Minggu, 28 Juli 2019

Pendekar Remaja Jilid 066

Baiknya Lok Cit Sian telah memiliki pengalaman pertempuran yang cukup luas, maka ia masih dapat merasakan datangnya bahaya. Cepat ia menjatuhkan diri ke belakang dan ia dapat mengelak dari serangan Lie Siong.

Akan tetapi ia tidak dapat mencegah pemuda itu merenggut tubuh Lilani dari pondongannya. Dengan gerakan cepat, Lie Siong menotok iga Lilani dan membebaskan gadis itu dari pengaruh totokan Ban Sai Cinjin, kemudian ia memegang tangan gadis itu dan dibawanya melompat ke pekarangan depan.

Barulah terjadi keributan setelah semua orang menyaksikan gerakan Lie Siong yang tak terduga ini. Terutama sekali Lok Cit Sian menjadi marah sekali. Murid murtad dari Thai-kek-pai ini lalu mencabut pedangnya dan dengan mengeluarkan gerengan bagaikan seekor harimau terluka, ia menyerbu ke depan dan menyerang Lie Siong yang juga sudah mencabut pedangnya Sin-liong-kiam yang istimewa.

Pedang Lok Cit Sian berkelebat, disambut oleh pedang Sin-liong-kiam.
“Traang…!”

Dua pedang bertemu dan berpijarlah bunga api karena pedang Lok Cit Sian ternyata bukanlah pedang sembarangan pula. Namun, Lok Cit Sian menjadi amat terkejut ketika merasa betapa pedangnya telah menempel pada pedang lawan yang aneh itu, dan ketika ia melihatnya, ternyata bahwa pedang lawan yang berbentuk naga itu telah berhasil melibatkan lidah naga pada pedangnya. Ia mencoba untuk menarik pedangnya, akan tetapi tiba-tiba tangan kiri Lie Siong melakukan pukulan dengan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut ke arah dadanya.

Lok Cit Sian adalah seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi. Melihat pukulan tangan kiri yang mengeluarkan uap putih, ia maklum akan kelihaian pukulan ini, maka ia mengerahkan tenaga lwee-kangnya, membuka tangan kirinya untuk menyambut pukulan lawan.

“Aduh…!”

Lok Cit Sian mengeluh dan tubuhnya terlempar ke belakang, pedangnya masih menempel pada pedang Lie Siong!

Tiba-tiba Lie Siong merasa ada sambaran angin yang kuat sekali dari belakang. Ia cepat membalikkan tubuh sambil menangkis dengan pedangnya kebelakang.

“Traaang…!”

Lie Siong merasa terkejut sekali ketika merasa betapa tangannya yang memegang pedang tergetar sedangkan pedang Si Tinggi Kurus yang tadinya masih terlibat oleh lidah pedangnya telah mencelat jauh.

Ternyata bahwa yang menyerangnya tadi adalah seorang kakek gemuk yang berpakaian mewah. Kakek ini telah menyerangnya dengan sebuah huncwe yang panjang dan berat dan melihat tenaga serangan yang dapat menggetarkan tangannya, maklumlah Lie Siong bahwa ia menghadapi seorang pandai.

“Bangsat muda, butakah kau maka berani mengganggu pesta dari Ban Sai Cinjin?” kakek itu berkata sambil melanjutkan serangannya dengan huncwe mautnya.

Akan tetapi, Lie Siong sama sekali tidak gentar menghadapi huncwenya dan dengan cepat dapat menangkis dan membalas dengan serangan yang tak kalah hebatnya.

Sementara itu, Lilani setelah dibebaskan oleh Lie Siong lalu menyerang pemuda yang tadi mengganggunya. Orang yang tadi ditamparnya, ketika mencoba untuk menyerang dengan pedang, kena dipegang pergelangan tangannya oleh Lilani dan ketika gadis ini membalikkan tubuh sehingga tubuh lawannya berada di belakangnya, gadis itu menekan lengan lawannya itu di atas pundaknya dan sekali ia berseru keras sambil membungkukkan tubuh, maka tubuh lawannya itu terlempar ke udara!

Pemuda itu menjerit-jerit ketakutan ketika tubuhnya melayang ke atas dan untung sekali ia jatuh di atas genteng. Akan tetapi karena genteng itu tinggi, ia tidak berani turun dan sambil berkaok-kaok minta tolong, ia memegang wuwungan dengan tubuh menggigil dan muka pucat.

Sementara itu ketika Lilani melihat betapa Lie Siong bertempur melawan seorang kakek yang mainkan senjata huncwe secara hebat mengerikan, dan melihat pula betapa banyak orang mulai mencabut senjata agaknya hendak mengeroyok Lie Siong, lalu berseru,

“Tai-hiap, mari kita pergi dari sini. Aku takut!”






Lie Siong tidak kenal akan arti takut, maka menghadapi Ban Sai Cinjin dan orang-orang itu, biarpun harus ia akui bahwa kepandaian kakek berhuncwe itu tidak boleh dipandang ringan, ia pantang mundur.

Akan tetapi, begitu mendengar suara Lilani yang menyatakan rasa takutnya, teringatlah ia bahwa biarpun ia dapat menjaga diri sendiri, namun apabila orang-orang itu menyerang dan menangkap Lilani, belum tentu ia dapat melindungi gadis itu. Maka dengan gerakan yang cepat dan indah, ia lalu menyerang Ban Sai Cinjin dengan gerak tipu Naga Sakti Bermain-main Dengan Kilat.

Pedangnya yang berbentuk naga itu bergerak ke depan, tanduk naga menotok jalan darah maut di leher Ban Sai Cinjin, lidah naga yang panjang menyambar ke arah mata dan tangan kiri Lie Siong bergerak pula melakukan pukulan Pek-in Hoatsut.

Ban Sai Cinjin tidak mengenal ilmu pedang Lie Siong yang aneh gerakannya dan aneh pula pedangnya itu, akan tetapi melihat pukulan Pek-in-hoat-sut ini, ia teringat akan kepandaian Lili dan Goat Lan. Ia terkejut sekali dan cepat ia melompat ke belakang sambil berseru,

“Bangsat rendah, ternyata kau adalah keturunan Pendekar Bodoh!”

Akan tetapi Lie Siong sudah melompat ke dekat Lilani, menyambar pinggang gadis itu yang ramping lalu berlari pergi sambil berseru,

“Jahanam tua bangka! Aku tidak kenal Pendekar Bodoh!”

Ia memang merasa mendongkol karena kemana juga ia pergi, ia selalu mendengar nama Pendekar Bodoh disebut orang, sungguhpun kali ini agaknya disebut oleh orang yang memusuhi Pendekar Bodoh.

Ban Sai Cinjin dan Lok Cit Sian hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Wi Kong Siansu yang baru saja keluar.

“Tak perlu dikejar lawan yang sudah melarikan diri. Pula, kali ini kawan-kawanmu berada di pihak yang salah, Sute.”

Ban Sai Cinjin merah mukanya dan tanpa banyak cakap lagi ia lalu kembali ke ruang dalam. Pesta dilanjutkan biarpun suasananya tidak semeriah tadi.

Lie Siong berlari terus memasuki kamar hotel, mengambil buntalan pakaian mereka dan mengajak Lilani keluar dari dusun itu. Pemuda ini maklum bahwa kalau ia berada di hotel, maka bahaya besar akan mengancamnya. Setibanya di sebuah hutan di luar gua, ia berhenti dan bertanya kepada Lilani.

“Lilani, bagaimanakah terjadinya keributan itu?”

Lilani lalu menceritakan betapa ia diganggu oleh orang-orang di rumah itu. Lie Siong mendengarkan dengan muka merah karena hatinya menjadi panas sekali. Sambil mengertak gigi, ia berkata,

“Kau tunggulah disini. Aku hendak kembali ke sana dan sebelum aku dapat menghancurkan kepala Si Tinggi Kurus yang menghinamu, aku belum merasa puas.”

Tiba-tiba Lilani menjadi pucat ketakutan.
“Jangan, Tai-hiap, jangan kau pergi kesana. Mereka itu orang-orang jahat yang lihai sekali.”

“Aku tidak penakut seperti kau, Lilani.” Suaranya terdengar dingin. “Aku harus menghajar mereka!” Ia hendak pergi, akan tetapi Lilani lalu berlutut di depannya dan memegang tangannya.

“Tai-hiap, jangan… jangan kau pergi kesana…” suaranya menggigil sehingga Lie Siong menjadi terheran-heran. “Taihiap, aku takut bukan mengkuatirkan diri sendiri, aku takut kalau-kalau kau akan mendapat celaka. Tidak tahukah kau betapa aku tadipun sudah merasa kuatir setengah mati melihat kau hendak dikeroyok? Kakek gemuk itu lihai sekali dan nama Ban Sai Cinjin pernah kudengar sebagai seorang yang lihai dan jahat.”

“Aku tidak takut! Untuk membela kebenaran dan kehormatan, aku tidak takut mati.”

“Jangan, Tai-hiap. Kau tidak takut mati akan tetapi aku bagaimana? Dapatkah aku hidup lebih lama lagi kalau kau sampai menderita celaka disana?” Gadis itu lalu menangis dan memeluk kedua kaki Lie Siong.

Sungguh mengherankan, melihat keadaan gadis itu, Lie Siong merasa betapa dadanya berdebar aneh!

“Jangan takut, Lilani. Aku takkan mati, takkan celaka. Mereka itulah yang akan celaka di tanganku!”

Setelah berkata demikian, Lie Siong melepaskan pelukan Lilani, dan segera melompat pergi.

Hari telah menjadi gelap ketika bayangan Lie Siong berkelebat cepat di atas genteng gedung Ban Sai Cinjin dimana siang hari tadi diadakan pesta untuk menghormati Hailun Thai-lek Sam-kui.

Keadaan di dalam gedung itu tidak seramai tadi, karena Ban Sai Cinjin, ketiga Thai-lek Sam-kui, Wi Kong Siansu, dan juga Lok Cit Siang telah pergi dan mengunjungi kuil di dalam hutan. Orang-orang tua yang lihai ini melanjutkan percakapan di dalam kuil ini agar tidak terganggu oleh orang-orang muda yang masih melanjutkan pesta di gedung itu.

Hanya Kam Seng dan Hok Ti Hwesio yang mewakili tuan rumah dan menjamu para tamu yang kini terdiri dari orang-orang muda. Pesta itu kini dimeriahkan oleh beberapa orang wanita penyanyi dan para tamu menjadi makin mabuk.

Tentu saja Lie Siong tidak tahu bahwa kakek-kakek yang lihai itu tidak berada di tempat itu, dan ia pun tidak peduli. Pemuda putera Ang I Niocu ini memang memiliki ketabahan hati seperti ibunya dan juga memiliki kecerdikan dan pandangan luas seperti ayahnya. Ia maklum bahwa seorang diri menghadapi begitu banyak lawan, terutama sekali adanya para orang tua yang pandai itu, merupakan hal yang bodoh dan sama dengan membunuh diri. Oleh karena itu, ia lalu menuju ke ruang belakang yang sunyi dan mencari akal. Satu-satunya jalan untuk dapat menghajar mereka, pikirnya, adalah membuat mereka cerai-berai dan memecah-mecah perhatian mereka.

Gerakan tubuh Lie Siong demikian hati-hati dan gin-kangnya memang sudah sempurna seperti ibunya, maka anak buah dan kaki tangan Ban Sai Cinjin yang berpesta pora di dalam gedung tidak ada seorang pun yang mendengarnya. Bahkan Hok Ti Hwesio dan Song Kam Seng yang sudah memiliki ilmu silat tinggi juga tidak mengetahuinya.

Hal ini bukan menandakan bahwa kepandaian kedua orang murid Ban Sai Cinjin dan Wi Kong Siansu ini masih rendah, melainkan oleh karena keadaan di dalam gedung itu amat ramainya sehingga tentu saja mereka tidak memperhatikan keadaan di luar maupun di atas gedung. Dan pula, siapakah orangnya yang berani mengganggu rumah gedung Ban Sai Cinjin?

Tiba-tiba, nampak api bernyala hebat di bagian belakang gedung, disusul pula oleh nyala api di sebelah kanan dan kiri gedung. Dalam waktu yang susul menyusul, gedung itu telah kebakaran di tiga tempat, yaitu di belakang, kanan dan kiri! Barulah orang-orang yang berpesta pora menjadi geger.

“Kebakaran…! Kebakaran…!!”

Orang-orang mulai berteriak-teriak dan semua orang lari berserabutan ke sana ke mari. Hok Ti Hwesio dan Song Kam Seng mengepalai orang-orang itu untuk memadamkan api yang membakar bagian-bagian gedung itu. Orang-orang sibuk bekerja keras karena api yang membakar gedung itu besar juga dan di tiga tempat.

Di dalam keributan itu, sesosok bayangan orang yang cepat sekali gerakannya, bagaikan seekor burung garuda, menyambar turun dari genteng dan begitu tubuhnya menyambar, menjeritlah beberapa orang muda yang roboh dengan mandi darah!

Ternyata bahwa Lie Siong yang merasa marah dan sakit hati karena Lilani diganggu, mulai menurunkan tangan maut sebagai pembalasan dendam! Dengan pedang di tangan, pemuda ini menyerbu orang-orang yang nampak di dalam gedung. Kemana saja tubuhnya berkelebat, pasti ada seorang korban yang roboh oleh pedangnya atau oleh serangan tangan kiri dan kakinya.

Beberapa orang mengeroyoknya dengan senjata di tangan, akan tetapi dalam beberapa gebrakan saja, pengeroyok yang jumlahnya empat orang ini kesemuanya roboh tak dapat bangun pula!

Sepak terjang Lie Siong benar-benar mengerikan. Ia keras hati dan membenci kejahatan melebihi ibunya dulu. Di dalam anggapannya, semua orang yang berada di gedung itu adalah penjahat-penjahat belaka yang harus dibasmi dari muka bumi. Sebentar saja, selagi api masih belum dapat dipadamkan, belasan orang telah ia robohkan!






Tidak ada komentar:

Posting Komentar