Ia mengangguk dan hendak pergi meninggalkan kakek itu. Akan tetapi orang tua itu melangkah maju dan berkata,
“Nona, kalau aku mempersilakan kau masuk ke dalam gubukku, itu berarti aku menawarkan tempat ini untuk kau tinggal malam ini. Tentu saja kalau kau sudi menempati rumah yang buruk dan kecil ini. Dan aku berani menawarkan rumahku, oleh karena aku maklum bahwa di dalam dusun ini kau takkan dapat menemukan rumah penginapan. Nah, sudikah kau?”
Melihat sikap yang sungguh-sungguh dari kakek itu dan melihat pandang matanya yang jujur, Goat Lan terpaksa melangkah masuk sambil tersenyum menyatakan terima kasihnya.
Di luar dugaannya semula, biarpun rumah itu dari luar nampak amat buruk dan di dalamnya juga amat sederhana, namun benar-benar bersih dan menyenangkan. Sebuah lampu terletak menyala di atas meja kayu yang sederhana bentuknya akan tetapi yang seringkali bertemu dengan kain pembersih.
Di kanan kiri meja itu terdapat dua buah bangku kayu yang sederhana pula. Dari ruang depan yang kecil ini nampak dua buah pintu kamar di kanan kiri yang tertutup oleh muili (tirai pintu) yang berwarna kuning dan cukup bersih sungguhpun sudah ada beberapa tambalan disana sini.
Kakek itu mempersilakan Goat Lan mengambil tempat duduk di atas bangku. Lalu ia sendiri mengeluarkan sebotol arak dan dua cawan kosong dari peti besi yang berdiri di sudut.
“Aku orang miskin, Nona, seperti sebagian besar orang yang tinggal disini.”
“Kau maksudkan, seperti sebagian besar manusia di dunia ini,” menyambung Goat Lan. “Kemiskinan bukanlah hal yang menyusahkan hati, Lopek.”
Kembali kakek itu tercengang dan wajahnya berseri.
“Mendengar ucapanmu, hampir aku percaya bahwa kau adalah seorang gadis petani yang sederhana dan bijaksana. Akan tetapi tak mungkin seorang gadis petani mempunyai wajah seperti kau dan pakaianmu pula. Ah, kau tentulah seorang gadis bangsawan yang kaya raya.”
Sebelum Goat Lan membantah kakek itu telah menaruh botol arak di atas meja, lalu cepat berkata lagi.
“Kau tentu belum makan, Nona? Tunggulah, biar aku masak bubur untukmu.”
Goat Lan cepat mencegah dan segera mengeluarkan sepotong uang perak.
“Jangan repot-repot, Lopek. Memang aku lapar dan belum makan semenjak pagi tadi, akan tetapi kalau kau suka, tolonglah belikan nasi dan sedikit masakan dengan uang ini.”
Kakek itu memandang ke arah uang perak di atas meja dan tersenyum pahit, kemudian ia mengambil uang itu dan tanpa banyak cakap lagi ia lalu bertindak keluar.
“Lopek, jangan lupa, beli untuk dua orang. Aku tidak mau makan sendiri saja!” Goat Lan berseru kepada kakek itu yang hanya menjawab dengan anggukan kepala.
Goat Lan yang sudah banyak menerima banyak pesan dari ayah bundanya agar supaya berlaku hati-hati setelah kakek itu keluar, cepat ia mengadakan pemeriksaan di dalam rumah itu.
Disingkapnya tirai pintu kamar dan dilongoknya ke dalam. Kamar tidur biasa saja dan amat sederhana. Demikian pun kamar tidur ke dua. Rumah ini benar-benar kosong, tidak ada orang lain dan agaknya menjadi tempat tinggal dari dua orang, melihat adanya dua buah kamar tidur itu.
Ia lalu membuka tutup botol arak dan mencicipi sedikit. Arak biasa saja, arak merah yang sudah dicampur air. Ia lalu duduk lagi dengan lega. Tak dapat diragukan lagi bahwa kakek itu adalah seorang petani miskin yang sederhana dan jujur. Kalau memang di dusun ini tidak ada rumah penginapan, tidak ada tempat yang lebih aman dan baik daripada rumah Pak Tani ini.
Goat Lan menurunkan buntalan pakaian dari pundaknya dan meletakkannya di atas meja, lalu ia duduk melonjorkan kedua kakinya yang penat. Kakek yang aneh, pikirnya, mengapa ia begitu takut kepada hutan itu?
Tak lama kemudian kakek itu datang membawa makanan. Tanpa banyak cakap mereka berdua lalu makan bersama bagaikan keluarga serumah. Entah mengapa, duduk makan bersama kakek di dalam rumah sederhana itu membuat Goat Lan teringat kepada ayah bundanya!
Setelah selesai makan, barulah Goat Lan bertanya mengapa kakek itu melarangnya memasuki hutan liar itu. Sebelum menjawab, kakek itu mengusap perutnya dan berkata,
“Ah, alangkah nikmatnya makan masakan mahal itu. Sudah bertahun-tahun tidak merasai makanan sesedap itu.”
Goat Lan tersenyum dan hatinya girang bahwa sedikit uangnya dapat mendatangkan kenikmatan kepada kakek yang ramah tamah ini.
“Kalau setiap hari kau masak masakan seperti ini, akan lenyaplah kelezatannya, Lopek.”
“Kau benar!” kakek itu berseru gembira. “Kau mengingatkan aku akan dongeng tentang raja yang sudah bosan dengan semua kemewahan dan makanan enak yang setiap hari dihadapinya sehingga ia tidak doyan lagi makanan-makanan lezat dan mahal yang dihadapinya dan ingin ia menjadi seorang petani yang dapat makan hidangan sederhana dengan lahapnya. Ia tidak tahu sama sekali betapa sambil makan hidangannya yang miskin, petani itu pun merindukan makanan lezat yang didadap raja. Ha-ha!”
Goat Lan mengangguk.
“Demikianlah napsu angkara mempermainkan hati manusia, Lopek. Selalu bosan akan keadaan diri sendiri dan selalu ingin menjangkau apa yang tidak dimilikinya.”
“Kau pintar sekali! Ha-ha, kau sungguh mengagumkan, Nona.”
“Lopek, kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Mengapakah kau nampak begitu takut kepada hutan itu dan mengapa pula kau mencegahku memasukinya?”
Tiba-tiba lenyaplah kegembiraan pada wajah kakek itu. Ia menghela napas beberapa kali lalu menceritakan dengan suara perlahan.
“Hutan itu memang semenjak dulu amat liar. Selain banyak terdapat binatang buas, terutama sekali ular-ular berbisa, juga belum lama ini di dalam hutan itu muncul seorang siluman yang amat mengerikan! Dahulu di dalam hutan itu terdapat segerombolan perampok yang mempergunakan hutan itu sebagai asrama akan tetapi begitu siluman itu muncul, pada suatu pagi para perampok yang jumlahnya tiga puluh orang lebih tahu-tahu telah menggeletak di luar hutan dalam keadaan luka-luka hebat dan bertumpuk-tumpuk! Dan menurut cerita mereka, katanya pada malam hari itu mereka diserang oleh seorang siluman wanita yang mengerikan! Semenjak saat itu, tidak ada perampok lagi yang mengganggu sekitar daerah ini, akan tetapi juga tidak ada seorang pun manusia berani memasuki hutan yang mengerikan itu.”
Goat Lan merasa amat tertarik mendengan cerita ini.
“Benar-benar tidak pernah ada orang yang berani memasuki hutan itu, Lopek?” ia bertanya.
Orang tua itu mengerutkan keningnya.
“Semenjak saat itu memang tak pernah ada manusia yang lewat disini dan terus menuju ke hutan. Kukatakan manusia, karena tentu saja yang berani memasuki hutan itu hanya iblis-iblis dan siluman-siluman, bukan manusia biasa seperti yang kulihat kemarin.”
Kakek itu nampak takut-takut dan merasa ngeri ketika ia memandang ke arah pintu depan yang terbuka dan nampak hitam kelam di luar.
“Apa maksudmu, Lopek? Ada iblis dan siluman yang kau lihat memasuki hutan itu?” ketika mengajukan pertanyaan ini, biarpun Goat Lan seorang dara perkasa yang tak kenal takut, namun kini ia merasa betapa bulu tengkuknya meremang!
“Betul, memang mereka bukan manusia!” Kakek itu mengangguk dan berkata sambil berbisik, “Aku melihat empat bayangan yang seperti sosok bayangan manusia, akan tetapi luar biasa anehnya. Baru cara mereka berjalan saja sudah aneh, demikian cepatnya seperti terbang! Memang, kurasa mereka itu berjalan tidak menginjak bumi seperti biasa iblis berjalan, melayang-layang satu kaki di atas tanah! Dan bentuk tubuh mereka, sungguh ganjil! Yang tinggi berkepala kecil, yang pendek berkepala besar. Huh, sungguh menyeramkan!”
“Berapa orangkah semuanya, Lopek?”
“Ada empat! Yang seorang seperti manusia biasa, akan tetapi yang tiga orang, ah, aku masih menggigil ketakutan kalau teringat akan mereka! Maka, sekali lagi aku minta agar supaya kau membatalkan niatmu memasuki hutan itu, Nona. Kalau kau hendak melakukan perjalanan, jangan sekali-kali berani memasuki hutan yang penuh siluman dan binatang buas itu.”
Goat Lan tersenyum.
“Percayalah, Lopek, mendengar ceritamu tadi, aku pun merasa takut dan ngeri. Akan tetapi, tentang memasuki hutan, aku takkan mundur. Besok pagi-pagi aku tetap akan melanjutkan perjalananku memasuki hutan itu, dan apabila seperti yang kau katakan tadi…”
“Apa yang hendak kau lakukan? Apa dayamu terhadap siluman-siluman yang pandai terbang melayang? Nona, jangan kau mencari penyakit!”
Goat Lan tersenyum lagi.
“Kalau bertemu dengan mereka, akan kusampaikan salammu kepada mereka, Lopek.”
Kakek itu melengak dan memandang kepada dara perkasa itu dengan mata terbelalak.
“Nona, jangan kau main-main! Tiga puluh lebih perampok yang gagah perkasa dan kuat roboh luka-luka tak berdaya menghadapi seorang siluman wanita dari hutan itu. Apalagi Nona hanya gadis muda, dan kini dalam hutan itu terdapat sekian banyak siluman!”
Goat Lan tidak menyembunyikan senyumannya.
“Lopek, jangan kau khawatir. Sesungguhnya aku pernah mempelajari ilmu kepandaian dan tahu cara bagaimana harus menghadapi dan mengalahkan siluman-siluman!”
Tiba-tiba gadis itu memandang ke arah pintu dan alangkah kagetnya hati kakek itu ketika melihat gadis itu sekali berkelebat telah lenyap dari hadapannya dan terdengar seruan gadis itu dari luar pintu.
“Siluman dari mana mengintai rumah orang?”
Terdengar suara angin di luar pintu dan ketika kakek itu memburu keluar, ia melihat dua bayangan orang berkelebat seperti sedang bertempur! Tak lama kemudian terdengar seruan seorang laki-laki yang suaranya parau,
“Aduh…”
Dan terlihat olehnya betapa bayangan yang berseru kesakitan itu berlari cepat ke arah hutan! Ketika kakek itu masih memandang dengan tubuh menggigil dan muka pucat, ia melihat bayangan ke dua, melompat di depannya dan ternyata bahwa bayangan ini adalah bayangan gadis yang tadi duduk berhadapan dengan dia.
“Jangan takut, Lopek. Siluman tadi telah pergi.” Ia lalu memegang lengan kakek itu dan dibawanya masuk ke dalam pondok.
Kedua mata kakek itu hampir keluar dari rongganya ketika ia memandang kepada Goat Lan dengan mata terbelalak. Sukar sekali dapat dipercaya betapa seorang gadis cantik jelita dan jenaka seperti ini benar-benar dapat mengusir pergi seorang siluman jahat! Kemudian dalam benaknya yang telah banyak dipengaruhi cerita tahyul itu timbullah sangkaan bahwa gadis ini tentulah seorang bidadari, bukan seorang manusia biasa. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Goat Lan dan berkata,
“Niang-niang (sebutan untuk bidadari atau dewi), mohon maaf sebanyaknya bahwa hamba tadi berani berlaku kurang ajar dan kurang menghormat. Harap Niang-niang sudi mengampunkan dosa hamba tadi…”
Hampir saja Goat Lan tertawa bergelak-gelak ketika menyaksikan tingkah laku orang tua ini. Ia merasa geli sekali dan dengan agak kasar ia membetot tangan kakek itu supaya bangun dan berdiri kembali.
“Lopek, apakah kau mengajak aku bermain sandiwara? Jangan menyangka yang bukan-bukan Lopek, dan marilah kita mengaso. Aku perlu beristirahat untuk menghadapi hari esok.”
Ia lalu memasuki sebuah diantara dua kamar itu dan merebahkan diri di atas pembaringan tanpa membuka pakaian dan sepatu. Kakek itu setelah berkali-kali menarik napas panjang saking heran dan kagum, lalu menutup pintu dan buru-buru memasuki kamar ke dua.
Akan tetapi bagaimana ia dapat tidur? Pikirannya penuh dengan siluman-siluman dan dewi yang gagah perkasa itu dan diam-diam ia merasa girang sekali bahwa ia telah mendapat kehormatan besar menjadi tuan rumah dari seorang bidadari atau dewi. Ia akan menceritakan hal ini kepada semua tetangga, dan ia akan menjadikan peristiwa ini sebagai kebanggaannya seumur hidup.
“Nona, kalau aku mempersilakan kau masuk ke dalam gubukku, itu berarti aku menawarkan tempat ini untuk kau tinggal malam ini. Tentu saja kalau kau sudi menempati rumah yang buruk dan kecil ini. Dan aku berani menawarkan rumahku, oleh karena aku maklum bahwa di dalam dusun ini kau takkan dapat menemukan rumah penginapan. Nah, sudikah kau?”
Melihat sikap yang sungguh-sungguh dari kakek itu dan melihat pandang matanya yang jujur, Goat Lan terpaksa melangkah masuk sambil tersenyum menyatakan terima kasihnya.
Di luar dugaannya semula, biarpun rumah itu dari luar nampak amat buruk dan di dalamnya juga amat sederhana, namun benar-benar bersih dan menyenangkan. Sebuah lampu terletak menyala di atas meja kayu yang sederhana bentuknya akan tetapi yang seringkali bertemu dengan kain pembersih.
Di kanan kiri meja itu terdapat dua buah bangku kayu yang sederhana pula. Dari ruang depan yang kecil ini nampak dua buah pintu kamar di kanan kiri yang tertutup oleh muili (tirai pintu) yang berwarna kuning dan cukup bersih sungguhpun sudah ada beberapa tambalan disana sini.
Kakek itu mempersilakan Goat Lan mengambil tempat duduk di atas bangku. Lalu ia sendiri mengeluarkan sebotol arak dan dua cawan kosong dari peti besi yang berdiri di sudut.
“Aku orang miskin, Nona, seperti sebagian besar orang yang tinggal disini.”
“Kau maksudkan, seperti sebagian besar manusia di dunia ini,” menyambung Goat Lan. “Kemiskinan bukanlah hal yang menyusahkan hati, Lopek.”
Kembali kakek itu tercengang dan wajahnya berseri.
“Mendengar ucapanmu, hampir aku percaya bahwa kau adalah seorang gadis petani yang sederhana dan bijaksana. Akan tetapi tak mungkin seorang gadis petani mempunyai wajah seperti kau dan pakaianmu pula. Ah, kau tentulah seorang gadis bangsawan yang kaya raya.”
Sebelum Goat Lan membantah kakek itu telah menaruh botol arak di atas meja, lalu cepat berkata lagi.
“Kau tentu belum makan, Nona? Tunggulah, biar aku masak bubur untukmu.”
Goat Lan cepat mencegah dan segera mengeluarkan sepotong uang perak.
“Jangan repot-repot, Lopek. Memang aku lapar dan belum makan semenjak pagi tadi, akan tetapi kalau kau suka, tolonglah belikan nasi dan sedikit masakan dengan uang ini.”
Kakek itu memandang ke arah uang perak di atas meja dan tersenyum pahit, kemudian ia mengambil uang itu dan tanpa banyak cakap lagi ia lalu bertindak keluar.
“Lopek, jangan lupa, beli untuk dua orang. Aku tidak mau makan sendiri saja!” Goat Lan berseru kepada kakek itu yang hanya menjawab dengan anggukan kepala.
Goat Lan yang sudah banyak menerima banyak pesan dari ayah bundanya agar supaya berlaku hati-hati setelah kakek itu keluar, cepat ia mengadakan pemeriksaan di dalam rumah itu.
Disingkapnya tirai pintu kamar dan dilongoknya ke dalam. Kamar tidur biasa saja dan amat sederhana. Demikian pun kamar tidur ke dua. Rumah ini benar-benar kosong, tidak ada orang lain dan agaknya menjadi tempat tinggal dari dua orang, melihat adanya dua buah kamar tidur itu.
Ia lalu membuka tutup botol arak dan mencicipi sedikit. Arak biasa saja, arak merah yang sudah dicampur air. Ia lalu duduk lagi dengan lega. Tak dapat diragukan lagi bahwa kakek itu adalah seorang petani miskin yang sederhana dan jujur. Kalau memang di dusun ini tidak ada rumah penginapan, tidak ada tempat yang lebih aman dan baik daripada rumah Pak Tani ini.
Goat Lan menurunkan buntalan pakaian dari pundaknya dan meletakkannya di atas meja, lalu ia duduk melonjorkan kedua kakinya yang penat. Kakek yang aneh, pikirnya, mengapa ia begitu takut kepada hutan itu?
Tak lama kemudian kakek itu datang membawa makanan. Tanpa banyak cakap mereka berdua lalu makan bersama bagaikan keluarga serumah. Entah mengapa, duduk makan bersama kakek di dalam rumah sederhana itu membuat Goat Lan teringat kepada ayah bundanya!
Setelah selesai makan, barulah Goat Lan bertanya mengapa kakek itu melarangnya memasuki hutan liar itu. Sebelum menjawab, kakek itu mengusap perutnya dan berkata,
“Ah, alangkah nikmatnya makan masakan mahal itu. Sudah bertahun-tahun tidak merasai makanan sesedap itu.”
Goat Lan tersenyum dan hatinya girang bahwa sedikit uangnya dapat mendatangkan kenikmatan kepada kakek yang ramah tamah ini.
“Kalau setiap hari kau masak masakan seperti ini, akan lenyaplah kelezatannya, Lopek.”
“Kau benar!” kakek itu berseru gembira. “Kau mengingatkan aku akan dongeng tentang raja yang sudah bosan dengan semua kemewahan dan makanan enak yang setiap hari dihadapinya sehingga ia tidak doyan lagi makanan-makanan lezat dan mahal yang dihadapinya dan ingin ia menjadi seorang petani yang dapat makan hidangan sederhana dengan lahapnya. Ia tidak tahu sama sekali betapa sambil makan hidangannya yang miskin, petani itu pun merindukan makanan lezat yang didadap raja. Ha-ha!”
Goat Lan mengangguk.
“Demikianlah napsu angkara mempermainkan hati manusia, Lopek. Selalu bosan akan keadaan diri sendiri dan selalu ingin menjangkau apa yang tidak dimilikinya.”
“Kau pintar sekali! Ha-ha, kau sungguh mengagumkan, Nona.”
“Lopek, kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Mengapakah kau nampak begitu takut kepada hutan itu dan mengapa pula kau mencegahku memasukinya?”
Tiba-tiba lenyaplah kegembiraan pada wajah kakek itu. Ia menghela napas beberapa kali lalu menceritakan dengan suara perlahan.
“Hutan itu memang semenjak dulu amat liar. Selain banyak terdapat binatang buas, terutama sekali ular-ular berbisa, juga belum lama ini di dalam hutan itu muncul seorang siluman yang amat mengerikan! Dahulu di dalam hutan itu terdapat segerombolan perampok yang mempergunakan hutan itu sebagai asrama akan tetapi begitu siluman itu muncul, pada suatu pagi para perampok yang jumlahnya tiga puluh orang lebih tahu-tahu telah menggeletak di luar hutan dalam keadaan luka-luka hebat dan bertumpuk-tumpuk! Dan menurut cerita mereka, katanya pada malam hari itu mereka diserang oleh seorang siluman wanita yang mengerikan! Semenjak saat itu, tidak ada perampok lagi yang mengganggu sekitar daerah ini, akan tetapi juga tidak ada seorang pun manusia berani memasuki hutan yang mengerikan itu.”
Goat Lan merasa amat tertarik mendengan cerita ini.
“Benar-benar tidak pernah ada orang yang berani memasuki hutan itu, Lopek?” ia bertanya.
Orang tua itu mengerutkan keningnya.
“Semenjak saat itu memang tak pernah ada manusia yang lewat disini dan terus menuju ke hutan. Kukatakan manusia, karena tentu saja yang berani memasuki hutan itu hanya iblis-iblis dan siluman-siluman, bukan manusia biasa seperti yang kulihat kemarin.”
Kakek itu nampak takut-takut dan merasa ngeri ketika ia memandang ke arah pintu depan yang terbuka dan nampak hitam kelam di luar.
“Apa maksudmu, Lopek? Ada iblis dan siluman yang kau lihat memasuki hutan itu?” ketika mengajukan pertanyaan ini, biarpun Goat Lan seorang dara perkasa yang tak kenal takut, namun kini ia merasa betapa bulu tengkuknya meremang!
“Betul, memang mereka bukan manusia!” Kakek itu mengangguk dan berkata sambil berbisik, “Aku melihat empat bayangan yang seperti sosok bayangan manusia, akan tetapi luar biasa anehnya. Baru cara mereka berjalan saja sudah aneh, demikian cepatnya seperti terbang! Memang, kurasa mereka itu berjalan tidak menginjak bumi seperti biasa iblis berjalan, melayang-layang satu kaki di atas tanah! Dan bentuk tubuh mereka, sungguh ganjil! Yang tinggi berkepala kecil, yang pendek berkepala besar. Huh, sungguh menyeramkan!”
“Berapa orangkah semuanya, Lopek?”
“Ada empat! Yang seorang seperti manusia biasa, akan tetapi yang tiga orang, ah, aku masih menggigil ketakutan kalau teringat akan mereka! Maka, sekali lagi aku minta agar supaya kau membatalkan niatmu memasuki hutan itu, Nona. Kalau kau hendak melakukan perjalanan, jangan sekali-kali berani memasuki hutan yang penuh siluman dan binatang buas itu.”
Goat Lan tersenyum.
“Percayalah, Lopek, mendengar ceritamu tadi, aku pun merasa takut dan ngeri. Akan tetapi, tentang memasuki hutan, aku takkan mundur. Besok pagi-pagi aku tetap akan melanjutkan perjalananku memasuki hutan itu, dan apabila seperti yang kau katakan tadi…”
“Apa yang hendak kau lakukan? Apa dayamu terhadap siluman-siluman yang pandai terbang melayang? Nona, jangan kau mencari penyakit!”
Goat Lan tersenyum lagi.
“Kalau bertemu dengan mereka, akan kusampaikan salammu kepada mereka, Lopek.”
Kakek itu melengak dan memandang kepada dara perkasa itu dengan mata terbelalak.
“Nona, jangan kau main-main! Tiga puluh lebih perampok yang gagah perkasa dan kuat roboh luka-luka tak berdaya menghadapi seorang siluman wanita dari hutan itu. Apalagi Nona hanya gadis muda, dan kini dalam hutan itu terdapat sekian banyak siluman!”
Goat Lan tidak menyembunyikan senyumannya.
“Lopek, jangan kau khawatir. Sesungguhnya aku pernah mempelajari ilmu kepandaian dan tahu cara bagaimana harus menghadapi dan mengalahkan siluman-siluman!”
Tiba-tiba gadis itu memandang ke arah pintu dan alangkah kagetnya hati kakek itu ketika melihat gadis itu sekali berkelebat telah lenyap dari hadapannya dan terdengar seruan gadis itu dari luar pintu.
“Siluman dari mana mengintai rumah orang?”
Terdengar suara angin di luar pintu dan ketika kakek itu memburu keluar, ia melihat dua bayangan orang berkelebat seperti sedang bertempur! Tak lama kemudian terdengar seruan seorang laki-laki yang suaranya parau,
“Aduh…”
Dan terlihat olehnya betapa bayangan yang berseru kesakitan itu berlari cepat ke arah hutan! Ketika kakek itu masih memandang dengan tubuh menggigil dan muka pucat, ia melihat bayangan ke dua, melompat di depannya dan ternyata bahwa bayangan ini adalah bayangan gadis yang tadi duduk berhadapan dengan dia.
“Jangan takut, Lopek. Siluman tadi telah pergi.” Ia lalu memegang lengan kakek itu dan dibawanya masuk ke dalam pondok.
Kedua mata kakek itu hampir keluar dari rongganya ketika ia memandang kepada Goat Lan dengan mata terbelalak. Sukar sekali dapat dipercaya betapa seorang gadis cantik jelita dan jenaka seperti ini benar-benar dapat mengusir pergi seorang siluman jahat! Kemudian dalam benaknya yang telah banyak dipengaruhi cerita tahyul itu timbullah sangkaan bahwa gadis ini tentulah seorang bidadari, bukan seorang manusia biasa. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Goat Lan dan berkata,
“Niang-niang (sebutan untuk bidadari atau dewi), mohon maaf sebanyaknya bahwa hamba tadi berani berlaku kurang ajar dan kurang menghormat. Harap Niang-niang sudi mengampunkan dosa hamba tadi…”
Hampir saja Goat Lan tertawa bergelak-gelak ketika menyaksikan tingkah laku orang tua ini. Ia merasa geli sekali dan dengan agak kasar ia membetot tangan kakek itu supaya bangun dan berdiri kembali.
“Lopek, apakah kau mengajak aku bermain sandiwara? Jangan menyangka yang bukan-bukan Lopek, dan marilah kita mengaso. Aku perlu beristirahat untuk menghadapi hari esok.”
Ia lalu memasuki sebuah diantara dua kamar itu dan merebahkan diri di atas pembaringan tanpa membuka pakaian dan sepatu. Kakek itu setelah berkali-kali menarik napas panjang saking heran dan kagum, lalu menutup pintu dan buru-buru memasuki kamar ke dua.
Akan tetapi bagaimana ia dapat tidur? Pikirannya penuh dengan siluman-siluman dan dewi yang gagah perkasa itu dan diam-diam ia merasa girang sekali bahwa ia telah mendapat kehormatan besar menjadi tuan rumah dari seorang bidadari atau dewi. Ia akan menceritakan hal ini kepada semua tetangga, dan ia akan menjadikan peristiwa ini sebagai kebanggaannya seumur hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar