Rabu, 24 Juli 2019

Pendekar Remaja Jilid 059

“Kitab ini amat berharga,” kata suhunya dahulu, “maka jangan harap orang lain dapat mengambilnya dari aku. Aku lebih menghargai kitab ini daripada jiwaku sendiri! Dan kalau aku mati kitab ini akan kubawa serta. Karena kalau sampai terjatuh ke dalam tangan orang jahat, kitab ini akan mendatangkan malapetaka hebat kepada dunia, sungguhpun di dalam tangan orang baik-baik benda ini akan merupakan penolong manusia yang amat besar jasanya.”

Dengan bengong Goat Lan memegang kitab itu dan Im-yang Giok-cu berkata lagi,
“Aku merasa berat sekali membawa kitab ini selama melakukan perjalanan kesini, oleh karena aku pun maklum akan keinginan orang-orang kang-ouw yang menghendaki kitab ini. Di waktu kitab ini berada di tangan Sin Kong Tianglo, tidak ada yang berani mencoba-coba untuk merampasnya, akan tetapi setelah orang tua itu meninggal dunia, tentu mereka akan berusaha mendapatkan kitab ini. Oleh karena itu hati-hatilah kau menjaga kitab ini, muridku. Dan satu hal lagi, kalau kau hendak mencari obat Tohio-giok-ko, hanya satu tempat yang terdapat daun dan buah itu yaitu di sepanjang lembah Sungai Sungari di sebelah selatan kota Hailun. Nah, aku sudah memenuhi tugasku. Selamat tinggal!”

Setelah berkata demikian, Im-yang Giok-cu lalu pergi dengan cepat tanpa dapat ditahan lagi.

Kwee An dan Ma Hoa saling pandang dengan mata masih mengandung penuh kekhawatiran. Akhirnya Ma Hoa memegang tangan Goat Lan dan berkata,

“Goat Lang memang sudah seharusnya kau menjaga nama baik suhumu. Akan tetapi, kami tidak tega untuk melepasmu pergi seorang diri begitu saja. Kami akan pergi bertiga.”

“Benar kata-kata ibumu, Goat Lan. Tempat itu amat jauh dan aku sendiri bersama Pendekar Bodoh pernah melakukan perjalanan kesana dan memang tempat itu amat berbahaya.”

“Akan tetapi, Suhu Sin Kong Tianglo telah memesan agar supaya aku pergi sendiri, kalau sampai terdengar oleh orang kang-ouw bahwa aku sebagai murid Sin Kong Tianglo mengandalkan kepandaian Ayah dan lbu untuk mendapatkan obat itu, bukankah nama Suhu akan ditertawakan orang?”

“Peduli apakah kalau mereka mentertawakan di belakang punggung kita?” kata Ma Hoa. “Coba suruh mereka tertawa di depan mukaku, tentu tertawanya itu adalah tertawa terakhir dalam hidupnya!”

“Akan tetapi aku ingin pergi seorang diri, Ibu. Apabila Ayah dan Ibu ikut membantuku, aku akan merasa seakan-akan aku menyalahi pesanan terakhir daripada Suhu. Hanya kitab ini…” Ia memandang kepada kitab itu dengan penuh khidmat, “aku tidak berani membawa-bawanya pergi merantau. Lebih baik ditinggal disini di dalam perlindungan Ayah dan Ibu.”

“Goat Lan jangan berkata demikian,” ayahnya menegur. “Kalau kau pergi merantau seorang diri, kau tentu akan membikin ibumu selalu merasa gelisah dan berkhawatir selalu. Apakah kau senang melihat ibumu selalu dirundung kegelisahan memikirkan keadaanmu?”

Goat Lan menengok kepada ibunya yang juga memandangnya. Melihat sinar mata ibunya yang penuh kasih sayang dan wajah yang cantik itu kini menjadi murung, Goat Lan lalu tersenyum dan memeluk ibunya.

“Ah, Ayah! Kau jangan merendahkan Ibu! Ibu kan bukan anak kecil lagi dan Ibu sudah menaruh kepercayaan sepenuhnya kepadaku. Bukankah begitu, Ibu? Semenjak kecil, Ayah dan Ibu telah mendidik dan memberi pelajaran ilmu silat dan kepandaian untuk menjaga diri kepadaku. Bahkan delapan tahun lamanya dua orang suhuku telah menggemblengku untuk meyakinkan ilmu silat tinggi, kemudian Ayah dan Ibu memberi tambahan lagi ilmu kepandaian yang kupelajari dengan rajin. Selama bertahun-tahun itu aku selalu tekun, rajin dan dengan susah payah mempelajari ilmu silat. Kalau sekarang melakukan perjalanan sebegitu saja aku harus mundur dan takut, apa perlunya aku mempelajari ilmu silat selama ini? Bukankah hal itu hanya akan merendahkan nama kedua orang suhuku, bahkan akan mendatangkan rasa malu kepada Ayah dan Ibu? Aku telah mempelajari ilmu silat, kalau tidak sekarang dipergunakan, habis apakah kepandaian itu harus kukeram di dalam kamar, menyulam, membaca buku, mempelajari tulisan-tulisan indah dan sajak, sehingga kepandaian silat itu akan membusuk dan kemudian terlupa olehku?”

Selama puteri mereka ini bicara, Kwee An dan Ma Hoa bertukar pandang dan mata mereka bersinar gembira. Girang hati mereka mendengar semangat yang gagah ini. Lenyaplah keraguan mereka dan tanpa mereka lihat perubahannya, ternyata Goat Lan kini telah menjadi dewasa. Hanya orang yang sudah dewasa saja dapat mempunyai pendirian seperti itu.

Akhirnya keduanya menyetujui keberangkatan Goat Lan setelah memberi nasihat-nasihat dan petunjuk-petunjuk yang amat perlu diketahui seorang perantau.

“Hanya satu hal yang harus kau janjikan,” kata Ma Hoa, “yaitu kau tidak boleh pergi lebih lama dari enam bulan.”






“Baik, Ibu, aku berjanji. Perjalanan kesana pulang pergi menurut perhitungan Ayah hanya makan waktu dua bulan, maka waktu enam bulan sudah cukup bagiku.”

“Bukan karena aku ingin memberi batas waktu yang terlalu sempit dan mengikat, anakku, hanya kau harus ingat bahwa usiamu telah sembilan belas tahun dan perjanjian kita terhadap keluarga Sie sudah dekat waktunya.”

Tiba-tiba wajah Goat Lan menjadi merah. Ia memang tahu bahwa ia telah dipertunangkan dengan Sie Hong Beng, kakak dari Lili, putera dari Pendekar Bodoh yang tidak diketahui bagaimana rupanya. Ia hanya satu kali bertemu dengan Sie Hong Beng, yaitu ketika ia masih berusia lima tahun! Semenjak itu, belum pernah ia bertemu lagi dan ia sudah lupa akan rupa pemuda yang kini menjadi caIon suaminya itu.

Memang, kalau ia ingat bahwa pemuda itu adalah kakak Lili yang cantik manis dan putera dari Pendekar Bodoh yang amat terkenal sebagai suami isteri pendekar yang gagah dan dikasih sayangi oleh ayah ibunya, ia boleh merasa puas akan ikatan jodoh ini.

Namun betapapun juga, sungguhpun mulutnya tak pernah berkata sesuatu, namun ada perasaan kurang enak di dalam lubuk hati, ia belum melihat bagaimana keadaan pemuda tunangannya itu, bagaimana macam orangnya dan bagaimana pula kepandaiannya.

Goat Lan berangkat ke utara sambil membawa pesan dan nasihat kedua orang tuanya. Ia masih ingat betapa ayah ibunya beberapa kali berpesan kepadanya bahwa apabila ia bertemu dengan seorang yang bernama Bouw Hun Ti, jangan ragu-ragu dan ia diperbolehkan menyerang dan membinasakan orang itu.

“Dia adalah pembunuh Paman Yousuf dan dahulu telah menculik Lili, maka berarti bahwa dia adalah musuh besar kita pula. Menurut penuturan Pendekar Bodoh, penjahat bernama Bouw Hun Ti itu kepandaiannya tak perlu ditakutkan, akan tetapi kau berhati-hatilah Goat Lan, karena ia adalah murid dari Ban Sai Cinjin yang amat jahat dan curang.”

Bagaikan seekor burung terlepas dari kurungan, Goat Lan melakukan perjalanan dengan amat gembira. Baru kali ini ia melakukan perantauan dan melakukan segala sesuatu atas keputusan sendiri. Selama ini selalu ada orang-orang yang menjaganya, suhu-suhunya, ayah ibunya, dan baru sekarang ia merasa betapa besar kegunaan segala pelajaran ilmu silat yang dipelajarinya selama bertahun-tahun itu.

Ia tidak membekal lain senjata kecuali sepasang bambu runcingnya dan karena ayah bundanya maklum akan kemampuannya menjaga diri dengan tangan kosong atau dengan bambu runcing itu, maka mereka melepaskan dengan hati aman.

Tepat seperti yang telah diperhitungkan oleh Kwee An, kurang lebih sebulan kemudian setelah melakukan perjalanan cepat dan lancar, Goat Lan tiba di lembah sungai Sungari di perbatasan Boancu. Ia lalu berjalan di sepanjang sungai itu dan ketika ia tiba di sebelah selatan kota Hailun, ternyata bahwa lembah itu tertutup oleh hutan yang amat liar dan gelap.

Hari telah menjadi senja ketika ia tiba di sebuah dusun di luar hutan. Melihat ke arah hutan yang amat gelap dan membuat tempat itu nampak hampir hitam. Goat Lan terpaksa menunda perjalanannya. Ia merasa lapar setelah melakukan perjalanan sehari lamanya, akan tetapi biarpun asap gurih dan sedap yang keluar dari sebuah rumah makan kecil membuat hidungnya berkembang kempis dan perutnya menggeliat-geliat, ia dapat menahan seleranya dan lebih dulu mencari tempat penginapan.

Namun ia kecewa karena ternyata bahwa di dusun itu tidak terdapat rumah penginapan. Satu-satunya rumah penginapan kecil yang masih ada papan namanya, telah ditutup. Heranlah Goat Lan melihat keadaan ini dan ia bertanya kepada seorang kakek petani yang memandangnya dari pintu rumahnya.

“Lopek, aku adalah seorang pelancong yang membutuhkan tempat penginapan. Di manakah kiranya terdapat rumah penginapan di dusun ini?”

Kakek itu memandang kepadanya dengan penuh perhatian dan sepasang matanya yang keriput dan sipit itu membayangkan kecurigaan besar, kemudian melihat bahwa yang bertanya kepadanya adalah seorang gadis muda cantik dan halus tutur sapanya, kecurigaannya berubah menjadi keheranan besar.

“Nona, mendengar bicaramu, kau tentulah datang dari selatan. Mengapa kau tersasar sampai sejauh ini? Kau lihat sendiri, di dusun ini hanya sebagian saja dari penduduknya adalah orang-orang Han, sebagian besar adalah penduduk dari suku bangsa lain. Kau hendak pergi ke manakah?”

Memang benar, semenjak tadi agak sukar bagi Goat Lan untuk bertanya keterangan sesuatu, karena dimana-mana ia melihat orang-orang yang amat berlainan dengan orang-orang Han, baik bentuk muka maupun keadaan pakaiannya. Sungguhpun jawaban kakek ini tidak pada tempatnya, yaitu menjawab dengan sebuah pertanyaan pula, akan tetapi Goat Lan tetap bersabar dan tersenyum ramah.

“Tidak salah dugaanmu, Lopek. Aku memang datang dari selatan dan seperti telah kukatakan tadi, aku adalah seorang pelancong.”

“Sebagai seorang pelancong, kau benar-benar telah memilih tempat yang aneh. Hawa begini dingin, tidak ada pemandangan indah disini, banyak penyakit merajalela.”

Ia memandang kepada pakaian Goat Lan yang tidak tebal dan kepada wajah serta tangan gadis itu yang telanjang tidak tertutup sesuatu, dan makin heranlah dia. Bagaimana mungkin seorang gadis cantik jelita dan muda seperti ini dapat menahan dingin yang menggerogoti kulit?

Pada waktu itu, bulan kedua baru tiba dan keadaan sedang dingin-dinginnya. Bagi kakek itu sendiri biarpun telah puluhan tahun ia tinggal di daerah dingin ini, namun tetap saja pada waktu seperti itu, tanpa perlindungan pakaian dari kulit domba, ia takkan tahan dan kulit tubuhnya akan pecah-pecah.

“Nona, selanjutnya kau hendak ke manakah?” tanyanya kemudian.

“Aku ingin bermalam di dusun ini untuk satu malam dan besok pagi-pagi aku akan melanjutkan perjalanan kesana!”

Goat Lan menudingkan telunjuknya ke arah hutan yang kini sudah menjadi hitam karena diselimuti oleh malam yang mulai mendatang.

Tiba-tiba kakek itu nampak gugup dan pucat.
“Jangan, Nona…! Jangan kau pergi kesana. Dengarlah kata-kata orang tua seperti aku. Hidupku tak lama lagi dan aku ingin mencegah seorang muda seperti engkau dari kesengsaraan, jangan kau memasuki tempat itu kalau kau sayang kepada nyawamu!”

Goat Lan terkejut, akan tetapi hatinya yang tabah membuat ia tetap tenang. Ia memandang kepada kakek itu dengan tajam dan ketika kakek itu balas memandang dan sinar mata mereka bertemu, kakek itu menjadi makin pucat dan ia melangkah mundur dua langkah.

“Kau… matamu sama benar dengan matanya… kau…”

“Eh, ada apakah Lopek? Aku seorang manusia biasa, seorang pelancong yang membutuhkan tempat penginapan untuk beristirahat malam ini. Jangan kau bicara yang aneh-aneh Lopek. Dapatkah kau menolongku dan memberitahukan dimana aku dapat bermalam? Kalau tidak mau, tidak apalah, aku bisa mencari keterangan dan minta tolong kepada orang lain.”

Ucapan ini agaknya menyadarkan kakek itu kembali.
“Kau… kau bukan orang jahat?”

Goat Lan merasa mendongkol, akan tetapi terpaksa ia tersenyum juga. Melihat pandangan mata dan wajah kakek itu, ia maklum bahwa sikap yang aneh ini timbul dari rasa takut yang hebat dari orang tua ini.

“Tiada gunanya aku menjawab pertanyaanmu ini, Lopek. Siapakah orangnya di dunia ini yang suka mengaku bahwa ia adalah orang jahat? Tentu saja seperti orang lain di dunia ini, aku akan menjawab bahwa aku bukan orang jahat, akan tetapi biarpun kau dapat mendengar jawaban mulutku, bagaimana kau akan dapat mengetahui keadaanku yang sebenarnya?”

Jawaban ini benar-benar membuat kakek itu tercengang.
“Nona, kau masih amat muda akan tetapi sudah dapat bicara seperti itu. Terang bahwa kau bukan orang jahat. Mari, silakan masuk, akan kuceritakan mengapa aku mencegahmu memasuki tempat berbahaya itu.”

Akan tetapi Goat Lan menggeleng kepalanya.
“Aku datang untuk mencari tempat penginapang Lopek, bukan untuk mendengar cerita tentang tempat berbahaya,”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar