*

*

Ads

Minggu, 18 Agustus 2019

Pendekar Remaja Jilid 107

Sebaliknya ketika Kam Wi melihat Lili yang masih muda dan cantik itu dapat pula bertahan memasuki gua dan sama sekali tidak nampak kepanasan, diam-diam ia merasa kagum sekali.

“Eh… Liong-ji (Anak Liong), siapakah Nona yang gagah ini?”

“Dia adalah Nona Sie Hong Li, puteri dari Sie Tai-hiap!”

“Kau maksudkan Sie Tai-hiap Pendekar Bodoh?” tanya Kam Wi setengah tidak percaya.

Ketika Kam Liong mengangguk membenarkan pertanyaan ini, tidak saja Kam Wi yang memandang dengan penuh perhatian bahkan Tiong Kun Tojin dan kefiga orang lain itu memandang dengan penuh perhatian. Terdengar seorang diantara ketiga kakek yang duduk disitu mengeluarkan seruan heran dan berkata,

“Ah, kebetulan sekali! Sudah lama kami rindu sekali untuk menyaksikan kepandaian Pendekar Bodoh yang amat terkenal namanya, hari ini bertemu dengan puterinya, setidaknya kami akan dapat menilai sampai dimana tingkat kepandaian Pendekar Bodoh yang terkenal itu!”

Mendengar nama ayahnya disebut-sebut oleh suara orang yang agaknya sombong ini, Lili lalu mengangkat mukanya memandang dengan penuh perhatian. Suhu dari Kam Liong dan juga pamannya, memang patut menjadi orang gagah. Wajah mereka keren dan tubuh mereka tinggi besar, terutama sekali pandang mata kedua orang tokoh Kun-lun-pai ini amat tajam dan memandang dengan jujur dan langsung.

Akan tetapi, tiga orang kakek yang duduk di situ benar-benar membuat Lili hampir tertawa geli. Orang-orang macam ini pantas sekali kalau menjadi sahabat Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hwesio, karena mereka inipun mempunyai bentuk tubuh yang aneh.

Yang bicara tadi adalah seorang yang tubuhnya seperti anak-anak, kepalanya botak dan jenggotnya sudah putih semua. Ia mengempit sebuah payung butut. Orang ke dua bertubuh gemuk pendek dengan muka lebar dan mulut serta mata besar. Kepalanya tertutup kopyah pendeta yang bertuliskan huruf “Buddha”. Orang ini selalu tersenyum lebar dan pada pinggangnya terlilit rantai yang panjang dan besar. Orang ke tiga bertubuh tinggi kecil dan kepalanya yang kecil tertutup kopyah. Kumisnya hanya beberapa lembar di kanan kiri sedangkan jenggotnya yang hitam berbentuk jenggot kambing. Ia memegang sebatang tongkat sederhana.

Lili sama sekali tidak pernah menduga bahwa tiga orang ini adalah Hailun Thai-lek Sam-kui (Tiga Iblis Geledek dari Hailun) yang amat tersohor namanya. Seperti pernah dituturkan di bagian depan, Goat Lan ketika mencarikan obat untuk putera pangeran, pernah bertemu dengan tiga orang kakek itu.

Juga pernah dituturkan bahwa ketiga orang kakek ini setelah mendengar dari Ban Sai Cinjin bahwa pertandingan pibu melawan rombongan Pendekar Bodoh akan diadakan setahun lagi, yaitu pada permulaan musim semi, lalu meninggalkan Ban Sai Cinjin untuk melanjutkan perantauan mereka.

Sungguhpun ketiga orang kakek ini mempunyai kegemaran yang buruk, yaitu suka sekali berkelahi dan mencoba ilmu kepandaian serta tidak mau kalah, namun mereka masih tetap merupakan orang-orang gagah yang tidak mau melakukan kejahatan.

Bahkan orang pertama, Thian-he Te-it Siansu yang bertubuh kate, dan Lak Mau Couwsu yang pendek gemuk, mempunyai jiwa pahlawan. Mereka berdua ini merasa tak senang mendengar betapa bangsanya banyak yang diculik dan dirampok oleh orang-orang Mongol dan Tartar.

Orang ke tiga, yang bernama Bouw Ki, sebetulnya adalah seorang keturunan Mongol, akan tetapi ketika mendengar betapa kedua orang suhengnya hendak membantu tentara kerajaan mengusir pengacau-pengacau bangsa Tartar dan Mongol, ia segera menyatakan kesediaannya untuk membantu pula! Bouw Ki dulu menjadi tokoh di negara Mongol, akan tetapi semenjak Malangi Khan merebut tahta kerajaan, ia melarikan diri dan mendendam kepada Malangi Khan yang sudah banyak membunuh keluarganya.

Demikianlah, ketika Hailun Thai-lek Sam-kui bertemu dengan Tiong Kun Tojin dan Kam Wi, kedua orang tokoh Kun-lun-pai ini, mereka segera mengadakan pertemuan di dalam gua itu untuk merundingkan maksud mereka membantu gerakan tentara pemerintah mengusir bangsa Tartar dan Mongol.

Inilah sebab mengapa Lili menjumpai mereka di dalam gua. Ketika kelima orang tua itu mengadakan pertemuan di dalam gua, dengan jujur Kam Wi menyatakan bahwa hawa amat dingin.

Mendengar ini, Thian-he Te-it Siansu tertawa bergelak dan ia mengusulkan membuat api unggun di dalam gua. Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu disuruh mengumpulkan kayu kering dan tak lama kemudian bernyala api unggun besar di dalam gua itu. Panasnya tak tertahankan lagi oleh Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu yang kemudian disuruh oleh Tiong Kun Tojin untuk mencegat perjalanan barisan dari kerajaan dan kebetulan bertemu dengan Kam Liong.






Adapun lima orang pandai itu, setelah menyalakan api unggun, timbullah sifat Hailun Thai-lek Sam-kui untuk menguji kepandaian orang. Mereka dengan sengaja menambah bahan bakar sehingga kini api unggun itu bukan diadakan untuk mengusir hawa dingin, melainkan diadakan untuk menguji kepandaian masing-masing!

Tentu saja kedua orang tokoh Kun-lun-pai yang mengerti maksud tiga orang tamunya, tidak mau menyerah kalah begitu saja dan seakan-akan tidak mengerti maksud mereka, kedua orang ini mengajak Hailun Thai-lek Sam-kui bercakap-cakap sampai Kam Liong dan Lili datang.

Lili yang merasa mendongkol juga mendengar ucapan Thian-he Te-it Siansu yang menyinggung nama ayahnya, lalu berkata,

“Siapakah gerangan Sam-wi Lo-enghiong (Tiga Orang Tua Gagah) yang telah mengenal nama ayahku?”

Ketiga orang aneh itu tidak menjawab, melainkan tertawa-tawa saja dan Bouw Ki sekarang menambah lagi kayu bakar pada api unggun itu sehingga makin besarlah nyalanya dan makin panas hawanya.

Tiong Kun Tojin merasa tidak enak melihat sikap tiga orang kakek itu, karena menghadapi puteri Pendekar Bodoh ia tidak berani memandang rendah, maka ia lalu memperkenalkan,

“Kam Liong, dan kau juga Nona Sie. Ketahuilah bahwa tiga orang tua ini adalah Hailun Thai-lek Sam-kui yang amat terkenal. Mereka datang untuk membantu kita mengusir pengacau di perbatasan.”

Kam Liong terkejut dan menjura dengan hormat kepada tiga kakek itu, akan tetapi Lili tiba-tiba tertawa mengejek.

“Ah, tidak tahunya aku berhadapan dengan tiga orang kakek gagah perkasa, demikian gagah perkasanya sehingga suka mengeroyok seorang gadis yang bernama Goat Lan!”

Tiong Kun Tojin dan Kam Wi, juga Kam Liong tertegun mendengar ucapan ini, dan mereka merasa khawatir sekali melihat gadis itu berani mengejek tiga orang kakek itu. Akan tetapi, memang sudah menjadi watak Hailun Thai-lek Sam-kui yang aneh, mereka ini tidak pernah marah, dan hanya satu kesukaannya, yaitu berkelahi mencari kemenangan! Kini mendengar ejekan Lili, mereka tidak marah. Lak Mau Couwsu berkata sambil memperlebar senyumnya,

“Ah, murid Sin Kong Tianglo itu telah menceritakan tentang perjumpaannya dengan kami bertiga? Bagus, katakan kepadanya bahwa lain kali dia takkan kami lepaskan sebelum mengaku kalah. Ha-ha-ha!”

Tiong Kun Tojin adalah seorang tokoh Kun-lun-pai yang dikenal berwatak keras, jujur dan suka berterus terang. Melihat betapa di antara tiga orang kakek itu dan Lili terdapat pertentangan, ia lalu berkata terus terang,

“Dalam waktu seperti ini, dimana negara sedang terancam oleh musuh dari luar, sungguh amat disesalkan kalau diantara kita saling cakar-cakaran! Lebih baik kita melupakan untuk sementara waktu urusan lama yang terjadi diantara kita, dan mempersatukan tenaga untuk menolong negara! Adapun tentang pengujian kepandaian, dapat dilakukan disini tanpa membahayakan nyawa! Biarlah kutambah lagi api ini untuk melihat siapa yang paling kuat diantara kita.”

Sambil berkata demikian, tokoh Kun-lun-pai ini lalu menambahkan kayu bakar lagi pada api unggun yang sudah amat besar itu. Kam Liong hampir tak dapat menahannya. Peluhnya telah mulai keluar membasahi jidatnya. Ketika ia mengerling ke arah Lili, ternyata bahwa gadis ini masih tersenyum-senyum seakan-akan tidak merasa panas sama sekali!

“Kam Liong, kau keluarlah. Kau tidak ikut serta dalam ujian ini!” kata suhunya untuk menolong muridnya ini, karena ia maklum bahwa kepandaian Kam Liong masih belum cukup matang untuk dapat menahan panas yang demikian hebatnya.

Kam Liong lalu menjura dan setelah mengerling sekali kepada Lili, ia lalu keluar dari situ, disambut oleh Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu.

“Aduh, kukira kau takkan keluar, Kam-ciangkun. Kalau aku yang berada di dalam, bisa kering seluruh tubuhku!” kata hwesio gemuk itu.

“Eh, apakah Nona Sie masih bertahan di dalam?” tanya Ceng To Tosu heran.

Kam Liong mengangguk. Ia belum berani mengeluarkan suara, karena pergantian hawa dari dalam yang panas menjadi dingin sekali di luar, membutuhkan pengerahan tenaga lwee-kang untuk mengatur aliran darahnya.

Adapun Lili yang menghadapi lima orang itu, sambil tersenyum-senyum memandang kepada mereka. Dilihatnya betapa muka kelima orang itu merah sekali tersorot oleh api unggun dan betapa mereka mempertahankan dengan sin-kang mereka yang tinggi, tetap saja nampak betapa mereka itu telah mulai terserang rasa panas yang luar biasa ini.

Lili sendiri juga merasakan serangan hawa panas itu, akan tetapi dia bukanlah puteri Pendekat Bodoh dan cucu murid Bu Pun Su kalau harus kalah sedemikian mudahnya. Ia telah mempelajari latihan sin-kang yang luar biasa dari ayahnya, yaitu latihan sin-kang pokok yang diajarkan oleh Bu Pun Su dahulu kepada ayahnya. Pengerahan sin-kangnya membuat tubuhnya sebentar-sebentar terasa dingin sekali dan ia berseru,

“Aduh dinginnya…”

Thian-he Te-it Siansu memandangnya dengan kagum dan heran, lalu menganggukkan kepalanya dan berkata,

“Memang dingin sekali! Biar kutambah kayu bakarnya!”

Kakek botak yang kecil ini lalu menambah kayu bakar lagi sehingga api berkobar makin tinggi dan hawa panas makin menghebat!

Melihat hal ini, diam-diam Lili terkejut sekali. Sin-kang dari lima orang tua ini benar-benar hebat sekali, dan karena ia kalah latihan, kalau dilanjutkan akhirnya ia sendiri yang akan mundur dan mengaku kalah.

Akan tetapi, Lili adalah puteri Pendekar Bodoh dan ibunya terkenal amat cerdik. Gadis ini pun memiliki kecerdikan, ketabahan, dan ketenangan yang luar biasa sekali. Ia lalu berpikir dan mengingat-ingat dongeng yang dulu sering ia dengar dari kakeknya, yaitu Yousuf.

Setelah mengingat sebuah dongeng tentang padang pasir, ia lalu tersenyum, menghafalkan sajak tentang Abdullah yang terserang panas di padang pasir. Setelah hafal betul di luar kepala, gadis ini lalu tersenyum-senyum girang. Ia lalu berdiri dan mengumpulkan semua kayu bakar, dan dilemparkannya kayu bakar itu ke dalam api unggun. Api kini menyala hebat sekali sampai sundul pada langit-langit gua!

Lima orang tua itu kaget sekali dan cepat mereka mengerahkan tenaga dalam, karena kini hawa panas luar biasa hebatnya. Lili sendiri lalu duduk bersila, mengatur napas dan duduk seperti orang bersamadhi, seluruh perasaannya melupakan adanya api unggun, bahkan kini membayangkan keadaan di luar gua yang tertutup salju dan dingin sekali. Setelah hawa panas mereda, tiba-tiba gadis ini lalu menyanyikan sajak yang tadi dihafalnya di luar kepala. Ia bernyanyi tanpa mempergunakan perasaannya sehingga ia tidak terpengaruh oleh nyanyiannya sendiri.

Lima orang tua itu mendengar suara yang merdu dan indah, tak dapat bertahan lagi lalu memperhatikan kata-kata nyanyian itu. Memang Lili mempunyai suara yang amat merdu, dan terdengarlah ia bernyanyi keras,

“Abdullah kelana sengsara.
Haus, lapar, lelah tak berdaya.
Tersesat di gurun pasir tandus.
Matahari membakar, panas… haus!
Tak tertahankan panasnya, serasa dibakar.
Mata silau, terasa pedas, perih, nanar.
Kulit mengering.
Kepala pening…
Aduh panasnya, panas tak tertahankan…!”

Dahulu ketika Yousuf menyanyikan sajak ini ketika mendongengkannya tentang Abdullah si musafir kelana, Lili seringkali merasa ikut panas dan seakan-akan ia merasakan betapa sengsaranya berada di padang pasir yang kering itu. Kini ia bernyanyi dengan suaranya yang merdu, didengarkan dengan penuh perhatian oleh lima orang tua itu. Dan akibatnya sungguh hebat!






Tidak ada komentar:

Posting Komentar