mencintai, memimpin bangsanya dengan penuh keadilan dan ketenteraman.
Manako dan Meilani pernah tertolong oleh Pendekar Bodoh, bahkan sebelum menikah dengan Manako diantara Meilani dan Kwee An pernah terjadi hal yang amat lucu sehingga Kwee An hampir dipaksa menikah dengan Meilani yang cantik jelita akan tetapi bergigi hitam itu! (Baca cerita Pendekar Bodoh).
Setelah berkenalan dengan pendekar-pendekar muda yang gagah perkasa ini, maka banyak kemajuan yang diperoleh Meilani dan Manako, sehingga ketika mereka memperoleh seorang puteri, yaitu Lilani, anak ini tidak dihitamkan giginya seperti yang telah menjadi kebiasaan suku bangsa Haimi. Manako dan Meilani melatih ilmu silat kepada puteri mereka itu dan mereka semua hidup penuh kebahagiaan.
Akan tetapi, pada waktu Lilani berusia empat belas tahun, malapetaka besar menimpa keluarga suku bangsa Haimi itu. Kelompok mereka terdesak oleh bangsa Mongol yang hendak menawan mereka untuk dijadikan pekerja paksa sehingga mereka terpaksa melarikan diri ke selatan, keluar dari tapal batas Mongolia, setelah mengadakan perlawanan sengit dan kehilangan beberapa puluh jiwa.
Pada waktu itu, golongan yang lemah dan kecil selalu tentu tertindas dan terinjak oleh yang besar. Setelah mereka melalui tapal batas, mereka tidak menemui kebahagiaan bahkan sepasukan tentara kerajaan yang menjaga tapal batas itu, lalu menyerbu mereka, membunuh yang laki-laki sambil menculik yang wanita!
Pertempuran hebat terjadi. Manako dan Meilani melakukan perlawanan sekuat tenaga, bahkan Meilani yang pernah menerima petunjuk-petunjuk ilmu silat dari Ma Hoa isteri Kwee An dan dari Lin Lin isteri Pendekar Bodoh, lalu mengamuk bagaikan seekor naga betina.
Juga Lilani yang baru berusia empat belas tahun itu ikut pula mainkan pedang, membantu ibu dan ayahnya. Akan tetapi kekuatan musuh terlampau besar dan akhirnya terpaksa Manako membawa Lilani melarikan diri dengan hati hancur setelah melihat Meilani roboh tak bernyawa lagi di bawah tusukan banyak pedang musuh! Kelompok suku bangsa Haimi hancur dan cerai-berai. Banyak yang tewas atau tertawan dan ada pula yang dapat melarikan diri berpencaran.
Manako berhasil melarikan diri bersama puterinya dan selama dua tahun lebih ia merantau bersama Lilani, pindah dari satu kota ke lain kota. Akhirnya sampailah ia di kota Tatung dan tinggal disitu bersama puterinya. Ia tidak khawatir akan biaya hidupnya sehari-hari, karena ketika melarikan diri, ia masih menyimpan berbagai barang dari emas, bahkan ia mempunyai sebatang golok yang seluruhnya terbuat daripada emas.
Juga keamanannya terjamin, karena pada masa itu, hanya suku-suku bangsa kecil yang berkelompok saja yang mendapat gangguan dan dicurigai. Akan tetapi kalau hanya satu dua orang saja takkan mendapat gangguan dari siapapun juga, asalkan taat akan peraturan-peraturan kota setempat.
Manako dan Lilani hidup berdua dengan hati menderita kesedihan, dan selalu mereka teringat akan keadaan suku bangsanya yang sudah musnah, dan terutama sekali teringat akan Meilani yang gugur dalam pertempuran itu. Akan tetapi apakah yang dapat mereka lakukan?
Lilani menjadi dewasa dan makin cantik jelita seperti mendiang ibunya. Telah biasa dikatakan orang bahwa kecantikan dan kepandaian merupakan karunia dan berkah Thian Yang Maha Kuasa.
Akan tetapi bagi Manako dan Lilani, ternyata bahwa kecantikan Lilani tidak merupakan berkah bahkan merupakan sebab bencana besar! Putera kepala daerah she Gui ketika menyaksikan keindahan bentuk tubuh dan kemanisan wajah Lilani gadis Haimi itu, tergerak hatinya dan ia mengajukan pinangan kepada Manako untuk minta gadis itu sebagai selirnya.
Manako adalah bekas kepala suku bangsa, dan betapapun juga, ia boleh disebut raja kecil. Tentu saja ia mempunyai keangkuhan dan mendengar pinangan ini, ia merasa terhina sekali. Mana ia sudi memberikan puterinya yang tunggal untuk dijadikan selir oleh putera seorang Kepala Daerah?
Demikianlah, ia menolak pinangan itu yang berakhir malapetaka besar baginya. Gui Kongcu merasa sakit hati dan sebagaimana telah dituturkan di atas, akhirnya pemuda bangsawan jahanam ini lalu melakukan kekerasan, membunuh Manako dan menculik Lilani!
Setelah menuturkan riwayatnya sambil menghela napas Lilani berkata,
“Dulu ibuku pernah menceritakan kepadaku bahwa diantara orang-orang bangsa Han terdapat pendekar-pendekar seperti Kwee An Eng-hiong dan Pendekar Bodoh, akan tetapi setelah menderita akibat kejahatan bangsamu yang menjadi perwira-perwira kaisar kukira bahwa sekarang tidak ada lagi pendekar-pendekar seperti itu! Ternyata sekarang, aku bertemu dengan engkau yang berbudi dan gagah perkasa. Ah, Lie Tai-hiap, dengan jalan bagaimanakah aku dapat membalas budimu yang besar ini?”
Lie Siong merasa kasihan sekali mendengar riwayat gadis ini.
“Apakah kau tidak mempunyai keluarga lain?”
Gadis itu menggeleng kepalanya dengan sedih.
“Tidak mempunyai sahabat-sahabat yang boleh kau tumpangi?”
Kembali Lilani menggelengkan kepalanya yang cantik sambil termenung. Lie Siong tak dapat berkata-kata lagi, hanya duduk diam dengan bingung. Apakah yang harus ia lakukan? Bagaimana ia dapat menolong gadis ini selanjutnya? Ia sendiri adalah seorang perantau, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap.
“Dan… bagaimanakah tujuanmu? Kau hendak pergi ke manakah?” Lie Siong lalu bertanya perlahan.
Lilani yang semenjak tadi dapat menahan kesedihan hatinya, ketika mendengar pertanyaan ini, hanya dapat memandang dengan sinar mata amat mengharukan, lalu ia menangis tersedu-sedu! Ia menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mukanya dan air mata mengalir keluar dari celah-celah jari tangannya sedangkan tubuhnya terisak-isak.
Lie Siong menjadi bingung, tidak tahu harus berbuat bagaimana. Selama hidupnya, baru kali ini ia merasa bingung dan menghadapi perkara yang luar biasa sukarnya.
“Lilani, ayahmu berpesan kepadaku untuk menolongmu dari tangan jahanam she Gui itu. Aku telah melakukannya dan setelah kau kini bebas dan selamat, aku tidak tahu harus berbuat apa selanjutnya. Ketahuilah, bahwa aku sendiri tidak mempunyai tempat tinggal, merantau seorang diri, juga tidak mempunyai tujuan tertentu…”
Tiba-tiba Lilani menghentikan tangisnya dan ia mengangkat mukanya memandang pemuda itu. Sebelum bicara, beberapa kali ia menelan ludah karena merasa tenggorokannya seakan-akan terganjal sesuatu.
“Lie Tai-hiap, aku maklum akan maksudmu. Tak perlu kau menyusahkan keadaanku dan janganlah aku menjadi penghalang dari kebebasanmu. Aku tahu bahwa dengan adanya aku, kau tidak merasa senang, tidak dapat bergerak bebas, pertama karena aku seorang gadis, kedua karena aku lemah. Kau janganlah menjadi bingung, Tai-hiap, jangan kau memikirkan aku lagi. Pergilah kau melanjutkan perjalananmu, biar aku seorang diri di perahu ini sampai… sampai… entah kemana saja perahu dan air sungai ini membawaku!”
Lie Siong lalu berdiri, merogoh buntalannya dan mengeluarkan sepuluh potong emas murni. Ia memberikan benda berharga ini kepada Lilani dan berkata,
“Kau cukup maklum akan keadaanku dan ini sedikit bekal untuk biaya perjalananmu.”
Dengan air mata masih menitik turun, Lilani memandang tangan yang mengangsurkan potongan-potongan emas itu. Ia menggeleng kepala dan berkata tegas.
“Tai-hiap, kau telah menolongku dan untuk itu saja aku telah merasa amat berat serta tidak tahu harus membalas budimu dengan cara bagaimana. Karena itulah maka aku tidak berani memberatkan kau lagi, apalagi menerima pemberianmu. Ah, tidak, aku tak dapat menerima emas ini. Hidupku takkan lama lagi… untuk apakah benda itu…?”
Tertegun hati Lie Siong mendengar ucapan ini, akan tetapi ia pun tidak mau banyak cakap, memasukkan emas itu ke dalam buntalan kembali lalu ia melompat ke darat.
“Kalau begitu, selamat berpisah!” katanya lalu melompat pergi.
Akan tetapi pemuda ini… menengok pun tidak, bahkan diam saja seperti patung! Sungguh hampir tak dapat dipercaya wajah pemuda yang seelok dan setampan itu ternyata didampingi oleh watak yang demikian angkuh dan aneh.
“Kau telah menolongku dari bahaya maut…”
“Tak perlu dibicarakan hal sekecil itu.” Lie Siong memotong.
Lilani berpaling dan menggigit bibir. Alangkah sukarnya menghadapi orang ini, pikirnya.
“Bolehkah aku mengetahui namamu?”
“Aku she Lie dan namaku Siong.”
Lilani menarik napas lega. Sedikitnya pemuda ini tidak merahasiakan namanya. Akan tetapi ia masih merasa penasaran karena dalam menjawab pertanyaannya, pemuda itu sama sekali belum mau menengoknya, bahkan duduknya pun membelakanginya!
“Dimanakah ayahku? Dimana dia?” tanya Lilani.
Tiba-tiba pemuda itu menarik napas panjang, lalu mendayung perahunya ke tepi. Ia menghentikan perahunya di tempat yang dangkal, lalu memutar tubuhnya, menghadapi gadis itu.
Ternyata bahwa Lie Siong bukan karena keangkuhannya semata maka ia tidak mau menengok gadis itu, akan tetapi sebagian besar karena rasa terharu mengingat akan nasib gadis ini. Sebelum tewas orang tua berbangsa Haimi itu mengatakan bahwa Lilani telah menjadi yatim piatu, maka itu berarti bahwa ibu gadis ini telah meninggal dunia pula.
Melihat sikap pemuda itu, Lilani menjadi pucat dan mengulang pertanyaan lagi.
“Katakanlah, dimana dia?”
“Ayahmu telah tewas.”
Gadis itu tidak kelihatan terkejut, juga tidak menangis menjerit-jerit. Ia hanya meramkan kedua matanya dengan kening berkerut. Akan tetapi, keadaannya ini lebih mengharukan hati Lie Siong yang mungkin takkan demikian terharu kalau melihat gadis itu menangis tersedu-sedu.
Lama mereka duduk berhadapan dalam keadaan demikian. Lilani duduk bagaikan patung, sedangkan Lie Siong duduk memandangnya dengan penuh keharuan hati yang tak diperlihatkan.
“Sudah kuduga…”
Akhirnya Lilani dapat juga mengeluarkan kata-kata seperti berbisik. Ketika ia membuka kembali matanya, selaput matanya menjadi merah, tanda bahwa ia telah mengerahkan seluruh tenaga untuk menahan membanjirnya air mata. Betapapun juga masih nampak beberapa titik air mata mengalir perlahan menuruni pipinya yang pucat.
“Tentu oleh anak buah keparat she Gui itu, bukan?”
Kata-kata ini merupakan pertanyaan dan tuntutan kepada Lie Siong untuk menceritakan semua peristiwa yang terjadi, maka ia pun lalu menceritakannya tentang pertempurannya membantu Manako dan betapa orang tua itu terbunuh oleh keroyokan para perwira.
Mendengar penuturan ini, gadis itu memandang ke arah awan yang bergerak perlahan di angkasa, mengepal kedua tangannya yang kecil, menggigit bibirnya dan membiarkan air matanya mengalir turun bagaikan sumber air kecil, lalu, berkata,
“Bangsaku dimusnahkan! Ibuku terbunuh, kini ayahku terbunuh pula! Terkutuklah manusia-manusia berjiwa iblis itu…!”
Mendengar ucapan ini, Lie Siong merasa tertarik dan lalu ia minta gadis itu menuturkan riwayatnya. Ia mulai merasa kagum melihat ketabahan hati gadis cantik ini, yang dapat menahan perasaannya sehingga tidak menangis menjerit-jerit seperti gadis lain yang tertimpa bencana sehebat itu.
“Benar-benarkah kau ingin mengetahui riwayat seorang yang rendah dan bodoh seperti aku, Tai-hiap?” tanya Lilani sambil memandang melalui air matanya ketika ia mendengar permintaan Lie Siong.
“Tentu saja. Setelah ayahmu minta kepadaku untuk menolongmu, sudah sepatutnya aku mengetahui keadaanmu untuk menetapkan kemudian apa yang selanjutnya harus kulakukan dengan kau.”
Lilani menghela napas, menghapus air matanya dengan ujung baju kemudian menuturkan riwayatnya dengan singkat.
Lilani adalah puteri tunggal dari Manako, kepala suku bangsa Haimi yang terdiri tiga ratus orang suku bangsa Haimi yang hidup berkelompok dan berpindah-pindah. Manako adalah suami dari Meilani dan suami-isteri ini hidup dengan rukun dan saling mencintai, memimpin bangsanya dengan penuh keadilan dan ketenteraman.
Manako dan Meilani pernah tertolong oleh Pendekar Bodoh, bahkan sebelum menikah dengan Manako diantara Meilani dan Kwee An pernah terjadi hal yang amat lucu sehingga Kwee An hampir dipaksa menikah dengan Meilani yang cantik jelita akan tetapi bergigi hitam itu! (Baca cerita Pendekar Bodoh).
Setelah berkenalan dengan pendekar-pendekar muda yang gagah perkasa ini, maka banyak kemajuan yang diperoleh Meilani dan Manako, sehingga ketika mereka memperoleh seorang puteri, yaitu Lilani, anak ini tidak dihitamkan giginya seperti yang telah menjadi kebiasaan suku bangsa Haimi. Manako dan Meilani melatih ilmu silat kepada puteri mereka itu dan mereka semua hidup penuh kebahagiaan.
Akan tetapi, pada waktu Lilani berusia empat belas tahun, malapetaka besar menimpa keluarga suku bangsa Haimi itu. Kelompok mereka terdesak oleh bangsa Mongol yang hendak menawan mereka untuk dijadikan pekerja paksa sehingga mereka terpaksa melarikan diri ke selatan, keluar dari tapal batas Mongolia, setelah mengadakan perlawanan sengit dan kehilangan beberapa puluh jiwa.
Pada waktu itu, golongan yang lemah dan kecil selalu tentu tertindas dan terinjak oleh yang besar. Setelah mereka melalui tapal batas, mereka tidak menemui kebahagiaan bahkan sepasukan tentara kerajaan yang menjaga tapal batas itu, lalu menyerbu mereka, membunuh yang laki-laki sambil menculik yang wanita!
Pertempuran hebat terjadi. Manako dan Meilani melakukan perlawanan sekuat tenaga, bahkan Meilani yang pernah menerima petunjuk-petunjuk ilmu silat dari Ma Hoa isteri Kwee An dan dari Lin Lin isteri Pendekar Bodoh, lalu mengamuk bagaikan seekor naga betina.
Juga Lilani yang baru berusia empat belas tahun itu ikut pula mainkan pedang, membantu ibu dan ayahnya. Akan tetapi kekuatan musuh terlampau besar dan akhirnya terpaksa Manako membawa Lilani melarikan diri dengan hati hancur setelah melihat Meilani roboh tak bernyawa lagi di bawah tusukan banyak pedang musuh! Kelompok suku bangsa Haimi hancur dan cerai-berai. Banyak yang tewas atau tertawan dan ada pula yang dapat melarikan diri berpencaran.
Manako berhasil melarikan diri bersama puterinya dan selama dua tahun lebih ia merantau bersama Lilani, pindah dari satu kota ke lain kota. Akhirnya sampailah ia di kota Tatung dan tinggal disitu bersama puterinya. Ia tidak khawatir akan biaya hidupnya sehari-hari, karena ketika melarikan diri, ia masih menyimpan berbagai barang dari emas, bahkan ia mempunyai sebatang golok yang seluruhnya terbuat daripada emas.
Juga keamanannya terjamin, karena pada masa itu, hanya suku-suku bangsa kecil yang berkelompok saja yang mendapat gangguan dan dicurigai. Akan tetapi kalau hanya satu dua orang saja takkan mendapat gangguan dari siapapun juga, asalkan taat akan peraturan-peraturan kota setempat.
Manako dan Lilani hidup berdua dengan hati menderita kesedihan, dan selalu mereka teringat akan keadaan suku bangsanya yang sudah musnah, dan terutama sekali teringat akan Meilani yang gugur dalam pertempuran itu. Akan tetapi apakah yang dapat mereka lakukan?
Lilani menjadi dewasa dan makin cantik jelita seperti mendiang ibunya. Telah biasa dikatakan orang bahwa kecantikan dan kepandaian merupakan karunia dan berkah Thian Yang Maha Kuasa.
Akan tetapi bagi Manako dan Lilani, ternyata bahwa kecantikan Lilani tidak merupakan berkah bahkan merupakan sebab bencana besar! Putera kepala daerah she Gui ketika menyaksikan keindahan bentuk tubuh dan kemanisan wajah Lilani gadis Haimi itu, tergerak hatinya dan ia mengajukan pinangan kepada Manako untuk minta gadis itu sebagai selirnya.
Manako adalah bekas kepala suku bangsa, dan betapapun juga, ia boleh disebut raja kecil. Tentu saja ia mempunyai keangkuhan dan mendengar pinangan ini, ia merasa terhina sekali. Mana ia sudi memberikan puterinya yang tunggal untuk dijadikan selir oleh putera seorang Kepala Daerah?
Demikianlah, ia menolak pinangan itu yang berakhir malapetaka besar baginya. Gui Kongcu merasa sakit hati dan sebagaimana telah dituturkan di atas, akhirnya pemuda bangsawan jahanam ini lalu melakukan kekerasan, membunuh Manako dan menculik Lilani!
Setelah menuturkan riwayatnya sambil menghela napas Lilani berkata,
“Dulu ibuku pernah menceritakan kepadaku bahwa diantara orang-orang bangsa Han terdapat pendekar-pendekar seperti Kwee An Eng-hiong dan Pendekar Bodoh, akan tetapi setelah menderita akibat kejahatan bangsamu yang menjadi perwira-perwira kaisar kukira bahwa sekarang tidak ada lagi pendekar-pendekar seperti itu! Ternyata sekarang, aku bertemu dengan engkau yang berbudi dan gagah perkasa. Ah, Lie Tai-hiap, dengan jalan bagaimanakah aku dapat membalas budimu yang besar ini?”
Lie Siong merasa kasihan sekali mendengar riwayat gadis ini.
“Apakah kau tidak mempunyai keluarga lain?”
Gadis itu menggeleng kepalanya dengan sedih.
“Tidak mempunyai sahabat-sahabat yang boleh kau tumpangi?”
Kembali Lilani menggelengkan kepalanya yang cantik sambil termenung. Lie Siong tak dapat berkata-kata lagi, hanya duduk diam dengan bingung. Apakah yang harus ia lakukan? Bagaimana ia dapat menolong gadis ini selanjutnya? Ia sendiri adalah seorang perantau, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap.
“Dan… bagaimanakah tujuanmu? Kau hendak pergi ke manakah?” Lie Siong lalu bertanya perlahan.
Lilani yang semenjak tadi dapat menahan kesedihan hatinya, ketika mendengar pertanyaan ini, hanya dapat memandang dengan sinar mata amat mengharukan, lalu ia menangis tersedu-sedu! Ia menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mukanya dan air mata mengalir keluar dari celah-celah jari tangannya sedangkan tubuhnya terisak-isak.
Lie Siong menjadi bingung, tidak tahu harus berbuat bagaimana. Selama hidupnya, baru kali ini ia merasa bingung dan menghadapi perkara yang luar biasa sukarnya.
“Lilani, ayahmu berpesan kepadaku untuk menolongmu dari tangan jahanam she Gui itu. Aku telah melakukannya dan setelah kau kini bebas dan selamat, aku tidak tahu harus berbuat apa selanjutnya. Ketahuilah, bahwa aku sendiri tidak mempunyai tempat tinggal, merantau seorang diri, juga tidak mempunyai tujuan tertentu…”
Tiba-tiba Lilani menghentikan tangisnya dan ia mengangkat mukanya memandang pemuda itu. Sebelum bicara, beberapa kali ia menelan ludah karena merasa tenggorokannya seakan-akan terganjal sesuatu.
“Lie Tai-hiap, aku maklum akan maksudmu. Tak perlu kau menyusahkan keadaanku dan janganlah aku menjadi penghalang dari kebebasanmu. Aku tahu bahwa dengan adanya aku, kau tidak merasa senang, tidak dapat bergerak bebas, pertama karena aku seorang gadis, kedua karena aku lemah. Kau janganlah menjadi bingung, Tai-hiap, jangan kau memikirkan aku lagi. Pergilah kau melanjutkan perjalananmu, biar aku seorang diri di perahu ini sampai… sampai… entah kemana saja perahu dan air sungai ini membawaku!”
Lie Siong lalu berdiri, merogoh buntalannya dan mengeluarkan sepuluh potong emas murni. Ia memberikan benda berharga ini kepada Lilani dan berkata,
“Kau cukup maklum akan keadaanku dan ini sedikit bekal untuk biaya perjalananmu.”
Dengan air mata masih menitik turun, Lilani memandang tangan yang mengangsurkan potongan-potongan emas itu. Ia menggeleng kepala dan berkata tegas.
“Tai-hiap, kau telah menolongku dan untuk itu saja aku telah merasa amat berat serta tidak tahu harus membalas budimu dengan cara bagaimana. Karena itulah maka aku tidak berani memberatkan kau lagi, apalagi menerima pemberianmu. Ah, tidak, aku tak dapat menerima emas ini. Hidupku takkan lama lagi… untuk apakah benda itu…?”
Tertegun hati Lie Siong mendengar ucapan ini, akan tetapi ia pun tidak mau banyak cakap, memasukkan emas itu ke dalam buntalan kembali lalu ia melompat ke darat.
“Kalau begitu, selamat berpisah!” katanya lalu melompat pergi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar