Kebetulan sekali, sinar lampu dari dalam rumahnya masih menerangi sedikit tempat itu dan ketika ia melihat orang yang berlari menerjang sinar penerangan ini, ia melihat bahwa orang itu adalah Song Kam Seng!
Bukan main marahnya hati Lili. Ia maklum bahwa pemuda ini tentu datang untuk mencari ayahnya, karena bukankah Kam Seng sudah berjanji hendak membalaskan dendam hatinya karena ayahnya dulu dibunuh oleh Pendekar Bodoh?
“Kam Seng, manusia pengecut! Jangan berlaku sebagai maling hina dina! Kalau kau berani, mari kita mengadu nyawa!” teriak Lili sambil mengejar cepat.
Akan tetapi Kam Seng tidak menjawab bahkan berlari makin cepat, dikejar terus oleh Lili. Pemuda ini memang maklum akan kepandaian Lili dan kalau ia melawan juga, ia takkan menang. Apalagi, betapapun juga, tak dapat ia bertempur melawan Lili, gadis musuh besarnya, gadis yang sesungguhnya amat dicintainya itu. Maka ia lalu melarikan diri lebih cepat lagi. Bukan saja karena gin-kang dari Kam Seng sudah amat maju akan tetapi terutama sekali karena malam itu gelap, sebentar saja pemuda itu sudah meninggalkan Lili dan menghilang di dalam gelap!
Lili menjadi jengkel sekali. Ia memaki-maki, memanggil-manggil nama Kam Seng sambil menantang-nantang, akan tetapi karena tidak memperoleh jawaban, akhirnya ia kembali ke rumahnya. Dan ternyata Lo Sian masih belum nampak sehingga gadis ini menjadi makin bingung.
Sebetulnya, ke manakah perginya Lo Sian? Ketika ia sedang minum arak dan Lili telah berlari ke bawah, tiba-tiba dari atas wuwungan menyambar turun bayangan yang cepat masuk loteng itu.
Lo Sian terkejut ketika melihat seorang pemuda telah berdiri dihadapannya. Ia mengenal pemuda ini sebagai pemuda yang pernah menyerangnya di rumah Thian Kek Hwesio, yaitu pemuda yang mengaku sebagai putera Lie Kong Sian. Sebelum ia sempat bertanya, Lie Siong, pemuda itu, telah mengulurkan tangan menotok jalan darah thian-hu-hiat di pundaknya. Totokan ini berdasarkan gerakan serangan dari Ilmu Silat Kong-ciak-sinna, ilmu silat warisan Bu Pun Su yang ia pelajari dari Ang I Niocu, maka bukan main cepat dan hebatnya.
Lo Sian sedang memegang guci arak dan ia berada dalam keadaan setengah mabuk, bagaimana ia dapat menghindarkan diri dari serangan ini? Tiba-tiba tubuhnya menjadi lemas terkena totokan itu dan guci arak itu tertepas dari pegangannya.
Lie Siong cepat menyambar guci arak itu dan meletakkannya di atas lantai. Akan tetapi oleh karena ia tidak memperhatikan guci itu, ia meletakkan guci dalam keadaan miring sehingga isinya mengalir keluar. Kemudian, secepat kilat pemuda ini lalu mengempit tubuh Lo Sian dan membawanya melompat turun!
Agar tidak membingungkan, baiknya diceritakan secara singkat bahwa semenjak berpisah dari Lo Sian dan Lili, pikiran Lie Siong amat terganggu oleh ucapan Lo Sian yang menerangkan tentang kematian ayahnya. Oleh karena itu, ia menunda niatnya mengajak Lilani ke utara mencari rombongan suku bangsa Haimi untuk mengembalikan Lilani kepada bangsanya, sebaliknya lalu mengajak gadis itu menuju ke Pulau Pek-le-to untuk mencari ayahnya!
Akan tetapi, ia mendapatkan pulau itu berada dalam keadaan kosong! Hatinya menjadi gelisah sekali. Keadaan pemuda ini makin menderita batinnya, pertama-tama ia merasa menyesal karena telah mengikat diri dengan Lilani, gadis yang amat mencintanya. Kedua, ia merasa menyesal dan bingung karena mendengar bahwa ayahnya telah meninggal dunia seperti yang dikatakan oleh Lo Sian Si Pengemis Sakti.
Ia harus dapat mencari orang tua itu untuk mencari keterangan tentang ayahnya, akan tetapi kalau teringat betapa ia telah bertempur dan bentrok dengan Lili, puteri Pendekar Bodoh, ia menjadi bingung. Semenjak ia dapat mencabut sepatu Lili, sepatu yang kecil mungil itu selalu tersimpan di dalam saku bajunya sebelah dalam, disembunyikan sebagai sebuah jimat!
Adapun Lilani, gadis yang bernasib malang itu, makin lama makin merasa hancur hatinya. Ia amat mencinta Lie Siong, bersedia menyerahkan jiwa raganya, akan tetapi melihat pemuda itu sama sekali tidak mengacuhkannya, ia menjadi sedih sekali. Kalau teringat betapa ia telah kehilangan ayah bundanya, kehilangan kakeknya, dan kini ia menderita karena mencinta seorang pemuda yang tidak mengacuhkannya, ah, gadis ini seringkali mengucurkan air mata di waktu malam. Betapapun juga, ia selalu menyembunyikan perasaan dukanya dari mata Lie Siong.
Setelah mendapatkan Pulau Pek-le-to kosong dan tidak diketahuinya kemana perginya ayahnya, Lie Siong lalu berkata kepada Lilani,
“Lilani, terpaksa aku harus menyusul ke Shaning…”
“Ah, ke rumah nona cantik jelita yang galak itu? Kau dulu bilang bahwa dia puteri Pendekar Bodoh, sungguh cocok sekali…”
Lie Siong memandang tajam.
“Apa maksudmu, Lilani? Kau cemburu?”
“Tidak, Tai-hiap, mengapa cemburu? Ada hak apakah maka aku dapat cemburu? Aku seorang tidak berharga, tidak seperti nona puteri Pendekar Bodoh itu, yang cantik, pandai, lihai… dan…”
“Sudahlah, jangan kau bicara tidak karuan! Hatiku sedang bingung memikirkan ayah. Siapa yang peduli gadis liar itu?” kata Lie Siong sambil mengajak gadis itu melanjutkan perjalanan. “Sekarang aku terpaksa harus menyusul ke Shaning untuk menangkap pengemis gila itu. Dari dia agaknya aku akan mengetahui dimana adanya ayahku. Terpaksa urusan mencari suku bangsamu di utara ditunda dulu.”
Lilani tidak membantah, hanya merasa dadanya sesak oleh cemburu. Cinta orang muda manakah yang tidak terhias oleh cemburu? Bukan cinta tulen kalau tidak ada rasa cemburu di dalamnya, kata orang tua.
Pada malam harinya, Lie Siong dan Lilani bermalam di sebuah hotel. Tidak seperti biasanya, Lie Siong berkeras tidak mau tidur sekamar dan minta kepada pelayan untuk menyediakan dua kamar yang berdampingan. Lilani makin merasa tidak enak, gelisah dan berduka. Sampai tengah malam gadis ini tidak dapat tidur dan karena hatinya selalu teringat kepada Lie Siong, tak tertahan lagi ia lalu keluar dari kamarnya dengan perlahan.
Ia sengaja membuka kedua sepatunya agar tindakan kakinya tak sampai mengagetkan Lie Siong yang ia tahu amat tajam pendengarannya itu. Ia ingin melihat apakah pemuda pujaan hatinya itu telah tidur. Dengan kaki telanjang ia berjalan menghampiri jendela kamar Lie Siong, lalu mengintai ke dalam setelah mendapatkan sebuah lubang di antara celah-celah jendela itu. Ia melihat kamar itu masih terang dan ternyata pemuda pujaannya itu masih belum tidur.
Lie Siong nampak tengah duduk melamun di atas kursi dan kedua tangannya memegang sebuah benda kecil. Jari-jari tangannya mempermainkan benda itu dan ketika Lilani memandang dengan tegas, ternyata bahwa benda itu adalah sebuah sepatu yang bagus dan kecil mungil bentuknya!
Bukan main panas dan perihnya hati Lilani. Itu adalah sepatu wanita, pikirnya, dan terang bukan sepatunya. Sepatunya tidak sekecil itu! Ah, sepatu siapa lagi kalau bukan sepatu gadis puteri Pendekar Bodoh itu? Biarpun Lie Siong tidak menceritakan tentang hasil pertempurannya melawan Lili namun Lilani dapat menduga dengan tepat. Hal ini mudah saja bagi seorang wanita yang berada dalam keadaan cemburu, karena wanita yang sedang cemburu memiliki kecerdikan luar biasa dalam hal menyelidiki sesuatu mengenai hubungan laki-laki yang dicintainya dengan wanita lain!
Bagaikan terpukul, Lilani terhuyung ke belakang dan ia menahan isak tangisnya. Karena tangisnya tak dapat tertahan lagi, maka ia tidak berani kembali ke kamarnya, takut kalau-kalau Lie Siong akan mendengar tangisnya.
Sebaliknya ia malah lari ke belakang dan keluar dari pintu belakang hotel itu menuju ke kebun belakang yang sunyi dan gelap! Di situ ia menjatuhkan diri di atas rumput dan menangis tersedu-sedu seperti seorang anak kecil kehilangan ibunya. Ia merasa sedih, gemas, dan marah.
Sedih karena merasa kehilangan seorang kekasih yang dicinta sepenuh hatinya. Gemas melihat Lie Siong yang tidak mengacuhkannya, sebaliknya tergila-gila kepada sebuah sepatu wanita lain dan marah kepada diri sendiri mengapa ia sampai demikian dalam jatuh dalam jurang asmara terhadap pemuda itu.
Di dalam kesedihannya, Lilani sampai tidak tahu bahwa ia tidak berada seorang diri di dalam taman itu. Tidak tahu bahwa di situ duduk dua orang laki-laki pemabukan yang sudah lama duduk minum arak berdua saja di situ dan keadaannya sudah setengah mabuk ketika Lilani datang ke situ dan menangis.
Lilani yang sedang menangis itu tiba-tiba merasa lehernya dipeluk orang dan terdengar suara parau,
“Nona manis, kenapa kau menangis? Marilah kuhibur kau…”
Lilani melompat berdiri dengan mata terbelalak. Dengan penuh kebencian dan kengerian hati ia melihat dua orang laki-laki menyeringai dan memandangnya seperti orang kelaparan, kemudian tangan kedua orang itu terulur maju hendak menangkapnya!
Lilani sedang merasa sedih, marah, kecewa dan perasaan yang sudah amat menggencet batinnya ini ditambah lagi oleh kebencian dan kengerian yang amat besar melihat lagak dua orang laki-laki ini. Hampir saja Lilani menjerit sekerasnya kalau ia tidak ingat bahwa jeritannya akan terdengar oleh Lie Siong dan ia tidak mau keadaannya diketahui oleh pemuda itu.
Maka sambil menahan berdebarnya hati yang membuat dadanya terasa sakit itu, ia lalu mengelak ke kiri dan tak disangkanya sama sekali, seorang di antara mereka itu memiliki gerakan yang cepat juga. Lilani sedang menderita dan keadaan malam itu agak gelap, maka gadis ini kurang cepat elakannya dan tahu-tahu lengannya telah tertangkap oleh seorang di antara dua pemabukan itu.
“Ha-ha-ha-ha, lenganmu lemas seperti sutera, Nona… ha-ha-ha!” Orang ini lalu merangkulnya dan hendak menciumnya.
“Buk!” disusul oleh pekik mengerikan dari laki-laki itu yang segera roboh tersungkur dalam keadaan tak bernyawa lagi!
Pukulan Lilani amat hebat karena selain gadis ini memiliki kepandalan silat yang lumayan, dan kini lebih lihai karena seringkali mendapat latihan dari Lie Siong, juga pukulan dari jarak dekat ini tepat mengenai ulu hati lawan sehingga jantung di dalam dada orang itu menjadi terluka!
Orang ke dua yang masih mabuk tidak tahu bahwa kawannya sudah mati, bahkan tertawa-tawa dan berkata kepada kawannya itu,
“A-siok, terlalu sekali kau… nona manis ditinggal tidur…”
Dan ia maju pula hendak merangkul Lilani. Gadis ini sekarang sudah seperti seorang gila dan gelap mata. Sebelum tangan orang ke dua ini dapat menyentuh bajunya ia kembali mengirim serangan dengan pukulan keras ke arah dada disusul dengan tendangan ke arah lambung pemabukan ini. Terdengar jerit keras dan pemabukan ke dua ini pun roboh dalam keadaan mati!
“Eh, eh, eh, apakah yang terjadi disini?”
Seorang pelayan hotel datang berlari-lari sambil membawa sebuah lampu minyak. Akan tetapi, jawaban yang didapat hanyalah sebuah pukulan tiba-tiba yang tepat mengenai lehernya. Pelayan ini terputar di atas kakinya lalu roboh. Celaka baginya, lampu yang dibawanya itu jatuh menimpanya dan terbakarlah pakaiannya!
Melihat betapa di dalam cahaya api, pelayan itu berkelojotan, Lilani memandang dengan muka sepucat mayat dan kedua mata terbuka lebar sedangkan kedua tangannya menutup mulutnya menahan jeritannya. Alangkah ngerinya!
Dan kemudian, seperti baru sadar, ia melihat pula dua orang pemabukan yang sudah dibunuhnya di tempat itu juga. Dengan perasaan amat tergoncang gadis yang masih bertelanjang kaki ini lalu lari secepatnya, kembali ke dalam kamarnya! Ia berdiri di tengah kamarnya sambil terengah-engah dan meramkan kedua matanya.
Kepalanya terasa pening sekali, dadanya berdetak-detak seakan-akan ada orang memukul-mukulkan palu di dalamnya. Tubuhnya lemas kedua kaki menggigil dan kedua tangan gemetar. Telinganya mendengar suara gaduh yang tak karuan terdengarnya, sedangkan pemandangan yang mengerikan dari tiga mayat itu, terutama sekali pelayan yang terbakar, selalu terbayang di depan matanya.
“Aku harus tenang… harus tenang…” pikirnya dan ia lalu menjatuhkan diri di tengah kamar itu juga, duduk bersila lalu untuk menenangkan pikiran dengan bersamadhi. Untuk memperdalam lwee-kangya, memang gadis ini sudah mempelajari siulian (samadhi) dari Lie Siong.
Suara ribut-ribut di luar kamarnya itu mengagetkan Lie Siong. Pemuda ini cepat menyalakan lilin di dalam kamarnya. Lalu berjalan keluar hendak melihat apa gerangan yang ribut-ribut di tengah malam seperti itu. Ketika ia mendengar bahwa ada tiga orang terbunuh oleh seorang gadis, ia terkejut sekali.
Cepat ia menuju ke kamar Lilani dan alangkah kagetnya ketika mendapat kenyataan bahwa pintu kamar gadis itu setengah terbuka! Ia cepat melangkah masuk dan biarpun kamar itu gelap, ia masih dapat melihat bayangan gadis itu duduk bersila di atas lantai. Sungguh cara siulian yang aneh, pikirnya. Mengapa tidak di atas pembaringan? Akan tetapi, ia tidak berani mengganggu seorang yang sedang samadhi dan diam-diam hendak meninggalkan kamar itu lagi kalau saja tidak mendengar isak tertahan dari gadis itu.
Bukan main marahnya hati Lili. Ia maklum bahwa pemuda ini tentu datang untuk mencari ayahnya, karena bukankah Kam Seng sudah berjanji hendak membalaskan dendam hatinya karena ayahnya dulu dibunuh oleh Pendekar Bodoh?
“Kam Seng, manusia pengecut! Jangan berlaku sebagai maling hina dina! Kalau kau berani, mari kita mengadu nyawa!” teriak Lili sambil mengejar cepat.
Akan tetapi Kam Seng tidak menjawab bahkan berlari makin cepat, dikejar terus oleh Lili. Pemuda ini memang maklum akan kepandaian Lili dan kalau ia melawan juga, ia takkan menang. Apalagi, betapapun juga, tak dapat ia bertempur melawan Lili, gadis musuh besarnya, gadis yang sesungguhnya amat dicintainya itu. Maka ia lalu melarikan diri lebih cepat lagi. Bukan saja karena gin-kang dari Kam Seng sudah amat maju akan tetapi terutama sekali karena malam itu gelap, sebentar saja pemuda itu sudah meninggalkan Lili dan menghilang di dalam gelap!
Lili menjadi jengkel sekali. Ia memaki-maki, memanggil-manggil nama Kam Seng sambil menantang-nantang, akan tetapi karena tidak memperoleh jawaban, akhirnya ia kembali ke rumahnya. Dan ternyata Lo Sian masih belum nampak sehingga gadis ini menjadi makin bingung.
Sebetulnya, ke manakah perginya Lo Sian? Ketika ia sedang minum arak dan Lili telah berlari ke bawah, tiba-tiba dari atas wuwungan menyambar turun bayangan yang cepat masuk loteng itu.
Lo Sian terkejut ketika melihat seorang pemuda telah berdiri dihadapannya. Ia mengenal pemuda ini sebagai pemuda yang pernah menyerangnya di rumah Thian Kek Hwesio, yaitu pemuda yang mengaku sebagai putera Lie Kong Sian. Sebelum ia sempat bertanya, Lie Siong, pemuda itu, telah mengulurkan tangan menotok jalan darah thian-hu-hiat di pundaknya. Totokan ini berdasarkan gerakan serangan dari Ilmu Silat Kong-ciak-sinna, ilmu silat warisan Bu Pun Su yang ia pelajari dari Ang I Niocu, maka bukan main cepat dan hebatnya.
Lo Sian sedang memegang guci arak dan ia berada dalam keadaan setengah mabuk, bagaimana ia dapat menghindarkan diri dari serangan ini? Tiba-tiba tubuhnya menjadi lemas terkena totokan itu dan guci arak itu tertepas dari pegangannya.
Lie Siong cepat menyambar guci arak itu dan meletakkannya di atas lantai. Akan tetapi oleh karena ia tidak memperhatikan guci itu, ia meletakkan guci dalam keadaan miring sehingga isinya mengalir keluar. Kemudian, secepat kilat pemuda ini lalu mengempit tubuh Lo Sian dan membawanya melompat turun!
Agar tidak membingungkan, baiknya diceritakan secara singkat bahwa semenjak berpisah dari Lo Sian dan Lili, pikiran Lie Siong amat terganggu oleh ucapan Lo Sian yang menerangkan tentang kematian ayahnya. Oleh karena itu, ia menunda niatnya mengajak Lilani ke utara mencari rombongan suku bangsa Haimi untuk mengembalikan Lilani kepada bangsanya, sebaliknya lalu mengajak gadis itu menuju ke Pulau Pek-le-to untuk mencari ayahnya!
Akan tetapi, ia mendapatkan pulau itu berada dalam keadaan kosong! Hatinya menjadi gelisah sekali. Keadaan pemuda ini makin menderita batinnya, pertama-tama ia merasa menyesal karena telah mengikat diri dengan Lilani, gadis yang amat mencintanya. Kedua, ia merasa menyesal dan bingung karena mendengar bahwa ayahnya telah meninggal dunia seperti yang dikatakan oleh Lo Sian Si Pengemis Sakti.
Ia harus dapat mencari orang tua itu untuk mencari keterangan tentang ayahnya, akan tetapi kalau teringat betapa ia telah bertempur dan bentrok dengan Lili, puteri Pendekar Bodoh, ia menjadi bingung. Semenjak ia dapat mencabut sepatu Lili, sepatu yang kecil mungil itu selalu tersimpan di dalam saku bajunya sebelah dalam, disembunyikan sebagai sebuah jimat!
Adapun Lilani, gadis yang bernasib malang itu, makin lama makin merasa hancur hatinya. Ia amat mencinta Lie Siong, bersedia menyerahkan jiwa raganya, akan tetapi melihat pemuda itu sama sekali tidak mengacuhkannya, ia menjadi sedih sekali. Kalau teringat betapa ia telah kehilangan ayah bundanya, kehilangan kakeknya, dan kini ia menderita karena mencinta seorang pemuda yang tidak mengacuhkannya, ah, gadis ini seringkali mengucurkan air mata di waktu malam. Betapapun juga, ia selalu menyembunyikan perasaan dukanya dari mata Lie Siong.
Setelah mendapatkan Pulau Pek-le-to kosong dan tidak diketahuinya kemana perginya ayahnya, Lie Siong lalu berkata kepada Lilani,
“Lilani, terpaksa aku harus menyusul ke Shaning…”
“Ah, ke rumah nona cantik jelita yang galak itu? Kau dulu bilang bahwa dia puteri Pendekar Bodoh, sungguh cocok sekali…”
Lie Siong memandang tajam.
“Apa maksudmu, Lilani? Kau cemburu?”
“Tidak, Tai-hiap, mengapa cemburu? Ada hak apakah maka aku dapat cemburu? Aku seorang tidak berharga, tidak seperti nona puteri Pendekar Bodoh itu, yang cantik, pandai, lihai… dan…”
“Sudahlah, jangan kau bicara tidak karuan! Hatiku sedang bingung memikirkan ayah. Siapa yang peduli gadis liar itu?” kata Lie Siong sambil mengajak gadis itu melanjutkan perjalanan. “Sekarang aku terpaksa harus menyusul ke Shaning untuk menangkap pengemis gila itu. Dari dia agaknya aku akan mengetahui dimana adanya ayahku. Terpaksa urusan mencari suku bangsamu di utara ditunda dulu.”
Lilani tidak membantah, hanya merasa dadanya sesak oleh cemburu. Cinta orang muda manakah yang tidak terhias oleh cemburu? Bukan cinta tulen kalau tidak ada rasa cemburu di dalamnya, kata orang tua.
Pada malam harinya, Lie Siong dan Lilani bermalam di sebuah hotel. Tidak seperti biasanya, Lie Siong berkeras tidak mau tidur sekamar dan minta kepada pelayan untuk menyediakan dua kamar yang berdampingan. Lilani makin merasa tidak enak, gelisah dan berduka. Sampai tengah malam gadis ini tidak dapat tidur dan karena hatinya selalu teringat kepada Lie Siong, tak tertahan lagi ia lalu keluar dari kamarnya dengan perlahan.
Ia sengaja membuka kedua sepatunya agar tindakan kakinya tak sampai mengagetkan Lie Siong yang ia tahu amat tajam pendengarannya itu. Ia ingin melihat apakah pemuda pujaan hatinya itu telah tidur. Dengan kaki telanjang ia berjalan menghampiri jendela kamar Lie Siong, lalu mengintai ke dalam setelah mendapatkan sebuah lubang di antara celah-celah jendela itu. Ia melihat kamar itu masih terang dan ternyata pemuda pujaannya itu masih belum tidur.
Lie Siong nampak tengah duduk melamun di atas kursi dan kedua tangannya memegang sebuah benda kecil. Jari-jari tangannya mempermainkan benda itu dan ketika Lilani memandang dengan tegas, ternyata bahwa benda itu adalah sebuah sepatu yang bagus dan kecil mungil bentuknya!
Bukan main panas dan perihnya hati Lilani. Itu adalah sepatu wanita, pikirnya, dan terang bukan sepatunya. Sepatunya tidak sekecil itu! Ah, sepatu siapa lagi kalau bukan sepatu gadis puteri Pendekar Bodoh itu? Biarpun Lie Siong tidak menceritakan tentang hasil pertempurannya melawan Lili namun Lilani dapat menduga dengan tepat. Hal ini mudah saja bagi seorang wanita yang berada dalam keadaan cemburu, karena wanita yang sedang cemburu memiliki kecerdikan luar biasa dalam hal menyelidiki sesuatu mengenai hubungan laki-laki yang dicintainya dengan wanita lain!
Bagaikan terpukul, Lilani terhuyung ke belakang dan ia menahan isak tangisnya. Karena tangisnya tak dapat tertahan lagi, maka ia tidak berani kembali ke kamarnya, takut kalau-kalau Lie Siong akan mendengar tangisnya.
Sebaliknya ia malah lari ke belakang dan keluar dari pintu belakang hotel itu menuju ke kebun belakang yang sunyi dan gelap! Di situ ia menjatuhkan diri di atas rumput dan menangis tersedu-sedu seperti seorang anak kecil kehilangan ibunya. Ia merasa sedih, gemas, dan marah.
Sedih karena merasa kehilangan seorang kekasih yang dicinta sepenuh hatinya. Gemas melihat Lie Siong yang tidak mengacuhkannya, sebaliknya tergila-gila kepada sebuah sepatu wanita lain dan marah kepada diri sendiri mengapa ia sampai demikian dalam jatuh dalam jurang asmara terhadap pemuda itu.
Di dalam kesedihannya, Lilani sampai tidak tahu bahwa ia tidak berada seorang diri di dalam taman itu. Tidak tahu bahwa di situ duduk dua orang laki-laki pemabukan yang sudah lama duduk minum arak berdua saja di situ dan keadaannya sudah setengah mabuk ketika Lilani datang ke situ dan menangis.
Lilani yang sedang menangis itu tiba-tiba merasa lehernya dipeluk orang dan terdengar suara parau,
“Nona manis, kenapa kau menangis? Marilah kuhibur kau…”
Lilani melompat berdiri dengan mata terbelalak. Dengan penuh kebencian dan kengerian hati ia melihat dua orang laki-laki menyeringai dan memandangnya seperti orang kelaparan, kemudian tangan kedua orang itu terulur maju hendak menangkapnya!
Lilani sedang merasa sedih, marah, kecewa dan perasaan yang sudah amat menggencet batinnya ini ditambah lagi oleh kebencian dan kengerian yang amat besar melihat lagak dua orang laki-laki ini. Hampir saja Lilani menjerit sekerasnya kalau ia tidak ingat bahwa jeritannya akan terdengar oleh Lie Siong dan ia tidak mau keadaannya diketahui oleh pemuda itu.
Maka sambil menahan berdebarnya hati yang membuat dadanya terasa sakit itu, ia lalu mengelak ke kiri dan tak disangkanya sama sekali, seorang di antara mereka itu memiliki gerakan yang cepat juga. Lilani sedang menderita dan keadaan malam itu agak gelap, maka gadis ini kurang cepat elakannya dan tahu-tahu lengannya telah tertangkap oleh seorang di antara dua pemabukan itu.
“Ha-ha-ha-ha, lenganmu lemas seperti sutera, Nona… ha-ha-ha!” Orang ini lalu merangkulnya dan hendak menciumnya.
“Buk!” disusul oleh pekik mengerikan dari laki-laki itu yang segera roboh tersungkur dalam keadaan tak bernyawa lagi!
Pukulan Lilani amat hebat karena selain gadis ini memiliki kepandalan silat yang lumayan, dan kini lebih lihai karena seringkali mendapat latihan dari Lie Siong, juga pukulan dari jarak dekat ini tepat mengenai ulu hati lawan sehingga jantung di dalam dada orang itu menjadi terluka!
Orang ke dua yang masih mabuk tidak tahu bahwa kawannya sudah mati, bahkan tertawa-tawa dan berkata kepada kawannya itu,
“A-siok, terlalu sekali kau… nona manis ditinggal tidur…”
Dan ia maju pula hendak merangkul Lilani. Gadis ini sekarang sudah seperti seorang gila dan gelap mata. Sebelum tangan orang ke dua ini dapat menyentuh bajunya ia kembali mengirim serangan dengan pukulan keras ke arah dada disusul dengan tendangan ke arah lambung pemabukan ini. Terdengar jerit keras dan pemabukan ke dua ini pun roboh dalam keadaan mati!
“Eh, eh, eh, apakah yang terjadi disini?”
Seorang pelayan hotel datang berlari-lari sambil membawa sebuah lampu minyak. Akan tetapi, jawaban yang didapat hanyalah sebuah pukulan tiba-tiba yang tepat mengenai lehernya. Pelayan ini terputar di atas kakinya lalu roboh. Celaka baginya, lampu yang dibawanya itu jatuh menimpanya dan terbakarlah pakaiannya!
Melihat betapa di dalam cahaya api, pelayan itu berkelojotan, Lilani memandang dengan muka sepucat mayat dan kedua mata terbuka lebar sedangkan kedua tangannya menutup mulutnya menahan jeritannya. Alangkah ngerinya!
Dan kemudian, seperti baru sadar, ia melihat pula dua orang pemabukan yang sudah dibunuhnya di tempat itu juga. Dengan perasaan amat tergoncang gadis yang masih bertelanjang kaki ini lalu lari secepatnya, kembali ke dalam kamarnya! Ia berdiri di tengah kamarnya sambil terengah-engah dan meramkan kedua matanya.
Kepalanya terasa pening sekali, dadanya berdetak-detak seakan-akan ada orang memukul-mukulkan palu di dalamnya. Tubuhnya lemas kedua kaki menggigil dan kedua tangan gemetar. Telinganya mendengar suara gaduh yang tak karuan terdengarnya, sedangkan pemandangan yang mengerikan dari tiga mayat itu, terutama sekali pelayan yang terbakar, selalu terbayang di depan matanya.
“Aku harus tenang… harus tenang…” pikirnya dan ia lalu menjatuhkan diri di tengah kamar itu juga, duduk bersila lalu untuk menenangkan pikiran dengan bersamadhi. Untuk memperdalam lwee-kangya, memang gadis ini sudah mempelajari siulian (samadhi) dari Lie Siong.
Suara ribut-ribut di luar kamarnya itu mengagetkan Lie Siong. Pemuda ini cepat menyalakan lilin di dalam kamarnya. Lalu berjalan keluar hendak melihat apa gerangan yang ribut-ribut di tengah malam seperti itu. Ketika ia mendengar bahwa ada tiga orang terbunuh oleh seorang gadis, ia terkejut sekali.
Cepat ia menuju ke kamar Lilani dan alangkah kagetnya ketika mendapat kenyataan bahwa pintu kamar gadis itu setengah terbuka! Ia cepat melangkah masuk dan biarpun kamar itu gelap, ia masih dapat melihat bayangan gadis itu duduk bersila di atas lantai. Sungguh cara siulian yang aneh, pikirnya. Mengapa tidak di atas pembaringan? Akan tetapi, ia tidak berani mengganggu seorang yang sedang samadhi dan diam-diam hendak meninggalkan kamar itu lagi kalau saja tidak mendengar isak tertahan dari gadis itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar