*

*

Ads

Kamis, 01 Agustus 2019

Pendekar Remaja Jilid 074

Sementara itu, Lili dan Lo Sian sudah memasuki kota Kiciu dan dengan mudah mereka mencari kuil Siauw-lim-si yang besar. Lili sudah tidak memikirkan lagi keadaan pemuda dan gadis yang dijumpainya di jalan, sungguhpun di dalam perjalanan tadi ia tidak habis merasa heran bagaimana Ilmu Silat Sianli-utauw pemuda itu demikian hebatnya dan betapa pemuda itu dapat juga mainkan Pek-in Hoat-sut.

Ia pun ingin sekali melanjutkan pertempuran dengan pemuda itu, karena ia merasa penasaran kalau belum dapat mengalahkan pemuda yang dianggapnya sombong itu. Biarpun wajah pemuda yang elok dan gagah itu mengganggunya, namun ia berhasil mengusir bayangan itu dengan anggapan bahwa pemuda itu tidak ada harganya untuk diingat lagi, karena tentu pemuda itu adalah seorang kurang ajar dan pengganggu anak gadis!

Memikirkan halnya gadis cantik yang mengejar pemuda itu sambil menangis, Lili menjadi gemas sekali. Gemas dan benci kepada pemuda itu, karena ia dapat menduga bahwa gadis itu tentulah korban permainan pemuda mata keranjang itu!

Thian Kek Hwesio menyambut kedatangan Lili dengan ramah tamah. Ketika menerima “surat” dari Goat Lan, pendeta gemuk itu tertawa gembira dan berkata kepada Lili,

“Nona, tentu saja aku suka berusaha menolongmu. Apalagi kalau ada surat dari Kwee Li-hiap yang kukenal baik. Tidak tahu siapakah Nona dan siapa pula orang tuamu?”

“Teecu (murid) adalah puteri dari Sie Cin Hai,” jawab Lili.

Hwesio itu mengangkat alisnya dan kedua matanya terbelalak girang.
“Ah, puteri Pendekar Bodoh? Benar-benar merupakan kehormatan besar dan kebahagiaan bahwa aku masih berkesempatan melihat keturunan Pendekar Bodoh. Masuklah Nona, dan siapakah sahabat ini?” Ia menudingkan telunjuknya kepada Lo Sian yang berdiri bagaikan patung.

“Dia adalah Sin-kai Lo Sian yang berada dalam keadaan sakit, Losuhu. Kedatangan teecu adalah untuk mohon pertolongan Losuhu agar suka memeriksa dan memberi obat kepadanya. Dahulu ketika teecu masih kecil, teecu adalah murid dari Sin-kai Lo Sian dan entah mengapa, setelah sekarang bertemu, teecu mendapatkan Suhu berada dalam keadaan seperti ini.”

Thian Kek Hwesio yang memiliki sepasang mata bersinar sabar, tenang, halus dan juga berpengaruh itu, lalu memandang kepada Lo Sian dengan tajam, kemudian ia menghampiri pengemis gila itu.

“Sahabat, kau kenapakah?”

Akan tetapi, melihat hwesio gemuk itu menghampirinya, Lo Sian tiba-tiba lalu menyerangnya dengan pukulan keras ke arah dadanya. Lili terkejut sekali dan untung bahwa ia berlaku cepat. Ia melompat menangkis pukulan Lo Sian ini, lalu menangkap lengannya.

“Suhu, jangan begitu, Losuhu ini adalah Thian Kek Hwesio yang hendak menolongmu.”

Akan tetapi, Lo Sian tiba-tiba memandang kepada Thian Kek Hwesio dengan mata mengandung ketakutan dan ia berteriak-teriak,

“Pemakan jantung…! Tolong, pemakan jantung…!”

Agaknya melihat hwesio gundul ini, ia teringat kepada Hok Ti Hwesio dan melihat tubuh gemuk dari Thian Kek Hwesio, agaknya teringat kepada tubuh Ban Sai Cinjin, maka ia berteriak-teriak ketakutan.

“Nona, tolong bikin dia tidak berdaya lebih dulu, agar mudah pinceng (aku) memeriksanya,” kata Thian Kek Hwesio dengan muka masih tenang saja.

Lili lalu mengulur tangannya dan menotok pundak Lo Sian. Karena orang gila ini memang percaya penuh kepada Lili, maka ketika ditotok, ia diam saja tidak melawan sehingga tubuhnya menjadi lemas dan ia lalu dibaringkan di atas pembaringan.

Thian Kek Hwesio lalu memeriksa seluruh tubuhnya, terutama sekali ia mempergunakan jari-jari tangannya untuk memijit-mijit bagian kepala Lo Sian, kemudian ia pun mempergunakan cara Goat Lan memeriksa, yaitu mengeluarkan sedikit darah dari tubuh orang gila itu.

Lili mengikuti semua pemeriksaan ini dengan penuh perhatian dan kecemasan. Akhirnya, hwesio itu menggelengkan kepalanya dan berkata sungguh-sungguh,

“Hebat sekali! Dia telah terkena racun jahat selama sepuluh tahun lebih dan seluruh darahnya telah menjadi kotor. Agaknya masih mungkin bagi pinceng menghilangkan kegilaannya, karena hanya urat di kepalanya yang terganggu, akan tetapi sukarlah membuat ia teringat pula akan segala kejadian yang lalu.”






“Tolonglah, Losuhu. Tolonglah sembuhkan penyakit gilanya, biarlah ia tidak teringat sesuatu asalkan dia tidak gila seperti sekarang ini. Mungkin lambat laun ia akan dapat mengingat-ingat lagi.”

“Tentu saja pinceng akan berusaha menolongnya, mudah-mudahan Thian (Tuhan) membantu pinceng.”

Hwesio gendut itu lalu mengeluarkan beberapa puluh batang jarum yang berwarna putih dan ada pula yang kuning. Itulah gin-ciam (jarum perak) dan kim-ciam (jarum emas), alat-alat pengobatan yang sudah amat terkenal di seluruh permukaan bumi Tiongkok.

“Nona Sie,” kata hwesio itu, “coba tolong kau ikat kaki tangannya yang kuat, kemudian kau buka kembali jalan darahnya, karena dalam keadaan terpengaruh tiam-hoat (ilmu totokan), tak mungkin pinceng dapat menolongnya.”

Lili melakukan apa yang diminta oleh Thian Kek Hwesio. Ia membuka bungkusan pakaiannya, mengambil ikat pinggang dan mengikat kedua kaki tangan Lo Sian kepada kaki pembaringan, ia menepuk pundak Lo Sian untuk membebaskan totokannya tadi. Begitu terbebas, Lo Sian lalu meronta-ronta dan berteriak-teriak,

“Pemakan jantung! Pemakan jantung! Tolong-tolong!”

Thian Kek Hwesio tersenyum dan mulailah ia bekerja dengan jarum-jarumnya. Dengan gerakan yang tenang dan tepat tanpa keraguan sedikit pun, ia mulai menusukkan jarum putih ke leher belakang Lo Sian sementara Lili memegangi kepala pengemis gila itu. Tiga jarum ditusukkan dan tiba-tiba lemahlah tubuh Lo Sian, suaranya makin mengecil dan akhirnya ia jatuh pingsan atau pulas!

Delapan belas jarum telah ditusukkan oleh Thian Kek Hwesio. Tiga di belakang leher, tiga di pundak kanan, tiga di pundak kiri dan sembilan jarum lain ditusukkan di sekitar kepalanya!

Mau tak mau Lili merasa ngeri juga melihat cara pengobatan yang selama hidupnya belum pernah disaksikannya ini. Bagaimanakah orang dapat hidup setelah leher dan kepalanya ditusuk oleh sekian banyak jarum? Yang amat luar biasa ialah bahwa tidak ada setitik pun darah mengalir keluar dari jarum-jarum yang ditusukkan itu.

“Biarlah ia mengaso dulu dan sementara menanti, ceritakanlah pengalamanmu, Nona. Terutama sekali pinceng ingin sekali mendengar tentang keadaan orang tuamu.”

Dengan jelas tapi singkat, Lili menuturkan keadaan orang tuanya dan betapa ia bertemu dengan Lo Sian ketika ia dulu diculik Bouw Hun Ti. Ketika ia telah selesai menuturkan pengalamannya dan ketika hwesio tua itu mendengar nama Ban Sai Cinjin sebagai guru Bouw Hun Ti, Thian Kek Hwesio mengerutkan keningnya.

“Hemm, disebutnya nama Ban Sai Cinjin membuat pinceng merasa curiga, Nona Sie. Ketahuilah bahwa Sin-kai Lo Sian ini terkena racun yang amat berbahaya yang sungguhpun tidak sampai menewaskan nyawanya, namun membuat seluruh isi kepalanya menjadi kotor dan pikirannya tidak dapat bekerja baik. Pinceng sekarang hanya dapat menolong dia dari gangguan ketakutan sehingga ia tidak akan menjadi gila lagi. Agaknya, ketika ia minum racun atau dipaksa minum racun, ia berada dalam keadaan yang amat ketakutan atau ngeri. Entah apa yang terjadi dengan dia, akan tetapi nama Ban Sai Cinjin membuat pinceng hampir berani menuduh, kakek mewah itu yang menjadi biang keladi. Bagi Ban Sai Cinjin, segala macam kekejian di dunia ini mungkin dilakukan olehnya!”

Pada saat itu, terdengar Lo Sian merintih perlahan. Lili cepat melompat untuk memegangi kepalanya, karena kalau kepalanya bergerak ia kuatir kalau-kalau jarum yang masih menancap di lehernya itu akan melukainya.

Thian Kek Hwesio juga menghampirinya dan melihat sebentar ke arah muka Lo Sian, membuka pelupuk matanya yang masih tertutup, lalu mengangguk puas.

“Syukurlah, baik hasilnya,” hwesio itu berkata perlahan, lalu ia mencabuti jarum-jarum itu.

Lili melihat dengan hati ngeri betapa jarum perak yang tadi menancap, setelah dicabut ujungnya berwarna kehitam-hitaman, sedangkan jarum emasnya berwarna kehijauan!
Thian Kek Hwesio lalu memasukkan tiga butir pel merah ke dalam mulut Lo Sian dan memberi minum secawan arak sehingga obat itu dapat memasuki perut pengemis itu.

Sampai lama terdengar Lo Sian mengeluh kesakitan kemudian keluhannya berhenti dan jalan napasnya nampak tenang. Peluh memenuhi muka dan akhirnya ia membuka matanya.

“Dimana aku…?” tanyanya seperti orang baru bangun tidur.

“Buka ikatannya,” kata Thian Kek Hwesio kepada Lili yang segera membuka ikatan kaki tangan orang tua itu.

Lo Sian bangun dan duduk dengan pandangan mata yang bingung dan Lili dengan girang sekali mendapat kenyataan bahwa pandang niata Lo Sian kini telah waras kembali, tidak liar seperti tadi.

“Eh, siapakah kalian dan dimana aku berada?” kembali Lo Sian bertanya sambil memandang kepada Thian Kek Hwesio dan Lili berganti-ganti.

Lili lalu maju dan memegang tangannya.
“Suhu, lupakah kau kepadaku? Aku adalah Sie Hong Li atau Lili, anak Pendekar Bodoh! Aku muridmu, Suhu!”

Terbelalak mata Lo Sian memandang kepada gadis jelita yang berdiri di hadapannya sambil tersenyum itu.

“Lili…? Siapakah Lili? Dan siapa pula Pendekar Bodoh? Aku.. serasa pernah kumendengar nama-nama itu, akan tetapi sudah lupa sama sekali!”

“Suhu, kau telah minum racun berbahaya dan berada dalam keadaan tidak sadar sampai sepuluh tahun. Inilah penolongmu, yaitu Thian Kek Losuhu.”

Kini Lo Sian memandang kepada hwesio itu yang masih tersenyum kepadanya. Biarpun Lo Sian masih tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Lili, namun mendengar bahwa hwesio gendut itu telah menolongnya, maka ia lalu cepat menjatuhkan diri berlutut di depan hwesio itu.

“Omitohud!” Thian Kek Hwesio menyebut nama Buddha sambil cepat mengangkat bangun Pengemis Sakti, itu. “Tidak percuma pinceng mengeluarkan tenaga membantumu, Sicu, ternyata kau adalah seorang yang berpribudi tinggi. Akan tetapi, ketahuilah bahwa semua orang yang baik hati tentu akan mendapat pertolongan Yang Maha Kuasa, sungguhpun ia tidak akan terlepas dari hukum karma. Marilah kita bicara di ruang depan, terlalu sempit di kamar ini.”

Ketiga orang itu lalu berjalan keluar dan ternyata bahwa pengobatan itu sama sekali tidak mempengaruhi keadaan kesehatan Lo Sian. Ia kini tidak gila lagi, akan tetapi ia tidak ingat akan kejadian di masa lampau.

Setelah mereka berada di ruang depan, Thian Kek Hwesio lalu duduk di atas sebuah bangku dan Lo Sian berdiri di depannya. Lili lalu menceritakan keadaan Lo Sian dahulu untuk membantu bekas suhunya itu teringat kembali, akan tetapi betapa pun Lo Sian mengerahkan pikirannya, ia tidak dapat mengingat-ingat lagi!

Tiba-tiba matanya terbelalak dan Lili merasa terkejut sekali, takut kalau-kalau bekas gurunya ini kumat lagi penyakit gilanya, akan tetapi Thian Kek Hwesio memberi isyarat dengan tangannya agar supaya gadis itu tetap tenang.

Berkali-kali Lo Sian memijit-mijit kepalanya seakan-akan hendak membantu urat-urat syarafnya bekerja kembali, dan tiba-tiba ia berkata keras,

“Ah… yang teringat olehku hanya Lie Kong Sian…! Lie Tai-hiap itu telah… mati! Benar, Lie Kong Siang telah tewas… ah, hanya itu yang teringat olehku. Lie Kong Sian telah tewas!”

Dan Sin-kai Lo Sian lalu menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mukanya lalu ia menangis tersedu-sedu!

Lili hendak menghampirinya, akan tepati dicegah oleh Thian Kek Hwesio, maka gadis itu hanya bertanya,

“Suhu, kau maksudkan bahwa Lie-supek telah meninggal dunia??”

Suaranya terdengar gemetar, karena gadis ini seringkali mendengar dari ayah-bundanya bahwa Lie Kong Sian adalah suami dari Ang I Niocu dan bahwa pendekar besar she Lie itu adalah suheng dari ayahnya.

Lo Sian mengangguk-angguk dan menahan tangis.
“Benar, dia telah meninggat dunia. Lie Kong Sian yang gagah perkasa, yang berbudi mulia, telah mati…!”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar