*

*

Ads

Minggu, 18 Agustus 2019

Pendekar Remaja Jilid 106

Ketika mereka tiba di kota raja, Kam Liong lalu mengajak Lili singgah di rumah gedungnya dan ia memperkenalkan gadis ini kepada ibunya yang sudah janda. Nyonya Kam ternyata adalah seorang wanita terpelajar yang halus dan ramah-tamah, mengajak Lili bercakap-cakap, sementara itu Kam Liong lalu membuat laporan kepada Kaisar, kemudian menerima perintah untuk memimpin sepasukan besar tentara pilihan untuk menuju ke utara dan menggempur para pengacau serta memperkuat penjagaan tapal batas karena terdengar berita akan adanya serangan dari Malangi Khan, raja bangsa Mongol.

Tiga hari Kam Liong membutuhkan waktu di kota raja untuk membuat persiapan, kemudian berangkatlah pasukannya di bawah pimpinannya. Kini pemuda itu mengenakan pakaian panglima dan makin gagah saja.

Lili minta diri dari Nyonya Kam yang baik hati, kemudian gadis ini pun ikut dengan pasukan itu, naik kuda di depan bersama Kam Liong. Semua perwira dalam barisan itu yang mendengar bahwa gadis itu adalah puteri Pendekar Bodoh, menjadi kagum dan diam-diam mereka tersenyum karena menaruh harapan bahwa komandan mereka, Kam-ciangkun, akan berjodoh dengan pendekar wanita yang lincah dan jelita ini.

Lima hari kemudian setelah pasukan ini berangkat ke utara, mereka mulai melewati daerah yang amat sukar dan dingin. Diam-diam Lili merasa bersyukur ia ikut dalam rombongan ini, karena memang harus diakuinya bahwa kalau ia melakukan perjalanan seorang ia akan menempuh kesukaran besar sekali.

Pada suatu hari, ketika pasukan itu dengan susah payah mendaki sebuah lereng gunung yang tertutup salju, tiba-tiba Kam Liong dan Lili yang berkuda di depan, melihat dua orang tua berlari cepat dari arah kanan.

“Hei…! Bukankah itu Kam-ciangkun yang memimpin pasukan?” tiba-tiba seorang diantara kedua kakek itu berseru girang sambil berlari menghampiri.

Ketika kedua orang ini sudah dekat, hampir saja Lili tak dapat menahan ketawanya. Ia melihat dua orang pendeta seorang tosu dan seorang hwesio yang keadaannya lucu sekali.

Mereka sudah tua dan tosu itu bertubuh tinggi kurus, mukanya yang keriputan saking tuanya itu nampak makin menyedihkan karena selalu ia bermuka seperti orang hendak menangis! Adapun hwesio yang menjadi kawannya itu pun lucu sekali. Tubuhnya gemuk seperti tong besar, bajunya terbuka sehingga biarpun berada di tempat dingin, perutnya yang gendut nampak. Mukanya bundar seperti bal dan selalu menyeringai seperti orang yang merasa gembira sekali.

“Kam-ciangkun, apakah kau hendak memimpin pasukanmu ke Alkata-san?” tanya Si Tosu yang mau menangis itu.

Sebelum Kam Liong menjawab dan berkata dengan dua orang pendeta itu, Lili tak dapat menahan hatinya lagi dan bertanya girang,

“Apakah dua orang pendeta ini bukan Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hwesio?”

Kedua orang pendeta itu terkejut dan memandang kepada Lili dengan penuh perhatian. ”Kam-ciangkun, siapakah Nona yang cantik dan gagah ini?” tanya Si Hwesio sambil tersenyum-seyum.

“Kawan lama, Ji-wi Losuhu (Dua Orang Pendeta). Kawan lama!” jawab Kam Liong gembira. “Tentu Ji-wi takkan dapat menduga siapa dia, karena dia ini adalah Nona Sie Hong Lie, puteri dari Sie Cin Hai Tai-hiap Pendekar Bodoh!”

“Apa…??”

Ceng To Tosu dengan mewek-mewek mau menangis menghampiri Lili dan memegang tangan kirinya, sedangkan Ceng Tek Hwesio yang makin lebar ketawanya juga menghampirinya dan memegang tangan kanannya.

Lili menjadi gembira sekali. Seringkali ayah dan ibunya terkekeh-kekeh kalau menceritakan tentang kedua orang ini yang muncul di dalam masa ayah ibunya masih muda (baca cerita Pendekar Bodoh). Kini melihat mereka, biarpun sudah nampak tua sekali namun keadaan mereka masih tetap tidak berubah, persis seperti yang digambarkan oleh ayah dan ibunya, mau tak mau Lili lalu tertawa terpingkal-pingkal sehingga ia menggunakan tangan yang dipegang lengannya itu untuk menutupi mulutnya.

“Ji-wi Losuhu,” akhirnya ia berkata setelah dapat menahan geli hatinya. “Jiwi hendak pergi kemanakah? Apakah Jiwi telah bertemu dengan ayah bundaku?”






“Dimana ayahmu? Dimana Sie Taihiap? Sudah bertahun-tahun kami tidak bertemu dengan dia,” jawab Ceng To Tosu.

“Ayah dan Ibu juga berada di daerah utara ini,” kata Lili.

“Apa…? Betulkah?” tanya Ceng Tek Hwesio.

Kemudian Kam Liong lalu menuturkan kepada dua orang pendeta ini tentang semua peristiwa yang terjadi sehingga kedua orang pendeta itu menjadi girang sekali.

“Ah, usiaku yang tinggal sedikit ini ternyata penuh dengan kebahagiaan,” kata Ceng To Tosu. “Berjumpa dengan Nona Sie Hong Li puteri Sie Tai-hiap sudah merupakan hal yang membahagiakan, apalagi sekarang ada kemungkinan bertemu dengan Sie Tai-hiap sendiri dan puteranya!”

“Akan tetapi Ji-wi Losuhu mengapa sampai berada di tempat ini? Ada keperluan penting apakah?” tanya Kam Liong.

Kini Ceng Tek Hwesio yang menceritakan dengan muka berseri-seri seakan-akan cerita itu merupakan sebuah cerita yang menggirangkan hati. Padahal cerita itu hebat dan seharusnya patut dibuat gelisah.

Ternyata bahwa Malangi Khan, raja bangsa Mongol, telah membuat persiapan perang besar-besaran dan bala tentaranya dipecah menjadi dua, sebarisan menyerang dari utara dan barisan ke dua menyerang dari barat. Pertempuran-pertempuran kecil telah pecah antara barisan-barisan Mongol yang sebagian besar di bagian barat telah menggabung dengan tentara Tartar, melawan pasukan-pasukan penjaga kerajaan yang tidak berapa kuat.

“Sudah demikian hebat keadaannya?” kata Kam Liong dengan kaget.

“Itu masih belum hebat, Kam-ciangkun. Yang paling menggemaskan adalah terdapatnya banyak sekali orang-orang kang-ouw yang menggabungkan diri dan membantu Malangi Khan!”

“Hebat, siapakah pengkhianat-pengkhianat bangsa itu?”

“Belum diketahui, Ciangkun. Akan tetapi menurut laporan-laporan para perajurit yang menjaga di perbatasan dan yang dipukul mundur, diantara pemimpin-pemimpin pasukan Tartar dan Mongol, banyak sekali terdapat orang-orang bangsa kita sendiri yang berkepandaian tinggi. Oleh karena itu kami sengaja mencarimu atas perintah suhumu dan siok-humu (pamanmu) yang telah mengumpulkan beberapa orang gagah untuk menjadi sukarelawan menghadapi serbuan musuh.”

Berseri wajah Kam Liong mendengar berita ini.
“Suhu dan Siok-hu? Dimana mereka?”

“Tak jauh dari sini, di hutan sebelah barat itu, Ciangkun. Marilah kau ikut kami menjumpainya dan kau juga, Nona Sie. Kau akan bertemu dengan orang-orang gagah disana.”

Tentu saja Lili tidak menolak. Setelah berpesan kepada para perwira untuk memberi kesempatan kepada pasukan beristirahat disitu, Kam Liong dan Lili lalu berjalan kaki mengikuti dua orang pendeta itu. Mereka mempergunakan ilmu lari cepat, maka tak lama kemudian sampailah mereka di hutan yang nampak dari tempat pemberhentian tadi.

Suhu dari Kam Liong adalah seorang tosu yang bertubuh tinggi besar berwajah galak. Sungguhpun usianya telah mendekati empat puluh tahun, namun rambut kepalanya masih subur dan hitam sehingga ia nampak lebih muda dari usia sebenarnya!

Tiong Kun Tojin masih terhitung suheng (kakak seperguruan) yang ilmu kepandaiannya lebih tinggi daripada mendiang Kam Hong Sin. Adapun yang disebut paman atau siok-hu dari Kam Liong, adalah adik misan dari ayah Kam Liong dan bernama Kam Wi.

Kam Wi juga bukan orang sembarangan, karena ia memiliki kepandaian yang tinggi pula. Ia menjadi sute (adik seperguruan) dari Tiong Kun Tojin, selain telah mewarisi ilmu silat Kun-lun-pai, juga Kam Wi telah mempelajari Ilmu Houw-jiauw-kang yang lihai, semacam ilmu silat tangan kosong yang amat berbahaya. Oleh karena itu, Kam Wi jarang sekali mempergunakan senjata, sungguhpun ia pandai pula main pedang. Selalu ia menghadapi lawannya dengan tangan kosong, mengandalkan Ilmu Silat Houw-jiauw-kang yang sempurna. Dan oleh karena Ilmu Silat Houw-jiauw-kang (Cengkeraman Kuku Harimau) inilah maka ia mendapat julukan Sin-houw-enghiong (Pendekar Harimau Sakti)!

Tiong Kun Tojin dan Kam Wi mempunyai watak yang cocok, keduanya beradat keras, berangasan, akan tetapi jujur dan gagah perkasa, pembela kebenaran dan keadilan. Kalau Tiong Kun Tojin sudah berusia empat puluh tahun, adalah Kam Wi baru berusia tiga puluh tahun lebih. Juga ia mempunyai tubuh tinggi besar seperti suhengnya.

Ketika mendengar tentang penyerbuan dan pengacauan bangsa Mongol dan Tartar di daerah perbatasan negaranya, kedua orang gagah ini timbul semangat dan jiwa patriotnya. Mereka meninggalkan Gunung Kun-lun-san dan menuju ke utara.

Di sepanjang jalan mereka mengajak para tokoh kangouw. Kemudian mereka lalu berkumpul di hutan itu, hutan yang hanya dilindungi oleh pohon-pohon yang gundul karena daunnya telah rontok semua, dahan-dahannya kini penuh oleh salju yang menggantikan kedudukan daun-daun yang sudah lenyap.

Di tengah-tengah hutan yang berada di lereng gunung itu terdapat sebuah gua besar dan karena adanya gua besar inilah maka tokoh-tokoh Kun-lun-pai itu memilih tempat ini.

Ketika Kam Liong dan Lili yang mengikuti dua orang pendeta itu tiba di luar gua, mereka melihat sinar api dari dalam gua. Ternyata bahwa di dalam gua itu duduk lima orang yang mengelilingi api unggun yang bernyala besar. Hawa panas keluar dari gua itu dan karena hawa di luar gua amat dinginnya, maka panas ini mendatangkan udara yang nyaman sekali.

“Aduh, enak… enak…!” kata Ceng Tek Hwesio sambil tersenyum-senyum dan mendekati mulut gua.

“Kam-ciangkun, kalau kau dan Nona Sie kuat menghadapi panas yang hebat itu, masuklah, bertemu dengan suhumu. Kami berdua tidak kuat bertahan lama-lama di dalam neraka itu!” kata Ceng To Tosu.

Dari luar Kam Liong sudah melihat suhunya dan pamannya duduk bersama tiga orang lain yang tidak dikenalnya. Nampak mereka sedang bercakap-cakap dengan asyiknya. Kam Liong maklum bahwa tanpa memiliki tenaga lwee-kang yang tinggi, tidak mungkin orang akan dapat bertahan duduk di gua yang panas itu sampai lama.

Ia telah maklum akan kepandaian Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu, namun kedua orang pendeta itu masih tidak kuat tinggal lama-lama di dalam gua dan kini hanya duduk di luar gua!

Akan tetapi, tidak percuma ia menjadi murid Tiong Kun Tojin, tokoh luar biasa dari Kun-lun-pai. Ia maklum bahwa untuk kuat bertahan di dalam gua yang panas itu, ia harus mengerahkan lwee-kangnya memperkuat daya Im-kang di dalam tubuh untuk melawan daya Yang-kang. Ia melirik kepada Lili yang memandang ke dalam dengan sikap acuh tak acuh.

“Nona, kalau terlalu panas untukmu, biarlah aku masuk menjumpai Suhu dan siok-hu.”

“Siapa bilang terlalu panas? Aku pun ingin sekali bertemu dengan orang-orang yang suka mendekati api itu,” jawab Lili, karena diam-diam gadis ini pun tertarik hatinya melihat lima orang yang seakan-akan mendemonstrasikan kepandaian mereka itu.

Mendengar jawaban ini, selain tertegun Kam Liong juga kagum dan gembira, karena kali ini ia akan dapat menyaksikan dan membuktikan sampai dimana keunggulan kepandaian gadis ini. Ia lalu melangkah masuk diikuti oleh Lili.

Bukan main panasnya hawa di dalam gua itu. Baiknya di langit-langit gua terdapat lobang diantara batu karang sehingga asap api unggun itu dapat keluar dan tidak menyesakkan napas di dalam gua. Akan tetapi api yang besar itu benar-benar membuat kulit serasa hampir terbakar.

Lima orang yang sedang bercakap-cakap ketika melihat kedatangan Kam Liong dan Lili, segera menunda percakapan mereka dan kini semua mata tertuju kepada dua orang muda ini.

“Suhu, sungguh menggembirakan dapat bertemu dengan Suhu di sini!” kata Kam Liong setelah berlutut, kemudian ia berpaling kepada pamannya dan berkata, “Siok-hu, apakah Siok-hu baik-baik saja?”

Kedua orang tua itu girang melihat Kam Liong.
“Ah, kebetulan sekali. Kau baru datang?” tanya suhunya. “Memang kami sedang mempercakapkan tentang penyerbuan musuh. Kebetulan kau datang, karena sesungguhnya secara resmi, kaulah yang bertanggung jawab menghadapi mereka.”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar