Ketika ia bernyanyi sampai di bagian mata silau, terasa pedas, perih, nanar, terdengar keluhan Kam Wi yang tidak kuat lagi membuka matanya, seakan-akan api unggun yang bernyala itu berubah menjadi matahari yang luar biasa panas dan menyilaukan matanya. Kepalanya menjadi pening dan betapa pun ditahan-tahannya, ia tidak kuat lagi sehingga untuk berjalan keluar saja ia tidak kuat lagi.
Suhengnya, Tiong Kun Tojin, yang melihat keadaan sutenya ini, lalu menggerakkan kaki kanannya mendorong tubuh sutenya itu yang terpental dan bergulingan keluar sampai di pintu gua. Setelah mendapatkan hawa segar, barulah Kam Wi dapat mengerahkan tenaga dan melompat keluar dengan terengah-engah!
Tiong Kun Tojin menolong sutenya tanpa berani mengeluarkan sepatah kata pun. Ia sendiri sudah hampir tidak kuat, apalagi ketika Lili mengulang nyanyiannya dan menambahkan semua sisa kayu bakar pada api unggun itu!
Juga Hailun Thai-lek Sam-kui dengan susah payah mencoba untuk menahan serangan hawa panas yang luar biasa dan yang kini berlipat ganda hebatnya setelah mereka mendengarkan nyanyian Lili.
“Tutup mulut…! Jangan menyanyi…!” Thian-he Te-it Siansu membentak, akan tetapi bentakannya ini membuat ia makin lemah dan pertahanannya tak dapat melawan pengaruh panas yang mendesak.
Sambil berseru keras tubuhnya berkelebat keluar dari situ, diikuti oleh kedua orang sutenya. Sesampai di luar, mereka terengah-engah dan cepat-cepat duduk bersamadhi untuk mengatur napas.
Tiong Kun Tojin mencoba untuk mempertahankan diri. Sebagai seorang tokoh Kun-lun-pai yang ternama, ia merasa malu kalau harus mengaku kalah dalam hal menghadapi api unggun oleh gadis yang cerdik dan banyak akal ini.
Akan tetapi gema nyanyian Lili betul-betul membuat ia bohwat (kehabisan akal) dan terpaksa ia lalu berdiri dari tempat duduknya, memandang ke arah Lili yang ternyata kini bernyanyi sambil duduk bersamadhi meramkan matanya itu. Lili memang sedang memusatkan tenaganya dan biarpun mulutnya bernyanyi, ia bernyanyi tanpa menggunakan perasaan atau pikiran.
Tahulah Tiong Kun Tojin akan akal bulus gadis ini dan diam-diam ia menjadi kagum sekali. Ia tidak kuat berdiam di situ lebih lama lagi dan dengan tindakan perlahan ia keluar dari gua. Berbeda dengan yang lain-lain, ia keluar dengan tenang dan sambil berjalan, ia telah mengatur napasnya sehingga ketika tiba di luar gua, keadaannya tidak apa-apa, hanya mukanya saja telah penuh dengan peluh!
Baru saja tiba di luar, berkelebatlah bayangan Lili. Gadis ini hanya nampak merah saja mukanya, tanpa peluh setitik pun. Kemerahan mukanya menambah kemanisan gadis ini sehingga semua orang memandangnya dengan penuh kekaguman.
“Ah, tidak mengecewakan kau menjadi puteri Pendekar Bodoh!” Tiong Kun Tojin memuji dengan setulus hati.
Juga Sin-houw-enghiong Kam Wi yang berwatak kasar dan jujur lalu berkata kepada Kam Liong,
“Liong-ji, kalau kau bisa berjodoh dengan Nona ini, hatiku akan puas sekali dan roh ayahmu akan tersenyum bahagia! Aku akan mencari Pendekar Bodoh untuk mengajukan pinangan!”
Kam Liong menjadi kaget sekali dan menyesal akan kelancangan pamannya yang kasar itu. Diam-diam ia mengerling ke arah Lili yang menjadi merah sekali mukanya, bukan merah karena panasnya api, akan tetapi merah sampai ke telinga-telinganya saking jengah, malu dan marahnya. Ia memandang dengan mata bersinar tajam kepada pembicara itu, agaknya siap untuk memaki. Akan tetapi Kam Liong buru-buru menghampirinya dan menjura amat dalam lalu berkata,
“Nona Sie, mohon maaf sebanyaknya apabila ucapan pamanku menyinggung hatimu. Percayalah, Siok-hu (Paman) tidak bermaksud buruk dan sama sekali tidak hendak menghinamu. Harap kau sudi memaafkannya.”
Mendengar ucapan dan melihat sikap pemuda ini, Lili merasa tidak enak hati kalau melanjutkan kemarahannya terhadap orang tinggi besar yang kasar itu. Akan tetapi tetap saja ia mengomel,
“Agaknya orang disini tidak tahu aturan dan boleh bicara apa saja seenak hatinya, tanpa mempedulikan orang lain seakan-akan dia yang lebih tinggi dan lebih pintar. Kam-ciangkun, marilah kita melanjutkan perjalanan, aku hendak mencari keluargaku. Untuk apa lama-laima disini? Kalau kau masih hendak lama berdiam di tempat ini, terpaksa aku akan pergi lebih dulu!”
Kam Liong menjadi serba salah dan memandang kepada suhu dan pamannya. Akan tetapi sebelum ketiga orang ini mengeluarkan kata-kata, Thian-he Teit Siansu, orang pertama dari Thai-lek Sam-kui itu, berkata sambil tertawa,
“Nona Sie, kau telah mengakali kami bertiga. Kau cerdik sekali! Akan tetapi hatiku belum puas karena belum melihat kepandaianmu yang sesungguhnya. Marilah kau melayani kami sebentar, hendak kulihat apakah kepandaianmu sama tingginya dengan akal bulusmu!” Sambil berkata demikian, kakek kate ini menggerak-gerakkan payungnya.
Pada saat itu Lili sedang merasa jengkel dan marah karena ucapan Kam Wi tadi, maka kini mendengar orang menantangnya, ia menjawab marah,
“Kalian ini tiga orang iblis tua ternyata jahat dan sombong. Kau kira aku takut kepada kalian? Di dalam waktu seperti ini, kalian datang katanya hendak membantu perjuangan dan mengusir para pengacau, akan tetapi siapa tahu bahwa kalian hanya hendak mencari permusuhan dengan setiap orang yang kau jumpai. Kalian mengajak berkelahi. Baik, majulah aku Sie Hong Li tidak takut sedikit pun!”
Sambil berkata demikian sekali ia menggerakkan kedua tangannya, pedang Liong-coan-kiam telah berada di tangan kanan dan kipas maut telah berada di tangan kirinya! Ia berdiri dengan sikap gagah sekali, mukanya merah matanya menyala.
Melihat sikap ini, Tiong Kun Tojin lalu cepat melangkah maju dan berkata kepada Hailun Thai-ek Sam-kui,
“Sam-wi sungguh tidak dapat membedakan orang. Bicara terhadap seorang gadis muda seperti Nona Sie, seharusnya jangan dipersamakan dengan pembicaraan terhadap seorang yang sudah masak oleh api pengalaman.” Kemudian tosu ini lalu berpaling kepada Lili dan berkata,
“Nona Sie, sesungguhnya memang sudah menjadi watak Hailun Thai-lek Sam-kui untuk menguji kepandaian setiap orang yang dijumpainya. Ini adalah cara penghargaan mereka. Kalau yang dijumpainya itu seorang yang mereka anggap tidak cukup sempurna kepandaiannya dan tidak cukup berharga, biar dipaksa-paksa sekalipun jangan harap akan dapat membuat mereka turun tangan mengajak bertanding! Tantangannya ini merupakan penghormatan yang aneh, Nona. Oleh karena itu, harap kau jangan marah dan lakukanlah pertandingan ini secara persahabatan, yaitu hanya merupakan pibu (pertandingan kepandaian) biasa saja untuk menentukan siapa yang lebih unggul tingkatnya!”
Lili tersenyum menyindir ketika menjawab,
“Totiang, aku pun bukan seorang kanak-kanak, sungguhpun harus aku akui bahwa pengalamanku belum banyak. Ketiga orang tua ini termasuk tokoh-tokoh kang-ouw yang terkenal dan sudah mencapai tingkat tinggi. Akan tetapi mengapa untuk menghadapi aku seorang saja mereka bertiga hendak maju berbareng? Bukan aku merasa takut, akan tetapi bukankah kalau hal ini hanya sebuah pibu biasa nama mereka akan merosot turun?”
Bouw Ki orang ke tiga dari Thailek Sam-kui tertawa bergelak.
“Nona Sie, kami bertiga disebut tiga setan, mengapa takut nama merosot? Kami tidak mempedulikan nama dan juga menjadi kebiasaan kami untuk maju bersama, hidup bertiga mati bertiga! Nona, kalau seorang diantara kami menang, kami tak dapat memperebutkan kemenangan itu dan kalau kalah, harus kami pikul bertiga. Ha-ha-ha!”
Lili adalah seorang gadis yang keras hati, mendengar omongan ini ia menjadi makin marah.
“Majulah, majulah! Siapa takut padamu?”
Thian-he Te-it Siansu, orang pertama dari Hailun Thai-lek Sam-kui mengeluarkan suara aneh dan payungnya menyambar ke arah pinggang Lili.
“Anak Pendekar Bodoh, awaslah!” serunya.
Lili melihat bahwa biarpun payung itu merupakan benda sederhana saja, namun ia tahu bahwa itu adalah sebuah senjata luar biasa. Tidak saja gagang payung dapat mewakili sebuah tongkat, juga setiap jari-jari payung itu merupakan tongkat-tongkat kecil yang dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah. Maka ia tidak berlaku ayal lagi dan cepat ia mengebutkan kipas di tangan kirinya menangkis. Terdengar suara keras ketika kipas dan payung beradu dan ketika dari kipas ini datang angin pukulan yang aneh, Thian-he Te-it Siansu menjadi kagum sekali.
Begitu pukulan pertama dari payung Thian-he Te-it Siansu dapat tertangkis oleh Lili, menyusullah serangan-serangan dari Bouw Ki yang menggerakkan tongkatnya dan Lak Mou Couwsu yang mainkan rantai besarnya. Sebentar saja Lili telah terkurung oleh tiga orang tokoh besar itu dengan rapat sekali.
Akan tetapi, gadis yang berhati tabah dan berani sekali ini tidak menjadi gentar seujung rambut pun, bahkan ia lalu mempercepat permainan kipas San-sui-san-hoat peninggalan dari Swi Kiat Siansu dan memperhebat pula serangan pedang di tangan kanannya yang memainkan Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-sut ciptaan ayahnya.
Pada saat Thian-he Te-it Siansu menyerang dengan payung dikembangkan ke arah lambung Lili, gadis ini berseru keras dan cepat mengembangkan kipasnya pula, dikebutkan ke arah payung sedangkan pedangnya tidak tinggal diam, melainkan menahan datangnya rantai dan tongkat!
“Nanti dulu!” seru Thian-te Te-it Siansu ketika merasa betapa kebutan kipas itu telah menolak hawa pukulan dari payungnya. “Bukankah yang kau mainkan ini ilmu kipas maut San-sui-san-hoat dari Swi Kiat Siansu?”
Lili tidak mau menahan senjatanya dan sambil menyerang terus ia berseru,
“Kalau betul kau mau apa?”
“Ha-ha-ha! Katanya kau puteri Pendekar Bodoh, kenapa menghadapi dengan Ilmu Kipas Maut dari Swi Kiat Siansu? Mana kepandaian dari Pendekar Bodoh, ayahmu?” Thian-he Te-it Siansu yang paling pandai bicara diantara kedua mengejek Lili.
Memang sesungguhnya, Thian-he Tiat Siansu agak jerih menghadapi ilmu kipas maut dari Swi Kiat Siansu, karena ia pernah jatuh bangun oleh Swi Kiat Siansu yang mainkan ilmu silat ini.
Ketiga orang Iblis Geledek dari Hailun ini memang pernah mengadu kepandaian dengan Swi Kiat Siansu dan biarpun tokoh terbesar dari utara ini hanya mainkan sebuah kipas butut, namun ketiga orang iblis ini terpaksa mengakui keunggulan Swi Kiat Siansu!
Kini melihat bahwa gadis muda ini pandai pula mainkan ilmu Kipas San-sui-san-hoat, selain jerih terhadap ilmu kipas itu sendiri, juga Thian-he Te-it Siansu merasa jerih menghadapi nama kakek jagoan dari utara itu. Maka ia sengaja mengejek Lili agar mengeluarkan kepandaian yang dipelajarinya dari Pendekar Bodoh.
Lili adalah seorang gadis muda yang betapapun cerdik dan tabahnya, namun masih kurang pengalaman. Dalam sebuah pibu, sebetulnya ia boleh saja mengeluarkan segala kepandaian yang pernah dipelajarinya, karena namanya juga pibu (mengadu kepandaian), kalau ia menyimpan dan tidak mempergunakan sesuatu kepandaiannya, kalah menang tak dapat dipergunakan sebagai ukuran. Mendengar ejekan Thian-he Te-it Siansu itu, ia menjadi marah sekali.
“Tua bangka, kau kira aku hanya mengandalkan pelajaran dari Swi Kiat Siansu belaka? Untuk mengalahkan orang-orang macam kalian ini cukup dengan pedang dan tangan kiriku.”
Sambil berkata demikian, Lili lalu menyelipkan kipas mautnya di pinggang, kemudian ia menyerang lagi sambil memutar pedang Liong-coan-kiam sehingga pedang itu berubah menjadi segulung sinar putih yang menyilaukan mata.
“Bagus sekali. Aku tak pernah menyaksikan ilmu pedang seperti ini, akan tetapi betul-betul hebat!” seru Lak Mou Couwsu yang jujur.
Memang Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-sut adalah ciptaan dari Pendekar Bodoh sendiri, yaitu sebagian dari Ilmu Pedang Daun Bambu yang amat sulit dipelajarinya, maka jarang ada orang yang pernah menyaksikannya. Ilmu Pedang Daun Bambu adalah ilmu pedang yang baru dapat dimainkan oleh orang yang telah memiliki kepandaian pokok segala ilmu silat dan dasar-dasar gerakan tubuh seperti yang telah dimiliki oleh Pendekar Bodoh biarpun Lili telah dilatih oleh ayahnya semenjak kecil, akan tetapi tetap saja gadis ini belum dapat menangkap pelajaran mengenai pokok dan dasar ilmu silat seperti yang dimiliki ayahnya, maka sukarlah baginya untuk mempelajari Ilmu Pedang Daun Bambu. Sebagai gantinya, Pendekar Bodoh lalu menciptakan Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-sut untuk puterinya.
Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-sut ini memang benar-benar hebat, tepat sebagaimana yang dikatakan oleh Lak Mou Couwsu yang jujur. Kalau sekiranya yang menghadapi ilmu pedang ini seorang diantara Hailun Thai-lek Sam-kui, belum tentu mereka akan kuat menahan.
Suhengnya, Tiong Kun Tojin, yang melihat keadaan sutenya ini, lalu menggerakkan kaki kanannya mendorong tubuh sutenya itu yang terpental dan bergulingan keluar sampai di pintu gua. Setelah mendapatkan hawa segar, barulah Kam Wi dapat mengerahkan tenaga dan melompat keluar dengan terengah-engah!
Tiong Kun Tojin menolong sutenya tanpa berani mengeluarkan sepatah kata pun. Ia sendiri sudah hampir tidak kuat, apalagi ketika Lili mengulang nyanyiannya dan menambahkan semua sisa kayu bakar pada api unggun itu!
Juga Hailun Thai-lek Sam-kui dengan susah payah mencoba untuk menahan serangan hawa panas yang luar biasa dan yang kini berlipat ganda hebatnya setelah mereka mendengarkan nyanyian Lili.
“Tutup mulut…! Jangan menyanyi…!” Thian-he Te-it Siansu membentak, akan tetapi bentakannya ini membuat ia makin lemah dan pertahanannya tak dapat melawan pengaruh panas yang mendesak.
Sambil berseru keras tubuhnya berkelebat keluar dari situ, diikuti oleh kedua orang sutenya. Sesampai di luar, mereka terengah-engah dan cepat-cepat duduk bersamadhi untuk mengatur napas.
Tiong Kun Tojin mencoba untuk mempertahankan diri. Sebagai seorang tokoh Kun-lun-pai yang ternama, ia merasa malu kalau harus mengaku kalah dalam hal menghadapi api unggun oleh gadis yang cerdik dan banyak akal ini.
Akan tetapi gema nyanyian Lili betul-betul membuat ia bohwat (kehabisan akal) dan terpaksa ia lalu berdiri dari tempat duduknya, memandang ke arah Lili yang ternyata kini bernyanyi sambil duduk bersamadhi meramkan matanya itu. Lili memang sedang memusatkan tenaganya dan biarpun mulutnya bernyanyi, ia bernyanyi tanpa menggunakan perasaan atau pikiran.
Tahulah Tiong Kun Tojin akan akal bulus gadis ini dan diam-diam ia menjadi kagum sekali. Ia tidak kuat berdiam di situ lebih lama lagi dan dengan tindakan perlahan ia keluar dari gua. Berbeda dengan yang lain-lain, ia keluar dengan tenang dan sambil berjalan, ia telah mengatur napasnya sehingga ketika tiba di luar gua, keadaannya tidak apa-apa, hanya mukanya saja telah penuh dengan peluh!
Baru saja tiba di luar, berkelebatlah bayangan Lili. Gadis ini hanya nampak merah saja mukanya, tanpa peluh setitik pun. Kemerahan mukanya menambah kemanisan gadis ini sehingga semua orang memandangnya dengan penuh kekaguman.
“Ah, tidak mengecewakan kau menjadi puteri Pendekar Bodoh!” Tiong Kun Tojin memuji dengan setulus hati.
Juga Sin-houw-enghiong Kam Wi yang berwatak kasar dan jujur lalu berkata kepada Kam Liong,
“Liong-ji, kalau kau bisa berjodoh dengan Nona ini, hatiku akan puas sekali dan roh ayahmu akan tersenyum bahagia! Aku akan mencari Pendekar Bodoh untuk mengajukan pinangan!”
Kam Liong menjadi kaget sekali dan menyesal akan kelancangan pamannya yang kasar itu. Diam-diam ia mengerling ke arah Lili yang menjadi merah sekali mukanya, bukan merah karena panasnya api, akan tetapi merah sampai ke telinga-telinganya saking jengah, malu dan marahnya. Ia memandang dengan mata bersinar tajam kepada pembicara itu, agaknya siap untuk memaki. Akan tetapi Kam Liong buru-buru menghampirinya dan menjura amat dalam lalu berkata,
“Nona Sie, mohon maaf sebanyaknya apabila ucapan pamanku menyinggung hatimu. Percayalah, Siok-hu (Paman) tidak bermaksud buruk dan sama sekali tidak hendak menghinamu. Harap kau sudi memaafkannya.”
Mendengar ucapan dan melihat sikap pemuda ini, Lili merasa tidak enak hati kalau melanjutkan kemarahannya terhadap orang tinggi besar yang kasar itu. Akan tetapi tetap saja ia mengomel,
“Agaknya orang disini tidak tahu aturan dan boleh bicara apa saja seenak hatinya, tanpa mempedulikan orang lain seakan-akan dia yang lebih tinggi dan lebih pintar. Kam-ciangkun, marilah kita melanjutkan perjalanan, aku hendak mencari keluargaku. Untuk apa lama-laima disini? Kalau kau masih hendak lama berdiam di tempat ini, terpaksa aku akan pergi lebih dulu!”
Kam Liong menjadi serba salah dan memandang kepada suhu dan pamannya. Akan tetapi sebelum ketiga orang ini mengeluarkan kata-kata, Thian-he Teit Siansu, orang pertama dari Thai-lek Sam-kui itu, berkata sambil tertawa,
“Nona Sie, kau telah mengakali kami bertiga. Kau cerdik sekali! Akan tetapi hatiku belum puas karena belum melihat kepandaianmu yang sesungguhnya. Marilah kau melayani kami sebentar, hendak kulihat apakah kepandaianmu sama tingginya dengan akal bulusmu!” Sambil berkata demikian, kakek kate ini menggerak-gerakkan payungnya.
Pada saat itu Lili sedang merasa jengkel dan marah karena ucapan Kam Wi tadi, maka kini mendengar orang menantangnya, ia menjawab marah,
“Kalian ini tiga orang iblis tua ternyata jahat dan sombong. Kau kira aku takut kepada kalian? Di dalam waktu seperti ini, kalian datang katanya hendak membantu perjuangan dan mengusir para pengacau, akan tetapi siapa tahu bahwa kalian hanya hendak mencari permusuhan dengan setiap orang yang kau jumpai. Kalian mengajak berkelahi. Baik, majulah aku Sie Hong Li tidak takut sedikit pun!”
Sambil berkata demikian sekali ia menggerakkan kedua tangannya, pedang Liong-coan-kiam telah berada di tangan kanan dan kipas maut telah berada di tangan kirinya! Ia berdiri dengan sikap gagah sekali, mukanya merah matanya menyala.
Melihat sikap ini, Tiong Kun Tojin lalu cepat melangkah maju dan berkata kepada Hailun Thai-ek Sam-kui,
“Sam-wi sungguh tidak dapat membedakan orang. Bicara terhadap seorang gadis muda seperti Nona Sie, seharusnya jangan dipersamakan dengan pembicaraan terhadap seorang yang sudah masak oleh api pengalaman.” Kemudian tosu ini lalu berpaling kepada Lili dan berkata,
“Nona Sie, sesungguhnya memang sudah menjadi watak Hailun Thai-lek Sam-kui untuk menguji kepandaian setiap orang yang dijumpainya. Ini adalah cara penghargaan mereka. Kalau yang dijumpainya itu seorang yang mereka anggap tidak cukup sempurna kepandaiannya dan tidak cukup berharga, biar dipaksa-paksa sekalipun jangan harap akan dapat membuat mereka turun tangan mengajak bertanding! Tantangannya ini merupakan penghormatan yang aneh, Nona. Oleh karena itu, harap kau jangan marah dan lakukanlah pertandingan ini secara persahabatan, yaitu hanya merupakan pibu (pertandingan kepandaian) biasa saja untuk menentukan siapa yang lebih unggul tingkatnya!”
Lili tersenyum menyindir ketika menjawab,
“Totiang, aku pun bukan seorang kanak-kanak, sungguhpun harus aku akui bahwa pengalamanku belum banyak. Ketiga orang tua ini termasuk tokoh-tokoh kang-ouw yang terkenal dan sudah mencapai tingkat tinggi. Akan tetapi mengapa untuk menghadapi aku seorang saja mereka bertiga hendak maju berbareng? Bukan aku merasa takut, akan tetapi bukankah kalau hal ini hanya sebuah pibu biasa nama mereka akan merosot turun?”
Bouw Ki orang ke tiga dari Thailek Sam-kui tertawa bergelak.
“Nona Sie, kami bertiga disebut tiga setan, mengapa takut nama merosot? Kami tidak mempedulikan nama dan juga menjadi kebiasaan kami untuk maju bersama, hidup bertiga mati bertiga! Nona, kalau seorang diantara kami menang, kami tak dapat memperebutkan kemenangan itu dan kalau kalah, harus kami pikul bertiga. Ha-ha-ha!”
Lili adalah seorang gadis yang keras hati, mendengar omongan ini ia menjadi makin marah.
“Majulah, majulah! Siapa takut padamu?”
Thian-he Te-it Siansu, orang pertama dari Hailun Thai-lek Sam-kui mengeluarkan suara aneh dan payungnya menyambar ke arah pinggang Lili.
“Anak Pendekar Bodoh, awaslah!” serunya.
Lili melihat bahwa biarpun payung itu merupakan benda sederhana saja, namun ia tahu bahwa itu adalah sebuah senjata luar biasa. Tidak saja gagang payung dapat mewakili sebuah tongkat, juga setiap jari-jari payung itu merupakan tongkat-tongkat kecil yang dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah. Maka ia tidak berlaku ayal lagi dan cepat ia mengebutkan kipas di tangan kirinya menangkis. Terdengar suara keras ketika kipas dan payung beradu dan ketika dari kipas ini datang angin pukulan yang aneh, Thian-he Te-it Siansu menjadi kagum sekali.
Begitu pukulan pertama dari payung Thian-he Te-it Siansu dapat tertangkis oleh Lili, menyusullah serangan-serangan dari Bouw Ki yang menggerakkan tongkatnya dan Lak Mou Couwsu yang mainkan rantai besarnya. Sebentar saja Lili telah terkurung oleh tiga orang tokoh besar itu dengan rapat sekali.
Akan tetapi, gadis yang berhati tabah dan berani sekali ini tidak menjadi gentar seujung rambut pun, bahkan ia lalu mempercepat permainan kipas San-sui-san-hoat peninggalan dari Swi Kiat Siansu dan memperhebat pula serangan pedang di tangan kanannya yang memainkan Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-sut ciptaan ayahnya.
Pada saat Thian-he Te-it Siansu menyerang dengan payung dikembangkan ke arah lambung Lili, gadis ini berseru keras dan cepat mengembangkan kipasnya pula, dikebutkan ke arah payung sedangkan pedangnya tidak tinggal diam, melainkan menahan datangnya rantai dan tongkat!
“Nanti dulu!” seru Thian-te Te-it Siansu ketika merasa betapa kebutan kipas itu telah menolak hawa pukulan dari payungnya. “Bukankah yang kau mainkan ini ilmu kipas maut San-sui-san-hoat dari Swi Kiat Siansu?”
Lili tidak mau menahan senjatanya dan sambil menyerang terus ia berseru,
“Kalau betul kau mau apa?”
“Ha-ha-ha! Katanya kau puteri Pendekar Bodoh, kenapa menghadapi dengan Ilmu Kipas Maut dari Swi Kiat Siansu? Mana kepandaian dari Pendekar Bodoh, ayahmu?” Thian-he Te-it Siansu yang paling pandai bicara diantara kedua mengejek Lili.
Memang sesungguhnya, Thian-he Tiat Siansu agak jerih menghadapi ilmu kipas maut dari Swi Kiat Siansu, karena ia pernah jatuh bangun oleh Swi Kiat Siansu yang mainkan ilmu silat ini.
Ketiga orang Iblis Geledek dari Hailun ini memang pernah mengadu kepandaian dengan Swi Kiat Siansu dan biarpun tokoh terbesar dari utara ini hanya mainkan sebuah kipas butut, namun ketiga orang iblis ini terpaksa mengakui keunggulan Swi Kiat Siansu!
Kini melihat bahwa gadis muda ini pandai pula mainkan ilmu Kipas San-sui-san-hoat, selain jerih terhadap ilmu kipas itu sendiri, juga Thian-he Te-it Siansu merasa jerih menghadapi nama kakek jagoan dari utara itu. Maka ia sengaja mengejek Lili agar mengeluarkan kepandaian yang dipelajarinya dari Pendekar Bodoh.
Lili adalah seorang gadis muda yang betapapun cerdik dan tabahnya, namun masih kurang pengalaman. Dalam sebuah pibu, sebetulnya ia boleh saja mengeluarkan segala kepandaian yang pernah dipelajarinya, karena namanya juga pibu (mengadu kepandaian), kalau ia menyimpan dan tidak mempergunakan sesuatu kepandaiannya, kalah menang tak dapat dipergunakan sebagai ukuran. Mendengar ejekan Thian-he Te-it Siansu itu, ia menjadi marah sekali.
“Tua bangka, kau kira aku hanya mengandalkan pelajaran dari Swi Kiat Siansu belaka? Untuk mengalahkan orang-orang macam kalian ini cukup dengan pedang dan tangan kiriku.”
Sambil berkata demikian, Lili lalu menyelipkan kipas mautnya di pinggang, kemudian ia menyerang lagi sambil memutar pedang Liong-coan-kiam sehingga pedang itu berubah menjadi segulung sinar putih yang menyilaukan mata.
“Bagus sekali. Aku tak pernah menyaksikan ilmu pedang seperti ini, akan tetapi betul-betul hebat!” seru Lak Mou Couwsu yang jujur.
Memang Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-sut adalah ciptaan dari Pendekar Bodoh sendiri, yaitu sebagian dari Ilmu Pedang Daun Bambu yang amat sulit dipelajarinya, maka jarang ada orang yang pernah menyaksikannya. Ilmu Pedang Daun Bambu adalah ilmu pedang yang baru dapat dimainkan oleh orang yang telah memiliki kepandaian pokok segala ilmu silat dan dasar-dasar gerakan tubuh seperti yang telah dimiliki oleh Pendekar Bodoh biarpun Lili telah dilatih oleh ayahnya semenjak kecil, akan tetapi tetap saja gadis ini belum dapat menangkap pelajaran mengenai pokok dan dasar ilmu silat seperti yang dimiliki ayahnya, maka sukarlah baginya untuk mempelajari Ilmu Pedang Daun Bambu. Sebagai gantinya, Pendekar Bodoh lalu menciptakan Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-sut untuk puterinya.
Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-sut ini memang benar-benar hebat, tepat sebagaimana yang dikatakan oleh Lak Mou Couwsu yang jujur. Kalau sekiranya yang menghadapi ilmu pedang ini seorang diantara Hailun Thai-lek Sam-kui, belum tentu mereka akan kuat menahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar