Hok Ti Hwesio dan Kam Seng masih sibuk dalam usaha mereka memadamkan api ketika seorang pemuda datang kepada mereka dengan wajah pucat dan berkata gagap,
“Celaka, ada musuh mengamuk… banyak kawan dibunuh…”
Mendengar ucapan itu, marahlah kedua orang ini. Mereka tadi memang sudah merasa curiga dan menduga bahwa kebakaran ini pasti ditimbulkan oleh musuh jahat. Sambil berteriak marah, Hok Ti Hwesio mendahului Kam Seng dan melompat ke tengah gedung. Ia melihat seorang pemuda sedang mengamuk dengan pedangnya dan ketika melihat bahwa pemuda itu adalah orang yang siang tadi telah mengacau, ia marah sekali. Dicabutnya pisau terbangnya dan berserulah Hok Ti Hwesio,
“Keparat keji rasakan tajamnya senjataku!”
Ia menggerakkan tangannya dan pisaunya itu melayang dengan cepatnya sambil mengeluarkan suara mengaung keras.
Melihat benda bersinar menyambar ke arah lehernya, Lie Siong cepat mengelak, akan tetapi segera menyusul dua pisau terbang lagi yang meluncur cepat. Lie Siong menggerakkan pedangnya dan “traaang! traaang!” dua buah pisau itu dapat ditangkis. Lie Siong merasa kagum ketika merasa betapa telapak tangannya kesemutan tanda bahwa pisau itu dilempar dengan tenaga yang amat kuat.
Akan tetapi kekagumannya berubah kekagetan ketika pisau pertama yang tadi dapat dielakkan itu menyambar kembali dari belakangnya! Ia cepat melompat ke samping dan segera menubruk ke depan ketika pisau itu lewat. Dengan pedangnya yang aneh ia lalu menyerang Hok Ti Hwesio yang sementara itu telah siap dengan pisau di kedua tangannya!
Pada saat Hok Ti Hwesio didesak oleh Lie Siong, datanglah Kam Seng yang telah mencabut pedangnya. Segera Lie Siong dikeroyok dua oleh Hok Ti Hwesio dan Kam Seng. Lie Siong mendapat kenyataan bahwa kepandaian dua orang pengeroyoknya ini hebat dan kuat sekali, akan tetapi tentu saja putera Ang I Niocu ini tidak menjadi gentar sama sekali.
Ia bersilat dan memutar pedangnya dengan Ilmu Pedang Sin-liong-kiam-sut, tubuhnya yang semenjak kecil dilatih dengan Ilmu Silat Sian-li-utauw (Tari Bidadari) menjadi lemas dan gerak geriknya selain indah juga cepat sekali. Maklum bahwa ia menghadapi dua orang lawan tangguh, Lie Siong lalu menggerakkan tangan kirinya dan mengebullah uap putih dari lengan kirinya ketika ia bersilat dengan Ilmu Silat Pek-in-hoat-sut yang hebat.
Melihat Pek-in-hoat-sut, bukan main kagetnya Hok Ti Hwesio dan Kam Seng. Lagi-lagi seorang muda dari rombongan Pendekar Bodoh, pikir mereka. Telah dua kali mereka bertemu dengan orang-orang muda dari rombongan Pendekar Bodoh yang pandai Ilmu Silat Pek-in-hoat-sut, yaitu Lili puteri Pendekar Bodoh sendiri, dan sekarang pemuda ini yang memegang sebatang pedang luar biasa anehnya! Dan keduanya ternyata memiliki ilmu silat yang luar biasa tingginya!
Dengan penuh semangat Hok Ti Hwesio dan Kam Seng lalu menyerang sambil mengerahkan seluruh kepandaiannyag sehingga Lie Siong belum sempat merobohkan mereka. Kepandaian kedua orang itu sesungguhnya sudah tinggi dan kalau Lie Siong tidak memiliki ilmu pedang yang hebat dan gin-kang yang tinggi, agaknya sukarlah baginya untuk dapat mempertahankan desakan mereka.
Lebih-lebih kaget hati Lie Siong ketika ia berhasil menendang perut Hok Ti Hwesio, karena tendangan yang sedikitnya seribu kati kekuatannya dan yang pasti akan membinasakan seorang ahli silat lainnya ini, hanya membuat tubuh hwesio muda itu terpental sampai dua tombak jauhnya, jatuh menggelundung lalu melompat berdiri lagi tanpa terluka sedikit pun! Bahkan hwesio itu marah sekali lalu menyerang dengan luar biasa hebatnya.
Tentu saja Lie Siong tidak tahu bahwa Hok Ti Hwesio memiliki ilmu kekebalan yang amat hebat, maka ia menjadi penasaran sekali. Ia membulatkan tekad untuk membinasakan dua orang yang dianggapnya amat berbahaya ini. Penjahat-penjahat dengan kepandaian yang tinggi harus dibinasakan, kalau tidak, tentu akan mendatangkan kekacauan dan kejahatan diantara sesama hidup.
Maka ia lalu memutar pedangnya lebih cepat lagi. Yang mengagumkan hatinya adalah ilmu pedang Kam Seng, karena biarpun gerakannya lemah-lembut namun Kam Seng selalu dapat menjaga diri dengan baik dan bahkan melakukan serangan balasan yang tidak kalah berbahayanya.
Diam-diam Lie Siong merasa heran melihat Kam Seng, karena bagaimanakah seorang pemuda yang berwajah tampan dan bersih, bersikap lemah-lembut dan sinar matanya sama sekali tidak nampak seperti seorang penjahat, bisa bersatu dengan orang-orang jahat? Juga, di dalam pertempuran ini, agaknya pemuda itu tidak berniat sungguh-sungguh untuk mengadu jiwa, hanya hendak menguji kepandaian saja, berbeda dengan Hok Ti Hwesio yang menyerang membuta tuli.
Betapapun juga, ilmu kepandaian Lie Siong masih menang setingkat apabila dibandingkan dengan kedua orang pengeroyoknya, maka pada suatu saat yang tepat, lidah pedang naga di tangan Lie Siong yang panjang itu berhasil menotok Kam Seng sehingga pemuda itu terhuyung mundur dengan wajah pucat.
Baiknya ia masih dapat mengerahkan gin-kangnya dan menutup jalan darahnya, sehingga ia tidak terluka hebat, hanya beberapa lama sebelah tangannya, yaitu tangan kiri menjadi kaku tak dapat digerakkan lagi.
Lie Siong mendesak hebat kepada Hok Ti Hwesio dan ingin sekali menjatuhkan serangan maut, akan tetapi Hok Ti Hwesio lalu bersuit keras sebagai tanda kepada kawan-kawan untuk maju mengeroyok. Kini api telah dapat dipadamkan dan semua orang telah berkumpul di situ. Melihat betapa Kam Seng dikalahkan dan Hok Ti Hwesio memberi tanda, dua puluh orang lebih maju mengeroyok.
Lie Siong makin gembira melihat datangnya keroyokan, dan pedangnya berkelebat ganas, merobohkan beberapa orang lagi dalam satu gerakan saja! Hebat sepak terjang pemuda ini sehingga gentar juga hati Hok Ti Hwesio melihatnya.
“Lekas, panggil Suhu dan Supek!” teriaknya kepada para kawannya.
Lie Siong terkejut dan teringatlah ia kepada kakek gemuk yang siang tadi telah bertempur dengan dia. Kalau kakek itu dan orang-orang lain yang siang tadi telah dibuktikan kepandaiannya datang pula mengeroyok maka akan berbahayalah keadaannya. Ia pun teringat pula kepada Lilani yang ditinggalkan di tengah hutan.
Alangkah gelisah gadis itu ditinggalkan seorang diri di dalam hutan yang gelap itu. Ia telah membakar rumah dan merobohkan belasan orang, maka sedikitnya kemarahannya telah mereda. Sudah cukup pembalasan yang ia lakukan untuk Lilani. Penghinaan yang dilakukan orang kepada Lilani sudah terbalas lebih dari pantas dan cukup. Pula, ia telah mulai lelah setelah bertempur menghadapi keroyokan itu.
Dengan gerakan Naga Sakti Memutar Tubuh, Lie Siong mengayun pedangnya serta memutarnya sedemikian rupa sehingga yang nampak hanya segulung sinar pedang yang menyilaukan saja, kemudian pada saat para pengeroyoknya mundur menyelamatkan diri, ia melompat ke atas genteng!
“Bangsat hina dina jangan lari!” seru Hok Ti Hwesio dan terbanglah dua batang pisau yang disambitkannya.
Lie Siong memutar pedangnya dan berhasil menangkis dua batang pisau itu, akan tetapi baru saja ia terhindar dari serangan senjata gelap ini, tiba-tiba terdengar angin menderu dan lima batang benda hitam yang bundar menyerang lima jalan darah pada tubuhnya.
Lie Siong terkejut sekali dan cepat ia melompat tinggi sambil berjungkir balik, dan tidak lupa untuk memutar pedangnya melindungi diri. Untung ia bergerak cepat, kalau tidak, tentu ia akan terkena serangan senjata rahasia yang lihai ini! Ia cepat melompat jauh dan menghilang di dalam gelap, diam-diam kagum melihat senjata rahasianya yang ternyata adalah thi-tho-ci dan dilepas oleh Kam Seng!
Dengan marah Hok Ti Hwesio hendak mengejar, akan tetapi Kam Seng berkata,
“Percuma saja dikejar, penjahat itu memiliki kepandaian yang lebih lihai dari kita!”
Ia menghela napas dan masih merasa terpesona oleh gerakan Lie Siong yang dengan mudah dapat menghindarkan diri dari serangannya tadi. Ia telah menyempurnakan pelajaran melepas senjata rahasia thi-tho-ci dan mendapat petunjuk dari suhunya, akan tetapi ternyata bahwa pemuda aneh tadi dapat mengelak dengar mudah dan indahnya.
Dengan hati amat kecewa Kam Seng mendapat kenyataan bahwa rombongan Pendekar Bodoh, orang-orang muda yang sudah memperlihatkan diri, ternyata adalah orang-orang gagah yang berkepandaian jauh lebih tinggi dari padanya. Apalagi yang tua-tua seperti Pendekar Bodoh, isterinya, Kwee An dan isterinya, dan yang lain-lain! Aku harus minta kepada suhu untuk menurunkan pelajaran ilmu silat Mongol untuk dapat menandingi mereka, pikirnya dengan hati tetap.
Sementara itu, Lie Siong berhasil melarikan diri dengan hati puas. Ia telah melakukan pembalasan yang cukup berhasil dan telah menebus penghinaan terhadap Lilani. Tak seorang pun di dunia ini boleh menghina Lilani, gadis yang amat dikasihani itu.
Hutan dimana ia meninggalkan Lilani amat gelap sehingga Lie Siong terpaksa melakukan perjalanan lambat. Ketika tiba di tempat dimana tadi ia meninggalkan Lilani, ternyata bahwa tempat itu sunyi dan tidak nampak bayangan orang. Ia merasa heran sekali. Ia ingat benar bahwa tadi ia meninggalkan Lilani disitu, di bawah pohon besar itu, akan tetapi mengapa sekarang tidak nampak gadis itu di tempat itu? Ke manakah perginya?
Tiba-tiba Lie Siong merasa hatinya berdebar penuh kecemasan. Jangan-jangan Lilani telah mendapat bencana ketika ditinggalkan, pikirnya dengan hati gelisah tidak karuan. Apakah Lilani telah diterkam binatang buas? Apakah ditawan oleh orang jahat?
Menggigil sepasang kaki Lie Siong ketika ia memikirkan hal ini. Ia sendiri merasa heran karena belum pernah selama hidupnya ia menderita perasaan takut dan gelisah seperti ini. Kalau ia sendiri yang berada di dalam bahaya, ia takkan merasa takut sedikit pun akan tetapi memikirkan Lilani berada dalam bahaya, ia menjadi gemetar seluruhnya!
“Siapa??” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan Lilani muncul dari balik semak-semak sambil tangannya memegang pedang!
Lie Siong tidak dapat melihat nyata, akan tetapi suara itu dikenalnya baik-baik. Hampir ia bersorak saking girangnya melihat gadis itu ternyata masih berada disitu dalam keadaan baik.
“Lilani… aku yang datang!” katanya dan kembali ia terheran mendengar suaranya sendiri yang agak gemetar.
Terdengar isak tertahan dan Lilani lalu melempar pedangnya ke bawah, kemudian lari dan menubruk Lie Siong sambil menangis!
“Tai-hiap… ah, Tai-hiap…”
Gadis ini tadinya merasa amat ketakutan dan kuatir pemuda yang dicintanya itu terbinasa dan takkan kembali lagi. Kini, melihat Lie Siong datang, kegirangan yang memuncak membuat ia tak dapat menahan membanjirnya air matanya. Ia memeluk leher pemuda itu, menciumnya dengan hati girang dan penuh cinta kasih, sambil mulutnya berbisik tiada hentinya,
“Tai-hiap… Tai-hiap…”
Baru kali ini Lie Siong merasakan getaran hati yang luar biasa. Ketika merasa betapa air mata yang hangat dari gadis itu membasahi mukanya yang diciumi, merasa betapa kedua lengan tangan Lilani memeluknya dengan erat dan bisikan-bisikan mesra yang menyayat hatiya, kekerasan hati pemuda ini hancur luluh!
Ia memegang kepala Lilani yang bergerak-gerak menciuminya, mendekap gadis itu, pada dadanya dan ia lalu membenamkan mukanya pada rambut gadis itu yang berbau harum.
“Lilani…” suaranya hampir tidak terdengar karena tertutup oleh getaran perasaan hatinya, “jangan… jangan menangis, Lilani…”
“Tai-hiap…” Lilani tersedu saking girangnya. Belum pernah pemuda yang dipujanya ini memperlihatkan perasaan seperti ini dan kini dengan girang perasaan wanitanya dapat menangkap bahwa pemuda ini pun ternyata menaruh hati kasih kepadanya. “Tai-hiap, pedang itu… kalau bukan kau yang datang, tentu pedang itu akan menembus dadaku…”
“Lilani…!” Lie Siong mendekap makin erat.
“Benar, Tai-hiap, aku sudah bersumpah takkan mau hidup lagi kalau kau sampai mendapat celaka dan terbinasa.”
Demikianlah, pertemuan yang mesra ini menandakan bertemunya dua hati muda di dalam hutan yang gelap itu akan tetapi yang bagi mereka kini nampak terang. Hawa yang dingin menusuk tulang terasa hangat menyegarkan, dan suara binatang-binatang buas dan burung hantu terdengar bagaikan musik yang amat indah merayu kalbu.
Pertemuan dua hati dan dua jiwa yang sudah lama merana, rindu akan kasih seseorang. Bintang-bintang yang ribuan banyaknya dianggapnya menjadi saksi atas pertemuan ini, dan bayang-bayang pohon merupakan selimut yang hangat. Bintang-bintang saling berkedip memberi tanda mata dan tersenyum-senyum maklum.
“Celaka, ada musuh mengamuk… banyak kawan dibunuh…”
Mendengar ucapan itu, marahlah kedua orang ini. Mereka tadi memang sudah merasa curiga dan menduga bahwa kebakaran ini pasti ditimbulkan oleh musuh jahat. Sambil berteriak marah, Hok Ti Hwesio mendahului Kam Seng dan melompat ke tengah gedung. Ia melihat seorang pemuda sedang mengamuk dengan pedangnya dan ketika melihat bahwa pemuda itu adalah orang yang siang tadi telah mengacau, ia marah sekali. Dicabutnya pisau terbangnya dan berserulah Hok Ti Hwesio,
“Keparat keji rasakan tajamnya senjataku!”
Ia menggerakkan tangannya dan pisaunya itu melayang dengan cepatnya sambil mengeluarkan suara mengaung keras.
Melihat benda bersinar menyambar ke arah lehernya, Lie Siong cepat mengelak, akan tetapi segera menyusul dua pisau terbang lagi yang meluncur cepat. Lie Siong menggerakkan pedangnya dan “traaang! traaang!” dua buah pisau itu dapat ditangkis. Lie Siong merasa kagum ketika merasa betapa telapak tangannya kesemutan tanda bahwa pisau itu dilempar dengan tenaga yang amat kuat.
Akan tetapi kekagumannya berubah kekagetan ketika pisau pertama yang tadi dapat dielakkan itu menyambar kembali dari belakangnya! Ia cepat melompat ke samping dan segera menubruk ke depan ketika pisau itu lewat. Dengan pedangnya yang aneh ia lalu menyerang Hok Ti Hwesio yang sementara itu telah siap dengan pisau di kedua tangannya!
Pada saat Hok Ti Hwesio didesak oleh Lie Siong, datanglah Kam Seng yang telah mencabut pedangnya. Segera Lie Siong dikeroyok dua oleh Hok Ti Hwesio dan Kam Seng. Lie Siong mendapat kenyataan bahwa kepandaian dua orang pengeroyoknya ini hebat dan kuat sekali, akan tetapi tentu saja putera Ang I Niocu ini tidak menjadi gentar sama sekali.
Ia bersilat dan memutar pedangnya dengan Ilmu Pedang Sin-liong-kiam-sut, tubuhnya yang semenjak kecil dilatih dengan Ilmu Silat Sian-li-utauw (Tari Bidadari) menjadi lemas dan gerak geriknya selain indah juga cepat sekali. Maklum bahwa ia menghadapi dua orang lawan tangguh, Lie Siong lalu menggerakkan tangan kirinya dan mengebullah uap putih dari lengan kirinya ketika ia bersilat dengan Ilmu Silat Pek-in-hoat-sut yang hebat.
Melihat Pek-in-hoat-sut, bukan main kagetnya Hok Ti Hwesio dan Kam Seng. Lagi-lagi seorang muda dari rombongan Pendekar Bodoh, pikir mereka. Telah dua kali mereka bertemu dengan orang-orang muda dari rombongan Pendekar Bodoh yang pandai Ilmu Silat Pek-in-hoat-sut, yaitu Lili puteri Pendekar Bodoh sendiri, dan sekarang pemuda ini yang memegang sebatang pedang luar biasa anehnya! Dan keduanya ternyata memiliki ilmu silat yang luar biasa tingginya!
Dengan penuh semangat Hok Ti Hwesio dan Kam Seng lalu menyerang sambil mengerahkan seluruh kepandaiannyag sehingga Lie Siong belum sempat merobohkan mereka. Kepandaian kedua orang itu sesungguhnya sudah tinggi dan kalau Lie Siong tidak memiliki ilmu pedang yang hebat dan gin-kang yang tinggi, agaknya sukarlah baginya untuk dapat mempertahankan desakan mereka.
Lebih-lebih kaget hati Lie Siong ketika ia berhasil menendang perut Hok Ti Hwesio, karena tendangan yang sedikitnya seribu kati kekuatannya dan yang pasti akan membinasakan seorang ahli silat lainnya ini, hanya membuat tubuh hwesio muda itu terpental sampai dua tombak jauhnya, jatuh menggelundung lalu melompat berdiri lagi tanpa terluka sedikit pun! Bahkan hwesio itu marah sekali lalu menyerang dengan luar biasa hebatnya.
Tentu saja Lie Siong tidak tahu bahwa Hok Ti Hwesio memiliki ilmu kekebalan yang amat hebat, maka ia menjadi penasaran sekali. Ia membulatkan tekad untuk membinasakan dua orang yang dianggapnya amat berbahaya ini. Penjahat-penjahat dengan kepandaian yang tinggi harus dibinasakan, kalau tidak, tentu akan mendatangkan kekacauan dan kejahatan diantara sesama hidup.
Maka ia lalu memutar pedangnya lebih cepat lagi. Yang mengagumkan hatinya adalah ilmu pedang Kam Seng, karena biarpun gerakannya lemah-lembut namun Kam Seng selalu dapat menjaga diri dengan baik dan bahkan melakukan serangan balasan yang tidak kalah berbahayanya.
Diam-diam Lie Siong merasa heran melihat Kam Seng, karena bagaimanakah seorang pemuda yang berwajah tampan dan bersih, bersikap lemah-lembut dan sinar matanya sama sekali tidak nampak seperti seorang penjahat, bisa bersatu dengan orang-orang jahat? Juga, di dalam pertempuran ini, agaknya pemuda itu tidak berniat sungguh-sungguh untuk mengadu jiwa, hanya hendak menguji kepandaian saja, berbeda dengan Hok Ti Hwesio yang menyerang membuta tuli.
Betapapun juga, ilmu kepandaian Lie Siong masih menang setingkat apabila dibandingkan dengan kedua orang pengeroyoknya, maka pada suatu saat yang tepat, lidah pedang naga di tangan Lie Siong yang panjang itu berhasil menotok Kam Seng sehingga pemuda itu terhuyung mundur dengan wajah pucat.
Baiknya ia masih dapat mengerahkan gin-kangnya dan menutup jalan darahnya, sehingga ia tidak terluka hebat, hanya beberapa lama sebelah tangannya, yaitu tangan kiri menjadi kaku tak dapat digerakkan lagi.
Lie Siong mendesak hebat kepada Hok Ti Hwesio dan ingin sekali menjatuhkan serangan maut, akan tetapi Hok Ti Hwesio lalu bersuit keras sebagai tanda kepada kawan-kawan untuk maju mengeroyok. Kini api telah dapat dipadamkan dan semua orang telah berkumpul di situ. Melihat betapa Kam Seng dikalahkan dan Hok Ti Hwesio memberi tanda, dua puluh orang lebih maju mengeroyok.
Lie Siong makin gembira melihat datangnya keroyokan, dan pedangnya berkelebat ganas, merobohkan beberapa orang lagi dalam satu gerakan saja! Hebat sepak terjang pemuda ini sehingga gentar juga hati Hok Ti Hwesio melihatnya.
“Lekas, panggil Suhu dan Supek!” teriaknya kepada para kawannya.
Lie Siong terkejut dan teringatlah ia kepada kakek gemuk yang siang tadi telah bertempur dengan dia. Kalau kakek itu dan orang-orang lain yang siang tadi telah dibuktikan kepandaiannya datang pula mengeroyok maka akan berbahayalah keadaannya. Ia pun teringat pula kepada Lilani yang ditinggalkan di tengah hutan.
Alangkah gelisah gadis itu ditinggalkan seorang diri di dalam hutan yang gelap itu. Ia telah membakar rumah dan merobohkan belasan orang, maka sedikitnya kemarahannya telah mereda. Sudah cukup pembalasan yang ia lakukan untuk Lilani. Penghinaan yang dilakukan orang kepada Lilani sudah terbalas lebih dari pantas dan cukup. Pula, ia telah mulai lelah setelah bertempur menghadapi keroyokan itu.
Dengan gerakan Naga Sakti Memutar Tubuh, Lie Siong mengayun pedangnya serta memutarnya sedemikian rupa sehingga yang nampak hanya segulung sinar pedang yang menyilaukan saja, kemudian pada saat para pengeroyoknya mundur menyelamatkan diri, ia melompat ke atas genteng!
“Bangsat hina dina jangan lari!” seru Hok Ti Hwesio dan terbanglah dua batang pisau yang disambitkannya.
Lie Siong memutar pedangnya dan berhasil menangkis dua batang pisau itu, akan tetapi baru saja ia terhindar dari serangan senjata gelap ini, tiba-tiba terdengar angin menderu dan lima batang benda hitam yang bundar menyerang lima jalan darah pada tubuhnya.
Lie Siong terkejut sekali dan cepat ia melompat tinggi sambil berjungkir balik, dan tidak lupa untuk memutar pedangnya melindungi diri. Untung ia bergerak cepat, kalau tidak, tentu ia akan terkena serangan senjata rahasia yang lihai ini! Ia cepat melompat jauh dan menghilang di dalam gelap, diam-diam kagum melihat senjata rahasianya yang ternyata adalah thi-tho-ci dan dilepas oleh Kam Seng!
Dengan marah Hok Ti Hwesio hendak mengejar, akan tetapi Kam Seng berkata,
“Percuma saja dikejar, penjahat itu memiliki kepandaian yang lebih lihai dari kita!”
Ia menghela napas dan masih merasa terpesona oleh gerakan Lie Siong yang dengan mudah dapat menghindarkan diri dari serangannya tadi. Ia telah menyempurnakan pelajaran melepas senjata rahasia thi-tho-ci dan mendapat petunjuk dari suhunya, akan tetapi ternyata bahwa pemuda aneh tadi dapat mengelak dengar mudah dan indahnya.
Dengan hati amat kecewa Kam Seng mendapat kenyataan bahwa rombongan Pendekar Bodoh, orang-orang muda yang sudah memperlihatkan diri, ternyata adalah orang-orang gagah yang berkepandaian jauh lebih tinggi dari padanya. Apalagi yang tua-tua seperti Pendekar Bodoh, isterinya, Kwee An dan isterinya, dan yang lain-lain! Aku harus minta kepada suhu untuk menurunkan pelajaran ilmu silat Mongol untuk dapat menandingi mereka, pikirnya dengan hati tetap.
Sementara itu, Lie Siong berhasil melarikan diri dengan hati puas. Ia telah melakukan pembalasan yang cukup berhasil dan telah menebus penghinaan terhadap Lilani. Tak seorang pun di dunia ini boleh menghina Lilani, gadis yang amat dikasihani itu.
Hutan dimana ia meninggalkan Lilani amat gelap sehingga Lie Siong terpaksa melakukan perjalanan lambat. Ketika tiba di tempat dimana tadi ia meninggalkan Lilani, ternyata bahwa tempat itu sunyi dan tidak nampak bayangan orang. Ia merasa heran sekali. Ia ingat benar bahwa tadi ia meninggalkan Lilani disitu, di bawah pohon besar itu, akan tetapi mengapa sekarang tidak nampak gadis itu di tempat itu? Ke manakah perginya?
Tiba-tiba Lie Siong merasa hatinya berdebar penuh kecemasan. Jangan-jangan Lilani telah mendapat bencana ketika ditinggalkan, pikirnya dengan hati gelisah tidak karuan. Apakah Lilani telah diterkam binatang buas? Apakah ditawan oleh orang jahat?
Menggigil sepasang kaki Lie Siong ketika ia memikirkan hal ini. Ia sendiri merasa heran karena belum pernah selama hidupnya ia menderita perasaan takut dan gelisah seperti ini. Kalau ia sendiri yang berada di dalam bahaya, ia takkan merasa takut sedikit pun akan tetapi memikirkan Lilani berada dalam bahaya, ia menjadi gemetar seluruhnya!
“Siapa??” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan Lilani muncul dari balik semak-semak sambil tangannya memegang pedang!
Lie Siong tidak dapat melihat nyata, akan tetapi suara itu dikenalnya baik-baik. Hampir ia bersorak saking girangnya melihat gadis itu ternyata masih berada disitu dalam keadaan baik.
“Lilani… aku yang datang!” katanya dan kembali ia terheran mendengar suaranya sendiri yang agak gemetar.
Terdengar isak tertahan dan Lilani lalu melempar pedangnya ke bawah, kemudian lari dan menubruk Lie Siong sambil menangis!
“Tai-hiap… ah, Tai-hiap…”
Gadis ini tadinya merasa amat ketakutan dan kuatir pemuda yang dicintanya itu terbinasa dan takkan kembali lagi. Kini, melihat Lie Siong datang, kegirangan yang memuncak membuat ia tak dapat menahan membanjirnya air matanya. Ia memeluk leher pemuda itu, menciumnya dengan hati girang dan penuh cinta kasih, sambil mulutnya berbisik tiada hentinya,
“Tai-hiap… Tai-hiap…”
Baru kali ini Lie Siong merasakan getaran hati yang luar biasa. Ketika merasa betapa air mata yang hangat dari gadis itu membasahi mukanya yang diciumi, merasa betapa kedua lengan tangan Lilani memeluknya dengan erat dan bisikan-bisikan mesra yang menyayat hatiya, kekerasan hati pemuda ini hancur luluh!
Ia memegang kepala Lilani yang bergerak-gerak menciuminya, mendekap gadis itu, pada dadanya dan ia lalu membenamkan mukanya pada rambut gadis itu yang berbau harum.
“Lilani…” suaranya hampir tidak terdengar karena tertutup oleh getaran perasaan hatinya, “jangan… jangan menangis, Lilani…”
“Tai-hiap…” Lilani tersedu saking girangnya. Belum pernah pemuda yang dipujanya ini memperlihatkan perasaan seperti ini dan kini dengan girang perasaan wanitanya dapat menangkap bahwa pemuda ini pun ternyata menaruh hati kasih kepadanya. “Tai-hiap, pedang itu… kalau bukan kau yang datang, tentu pedang itu akan menembus dadaku…”
“Lilani…!” Lie Siong mendekap makin erat.
“Benar, Tai-hiap, aku sudah bersumpah takkan mau hidup lagi kalau kau sampai mendapat celaka dan terbinasa.”
Demikianlah, pertemuan yang mesra ini menandakan bertemunya dua hati muda di dalam hutan yang gelap itu akan tetapi yang bagi mereka kini nampak terang. Hawa yang dingin menusuk tulang terasa hangat menyegarkan, dan suara binatang-binatang buas dan burung hantu terdengar bagaikan musik yang amat indah merayu kalbu.
Pertemuan dua hati dan dua jiwa yang sudah lama merana, rindu akan kasih seseorang. Bintang-bintang yang ribuan banyaknya dianggapnya menjadi saksi atas pertemuan ini, dan bayang-bayang pohon merupakan selimut yang hangat. Bintang-bintang saling berkedip memberi tanda mata dan tersenyum-senyum maklum.
**** 067 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar