*

*

Ads

Kamis, 01 Agustus 2019

Pendekar Remaja Jilid 072

Thian Kek Hwesio adalah seorang pendeta Buddha yang bertubuh gemuk dan berwajah tenang dan riang. Hwesio ini telah banyak merantau dan sudah beberapa kali ia melawat ke negeri barat untuk memperdalam pengetahuannya tentang Agama Buddha.

Di dalam perantauannya ke barat inilah dia mendapatkan ilmu pengobatan yang luar biasa. Memang semenjak mudanya, Thian Kek Hwesio paling suka merripelajari ilmu ini dan ketika ia berada di negeri barat, ia bertemu dengan seorang ahli pengobatan, khususnya untuk mengobati orang-orang yang terganggu pikirannya dan orang-orang yang menjadi korban racun-racun jahat. Ia mempelajari ilmu jiwa yang amat dalam sampai puluhan tahun lamanya sehingga ketika ia kembali ke tanah airnya, ia telah menjadi seorang ahli berilmu tinggi.

Akhirnya ia menghentikan perantauannya dan tinggal di dalam kuil Siauw-lim-si di Kiciu, sambil memperkembangkan Agama Buddha yang dianutnya, ia pun selalu mengulurkan tangan untuk mengobati orang-orang yang membutuhkan pertolongannya.

Tidak jarang, apabila terjangkit wabah penyakit di suatu tempat, tidak peduli tempat itu letaknya amat jauh, Thian Kek Hwesio pasti akan mendatanginya dan mengulurkan tangan menolong orang-orang yang menjadi korban. Oleh karena ini, namanya menjadi amat terkenal sekali. Biarpun Thian Kek Hwesio bukan seorang ahli dalam hal ilmu silat, namun namanya tetap dihormati dan disegani oleh para tokoh kang-ouw. Banyak tokoh-tokoh besar persilatan menjadi sahabatnya, di antaranya adalah Sin Kong Tianglo yang memiliki kepandaian tinggi tentang ilmu pengobatan.

Lili mengajak Lo Sian menuju ke Kiciu untuk mendatangi hwesio suci ini guna minta pertolongannya mengobati Lo Sian. Di dalam perjalanan Lo Sian diam saja tak banyak berkata-kata, akan tetapi nampak lebih tenang setelah berada dekat Lili.

Beberapa kali gadis itu mencoba untuk mengingatkan bekas gurunya ini, akan tetapi Lo Sian tetap tidak daat mengingat sesuatu, tidak dapat mengenal Lili dan tidak ingat akan namanya sendiri. Akan tetapi, ia tidak nampak gelisah, tidak berteriak-teriak lagi dan seringkali ia memandang kepada Lili dengan penuh kepercayaan dan dengan muka menyatakan ketenangan hatinya.

Biarpun Lo Sian sudah menjadi gila, namun ilmu lari cepatnya masih belum lenyap dan karenanya Lili dapat mengajaknya berlari cepat dan sebentar saja mereka sudah berada di dekat kota Kiciu.

Ketika mereka berlari sampai di sebuah tempat yang sunyi, tiba-tiba mereka melihat dua orang sedang berkejar-kejaran. Yang dikejar adalah seorang pemuda sedangkan yang mengejarnya seorang gadis cantik. Lili merasa heran sekali melihat gadis itu sambil mengejar, menangis dan berseru memanggil,

“Tai-hiap… jangan tinggalkan aku! Tai-hiap… tunggulah dan bawa aku bersamamu…!”

Pemuda itu menoleh dan berkata dengan suara sedih,
“Lilani, jangan kau dekati aku lagi…! Aku seorang yang jahat dan rendah budi! Jangan kau dekati lagi, Lilani…!”

“Tai-hiap, kalau kau tetap hendak meninggalkanku, aku akan membunuh diri! Aku tidak sanggup berpisah darimu lagi…”

Kedua orang itu adalah Lie Siong dan Lilani. Setelah pada malam hari itu di dalam hutan, karena dorongan hati terharu keduanya saling menumpahkan perasaan hati dan lupa akan keadaan di sekelilingnya, maka pada keesokan harinya, bersama munculnya matahari, muncul pula pertimbangan dan kesadaran di hati Lie Siong.

Pemuda ini menjadi amat terkejut dan menyesal sekali mengingat akan perbuatannya sendiri dan ia merasa amat malu. Bagaimanakah ia, seorang pemuda yang berkepandaian dan yang seringkali dapat nasihat-nasihat dari ibunya, telah menjadi mata gelap dan runtuh hatinya terhadap kecantikan dan cumbu rayu seorang gadis cantik seperti Lilani? Ia menyesal sekali, akan tetapi ketika ia memandang wajah Lilani, gadis itu nampak lebih cantik dan berseri wajahnya. Sepasang mata gadis itu memandangnya dengan penuh cinta kasih sehingga Lie Siong menjadi gelisah sekali. Apakah yang sudah ia lakukan terhadap seorang gadis berhati tulus dan bersih seperti Lilani? Ah, ia berdosa, demikian pikirnya.

“Lilani…” katanya dengan suara perlahan, “aku… aku telah berdosa kepadamu… aku… aku tak dapat lagi memandang mukamu.”

Akan tetapi Lilani menubruk dan merangkulnya.
“Tai-hiap, mengapa kau berkata demikian? Aku, Lilani, bersumpah tak akan mencinta lain orang melainkan engkau. Engkaulah pujaanku dan hanya kepadamulah Lilani menyerahkan jiwa raganya…”






Makin perihlah perasaan hati Lie Siong mendengar ucapan dan melihat sikap gadis ini. Ia maklum dan percaya sepenuhnya bahwa Lilani benar-benar amat mencintanya, akan tetapi dia…? Dapatkah ia selamanya harus berada di samping Lilani? Dapatkah ia menjadi suami dari gadis ini…? Makin dipikirkan, makin gelisah dan menyesallah hati pemuda itu. Ia melanjutkan perjalanan dengan wajah muram dan Lilani mengikutinya dengan cemas dan tak mengerti.

Akan tetapi, dengan penuh kesetiaan dan kesabaran, gadis itu melayani Lie Siong dan mengikutinya kemana saja pemuda itu pergi tanpa mau mengganggunya dan tidak pula bertanya mengapa Lie Siong berhal seperti itu.

Akhirnya mereka tiba di tempat itu dan dengan terus terang Lie Siong menyatakan bahwa ia tidak ingin melakukan perjalanan selamanya bersama Lilani.

“Lilani, dari sini ke Tiang-an tidak jauh lagi. Aku… aku tidak dapat mengantarkan kau terus ke Tiang-an. Mengapa kau tidak pergi saja seorang diri?”

Lilani menjadi pucat.
“Tai-hiap, mengapakah kau berkata demikian? Aku… aku tidak ingin ke Tiang-an, tidak ingin ke manapun juga kecuali ke tempat engkau berada. Aku tidak mau meninggalkan kau, Tai-hiap, aku ingin terus berada di sampingmu, ke manapun juga kau pergi.”

Berkerutlah kening Lie Siong mendengar ini.
“Tidak, tidak, Lilani! Aku telah satu kali melakukan pelanggaran, melakukan perbuatan yang takkan dapat kulupakan selama hidupku. Aku tidak akan mau mengulanginya lagi. Akan tetapi… kalau kau berada di dekatku… aku… aku tak dapat menanggung bahwa kegilaan tidak akan membutakan mataku lagi…”

“Mengapa pelanggaran? Mengapa hal ini kau anggap kegilaan? Tai-hiap, tidak percayakah kau bahwa aku mencintaimu dengan seluruh jiwa ragaku? Aku tidak mengharapkan banyak asal dapat selalu berada di dekatmu…”

“Tidak, tidak! Tak mungkin, Lilani!”

Dan larilah Lie Siong meninggalkan gadis itu! Lilani mengejar sambil berteriak-teriak memilukan dan mereka berkejaran terus sampai terlihat oleh Lili dan Lo Sian.

Mendengar dan melihat keadaan dua orang yang berkejaran itu, Lili berdiri terheran-heran. Akan tetapi berbeda dengan Lo Sian. Orang tua ini masih tidak kehilangan sifat pendekarnya, dan kini melihat dua orang muda berkejaran, biarpun yang mengejar adalah yang wanita, namun karena Lilani menangis memilukan, dengan mudah saja ia dapat menduga bahwa dalam hal itu yang bersalah tentulah laki-laki yang dikejar itu! Tubuhnya bergerak dan berkelebat cepat menghadang di depan Lie Siong!

“Orang jahat! Kau sudah berani mengganggu seorang gadis dan kemudian melarikan diri?”

Ucapan yang dikeluarkan tanpa disengaja ini telah mengenai tepat sekali pada perasaan hati Lie Siong. Ia menjadi pucat dan memandang kepada orang yang menegurnya. Apakah jembel mengerikan ini telah mengetahui rahasianya? Apakah melihat perbuatannya di dalam hutan pada malam hari yang telah menghikmatnya kemarin?

“Jangan kau mencampuri urusanku!” seru Lie Siong dan cepat ia hendak melanjutkan larinya.

Akan tetapi Lo Sian menggerakkan tangannya yang diulurkan hendak mencengkeram pundak Lie Siong.

Melihat gerakan yang mendatangkan angin ini, terkejutlah Lie Siong dan ia cepat mengelak. Sambil miringkan tubuh ke kiri, pemuda ini cepat membalas dengan sebuah totokan ke arah pinggang kanan Lo Sian yang dapat menangkis pula. Akan tetapi ketika kakek ini menangkis, tubuhnya terpental ke belakang dan terhuyung-huyung, tanda bahwa ia kalah tenaga!

“Orang kurang ajar! Kau berani mengganggu Suhu?” tiba-tiba nampak berkelebat bayangan merah dan angin yang dingin menyerang Lie Siong dari samping kanan.

Pemuda ini cepat melompat ke belakang dan terheranlah dia ketika melihat bahwa yang menyerangnya adalah seorang gadis yang cantik jelita. Serangan gadis ini jauh lebih lihai dan hebat daripada serangan jembel tadi! Bagaimana mungkin seorang murid memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada suhunya!

Akan tetapi Lili tidak memberi kesempatan kepadanya untuk banyak memusingkan hal ini. Gadis ini pun merasa kaget dan penasaran ketika ternyata serangannya tadi dapat dielakkan dengan demikian mudahnya! Tadi ia telah menyerang dengan gerak tipu Pai-bun-twi-san (Mendorong Pintu Menolak Bukit) dengan maksud mendorong pemuda itu terguling, akan tetapi siapa kira bahwa dengan amat mudahnya pemuda itu telah dapat melompat dengan tepat dan mudah. Kini ia maju menyerang lagi dengan hebat, mengambil keputusan untuk merobohkan pemuda yang telah berani melawan suhunya tadi!

Lo Sian berdiri bertolak pinggang sambil tertawa-tawa menyaksikan pertempuran hebat itu. Sebaliknya, Lie Siong merasa terkejut bukan main karena ternyata bahwa gerakan gadis yang menyerangnya itu benar-benar luar biasa sekali! Cepat bagaikan seekor burung walet dan tiap pukulan yang menyerangnya mendatangkan angin yang kuat sekali.

Diam-diam Lie Siong merasa gembira sekali karena memang demikianlah sifatnya, suka menghadapi lawan yang tangguh. Ia lalu mengeluarkan Ilmu Silat Tarian Bidadari yang dipelajarinya dari ibunya. Tentu saja oleh karena Lie Siong menerima pelajaran langsung dari Ang I Niocu, ilmu silatnya ini sempurna dan matang betul.

Kini giliran Lili yang diam-diam merasa tertegun. Dari mana pemuda’ lawannya ini dapat bersilat dengan ilmu silat itu demikian bagusnya? Ia pun lalu merubah gerakannya dan dengan cepat ia bersilat dengan Ilmu Silat Sianli-utauw, sama dengan ilmu silat Lie Siong!

Pemuda ini makin kaget dan ketika ia mempercepat gerakannya, ternyata bahwa dalam hal Ilmu Silat Sianli-utauw, ia masih menang setingkat dan berhasil mendesak Lili! Gadis ini menggigit bibir dan menjadi marah, ia berseru keras dan kini ia mengeluarkan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut! Kedua lengan tangannya yang berkulit halus itu mengebulkan uap putih yang menyambar-nyambar ke arah Lie Siong.

Pemuda ini hampir berseru keras saking herannya dan cepat pula ia juga mengeluarkan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut! Akan tetapi keadaannya sekarang berubah karena ternyata bahwa Lili lebih mahir bersilat dengan ilmu silat ini! Hal ini pun tidak mengherankan, karena memang dalam hal ilmu ciptaan Bu Pun Su ini, Pendekar Bodoh lebih lihai kepandaiannya daripada Ang I Niocu.

Sementara itu, Lo Sian yang gila hanya tertawa-tawa saja melihat pertempuran ini, sedangkan Lilani yang sudah dapat mengejar sampai disitu, memandang dengan terheran-heran melihat betapa dua orang itu bertempur seakan-akan sedang menari-nari saja! Gerakan keduanya demikian sama dan cocok, lemah lembut dan lemas, indah dipandang.

“Tahan dulu!” seru Lie Siong yang makin lama makin terheran melihat betapa ilmu silat ini banyak sekali persamaannya dengan kepandaiannya sendiri. “Siapakah kau, Nona?”

Lili menjawab dengan mencabut pedangnya Liong-coan-kiam, lalu mencibirkan bibirnya sambil menjawab,

“Laki-laki mata keranjang dan kurang ajar! Sudah menjadi kebiasaanmukah menanyakan nama setiap orang wanita yang kau jumpai?”

Tentu saja Lie Siong menjadi marah dan mendongkol sekali. Ia merasa tersindir dan telinganya menjadi merah. Memang ia sedang merasa rusuh hatinya karena perbuatannya terhadap Lilani, sekarang ia dicap oleh gadis ini sebagai seorang mata keranjang! Tanpa berkata sesuatu, ia pun lalu mencabut Sin-liong-kiam dan menghadapi gadis itu dengan mata memandang tajam.

Akan tetapi, sebelum mereka bertempur mempergunakan senjata, Lilani telah melangkah maju, menghadapi Lili dengan muka merah dan mata bersinar.

“Jangan kau mengeluarkan kata-kata kotor terhadap Tai-hiap! Dia seorang pendekar gagah perkasa, sama sekali bukan mata keranjang dan kurang ajar! Jangan sekali-kali kau berani memaki padanya!” Sikap Lilani amat galak, seperti seekor ayam biang membela anaknya.

Melihat sikap ini, Lili tersenyum menyindir, lalu memasukkan pedangnya ke dalam sarung pedang kembali dan berkata,

“Sudahlah, jangan kau kuatir, aku takkan melukai atau membunuh kekasihmu! Hanya satu hal yang amat mengecewakan hatiku, kau seorang gadis yang cantik jelita mengapa begitu tidak tahu malu mengejar-ngejar seorang pemuda? Hah, sungguh menyebalkan!” Sambil berkata demikian, Lili lalu memegang tangan Lo Sian dan berkata,

“Suhu, mari kita pergi! Jangan melayani orang-orang ini!”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar