*

*

Ads

Kamis, 01 Agustus 2019

Pendekar Remaja Jilid 075

Pada saat itu, terdengar bentakan hebat dari atas dan nampak berkelebat bayangan orang yang maju menerkam tubuh Lo Sian dari atas!

“Pengemis gila! Jangan kau mengacau dengan omongan bohong! Ayahku tidak meninggal dunia!”

Bayangan itu ternyata adalah Lie Siong. Dengan hati tidak karuan rasa karena kaget dan tidak percaya, pemuda ini yang semenjak tadi mengintai dari atas genteng, lalu menubruk hendak menangkap Lo Sian. Ia melompat dengan gerakan yang disebut Harimau Menubruk Kambing dan langsung jari tangan kanannya meluncur hendak menotok pundak Lo Sian.

“Suhu, awas serangan!”

Lili berseru kaget dan baiknya Lo Sian masih belum kehilangan kegesitannya. Ia cepat memutar tubuh dan miringkan pundak, menarik kaki kanan ke belakang dan dengan demikian ia terluput dari totokan itu. Sebelum Lie Siong menyerangnya lebih lanjut, Lili telah berkelebat dan berdiri menghadapi pemuda itu.

“Hem, kiranya kau!” seru gadis itu sambil mencibirkan bibirnya ketika ia mengenal bahwa pemuda ini adalah pemuda yang tadi bertempur dengan dia. “Kau datang mau apakah?”

“Suhumu yang gila ini telah bicara tidak karuan dan ia telah menghina ayah ketika menyatakan bahwa ayah telah mati! Ayah masih hidup di Pulau Pek-le-to dengan sehat, bagaimana ia berani mengatakan bahwa ayah telah mati?”

“Siapa bilang bahwa ayahmu mati, anak muda?” Lo Sian berkata dengan sabar. “Yang mati adalah Lie Kong Sian, bukan ayahmu…”

“Orang gila! Lie Kong Sian adalah ayahku!” sambil berkata demikian, Lie Siong kembali maju hendak menyerang Lo Sian.

Sementara itu, Lili memandang dengan bengong. Tak disangkanya sama sekali bahwa pemuda ini adalah putera Lie Kong Sian, yang berarti putera Ang I Niocu pula! Timbul kegembiraannya tercampur kekecewaan. Ia gembira dapat bertemu dengan putera Ang I Niocu yang sudah seringkali disebut-sebut ayah bundanya, akan tetapi ia kecewa karena tadi melihat pemuda itu mempermainkan seorang gadis cantik!

Juga di dalam hatinya timbul niat hendak menguji kepandaian putera Ang I Niocu ini. Maka tanpa banyak cakap, ketika melihat betapa pemuda itu hendak menyerang Lo Sian, Lili lalu bergerak maju menangkis pukulan itu. Sepasang lengan tangan beradu keras dan keduanya terhuyung mundur tiga langkah.

“Bagus, gadis liar!” Lie Siong membentak. “Agaknya kau masih belum mau mengaku kalah.”

“Aku mengaku kalah? Terhadap engkau?? Hemm, bercerminlah dulu, manusia sombong. Kau mengaku putera pendekar besar Lie Kong Sian? Siapa sudi percaya? Putera Ang I Niocu tak mungkin sesombong engkau dan mata keranjang pula. Hah, tak tahu malu!”

Terbelalak mata Lie Siong memandang kepada Lili. Bagaimana gadis ini seakan-akan mengenal keadaan ayah-bundanya?

“Kau siapakah?” ia mengulang lagi pertanyaannya yang diajukan siang tadi, akan tetapi kembali Lili mengejek dengan bibirnya yang manis.

“Apa kau kira dengan mengaku putera Ang I Niocu, kau akan dapat menipuku untuk memperkenalkan nama? Hah, manusia rendah, biar kucoba dulu sampai dimana sih kepandaianmu!” Setelah berkata demikian Lili lalu mencabut keluar pedang Liong-coan-kiam yang tajam.

“Bagus, gadis liar! Aku pun ingin sekali menyaksikan sampai di mana kepandaianmu maka kau berani membuka mulut besar!”

Lie Siong juga mengeluarkan pedangnya yang aneh, yaitu Sin-liong-kiam. Maka tanpa dapat dicegah lagi kedua orang muda ini melanjutkan pertempuran mereka yang siang tadi dilakukan dengan mati-matian!

Lili memiliki Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-hoat yang luar biasa, ilmu pedang yang berdasarkan limu Pedang Daun Bambu ciptaan ayahnya, maka tentu saja ilmu pedangnya ini hebat bukan main. Begitu gadis ini menggerakkan pedangnya maka berkelebatlah bayangan merah dari pakaiannya, dan pedangnya berubah menjadi segulung sinar pedang yang putih menyilaukan mata!

Baik Lo Sian yang berdiri di sudut ruangan yang luas itu, maupun Thian Kek Hwesio yang masih tetap duduk di bangku dengan sikap tenang, terpesona menyaksikan ilmu pedang yang hebat ini. Bahkan Thian Kek Hwesio biarpun tidak pandai ilmu silat akan tetapi yang sudah banyak sekali menyaksikan kepandaian orang-orang berilmu tinggi, menjadi kagum sekali dan berkali-kali menyebut nama Buddha,

“Omitohud! Alangkah hebatnya limu pedang ini!”






Akan tetapi, ketika Lie Siong juga menggerakkan tubuh dan pedangnya, silaulah mata mereka berdua memandang. Tubuh Lie Siong berubah menjadi bayangan putih, sedangkan pedangnya menjadi segulung sinar keemasan yang cukup hebat menyilaukan pandangan mata.

Begitu kedua sinar itu bertemu, terdengarlah suara nyaring dari beradunya kedua pedang dan berpijarlah bunga api yang indah sekali. Makin lama makin cepat kedua orang muda itu menggerakkan senjata mereka sehingga gulungan pedang berwarna putih dan kuning emas itu menjadi satu, bergulung-gulung saling membelit seakan-akan ada dua ekor naga sakti yang sedang bertempur seru.

Api lilin di atas meja yang terdapat di ruang itu bergerak-gerak hampir padam karena tiupan angin senjata mereka berdua. Thian Kek Hwesio saking gembiranya dapat menyaksikan permainan pedang ini, lalu bangkit berdiri, mengambil tiga batang lilin lagi dan memasangnya semua di atas meja.

Didalam penerangan tiga batang lilin tambahan ini, makin indahlah nampaknya sinar pedang kedua orang muda keturunan orang-orang pandai itu. Diam-diam kedua orang muda itu terkejut sekali. Baik Lili maupun Lie Song amat kagum menyaksikan kehebatan kepandaian lawan.

Kini Lili diam-diam percaya bahwa pemuda ini tentulah putera Ang I Niocu, oleh karena ia mengenal Ilmu Pedang Ngo-lau-hoan-kiam-hwat dari Ang I Niocu yang pernah diturunkan oleh ayahnya, bahkan ayahnya pun pernah mernberi penjelasan kepadanya tentang ilmu pedang itu. Kalau diadakan perbandingan, memang ilmu pedang dari Lili masih menang lihai, akan tetapi dalam hal gin-kang dan tenaga lwee-kang, ia agaknya masih kalah latihan.

Sebaliknya, Lie Siong menjadi makin kagum melihat ilmu pedang yang dimainkan oleh lawannya. Benar-benar ilmu pedang yang belum pernah disaksikannya selama hidupnya. Ibunya pernah memberitahukan kepadanya tentang ilmu pedang ciptaan Pendekar Bodoh yang amat lihai dan agaknya inilah ilmu pedang itu! Apakah gadis ini puteri Pendekar Bodoh? Ia menduga-duga dengan hati berdebar-debar dan makin tertariklah hatinya kepada gadis yang cantik jelita, manis, dan juga galak ini.

Ia diam-diam harus mengakui bahwa ilmu pedang yang dimainkan oleh gadis itu amat luar biasa perubahannya dan beberapa kali hampir saja ia menjadi korban. Akan tetapi, yang membuat hatinya berdebar aneh, adalah cara Liti mainkan ilmu pedangnya. Ia setengah dapat menduga bahwa kalau lawannya mau, tentu ia sudah dirobohkannya!

Akan tetapi tiap kali ujung pedang lawannya yang tajam itu telah mendekati tubuhnya, tiba-tiba gerakan pedang diubah sedemikian rupa sehingga tidak melukainya! Ia menjadi marah, malu dan penasaran sekali. Sambil mengertak giginya, Lie Siong yang berwatak keras dan tidak mau kalah ini lalu memutar pedangnya, mengirim totokan-totokan dengan lidah pedang naga dan menusuk dengan tanduk pedang naganya, berusaha untuk membalas setiap serangan dengan pembalasan tak kalah lihainya.

Telah tiga empat kali lawannya “mengampuni”nya dengan merubah jalan pedangnya, maka ia pun ingin sekali mendesak lawannya dan kemudian memberi kesempatan pula kepada lawannya untuk melepaskan diri dari ancaman pedangnya. Akan tetapi bagaimana ia dapat mendesak lawan yang mainkan ilmu pedang sehebat itu? Ia tidak diberi kesempatan sama sekali bahkan pedang Lili makin mengurungnya sehingga gulungan sinar kuning keemasan kini makin mengecil, sebaliknya gulungan sinar pedang yang putih makin membesar dan menghebat gerakannya.

Lebih hebat lagi ketika Lili mengeluarkan suara ketawa mengejek dan tahu-tahu tangan kiri gadis itu mengeluarkan sebuah kipas yang kecil dan indah. Lie Siong tadinya merasa heran dan mengira bahwa gadis itu hendak mempermainkannya dan menyombongkan diri dengan melayaninya sambil mengebut-ngebut kipas. Tidak tahunya begitu kipas itu mengebut, ia hampir berseru karena kaget dan heran.

Angin kipas itu menyambar dan membuat lidah pedang naganya terbentur kembali, disusul dengan pukulan kipas yang mempergunakan ujung gagangnya untuk menotok pundaknya. Lie Siong benar-benar merasa terkejut. Tak pernah disangkanya bahwa gadis lawannya itu sedemikian lihainya. Baru ilmu pedangnya saja sudah demikian hebat dan sukar baginya untuk mengalahkannya, apalagi sekarang setelah gadis itu mempergunakan sebuah kipas pula yang juga luar biasa. Siapakah gadis ini?

Dengan pedang dan kipasnya, Lili makin mengurung dan gadis ini menjadi bangga karena dapat mendesak pemuda itu. Ia akan menceritakan kepada ayah bundanya betapa ia telah dapat mengalahkan putera dari Ang I Niocu! Dan tentu saja ia tidak mau melukai pemuda itu karena kini ia merasa yakin bahwa pemuda ini tentulah putera dari Ang I Niocu. Ia hanya ingin mendesak dan memaksa pemuda itu mengakui keunggulannya.

Akan tetapi, Lili sama sekali tidak tahu bahwa Lie Siong adalah seorang pemuda yang keras hati seperti ibunya dan tidak nanti pemuda ini mau mengaku kalah begitu saja! Rasa penasaran dan malu membuat Lie Siong menjadi marah dan nekad. Ia pikir bahwa kalau ia terlalu mengarahkan perhatian dan kepandaiannya pada penjagaan diri terhadap desakan gadis yang lihai itu, tentu ia takkan mampu membalas. Maka ia lalu memilih jalan nekad. Biarlah aku dirobohkan dan tewas, pikirnya, asal saja aku dapat membalasnya!

Setelah berpikir demikian, ia lalu mencari kesempatan baik. Pada saat itu, tiba-tiba Lili menyerangnya dengan kedua senjata secara berbareng. Pedang Liong-coan-kiam meluncur cepat ke arah tenggorokannya dan kipas itu kini tertutup, dipergunakan untuk menotok lambungnya!

Serangan berganda yang amat berbahaya dan agaknya sukar untuk ditangkis atau dielakkan lagi. Akan tetapi, Lie Siong tidak mau mempedulikan dua senjata lawan yang mengancam dirinya ini, sebaliknya ia lalu mempergunakan Sin-liong-kiam untuk menyapu kedua kaki Lili! Pikirnya, kalau senjata-senjata lawannya diteruskan, tentu sedikitnya ia akan dapat mematahkan sebuah kaki lawan!

Lili merasa terkejut sekali. Tak pernah disangkanya bahwa lawannya mengambil jalan nekad seperti itu! Ia berseru keras dan kedua kakinya melompat ke atas. Dengan sendirinya kipasnya tidak mengenai sasaran dan pedangnya yang tak dapat ditariknya kembali itu tidak mengenai leher lawan, akan tetapi menyerempet pundak kanan Lie Siong!

Lie Siong merasa betapa pundaknya menjadi perih dan sakit sekali dan melihat darah mengalir dari pundaknya. Akan tetapi ia tidak mempedulikan hal ini dan ketika pedangnya dapat dielakkan oleh kaki Lili yang melompat ke atas, ia lalu menggerakkan pedang itu sehingga lidah dari pedang naga itu dengan gerakan yang amat tidak terduga telah melibat sepatu kiri di kaki Lili!

Gadis itu terkejut dan hendak menarik kakinya, akan tetapi pada saat ia menggerakkan kaki kirinya, Lie Siong membetot dan sepatu kiri itu terlepas dari kaki Lili dan masih terlibat oleh lidah pedang naga itu!

“Bangsat! Kembalikan sepatuku!”

Lili berseru keras, akan tetapi Lie Siong yang merasa telah dapat membalas hinaan yang diterimanya dalam pertempuran itu, yaitu hinaan yang berupa “pengampunan” berkali-kali dari desakan pedang, segera membawa sepatu itu dan melompat keluar dari situ.

Lili hendak mengejar, akan tetapi tanpa sepatu, kaki kirinya terasa sakit sekali menginjak lantai yang kasar. Pada saat itu, dari luar rumah kuil itu terdengar seruan Lie Siong,

“Kau harus membayar penghinaan dan kesombonganmu dengan sepatumu! Tidak mudah mendapatkan sepatu yang masih dipakai dari puteri Pendekar Bodoh yang ternyata tolol dan bodoh melebihi ayahnya dan sombong pula!”

Lili hampir menangis saking jengkelnya dan melompat keluar.
“Kubunuh kau, bangsat rendah!” makinya, akan tetapi begitu kakinya menginjak batu-batu tajam, ia mengeluh, melompat kembali ke ruang itu, duduk di atas sebuah bangku dan… menangis!

Thian Kek Hwesio lalu menghampiri Lili dan menghiburnya,
“Nona Sie, mengapa kau menangis? Bukankah kau telah dapat mengusirnya?”

“Ia… manusia kurang ajar itu… ia telah membawa pergi sebuah sepatuku!” jawab Lili masih menangis.

Sesungguhnya, kejadian perampasan sepatu tadi amat cepatnya sehingga mata Thian Kek Hwesio yang tidak terlatih itu sama sekali tidak melihatnya. Kini ia memandang ke arah kaki kiri Lili dan ia berseru kaget,

“Omitohud…! Bagaimana ada laki-laki yang begitu kurang ajar? Nona Sie, betulkah kata-katamu tadi bahwa dia adalah putera Ang I Niocu? Pinceng pernah mendengar nama Ang I Niocu yang terkenal sekali.”

Akan tetapi Lili tak dapat menjawab, hanya melanjutkan tangisnya. Hatinya mangkel sekali dan ingin ia dapat menusuk dada pemuda itu dengan pedangnya!






Tidak ada komentar:

Posting Komentar