Lilani duduk di perahu dan memandang bayangan pemuda itu dengan lemas. Ia merasa seakan-akan semangatnya telah melayang pergi meninggalkan tubuhnya. Merasa betapa seluruh perasaannya telah terbawa pergi oleh pemuda yang gagah perkasa, tampan dan juga aneh serta amat pendiam itu. Ia maklum bahwa hatinya telah terampas oleh kegagahan Lie Siong dan jantungnya telah tertembus oleh sinar mata pemuda itu. Ia maklum bahwa tanpa adanya pemuda itu didekatnya, hidupnya tidak ada artinya lagi.
Bangsanya telah musnah, ayah bundanya telah tewas. Tadinya ia bercita-cita untuk membangun suku bangsanya, untuk menggantikan kedudukan ayahnya kemudian bersama bangsanya, berjuang memperbaiki nasib. Akan tetapi kini semua itu lenyap, lenyap bersama bayangan Lie Siong.
Dengan Lie Siong di sampingnya, ia merasa pasti dan yakin bahwa cita-citanya itu akan terlaksana. Tak tertahan lagi ia lalu menjatuhkan mukanya di atas kedua telapak tangannya dan menangis dengan hati terasa disayat-sayat. Dalam kesedihannya yang hebat ini, terbayanglah wajah ibunya yang cantik jelita dan teringatlah ia betapa ibunya pernah menuturkan kepadanya tentang perhubungan ibunya dengan seorang pendekar besar bernama Kwee An yang bertempat tinggal di Tiang-an.
Ibunya, Meilani, pernah menuturkan kepadanya betapa ibunya itu pun pernah jatuh hati kepada pendekar itu. Ah, mengapa ia harus putus asa? Sahabat-sahabat baik ibunya masih banyak. Kalau saja ia dapat mencari Kwee An dan Ma Hoa, atau Pendekar Bodoh dan Lin Lin, tentu mereka akan mau menolong, menolong puteri tunggal Meilani!
Akan tetapi teringat akan kejahatan putera kepala daerah she Gui itu, hatinya menjadi gentar lagi. Banyak sekali manusia-manusia jahat semacam pemuda she Gui itu di dunia ini! Ah, alangkah bedanya dengan Lie Siong pemuda yang sopan santun dan gagah perkasa itu.
Pemuda yang sedikit pun tidak mau mengganggunya, jangankan mengganggunya, bahkan menengok pun tidak, agaknya ia bukan seorang gadis cantik! Mungkin dalam pandangan Lie Siong, ia hanya seorang perempuan yang buruk rupa dan menjemukan! Mengingat akan hal ini, kembali hatinya terasa bagaikan disayat dan air matanya mengucur makin deras. Tiba-tiba ia mendengar suara yang halus di sebelah belakangnya.
“Lilani, sudahlah, jangan kau terlalu berduka.”
Seketika itu juga air matanya yang mengucur berhenti mengalir seakan-akan sumbernya tertutup rapat, kedua matanya dibuka lebar-lebar dan ia cepat memutar lehernya menengok. Ternyata bahwa Lie Siong telah berdiri di darat sambil bertolak pinggang!
“Lie Tai-hiap…!” Dalam seruan ini terkandung kegirangan yang luar biasa sekali.
“Aku tak merasa enak hati meninggalkan kau dalam keadaan begini.” kata pemuda itu sambil mengerutkan kening seakan-akan tidak puas akan kelemahannya sendiri. “Kalau sampai terjadi sesuatu dengan kau, maka akan sia-sialah usahaku membebaskan kau dari cengkeraman orang jahat, dan berarti aku telah melanggar janji kepada ayahmu.”
“Tai-hiap… Thian Yang Agung telah mengirimmu kembali padaku…” kata Lilani dengan bisikan terharu.
“Akan tetapi aku masih tidak tahu harus membawa kau kemana, Lilani. Sekarang kau carilah tujuan tertentu agar aku dapat mengantarkan kau ke tempat yang aman, baru kemudian akan melanjutkan perantauanku.”
“Tai-hiap, aku sudah mendapat pikiran ketika kau pergi tadi. Aku teringat akan Kwee-lo-eng-hiong dan Pendekar Bodoh. Kalau saja kau sudi mengantarkan aku sampai ke tempat tinggal mereka, aku akan mendapat perlindungan yang sentausa. Budimu takkan kulupakan selama hidupku, Tai-hiap.”
“Sudahlah, jangan bicara tentang budi,” kata Lie Siong yang segera masuk ke dalam perahu. “Aku pernah mendengar bahwa Kwee Lo-eng-hiong tinggal di kota Tiang-an. Baiknya kita mengambil jalan sungai ini sampai ke kota raja, kemudian kita menuju ke Tiang-an dengan jalan darat.”
Saking girangnya, Lilani tak menjawab, hanya mengangguk-angguk sambil menatap pemuda itu dengan mata berseri. Lenyaplah segala kesedihannya, segala keraguannya. Dengan pemuda ini di sampingnya, dunia seakan-akan menjadi lebih lebar dan terang, air Sungai Yang-ting seakan-akan merupakan sutera kehijauan yang dibentangkan di depannya, bunyi riak air berdendang merdu dan ia mendengar hatinya bernyanyi gembira!
Lie Siong tidak banyak bicara, hanya mendayung perahu itu dengan cepat ke tengah dan lajulah perahu itu terbawa aliran air sungai ditambah dengan tenaga dayung di tangan Lie Siong yang kuat.
Bangsanya telah musnah, ayah bundanya telah tewas. Tadinya ia bercita-cita untuk membangun suku bangsanya, untuk menggantikan kedudukan ayahnya kemudian bersama bangsanya, berjuang memperbaiki nasib. Akan tetapi kini semua itu lenyap, lenyap bersama bayangan Lie Siong.
Dengan Lie Siong di sampingnya, ia merasa pasti dan yakin bahwa cita-citanya itu akan terlaksana. Tak tertahan lagi ia lalu menjatuhkan mukanya di atas kedua telapak tangannya dan menangis dengan hati terasa disayat-sayat. Dalam kesedihannya yang hebat ini, terbayanglah wajah ibunya yang cantik jelita dan teringatlah ia betapa ibunya pernah menuturkan kepadanya tentang perhubungan ibunya dengan seorang pendekar besar bernama Kwee An yang bertempat tinggal di Tiang-an.
Ibunya, Meilani, pernah menuturkan kepadanya betapa ibunya itu pun pernah jatuh hati kepada pendekar itu. Ah, mengapa ia harus putus asa? Sahabat-sahabat baik ibunya masih banyak. Kalau saja ia dapat mencari Kwee An dan Ma Hoa, atau Pendekar Bodoh dan Lin Lin, tentu mereka akan mau menolong, menolong puteri tunggal Meilani!
Akan tetapi teringat akan kejahatan putera kepala daerah she Gui itu, hatinya menjadi gentar lagi. Banyak sekali manusia-manusia jahat semacam pemuda she Gui itu di dunia ini! Ah, alangkah bedanya dengan Lie Siong pemuda yang sopan santun dan gagah perkasa itu.
Pemuda yang sedikit pun tidak mau mengganggunya, jangankan mengganggunya, bahkan menengok pun tidak, agaknya ia bukan seorang gadis cantik! Mungkin dalam pandangan Lie Siong, ia hanya seorang perempuan yang buruk rupa dan menjemukan! Mengingat akan hal ini, kembali hatinya terasa bagaikan disayat dan air matanya mengucur makin deras. Tiba-tiba ia mendengar suara yang halus di sebelah belakangnya.
“Lilani, sudahlah, jangan kau terlalu berduka.”
Seketika itu juga air matanya yang mengucur berhenti mengalir seakan-akan sumbernya tertutup rapat, kedua matanya dibuka lebar-lebar dan ia cepat memutar lehernya menengok. Ternyata bahwa Lie Siong telah berdiri di darat sambil bertolak pinggang!
“Lie Tai-hiap…!” Dalam seruan ini terkandung kegirangan yang luar biasa sekali.
“Aku tak merasa enak hati meninggalkan kau dalam keadaan begini.” kata pemuda itu sambil mengerutkan kening seakan-akan tidak puas akan kelemahannya sendiri. “Kalau sampai terjadi sesuatu dengan kau, maka akan sia-sialah usahaku membebaskan kau dari cengkeraman orang jahat, dan berarti aku telah melanggar janji kepada ayahmu.”
“Tai-hiap… Thian Yang Agung telah mengirimmu kembali padaku…” kata Lilani dengan bisikan terharu.
“Akan tetapi aku masih tidak tahu harus membawa kau kemana, Lilani. Sekarang kau carilah tujuan tertentu agar aku dapat mengantarkan kau ke tempat yang aman, baru kemudian akan melanjutkan perantauanku.”
“Tai-hiap, aku sudah mendapat pikiran ketika kau pergi tadi. Aku teringat akan Kwee-lo-eng-hiong dan Pendekar Bodoh. Kalau saja kau sudi mengantarkan aku sampai ke tempat tinggal mereka, aku akan mendapat perlindungan yang sentausa. Budimu takkan kulupakan selama hidupku, Tai-hiap.”
“Sudahlah, jangan bicara tentang budi,” kata Lie Siong yang segera masuk ke dalam perahu. “Aku pernah mendengar bahwa Kwee Lo-eng-hiong tinggal di kota Tiang-an. Baiknya kita mengambil jalan sungai ini sampai ke kota raja, kemudian kita menuju ke Tiang-an dengan jalan darat.”
Saking girangnya, Lilani tak menjawab, hanya mengangguk-angguk sambil menatap pemuda itu dengan mata berseri. Lenyaplah segala kesedihannya, segala keraguannya. Dengan pemuda ini di sampingnya, dunia seakan-akan menjadi lebih lebar dan terang, air Sungai Yang-ting seakan-akan merupakan sutera kehijauan yang dibentangkan di depannya, bunyi riak air berdendang merdu dan ia mendengar hatinya bernyanyi gembira!
Lie Siong tidak banyak bicara, hanya mendayung perahu itu dengan cepat ke tengah dan lajulah perahu itu terbawa aliran air sungai ditambah dengan tenaga dayung di tangan Lie Siong yang kuat.
**** 038 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar