Wi Kong Siansu ini sebagaimana pernah dituturkan di bagian depan adalah seorang pertapa di Hek-kwi-san dan dijuluki Toat-beng Lo-mo (Iblis Tua Pencabut Nyawa). Oleh karena merasa kuatir menghadapi musuh-musuh yang tangguh, Ban Sai Cinjin menyuruh Bouw Hun Ti untuk mengundang dan membujuk suhengnya itu yang kemudian ternyata berhasil baik.
Melihat pukulan Soan-hon-jiu yang digerakkan oleh Kam Seng, Wi Kong Siansu menjadi tertarik dan ia lalu berdiri dari bangkunya.
“Bouw Hun Ti, biarkan anak muda ini memenuhi keinginannya.” Ia melangkah maju menghadapi Kam Seng. “Anak muda, sebelum pinto menuruti permintaanmu yang kurang ajar tadi, lebih dulu katakanlah kau siapa, anak siapa dan mengapa kau bermusuhan dengan Pendekar Bodoh?”
Semenjak dulu, Kam Seng tak pernah menyebut-nyebut nama ayahnya di depan siapapun juga. Sekarang karena maklum sepenuhnya bahwa ia berada diantara orang-orang yang menjadi musuh Pendekar Bodoh pula, ia tidak merasa ragu-ragu untuk memberitahukan nama ayahnya, bahkan ia pun merubah pula shenya yang biasanya Thio itu menjadi Song.
“Teecu bernama Kam Seng, she Song, Ayah teecu telah tewas di tangan Pendekar Bodoh, dan ayah teecu itu bernama Song Kun.”
Mendengar disebutnya nama ini, Wi Kong Siansu dan Ban Sai Cinjin saling pandang dengan terkejut sekali.
“Apa? Ayahmu adalah Song Kun Si Tubuh Baja yang berjuluk Ang-ho-sian-kiam?” tanya Wi Kong Siansu dengan heran.
“Entahlah, karena ayah telah tewas sebelum teecu terlahir. Teecu hanya mendengar dari ibuku yang sekarang telah meninggal dunia pula. Hanya satu hal yang teecu ketahui, yaitu bahwa ayah teecu yang bernama Song Kun itu terbunuh oleh Pendekar Bodoh!”
“Benar, benar!” Wi Kong Siansu mengangguk-angguk. “Memang terbunuh oleh Pendekar Bodoh. Marilah, kau maju dan hendak kulihat sampai dimana kepandaianmu, anak muda!”
Kam Seng memang sengaja menantang untuk dirobohkan dalam sepuluh jurus karena ia mempunyai maksud tertentu. Ia telah maklum sampai dimana tingkat kepandaiannya, apabila diukur dengan kepandaian supeknya Nyo Tiang Le. Sungguhpun ia belum dapat menyamai ilmu kepandaian supeknya itu, namun dari latihan-latihan dengan supeknya ia dapat menaksir bahwa supeknya itu tak mungkin akan dapat merobohkan dan mengalahkannya dalam tiga puluh jurus!
Maka ia sengaja menantang untuk dirobohkan dalam sepuluh jurus oleh tosu itu, karena kalau hal ini memang dapat terjadi, ia tidak ragu-ragu lagi akan kepandaian tosu ini dan tidak ragu-ragu untuk mengkhianati supeknya!
Setelah tosu itu melangkah maju menghadapinya, tanpa seji (sungkan) lagi Kam Seng lalu menyerang dengan Ilmu Silat Soan-hong-kun-hwat yang paling lihai. Ia hendak mendahului menyerang agar supaya kakek itu tidak mempunyai kesempatan untuk menyerangnya. Kalau saja ia dapat menyerang bertubi-tubi sampai sepuluh jurus, biarpun tidak dapak merobohkan tosu itu, berarti ia telah menang karena dalam sepuluh jurus kakek itu tak dapat mengalahkannya!
Wi Kong Siansu agaknya maklum akai isi pikirannya ini, maka sambil tersenyun kakek yang amat lihai ini tidak memberi kesempatan kepada Kam Seng untuk menyerang dengan susulan lain.
Begitu pukulan Kam Seng mendatang dan telah dekat dengan dadanya yang sama sekali tidak terpengaruh oleh angin pukulan itu ia mengebutkan ujung lengan bajunya menangkis dan tangan kanannya lalu meluncur keluar membarengi pukulan itu menotok ke arah pundak Kam Seng.
Pemuda ini terkejut sekali karena tangkisan ujung lengan baju itu ketika menimpa lengannya, tulang lengannya terasa sakit sekali bagaikan beradu dengan baja keras sedangkan totokan itu pun cepat sekali datangnya sehingga hampir saja ia menjadi korban dalam segebrakan saja!
Ia cepat menjatuhkan diri ke belakang, berjumpalitan ke belakang dua kali, kemudian setelah berdiri ia lalu menyerang lagi. Serangan dalam jurus ke dua ini dilakukan dengan gerak tipu yang amat lihai. Ia melakukan serangan dari tiga jurusan, tangan kanan diputar merupakan kepalan yang mengarah kepala, tangan kiri dengan jari tangan terbuka menyabet lambung sedangkan kaki kanan menyusul dengan tendangan maut ke arah pusar!
Inilah gerak tipu yang disebut Sam-in-koan-goat (Tiga Awan Menutup Bulan). Gerakan tiga macam pukulan ini dilakukan susul menyusul sehingga hampir boleh dibilang berbareng datangnya, dan karena yang diarah oleh ketiga pukulan ini adalah anggota-anggota tubuh yang berbahaya, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya serangan Sam-in-koan goat ini. Satu saja diantara ketiga pukulan itu mengenai sasaran, cukup untuk mengantar nyawa orang ke tempat asal!
“Bagus…!” seru Wi Kong Siansu melihat kehebatan serangan ini.
Dengan amat tenang kakek ini melangkahkan kakinya dalam bentuk segitiga. Pertama- tama ia melangkah ke kanan sambil menundukkan kepala menghindarkan diri dari pukulan ke arah kepalanya, lalu melangkah lagi menyerong ke muka sambil menangkis pukulan ke arah lambungnya, sedangkan tendangan yang mengarah pusarnya itu tidak dielakkan, bahkan ia lalu mengangkat kakinya menyambut tendangan itu dengan tendangan pula.
Sungguh mengherankan. Kalau dilihat tendangan Kim Seng amat keras dan cepat datangnya sedangkan kakek itu hanya mengangkat sedikit saja kakinya untuk menyambut tendangan pemuda itu akan tetapi begitu sepatu mereka bertemu, Kam Seng berseru kaget dan tubuhnya terlempar ke belakang tiga tombak lebih!
Masih baik bahwa ia mempunyai gin-kang yang sempurna sehingga ia dapat berjungkir balik dan mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga ia dapat turun dengan kaki terlebih dulu!
Bukan main kagumnya hati Kam Seng. Ia maklum bahwa tosu ini benar-benar jauh lebih lihai daripada supeknya, maka tanpa banyak ragu-ragu lagi, ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan tosu itu.
“Kalau Totiang sudi menerima teecu sebagai murid, teecu akan merasa bahagia sekali.”
Wi Kong Siansu tertawa bergelak.
“Sayang kau ditinggal ayahmu dan tidak bertemu dengan guru yang baik. Kalau ada ayahmu, tentu kepandaianmu sudah sepuluh kali lipat lebih pandai daripada sekarang.”
Ban Sai Cinjin lalu maju dan mengebulkan huncwenya.
“Song Kam Seng, kau tadi bilang bahwa kau mempunyai rahasia yang hendak dituturkan. Apakah rahasia itu? Hayo kau berkata terus terang, karena kalau memang betul kau putera Song Kun, kita adalah orang-orang sendiri. Ketahuilah bahwa antara kami dengan ayahmu dahulu terdapat perhubungan yang baik sekali.”
“Sesungguhnya amat malu untuk menuturkan keadaan teecu,” kata Kam Seng sambil menundukkan kepalanya dan masih berlutut di depan Wi Kong Siansu. “Semenjak kecil teecu telah ditinggal mati ibu, dan ayah bahkan telah meninggalkan teecu sebelum teecu terlahir. Teecu berkelana dan bersengsara seorang diri dengan hati mengandung dendam kepada Pendekar Bodoh, akan tetapi apa daya? Kemudian, teecu bertemu dengan Mo-kai Nyo Tiang Le yang memberi pelajaran ilmu silat kepada teecu. Sungguhpun kemudian teecu ketahui bahwa Mo-kai Nyo Tiang Le dan juga Sin-kai Lo Sian adalah kawan-kawan segolongan dengan Pendekar Bodoh sehingga hati teecu merasa segan sekali untuk belajar ilmu silat darinya, akan tetapi terpaksa teecu pertahankan juga. Karena, lebih baik menerima pelajaran ilmu silat dari siapapun juga daripada tidak berkepandaian sama sekali. Nah, kebetulan sekali hari ini teecu dibawa oleh Mo-kai Nyo Tiang Le yang sedang berusaha mencari Sin-kai Lo Sian. Dia menyangka bahwa sutenya itu tentu telah mendapat celaka dari Ban Sai Cinjin, maka ia lalu menyuruh teecu mengadakan penyelidikan kesini!”
Ban Sai Cinjin tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha! Mo-kai Nyo Tiang Le pengemis kelaparan! Apa yang kutakuti terhadap orang seperti dia itu?”
“Teecu juga maklum akan hal ini, dan mulai saat ini juga, kalau kiranya Cu-wi Locianpwe sudi menerima, teecu ingin tinggal disini mempelajari ilmu silat dan kemudian bersama Cu-wi ikut menyerbu dan membalas hukum kepada Pendekar Bodoh.”
Ban Sai Cinjin agaknya masih ragu-ragu dan menaruh hati curiga. Akan tetapi Wi Kong Siansu sambil berkedip kepada sutenya itu, berkata kepada Kam Seng,
“Anak muda, kami percaya bahwa kau memang putera Song Kun. Akan tetapi, siapa mengetahui keadaan seseorang? Mo-kai Nyo Tiang Le yang menjadi gurumu itu ternyata hendak memusuhi sute dan menyuruh kau mengadakan penyelidikan ke sini. Bagaimanakah kalau sikapmu ini hanya sandiwara belaka agar kau dapat menyelamatkan diri dari kami? Kalau kau sekarang bisa memancing Mo-kai Nyo Tiang Le datang ke sini, tanpa mengatakan bahwa pinto dan Ban Sai Cinjin berada di tempat ini, dan kemudian di depan kami kau memperlihatkan sikapmu bermusuh dengan dia, barulah kami akan percaya. Menerima murid bukanlah hal yang amat mudah, dan sebelum mengetahui betul kesetiaanmu, pinto tidak dapat menerimamu sebagai murid.”
“Baiklah, harap Cu-wi suka menanti sebentar. Malam ini juga teecu akan membawa Mo-kai Nyo Tiang Le datang ke tempat ini!”
Setelah berkata demikian, Kam Seng memberi hormat dan melompat keluar dari ruangan itu. Ban Sai Cinjin hendak menggerakkan tangan mencegah, akan tetapi suhengnya berkata,
“Anak itu memang betul keturunan Song Kun. Tidak lihatkah kau akan gerak matanya dan bentuk bibirnya? Sama benar dengan Song Kun. Dan andaikata sikapnya tadi hanya untuk menyelamatkan diri untuk seorang pemuda macam dia, kita takut apakah?”
Sementara itu, Kam Seng cepat kembali ke tempat supeknya yang masih menantinya. Hatinya girang sekali. Tadinya ia telah merasa putus harapan untuk dapat membalas dendamnya kepada Pendekar Bodoh, karena kalau Mo-kai Nyo Tiang Le yang menjadi gurunya masih mengatakan kalah jauh oleh Pendekar Bodoh, apalagi dia? Pendekar Bodoh menurut supeknya ini mempunyai banyak orang-orang pandai.
Isteri Pendekar Bodoh sendiri adalah murid Bu Pun Su dan memiliki kepandaian yang amat tinggi. Masih ada lagi Ang I Niocu dan suaminya Lie Kong Sian yang terhitung kakak seperguruan dari Pendekar Bodoh, ada lagi Kwee An yang menjadi iparnya dan isteri Kwee An yang bernama Ma Hoa dan yang memiliki kepandaian tinggi karena nyonya muda ini adalah murid terkasih dari Hok Peng Taisu yang lihai!
Bagaimana ia dapat menghadapi Pendekar Bodoh seorang diri saja? Bahkan supeknya amat menghormat Pendekar Bodoh maka tak mungkin supek atau suhunya memperkenankan ia berlaku kurang ajar terhadap Pendekar Bodoh.
Kini, pertemuan dengan Ban Sai Cinjin dan Wi Kong Siansu yang amat tinggi kepandaiannya, menimbulkan pengharapan baru di dalam hatinya. Ia tadi tidak melihat Hok Ti Hwesio, hwesio kecil jahat murid Ban Sai Cinjin yang dulu hendak membelek perutnya, akan tetapi ia pun tidak takut. Andaikata Hok Ti Hwesio mengenalnya, ia rasa masih dapat melayani hwesio itu, dan apalagi kalau ia sudah menjadi murid Wi Kong Siansu, tentu Hek Ti Hwesio tidak berani mengganggunya.
“Bagaimana, Kam Seng? Apakah kau melihat suhumu disana? Dan apakah Ban Sai Cinjin berada disana pula?”
“Teecu rasa Suhu berada disana, Supek. Mungkin dikurung dalam sebuah kamar. Akan tetapi teecu tidak berani turun dan berlaku sembrono, karena disana teecu melihat ada murid-murid Ban Sai Cinjin. Teecu rasa sekarang lebih baik kalau kita berdua menyerbu kesana, karena tidak terlihat Ban Sai Cinjin, yang ada hanya Bouw Hun Ti!”
Girang sekali hati Mo-kai Nyo Tiang Le mendengar kesempatan yang amat baik ini, maka ia cepat berdiri dan mengajak pemuda itu cepat berlari kembali ke hutan itu.
Kam Seng mengajak supeknya melompat ke atas genteng dan mengintai di atas ruang tadi, akan tetapi baru saja Nyo-kai Tiang Le menginjak genteng ia mendengar suara Bouw Hun Ti tertawa di bawah genteng.
“Pengemis kelaparan Nyo Tiang Le! Perlu apa mengintai seperti seorang maling? Kalau kau kelaparan tak perlu kau mencuri makanan disini, turunlah ada makanan anjing tersedia untukmu!”
Bukan main marahnya Mo-kai Nyo Tiang Le mendengar ucapan yang sangat menghina ini. Ia memang seorang pemarah yang keras hati, maka tanpa mempedulikan sesuatu lagi, ia lalu melayang turun, diikuti oleh Kam Seng. Akan tetapi, begitu kakinya menginjak lantai ruangan itu, Mo-kai Nyo Tiang Le terkejut sekali melihat Ban Sai Cinjin dan seorang tosu tua muncul dari balik pintu.
Ban Sai Cinjin mengebulkan asap huncwenya dan melihat asap itu berwarna hitam, tahulah Mo-kai Nyo Tiang Le bahwa ia harus melawan mati-matian.
Terdengar tosu yang tak dikenalnya itu tertawa girang dan berkata kepada Kam Seng,
“Bagus, bagus, Kam Seng! Kau memang boleh dipercaya dan pinto suka menjadi suhumu.
Tentu saja Mo-kai Nyo Tiang Le menjadi melongo melihat dan mendengar ucapan ini.
“Kam Seng! Apakah artinya ini?”
Melihat pukulan Soan-hon-jiu yang digerakkan oleh Kam Seng, Wi Kong Siansu menjadi tertarik dan ia lalu berdiri dari bangkunya.
“Bouw Hun Ti, biarkan anak muda ini memenuhi keinginannya.” Ia melangkah maju menghadapi Kam Seng. “Anak muda, sebelum pinto menuruti permintaanmu yang kurang ajar tadi, lebih dulu katakanlah kau siapa, anak siapa dan mengapa kau bermusuhan dengan Pendekar Bodoh?”
Semenjak dulu, Kam Seng tak pernah menyebut-nyebut nama ayahnya di depan siapapun juga. Sekarang karena maklum sepenuhnya bahwa ia berada diantara orang-orang yang menjadi musuh Pendekar Bodoh pula, ia tidak merasa ragu-ragu untuk memberitahukan nama ayahnya, bahkan ia pun merubah pula shenya yang biasanya Thio itu menjadi Song.
“Teecu bernama Kam Seng, she Song, Ayah teecu telah tewas di tangan Pendekar Bodoh, dan ayah teecu itu bernama Song Kun.”
Mendengar disebutnya nama ini, Wi Kong Siansu dan Ban Sai Cinjin saling pandang dengan terkejut sekali.
“Apa? Ayahmu adalah Song Kun Si Tubuh Baja yang berjuluk Ang-ho-sian-kiam?” tanya Wi Kong Siansu dengan heran.
“Entahlah, karena ayah telah tewas sebelum teecu terlahir. Teecu hanya mendengar dari ibuku yang sekarang telah meninggal dunia pula. Hanya satu hal yang teecu ketahui, yaitu bahwa ayah teecu yang bernama Song Kun itu terbunuh oleh Pendekar Bodoh!”
“Benar, benar!” Wi Kong Siansu mengangguk-angguk. “Memang terbunuh oleh Pendekar Bodoh. Marilah, kau maju dan hendak kulihat sampai dimana kepandaianmu, anak muda!”
Kam Seng memang sengaja menantang untuk dirobohkan dalam sepuluh jurus karena ia mempunyai maksud tertentu. Ia telah maklum sampai dimana tingkat kepandaiannya, apabila diukur dengan kepandaian supeknya Nyo Tiang Le. Sungguhpun ia belum dapat menyamai ilmu kepandaian supeknya itu, namun dari latihan-latihan dengan supeknya ia dapat menaksir bahwa supeknya itu tak mungkin akan dapat merobohkan dan mengalahkannya dalam tiga puluh jurus!
Maka ia sengaja menantang untuk dirobohkan dalam sepuluh jurus oleh tosu itu, karena kalau hal ini memang dapat terjadi, ia tidak ragu-ragu lagi akan kepandaian tosu ini dan tidak ragu-ragu untuk mengkhianati supeknya!
Setelah tosu itu melangkah maju menghadapinya, tanpa seji (sungkan) lagi Kam Seng lalu menyerang dengan Ilmu Silat Soan-hong-kun-hwat yang paling lihai. Ia hendak mendahului menyerang agar supaya kakek itu tidak mempunyai kesempatan untuk menyerangnya. Kalau saja ia dapat menyerang bertubi-tubi sampai sepuluh jurus, biarpun tidak dapak merobohkan tosu itu, berarti ia telah menang karena dalam sepuluh jurus kakek itu tak dapat mengalahkannya!
Wi Kong Siansu agaknya maklum akai isi pikirannya ini, maka sambil tersenyun kakek yang amat lihai ini tidak memberi kesempatan kepada Kam Seng untuk menyerang dengan susulan lain.
Begitu pukulan Kam Seng mendatang dan telah dekat dengan dadanya yang sama sekali tidak terpengaruh oleh angin pukulan itu ia mengebutkan ujung lengan bajunya menangkis dan tangan kanannya lalu meluncur keluar membarengi pukulan itu menotok ke arah pundak Kam Seng.
Pemuda ini terkejut sekali karena tangkisan ujung lengan baju itu ketika menimpa lengannya, tulang lengannya terasa sakit sekali bagaikan beradu dengan baja keras sedangkan totokan itu pun cepat sekali datangnya sehingga hampir saja ia menjadi korban dalam segebrakan saja!
Ia cepat menjatuhkan diri ke belakang, berjumpalitan ke belakang dua kali, kemudian setelah berdiri ia lalu menyerang lagi. Serangan dalam jurus ke dua ini dilakukan dengan gerak tipu yang amat lihai. Ia melakukan serangan dari tiga jurusan, tangan kanan diputar merupakan kepalan yang mengarah kepala, tangan kiri dengan jari tangan terbuka menyabet lambung sedangkan kaki kanan menyusul dengan tendangan maut ke arah pusar!
Inilah gerak tipu yang disebut Sam-in-koan-goat (Tiga Awan Menutup Bulan). Gerakan tiga macam pukulan ini dilakukan susul menyusul sehingga hampir boleh dibilang berbareng datangnya, dan karena yang diarah oleh ketiga pukulan ini adalah anggota-anggota tubuh yang berbahaya, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya serangan Sam-in-koan goat ini. Satu saja diantara ketiga pukulan itu mengenai sasaran, cukup untuk mengantar nyawa orang ke tempat asal!
“Bagus…!” seru Wi Kong Siansu melihat kehebatan serangan ini.
Dengan amat tenang kakek ini melangkahkan kakinya dalam bentuk segitiga. Pertama- tama ia melangkah ke kanan sambil menundukkan kepala menghindarkan diri dari pukulan ke arah kepalanya, lalu melangkah lagi menyerong ke muka sambil menangkis pukulan ke arah lambungnya, sedangkan tendangan yang mengarah pusarnya itu tidak dielakkan, bahkan ia lalu mengangkat kakinya menyambut tendangan itu dengan tendangan pula.
Sungguh mengherankan. Kalau dilihat tendangan Kim Seng amat keras dan cepat datangnya sedangkan kakek itu hanya mengangkat sedikit saja kakinya untuk menyambut tendangan pemuda itu akan tetapi begitu sepatu mereka bertemu, Kam Seng berseru kaget dan tubuhnya terlempar ke belakang tiga tombak lebih!
Masih baik bahwa ia mempunyai gin-kang yang sempurna sehingga ia dapat berjungkir balik dan mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga ia dapat turun dengan kaki terlebih dulu!
Bukan main kagumnya hati Kam Seng. Ia maklum bahwa tosu ini benar-benar jauh lebih lihai daripada supeknya, maka tanpa banyak ragu-ragu lagi, ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan tosu itu.
“Kalau Totiang sudi menerima teecu sebagai murid, teecu akan merasa bahagia sekali.”
Wi Kong Siansu tertawa bergelak.
“Sayang kau ditinggal ayahmu dan tidak bertemu dengan guru yang baik. Kalau ada ayahmu, tentu kepandaianmu sudah sepuluh kali lipat lebih pandai daripada sekarang.”
Ban Sai Cinjin lalu maju dan mengebulkan huncwenya.
“Song Kam Seng, kau tadi bilang bahwa kau mempunyai rahasia yang hendak dituturkan. Apakah rahasia itu? Hayo kau berkata terus terang, karena kalau memang betul kau putera Song Kun, kita adalah orang-orang sendiri. Ketahuilah bahwa antara kami dengan ayahmu dahulu terdapat perhubungan yang baik sekali.”
“Sesungguhnya amat malu untuk menuturkan keadaan teecu,” kata Kam Seng sambil menundukkan kepalanya dan masih berlutut di depan Wi Kong Siansu. “Semenjak kecil teecu telah ditinggal mati ibu, dan ayah bahkan telah meninggalkan teecu sebelum teecu terlahir. Teecu berkelana dan bersengsara seorang diri dengan hati mengandung dendam kepada Pendekar Bodoh, akan tetapi apa daya? Kemudian, teecu bertemu dengan Mo-kai Nyo Tiang Le yang memberi pelajaran ilmu silat kepada teecu. Sungguhpun kemudian teecu ketahui bahwa Mo-kai Nyo Tiang Le dan juga Sin-kai Lo Sian adalah kawan-kawan segolongan dengan Pendekar Bodoh sehingga hati teecu merasa segan sekali untuk belajar ilmu silat darinya, akan tetapi terpaksa teecu pertahankan juga. Karena, lebih baik menerima pelajaran ilmu silat dari siapapun juga daripada tidak berkepandaian sama sekali. Nah, kebetulan sekali hari ini teecu dibawa oleh Mo-kai Nyo Tiang Le yang sedang berusaha mencari Sin-kai Lo Sian. Dia menyangka bahwa sutenya itu tentu telah mendapat celaka dari Ban Sai Cinjin, maka ia lalu menyuruh teecu mengadakan penyelidikan kesini!”
Ban Sai Cinjin tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha! Mo-kai Nyo Tiang Le pengemis kelaparan! Apa yang kutakuti terhadap orang seperti dia itu?”
“Teecu juga maklum akan hal ini, dan mulai saat ini juga, kalau kiranya Cu-wi Locianpwe sudi menerima, teecu ingin tinggal disini mempelajari ilmu silat dan kemudian bersama Cu-wi ikut menyerbu dan membalas hukum kepada Pendekar Bodoh.”
Ban Sai Cinjin agaknya masih ragu-ragu dan menaruh hati curiga. Akan tetapi Wi Kong Siansu sambil berkedip kepada sutenya itu, berkata kepada Kam Seng,
“Anak muda, kami percaya bahwa kau memang putera Song Kun. Akan tetapi, siapa mengetahui keadaan seseorang? Mo-kai Nyo Tiang Le yang menjadi gurumu itu ternyata hendak memusuhi sute dan menyuruh kau mengadakan penyelidikan ke sini. Bagaimanakah kalau sikapmu ini hanya sandiwara belaka agar kau dapat menyelamatkan diri dari kami? Kalau kau sekarang bisa memancing Mo-kai Nyo Tiang Le datang ke sini, tanpa mengatakan bahwa pinto dan Ban Sai Cinjin berada di tempat ini, dan kemudian di depan kami kau memperlihatkan sikapmu bermusuh dengan dia, barulah kami akan percaya. Menerima murid bukanlah hal yang amat mudah, dan sebelum mengetahui betul kesetiaanmu, pinto tidak dapat menerimamu sebagai murid.”
“Baiklah, harap Cu-wi suka menanti sebentar. Malam ini juga teecu akan membawa Mo-kai Nyo Tiang Le datang ke tempat ini!”
Setelah berkata demikian, Kam Seng memberi hormat dan melompat keluar dari ruangan itu. Ban Sai Cinjin hendak menggerakkan tangan mencegah, akan tetapi suhengnya berkata,
“Anak itu memang betul keturunan Song Kun. Tidak lihatkah kau akan gerak matanya dan bentuk bibirnya? Sama benar dengan Song Kun. Dan andaikata sikapnya tadi hanya untuk menyelamatkan diri untuk seorang pemuda macam dia, kita takut apakah?”
Sementara itu, Kam Seng cepat kembali ke tempat supeknya yang masih menantinya. Hatinya girang sekali. Tadinya ia telah merasa putus harapan untuk dapat membalas dendamnya kepada Pendekar Bodoh, karena kalau Mo-kai Nyo Tiang Le yang menjadi gurunya masih mengatakan kalah jauh oleh Pendekar Bodoh, apalagi dia? Pendekar Bodoh menurut supeknya ini mempunyai banyak orang-orang pandai.
Isteri Pendekar Bodoh sendiri adalah murid Bu Pun Su dan memiliki kepandaian yang amat tinggi. Masih ada lagi Ang I Niocu dan suaminya Lie Kong Sian yang terhitung kakak seperguruan dari Pendekar Bodoh, ada lagi Kwee An yang menjadi iparnya dan isteri Kwee An yang bernama Ma Hoa dan yang memiliki kepandaian tinggi karena nyonya muda ini adalah murid terkasih dari Hok Peng Taisu yang lihai!
Bagaimana ia dapat menghadapi Pendekar Bodoh seorang diri saja? Bahkan supeknya amat menghormat Pendekar Bodoh maka tak mungkin supek atau suhunya memperkenankan ia berlaku kurang ajar terhadap Pendekar Bodoh.
Kini, pertemuan dengan Ban Sai Cinjin dan Wi Kong Siansu yang amat tinggi kepandaiannya, menimbulkan pengharapan baru di dalam hatinya. Ia tadi tidak melihat Hok Ti Hwesio, hwesio kecil jahat murid Ban Sai Cinjin yang dulu hendak membelek perutnya, akan tetapi ia pun tidak takut. Andaikata Hok Ti Hwesio mengenalnya, ia rasa masih dapat melayani hwesio itu, dan apalagi kalau ia sudah menjadi murid Wi Kong Siansu, tentu Hek Ti Hwesio tidak berani mengganggunya.
“Bagaimana, Kam Seng? Apakah kau melihat suhumu disana? Dan apakah Ban Sai Cinjin berada disana pula?”
“Teecu rasa Suhu berada disana, Supek. Mungkin dikurung dalam sebuah kamar. Akan tetapi teecu tidak berani turun dan berlaku sembrono, karena disana teecu melihat ada murid-murid Ban Sai Cinjin. Teecu rasa sekarang lebih baik kalau kita berdua menyerbu kesana, karena tidak terlihat Ban Sai Cinjin, yang ada hanya Bouw Hun Ti!”
Girang sekali hati Mo-kai Nyo Tiang Le mendengar kesempatan yang amat baik ini, maka ia cepat berdiri dan mengajak pemuda itu cepat berlari kembali ke hutan itu.
Kam Seng mengajak supeknya melompat ke atas genteng dan mengintai di atas ruang tadi, akan tetapi baru saja Nyo-kai Tiang Le menginjak genteng ia mendengar suara Bouw Hun Ti tertawa di bawah genteng.
“Pengemis kelaparan Nyo Tiang Le! Perlu apa mengintai seperti seorang maling? Kalau kau kelaparan tak perlu kau mencuri makanan disini, turunlah ada makanan anjing tersedia untukmu!”
Bukan main marahnya Mo-kai Nyo Tiang Le mendengar ucapan yang sangat menghina ini. Ia memang seorang pemarah yang keras hati, maka tanpa mempedulikan sesuatu lagi, ia lalu melayang turun, diikuti oleh Kam Seng. Akan tetapi, begitu kakinya menginjak lantai ruangan itu, Mo-kai Nyo Tiang Le terkejut sekali melihat Ban Sai Cinjin dan seorang tosu tua muncul dari balik pintu.
Ban Sai Cinjin mengebulkan asap huncwenya dan melihat asap itu berwarna hitam, tahulah Mo-kai Nyo Tiang Le bahwa ia harus melawan mati-matian.
Terdengar tosu yang tak dikenalnya itu tertawa girang dan berkata kepada Kam Seng,
“Bagus, bagus, Kam Seng! Kau memang boleh dipercaya dan pinto suka menjadi suhumu.
Tentu saja Mo-kai Nyo Tiang Le menjadi melongo melihat dan mendengar ucapan ini.
“Kam Seng! Apakah artinya ini?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar