Akan tetapi sebelum pemuda itu menjawab, Ban Sai Cinjin sudah menegur Pengemis Iblis itu,
“Orang she Nyo! Kau datang sebagai tamu tak diundang, mengapa lagakmu demikian kasar? Sebetulnya, apakah keperluanmu datang ke tempatku ini?”
“Ban Sai Cinjin, semenjak dulu kita belum pernah bermusuhan, maka harap kau suka memberi keterangan tentang suteku Lo Sian. Di manakah dia?”
Ban Sai Cinjin mengeluarkan suara menghina.
“Apa kau kira aku menjadi bujang pengasuh dari Lo Sian? Kau carilah sendiri, disini tidak ada sutemu yang gila itu!”
“Gila…? Suteku tidak gila…” kata Mo-kai Nyo Tiang Le sambil memandang tajam.
Merahlah wajah Ban Sai Cinjin karena tanpa disengaja ia hampir saja membuka rahasianya. Memang Lo Sian telah menjadi gila karena ia paksa minum obat beracun.
“Kau dan Sutemu memang orang-orang tidak waras, kalau sehat bagaimana malam-malam datang ke tempat tinggal orang lain mencari Sutemu?”
Mo-kai Nyo Tiang Le merasa segan untuk bermusuh melawan Ban Sai Cinjin yang lihai dan disitu masih ada tosu tua yang nampaknya berkepandaian tinggi itu. Juga ia masih merasa heran mendengar percakapan antara tosu itu dengan Kam Seng, maka ia pikir lebih baik mengajak pemuda itu pergi dari tempat berbahaya ini.
“Sudahlah, aku tak mau mengganggu terlebih jauh. Hayo, Kam Seng, kita pergi dari sini!” katanya mengajak pemuda itu.
Akan tetapi, sungguh di luar dugaan sama sekali jawaban yang ia dengar dari mulut pemuda itu,
“Tidak, aku tidak pergi dari sini. Di sinilah tempatku bersama suhuku yang baru Wi Kong Siansu!”
Barulah Mo-kai Nyo Tiang Le tahu bahwa tosu itu adalah Toat-beng Lomo yang amat terkenal. Ia terkejut sekali, akan tetapi keheranannya lebih besar lagi.
“Apa katamu? Kam Seng, apa artinya ini? Apakah kau sudah gila?”
Pemuda itu memandangnya tajam.
“Tidak, Mo-kai Nyo Tiang Le, kaulah yang gila kalau kau kira akan dapat memaksaku untuk menjadi pengemis, hidup berkeliaran, pakaian tidak karuan, makan tak tentu. Aku tidak mau mengikuti kau terus. Kau, pergilah dari sini!”
Marahlah Mo-kai Nyo Tiang Le mendengar ucapan ini. Tak pernah disangkanya bahwa pemuda yang biasanya pendiam dan penurut itu kini berubah menjadi sedemikian kurang ajar.
“Kam Seng…! Kau murid durhaka! Kalau kau tidak mau pergi, terpaksa aku harus binasakan kau lebih dulu agar kelak tidak mencemarkan namaku!”
Tiba-tiba Kam Seng tersenyum.
“Hm, Mo-kai Nyo Tiang Le! Ketahuilah siapa sebenarnya aku. Aku adalah putera dari Ang-ho Sian-kiam Song Kun, dan aku telah bersumpah untuk membalas kematian ayahku kepada Pendekar Bodoh! Nah, apakah kau tidak mau lekas pergi dari sini? Aku masih mengingat akan sedikit kebaikanmu yang telah menurunkan sedikit ilmu silat tak berarti kepadaku. Kalau kau tidak lekas pergi, jangan menganggap aku keterlaluan kalau terpaksa turun tangan melawan dan mengusirmu!”
Serasa meledak dada Mo-kai Nyo Tiang Le. Sepasang matanya menjadi merah bagaikan terbakar dan rambutnya yang tidak karuan itu menjadi kaku berdiri.
“Murid durhaka! Manusia berhati rendah!”
Akan tetapi, Kam Seng dengan marah sekali telah mengeluarkan beberapa butir Thi-tho-ci dan mengayun senjata-senjata rahasia itu ke arah Mo-kai Nyo Tiang Le sambil berseru,
“Kau pergilah!”
Dengan amarah yang meluap-luap Mo-kai Nyo Tiang Le menyambut datangnya senjata-senjata rahasia itu dengan gerakan tangan kirinya yang menangkis dan memukul runtuh beberapa senjata-senjata rahasia itu, kemudian sambil berseru keras ia lalu melancarkan serangannya yang hebat yaitu pukulan Soan-hong-jiu yang dilakukan dengan tenaga penuh ke arah bekas muridnya itu!
Kam Seng maklum akan kelihaian pukulan ini, akan tetapi karena ia tahu pula bahwa mengelak dari pukulan ini selain sia-sia juga amat berbahaya, terpaksa ia pun mengerahkan tenaganya dan melakukan gerakah pukulan yang sama.
Biarpun jarak diantara mereka ada dua tombak lebih jauhnya, namun angin pukulan Soan-hong-jiu dari Mo-kai Nyo Tiang Le ini menyambar hebat sekali ke arah Kam Seng. Pemuda ini juga melakukan pukulan Soan-hong-jiu dengan tenaga khi-kang sepenuhnya untuk menangkis.
Dua angin pukulan bertemu dan akibatnya Kam Seng terlempar ke belakang sampai tubuhnya menimpa dinding di belakangnya! Namun tangkisannya itu menyelamatkan jiwanya, karena sedikitnya telah membentur tenaga pukulan bekas supeknya dan ia hanya terlempar saja tanpa menderita luka.
“Kau harus mampus!”
Mo-kai Nyo Tiang Le berseru sambil melompat ke arah bekas muridnya untuk memberi pukulan maut. Akan tetapi, tiba-tiba dari sebelah kiri berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu Wi Kong Siansu telah berada di depannya dan tersenyum mengejek.
“Wi Kong Siansu! Jangan kau ikut-ikut! Tidak ada orang kang-ouw yang begitu tidak tahu malu untuk mencampuri urusan antara guru dan muridnya sendiri!” teriak Mo-kai Nyo Tiang Le marah sekali.
Wi Kong Siansu tertawa bergelak.
“Mo-kai, kau lupa bahwa pemuda ini bukan muridmu lagi! Ia telah menyatakan tidak sudi menjadi muridmu dan kau harus ingat lagi bahwa dia kini telah menjadi murid pinto! Apakah kau kira pinto dapat berpeluk tangan saja melihat murid pinto hendak dibinasakan olehmu?”
Saking marahnya Mo-kai Nyo Tiang Le menjadi nekat.
“Bagus!” teriaknya “Hendak kulihat sampai dimana kehebatan Toat-beng Lo-mo!”
“Ha-ha! Majulah, mari kita main-main sebentar!” jawab tosu itu.
Nyo Tiang Le menyerang dengan cepat dan bertubi-tubi. Akan tetapi, tosu yang berilmu tinggi itu dengan tenangnya dapat mengelak dan membalas dengan serangannya. Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu ini melayani Pengemis Iblis dengan kedua ujung lengan bajunya yang panjang yang menyambar-nyambar dengan totokan-totokan ke arah jalan darah.
Setiap sambaran ujung lengan baju membawa angin keras dan berat sekali. Mo-kai Nyo Tiang Le terkejut ketika menyaksikan betapa angin pukulan Soan-hong-jiu yang dipergunakannya selain terpental kembali tiap kali terbentur oleh ujung lengan baju itu dan maklumlah ia bahwa dalam hal tenaga lwee-kang dan khi-kang, ia masih kalah setingkat!
Oleh karena merasa percuma saja melawan tosu lihai ini, Mo-kai Nyo Tiang Le membuat gerakan mengalah, yaitu melompat mundur beberapa tindak sambil berkata,
“Toat-beng Lo-mo, kepandaianmu benar-benar mengagumkan! Perkenankan aku pergi membawa muridku yang murtad!”
Sambil berkata demikian, ia melompat hendak menyambar tubuh Kam Seng yang berdiri di sudut akan tetapi Wi Kong Siansu telah mendahuluinya dan kembali menghadang di depannya.
“Mo-kai! Jangan kau lanjutkan kehendakmu yang salah ini. Kau pergilah dengan aman, dan pinto takkan mengganggumu. Akan tetapi kalau kau berkeras hendak mencelakakan muridku, terpaksa pinto harus turun tangan!”
Mo-kai Nyo Tiang Le menjadi makin marah. Ia maklum bahwa ia akan sukar sekali dapat menangkan tosu ini, akan tetapi kalau ia mundur, berarti bahwa ia telah menurunkan kehormatannya dengan rendah sekali. Bagi seorang gagah, soal kehormatan lebih penting dan lebih mahal daripada nyawa. Muridnya berlaku khianat dan durhaka, sudah menjadi haknya untuk menghukum murid itu. Kalau ada orang lain yang menghalanginya, itu berarti penghinaan yang amat besar.
Sambil berseru keras, Mo-kai Nyo Tiang Le lalu mencabut tongkatnya yang tadi diselipkan di ikat pinggang depan. Kemudian ia lalu menotok ke arah leher tosu itu dengan gerak tipu Sian-jin-tit-lou (Dewa Menunjukkan Jalan).
“Bagus!” seru Wi Kong Siansu yang segera mengebut dengan ujung lengan bajunya sebelah kiri, kemudian ia lalu mengibaskan lengan baju kanan ke arah kepala lawannya dengan gerak tipu Burung Elang Menyambar Ayam.
Nyo Tiang Le cepat mengelak dan ia lalu memutar tongkatnya dengan hebat sekali. Tongkat pendek itu terputar-putar bagaikan kitiran, berubah menjadi gulungan sinar yang amat kuat dan dapat berkelebatan ujungnya menotok ke arah jalan darah di tubuh lawan. Inilah ilmu tongkat dari Hoa-san-pai yang lihai sekali, karena setiap serangan dapat mendatangkan maut!
Akan, tetapi Wi Kong Siansu adalah tokoh persilatan yang sudah banyak pengalaman dan kepandaiannya tinggi sekali. Ia telah tahu akan ilmu tongkat Hoa-san-pai ini, maka biarpun ia tidak menggunakan senjata, kedua ujung lengan bajunya sudah cukup untuk memunahkan semua serangan Nyo Tiang Le. Nampaknya ia hanya menggerakkan kedua ujung lengan baju itu perlahan dan lambat saja, akan tetapi angin gerakannya demikian kuat sehingga tiap kali ujung tongkat Mo-kai menyerang, selalu kena ditolak oleh ujung lengan baju itu.
Setelah menyerang selama tiga puluh jurus lebih belum juga dapat mendesak lawannya yang tangguh, bahkan gulungan sinar tongkatnya makin lemah, tiba-tiba Mo-kai Nyo Tiang Le berseru keras dan tubuhnya bergulingan ke atas lantai sambil melakukan penyerangan hebat dan bertubi-tubi dari bawah! Inilah ilmu tongkat Hoa-san-pai yang paling lihai dan disebut gerak tipu Naga Sakti Mempermainkan Mustika!
Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu terkejut juga melihat cara penyerangan yang hebat dan berbahaya ini. Ujung tongkat lawannya menyambar-nyambar dari bawah dibarengi dengan tubuh lawannya yang bergulung-gulung dan mengejarnya ke mana juga ia melompat.
Ia telah mengenal ilmu silat ini, akan tetapi oleh karena ilmu meringankan tubuh dari Mo-kai Nyo Tiang Le memang hebat, maka kelihaian penyerangan ini sungguh mengatasi dugaannya! Ketika ia melompat untuk mengelak dari tusukan yang diarahkan kepada pusarnya, tiba-tiba Mo-kai Nyo Tiang Le berseru keras dan melompat pula, dengan cara yang amat tak terduga merubah serangannya dengan gerak tipu Monyet Tua Menyambar Bunga, langsung menusukkan tongkatnya ke arah ulu hati tosu itu! Serangan ini amat cepat dan tak terduga sehingga sukar untuk dielakkan lagi.
Akan tetapi Wi Kong Siansu benar-benar mengagumkan. Ia amat tenang dan tidak menjadi gugup. Dengan ujung lengan baju sebelah kiri ia menyabet ujung tongkat itu dan lengan baju sebelah kanan untuk menyabet pula sehingga kain ini kini melibat tongkat lawannya. Sekarang dua ujung lengan baju itu telah membelit tongkat, tak dapat dilepaskan lagi.
Melihat kesempatan baik ini, dengan girang Nyo Tiang Le lalu menggerakkan tangan kirinya, dengan jari tangan terbuka ia memukul kepala tosu itu dengan pukulan Soan-hong-jiu yang hebat!
Kalau pukulan ini mengenai kepala tosu itu biarpun ia amat kuat dan lihai, agaknya ia akan mendapat luka di dalam kepala dan nyawanya takkan dapat diselamatkan lagi. Akan tetapi, dengan gerakan yang amat cepatnya, tosu itu menarik kepalanya ke bawah lalu melakukan serangan dengan kepalanya itu, diserudukkan ke arah dada Nyo Tiang Le, di bawah lengan kiri yang memukulnya!
Nyo Tiang, Le terkejut sekali, menahan napas dan mengumpulkan lwee-kangnya pada dada untuk menyambut benturan kepala yang tak dapat dielakkan ataupun ditangkis lagi itu.
“Duk…!!”
Tubuh Nyo Tiang Le terpental sampal dua tombak lebih, sedangkan Wi Kong Siansu nampak pucat dan terhuyung-huyung. Akan tetapi pada saat itu dapat mengatur napasnya kembali sedangkan Nyo Tiang Le setelah terguling sambil muntah darah merah dari mulut, ternyata juga dapat melompat berdiri lagi!
Akan tetapi pada saat itu, dari sebelah kanannya menyambar benda hitam kekuningan ke arah kepalanya. Ia terkejut dan mengelak cepat, akan tetapi terlambat! Terdengar suara “tak!” ketika kepala huncwe di tangan Ban Sai Cinjin mengenai batok kepalanya. Seketika itu juga Nyo Tiang Le merasa kepalanya pening dan matanya gelap. Tiba-tiba ia berbangkis beberapa kali, lalu tertawa bergelak dan ia lalu melompat keluar di dalam gelap, terus melarikan diri!
Ban Sai Cinjin tertawa terbahak-bahak.
“Ia telah terluka di dalam otaknya, sekarang ia hanya kehilangan ingatannya saja, akan tetapi tak lama lagi ia akan roboh dan mampus!”
Kam Seng terkejut sekali mendengar ucapan ini dan hatinya merasa ngeri. Sesungguhnya ia tidak mengira bahwa supeknya akan mengalami nasib sehebat itu. Tadinya ia hanya bermaksud untuk melepaskan diri dari Mo-kai Nyo Tiang Le untuk berguru kepada tosu itu dan untuk mendapatkan harapan baru dalam cita-citanya membalas dendam.
“Orang she Nyo! Kau datang sebagai tamu tak diundang, mengapa lagakmu demikian kasar? Sebetulnya, apakah keperluanmu datang ke tempatku ini?”
“Ban Sai Cinjin, semenjak dulu kita belum pernah bermusuhan, maka harap kau suka memberi keterangan tentang suteku Lo Sian. Di manakah dia?”
Ban Sai Cinjin mengeluarkan suara menghina.
“Apa kau kira aku menjadi bujang pengasuh dari Lo Sian? Kau carilah sendiri, disini tidak ada sutemu yang gila itu!”
“Gila…? Suteku tidak gila…” kata Mo-kai Nyo Tiang Le sambil memandang tajam.
Merahlah wajah Ban Sai Cinjin karena tanpa disengaja ia hampir saja membuka rahasianya. Memang Lo Sian telah menjadi gila karena ia paksa minum obat beracun.
“Kau dan Sutemu memang orang-orang tidak waras, kalau sehat bagaimana malam-malam datang ke tempat tinggal orang lain mencari Sutemu?”
Mo-kai Nyo Tiang Le merasa segan untuk bermusuh melawan Ban Sai Cinjin yang lihai dan disitu masih ada tosu tua yang nampaknya berkepandaian tinggi itu. Juga ia masih merasa heran mendengar percakapan antara tosu itu dengan Kam Seng, maka ia pikir lebih baik mengajak pemuda itu pergi dari tempat berbahaya ini.
“Sudahlah, aku tak mau mengganggu terlebih jauh. Hayo, Kam Seng, kita pergi dari sini!” katanya mengajak pemuda itu.
Akan tetapi, sungguh di luar dugaan sama sekali jawaban yang ia dengar dari mulut pemuda itu,
“Tidak, aku tidak pergi dari sini. Di sinilah tempatku bersama suhuku yang baru Wi Kong Siansu!”
Barulah Mo-kai Nyo Tiang Le tahu bahwa tosu itu adalah Toat-beng Lomo yang amat terkenal. Ia terkejut sekali, akan tetapi keheranannya lebih besar lagi.
“Apa katamu? Kam Seng, apa artinya ini? Apakah kau sudah gila?”
Pemuda itu memandangnya tajam.
“Tidak, Mo-kai Nyo Tiang Le, kaulah yang gila kalau kau kira akan dapat memaksaku untuk menjadi pengemis, hidup berkeliaran, pakaian tidak karuan, makan tak tentu. Aku tidak mau mengikuti kau terus. Kau, pergilah dari sini!”
Marahlah Mo-kai Nyo Tiang Le mendengar ucapan ini. Tak pernah disangkanya bahwa pemuda yang biasanya pendiam dan penurut itu kini berubah menjadi sedemikian kurang ajar.
“Kam Seng…! Kau murid durhaka! Kalau kau tidak mau pergi, terpaksa aku harus binasakan kau lebih dulu agar kelak tidak mencemarkan namaku!”
Tiba-tiba Kam Seng tersenyum.
“Hm, Mo-kai Nyo Tiang Le! Ketahuilah siapa sebenarnya aku. Aku adalah putera dari Ang-ho Sian-kiam Song Kun, dan aku telah bersumpah untuk membalas kematian ayahku kepada Pendekar Bodoh! Nah, apakah kau tidak mau lekas pergi dari sini? Aku masih mengingat akan sedikit kebaikanmu yang telah menurunkan sedikit ilmu silat tak berarti kepadaku. Kalau kau tidak lekas pergi, jangan menganggap aku keterlaluan kalau terpaksa turun tangan melawan dan mengusirmu!”
Serasa meledak dada Mo-kai Nyo Tiang Le. Sepasang matanya menjadi merah bagaikan terbakar dan rambutnya yang tidak karuan itu menjadi kaku berdiri.
“Murid durhaka! Manusia berhati rendah!”
Akan tetapi, Kam Seng dengan marah sekali telah mengeluarkan beberapa butir Thi-tho-ci dan mengayun senjata-senjata rahasia itu ke arah Mo-kai Nyo Tiang Le sambil berseru,
“Kau pergilah!”
Dengan amarah yang meluap-luap Mo-kai Nyo Tiang Le menyambut datangnya senjata-senjata rahasia itu dengan gerakan tangan kirinya yang menangkis dan memukul runtuh beberapa senjata-senjata rahasia itu, kemudian sambil berseru keras ia lalu melancarkan serangannya yang hebat yaitu pukulan Soan-hong-jiu yang dilakukan dengan tenaga penuh ke arah bekas muridnya itu!
Kam Seng maklum akan kelihaian pukulan ini, akan tetapi karena ia tahu pula bahwa mengelak dari pukulan ini selain sia-sia juga amat berbahaya, terpaksa ia pun mengerahkan tenaganya dan melakukan gerakah pukulan yang sama.
Biarpun jarak diantara mereka ada dua tombak lebih jauhnya, namun angin pukulan Soan-hong-jiu dari Mo-kai Nyo Tiang Le ini menyambar hebat sekali ke arah Kam Seng. Pemuda ini juga melakukan pukulan Soan-hong-jiu dengan tenaga khi-kang sepenuhnya untuk menangkis.
Dua angin pukulan bertemu dan akibatnya Kam Seng terlempar ke belakang sampai tubuhnya menimpa dinding di belakangnya! Namun tangkisannya itu menyelamatkan jiwanya, karena sedikitnya telah membentur tenaga pukulan bekas supeknya dan ia hanya terlempar saja tanpa menderita luka.
“Kau harus mampus!”
Mo-kai Nyo Tiang Le berseru sambil melompat ke arah bekas muridnya untuk memberi pukulan maut. Akan tetapi, tiba-tiba dari sebelah kiri berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu Wi Kong Siansu telah berada di depannya dan tersenyum mengejek.
“Wi Kong Siansu! Jangan kau ikut-ikut! Tidak ada orang kang-ouw yang begitu tidak tahu malu untuk mencampuri urusan antara guru dan muridnya sendiri!” teriak Mo-kai Nyo Tiang Le marah sekali.
Wi Kong Siansu tertawa bergelak.
“Mo-kai, kau lupa bahwa pemuda ini bukan muridmu lagi! Ia telah menyatakan tidak sudi menjadi muridmu dan kau harus ingat lagi bahwa dia kini telah menjadi murid pinto! Apakah kau kira pinto dapat berpeluk tangan saja melihat murid pinto hendak dibinasakan olehmu?”
Saking marahnya Mo-kai Nyo Tiang Le menjadi nekat.
“Bagus!” teriaknya “Hendak kulihat sampai dimana kehebatan Toat-beng Lo-mo!”
“Ha-ha! Majulah, mari kita main-main sebentar!” jawab tosu itu.
Nyo Tiang Le menyerang dengan cepat dan bertubi-tubi. Akan tetapi, tosu yang berilmu tinggi itu dengan tenangnya dapat mengelak dan membalas dengan serangannya. Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu ini melayani Pengemis Iblis dengan kedua ujung lengan bajunya yang panjang yang menyambar-nyambar dengan totokan-totokan ke arah jalan darah.
Setiap sambaran ujung lengan baju membawa angin keras dan berat sekali. Mo-kai Nyo Tiang Le terkejut ketika menyaksikan betapa angin pukulan Soan-hong-jiu yang dipergunakannya selain terpental kembali tiap kali terbentur oleh ujung lengan baju itu dan maklumlah ia bahwa dalam hal tenaga lwee-kang dan khi-kang, ia masih kalah setingkat!
Oleh karena merasa percuma saja melawan tosu lihai ini, Mo-kai Nyo Tiang Le membuat gerakan mengalah, yaitu melompat mundur beberapa tindak sambil berkata,
“Toat-beng Lo-mo, kepandaianmu benar-benar mengagumkan! Perkenankan aku pergi membawa muridku yang murtad!”
Sambil berkata demikian, ia melompat hendak menyambar tubuh Kam Seng yang berdiri di sudut akan tetapi Wi Kong Siansu telah mendahuluinya dan kembali menghadang di depannya.
“Mo-kai! Jangan kau lanjutkan kehendakmu yang salah ini. Kau pergilah dengan aman, dan pinto takkan mengganggumu. Akan tetapi kalau kau berkeras hendak mencelakakan muridku, terpaksa pinto harus turun tangan!”
Mo-kai Nyo Tiang Le menjadi makin marah. Ia maklum bahwa ia akan sukar sekali dapat menangkan tosu ini, akan tetapi kalau ia mundur, berarti bahwa ia telah menurunkan kehormatannya dengan rendah sekali. Bagi seorang gagah, soal kehormatan lebih penting dan lebih mahal daripada nyawa. Muridnya berlaku khianat dan durhaka, sudah menjadi haknya untuk menghukum murid itu. Kalau ada orang lain yang menghalanginya, itu berarti penghinaan yang amat besar.
Sambil berseru keras, Mo-kai Nyo Tiang Le lalu mencabut tongkatnya yang tadi diselipkan di ikat pinggang depan. Kemudian ia lalu menotok ke arah leher tosu itu dengan gerak tipu Sian-jin-tit-lou (Dewa Menunjukkan Jalan).
“Bagus!” seru Wi Kong Siansu yang segera mengebut dengan ujung lengan bajunya sebelah kiri, kemudian ia lalu mengibaskan lengan baju kanan ke arah kepala lawannya dengan gerak tipu Burung Elang Menyambar Ayam.
Nyo Tiang Le cepat mengelak dan ia lalu memutar tongkatnya dengan hebat sekali. Tongkat pendek itu terputar-putar bagaikan kitiran, berubah menjadi gulungan sinar yang amat kuat dan dapat berkelebatan ujungnya menotok ke arah jalan darah di tubuh lawan. Inilah ilmu tongkat dari Hoa-san-pai yang lihai sekali, karena setiap serangan dapat mendatangkan maut!
Akan, tetapi Wi Kong Siansu adalah tokoh persilatan yang sudah banyak pengalaman dan kepandaiannya tinggi sekali. Ia telah tahu akan ilmu tongkat Hoa-san-pai ini, maka biarpun ia tidak menggunakan senjata, kedua ujung lengan bajunya sudah cukup untuk memunahkan semua serangan Nyo Tiang Le. Nampaknya ia hanya menggerakkan kedua ujung lengan baju itu perlahan dan lambat saja, akan tetapi angin gerakannya demikian kuat sehingga tiap kali ujung tongkat Mo-kai menyerang, selalu kena ditolak oleh ujung lengan baju itu.
Setelah menyerang selama tiga puluh jurus lebih belum juga dapat mendesak lawannya yang tangguh, bahkan gulungan sinar tongkatnya makin lemah, tiba-tiba Mo-kai Nyo Tiang Le berseru keras dan tubuhnya bergulingan ke atas lantai sambil melakukan penyerangan hebat dan bertubi-tubi dari bawah! Inilah ilmu tongkat Hoa-san-pai yang paling lihai dan disebut gerak tipu Naga Sakti Mempermainkan Mustika!
Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu terkejut juga melihat cara penyerangan yang hebat dan berbahaya ini. Ujung tongkat lawannya menyambar-nyambar dari bawah dibarengi dengan tubuh lawannya yang bergulung-gulung dan mengejarnya ke mana juga ia melompat.
Ia telah mengenal ilmu silat ini, akan tetapi oleh karena ilmu meringankan tubuh dari Mo-kai Nyo Tiang Le memang hebat, maka kelihaian penyerangan ini sungguh mengatasi dugaannya! Ketika ia melompat untuk mengelak dari tusukan yang diarahkan kepada pusarnya, tiba-tiba Mo-kai Nyo Tiang Le berseru keras dan melompat pula, dengan cara yang amat tak terduga merubah serangannya dengan gerak tipu Monyet Tua Menyambar Bunga, langsung menusukkan tongkatnya ke arah ulu hati tosu itu! Serangan ini amat cepat dan tak terduga sehingga sukar untuk dielakkan lagi.
Akan tetapi Wi Kong Siansu benar-benar mengagumkan. Ia amat tenang dan tidak menjadi gugup. Dengan ujung lengan baju sebelah kiri ia menyabet ujung tongkat itu dan lengan baju sebelah kanan untuk menyabet pula sehingga kain ini kini melibat tongkat lawannya. Sekarang dua ujung lengan baju itu telah membelit tongkat, tak dapat dilepaskan lagi.
Melihat kesempatan baik ini, dengan girang Nyo Tiang Le lalu menggerakkan tangan kirinya, dengan jari tangan terbuka ia memukul kepala tosu itu dengan pukulan Soan-hong-jiu yang hebat!
Kalau pukulan ini mengenai kepala tosu itu biarpun ia amat kuat dan lihai, agaknya ia akan mendapat luka di dalam kepala dan nyawanya takkan dapat diselamatkan lagi. Akan tetapi, dengan gerakan yang amat cepatnya, tosu itu menarik kepalanya ke bawah lalu melakukan serangan dengan kepalanya itu, diserudukkan ke arah dada Nyo Tiang Le, di bawah lengan kiri yang memukulnya!
Nyo Tiang, Le terkejut sekali, menahan napas dan mengumpulkan lwee-kangnya pada dada untuk menyambut benturan kepala yang tak dapat dielakkan ataupun ditangkis lagi itu.
“Duk…!!”
Tubuh Nyo Tiang Le terpental sampal dua tombak lebih, sedangkan Wi Kong Siansu nampak pucat dan terhuyung-huyung. Akan tetapi pada saat itu dapat mengatur napasnya kembali sedangkan Nyo Tiang Le setelah terguling sambil muntah darah merah dari mulut, ternyata juga dapat melompat berdiri lagi!
Akan tetapi pada saat itu, dari sebelah kanannya menyambar benda hitam kekuningan ke arah kepalanya. Ia terkejut dan mengelak cepat, akan tetapi terlambat! Terdengar suara “tak!” ketika kepala huncwe di tangan Ban Sai Cinjin mengenai batok kepalanya. Seketika itu juga Nyo Tiang Le merasa kepalanya pening dan matanya gelap. Tiba-tiba ia berbangkis beberapa kali, lalu tertawa bergelak dan ia lalu melompat keluar di dalam gelap, terus melarikan diri!
Ban Sai Cinjin tertawa terbahak-bahak.
“Ia telah terluka di dalam otaknya, sekarang ia hanya kehilangan ingatannya saja, akan tetapi tak lama lagi ia akan roboh dan mampus!”
Kam Seng terkejut sekali mendengar ucapan ini dan hatinya merasa ngeri. Sesungguhnya ia tidak mengira bahwa supeknya akan mengalami nasib sehebat itu. Tadinya ia hanya bermaksud untuk melepaskan diri dari Mo-kai Nyo Tiang Le untuk berguru kepada tosu itu dan untuk mendapatkan harapan baru dalam cita-citanya membalas dendam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar