*

*

Ads

Selasa, 20 Agustus 2019

Pendekar Remaja Jilid 111

Adapun Lo Sian ketika bertemu dengan Thian Kek Hwesio, cepat-cepat memberi hormat. Hwesio sangat tua itu mengangguk-angguk lagi dengan senang.

“Adanya Sin-kai Lo Sian bersama Lie Siong, menandakan bahwa pemuda itu benar-benar seorang yang boleh dipercaya,” pikir hwesio ini, karena ia tahu betul orang macam apa adanya Sin-kai Lo Sian.

“Lebih baik kita mengantar dulu Nona Lilani ke utara. Setelah kita dapat bertemu dengan rombongan suku bangsa Haimi dan mengembalikan Nona itu kepada bangsanya, barulah kita mencoba untuk mencari keterangan perihal ayahmu,” kata Lo Sian setelah mereka bertiga mulai melakukan perjalanan.

Lie Siong menyetujui pikiran ini, akan tetapi ia hendak mengetahui pendirian Lilani yang kini nampak demikian pendiam dan wajahnya selalu diliputi kemurungan.

“Tai-hiap tahu bahwa aku selalu hanya menurut saja. Sesuka hatimu sajalah, aku hanya ikut, karena apakah daya seorang seperti aku?” jawaban ini tidak saja membuat Lie Siong menjadi terharu, bahkan Lo Sian yang tidak tahu apa-apa tentang urusan mereka, menjadi kasihan sekali melihat Lilani.

Dia lalu bersikap ramah tamah dan baik terhadap gadis ini sehingga Lilani merasa agak terhibur dan suka kepada Pengemis Sakti ini.

Beberapa hari kemudian, tibalah mereka di kota Ciang-kou, dekat dengan tapal batas Mongolia di Propinsi Ho-pak. Mereka melihat kota itu sunyi seperti kota-kota dan dusun-dusun lain di dekat tapal batas, karena penduduknya sebagian besar telah pergi mengungsi ke selatan, takut akan penyerbuan dan gangguan tentara-tentara.

Di sepanjang jalan, Lie Siong dan Lo Sian mendengar tentang kekacauan dan gangguan para tentara Mongol dan Tartar. Lo Sian yang berjiwa patriot itu menjadi marah sekali dan beberapa kali ia menyatakan kepada Lie Siong bahwa kalau ia bertemu dengan tentara musuh, ia akan menyerang mereka! Sebaliknya, pemuda itu diam saja tidak menyatakan perasaannya hingga sukar bagi Lo Sian untuk mengetahui isi hati pemuda aneh ini.

Seperti biasa, di dalam kota Ciang-kou, mereka mencari tempat bermalam di dalam kuil yang telah ditinggal pergi oleh para hwesionya, dan di situ hanya terdapat dua orang hwesio penjaga kuil yang ramah tamah.

“Sicu, sungguh amat berani sekali Ji-wi Sicu datang ke tempat ini. Setiap waktu kota ini bisa diserbu oleh gerombolan musuh yang jahat. Tentu saja untuk Nona ini tidak ada bahayanya.”

Kedua hwesio ini memandang kepada Lilani dengan kening dikerutkan. Betapa Lilani bersikap sebagai seorang gadis Han, tetap saja kecantikannya yang berbeda dengan gadis-gadis Han itu mudah menimbulkan dugaan bahwa ia bukanlah gadis bangsa Han. Kulit seorang gadis Haimi berbeda dengan gadis Han yang kulitnya kekuning-kuningan. Sebaliknya kulit tubuh gadis ini putih kemerah-merahan.

“Biarkan mereka datang, akan kami sikat!” kata Lo Sian dengan marah sekali.

Kedua orang hwesio itu diam saja, di dalam hatinya mengejek orang yang berpakalan pengemis itu. Siapa berani bersikap sombong terhadap gerombolan Mongol yang mempunyai banyak perwira pandai?

Akan tetapi, ketika Lie Siong minta tolong kepada hwesio itu untuk membelikan makanan dan mengeluarkan uang perak, pendeta-pendeta itu bersikap manis dan membantu serta melayani mereka dengan ramah.

Lie Siong dan kawan-kawannya tidak mengira bahwa diam-diam kedua orang hwesio itu telah melaporkan hal keadaan mereka, terutama Lilani kepada seorang gagah yang melakukan pengawasan terhadap mata-mata Mongol di tempat itu. Orang gagah ini bukan lain adalah Kam Wi, paman dari Kam Liong!

Di dalam usahanya mencari kawan-kawan yang hendak membantu pertahanan tapal batas dari serangan musuh, Kam Wi memisahkan diri dari suhengnya, Tiong Kun Tojin dan pergi sampai ke kota Ciang-kou, di sepanjang jalan selalu berlaku waspada. Kalau dilihatnya ada orang-orang kang-ouw yang hendak menyeberang ke utara untuk bersekutu dengan orang-orang Mongol, tentu orang-orang kang-ouw itu dibujuknya, dengan halus atau dengan kasar!

Mendengar laporan kedua orang hwesio bahwa ada dua orang gagah yang sikapnya mencurigakan bersama seorang gadis Haimi bermalam di kuil, diam-diam Kam Wi merasa curiga sekali.

Pada keesokan harinya, ketika Lie Siong, Lo Sian dan Lilani melanjutkan perjalanan mereka, sebelum meninggalkan kota yang sunyi itu, tiba-tiba mereka berhadapan dengan seorang laki-laki tinggi besar yang melompat keluar dari sebuah tikungan jalan. Orang ini bukan lain adalah Kam Wi.






Begitu melihat Lilani, tahulah Kam Wi tokoh Kun-lun-pai itu bahwa gadis ini memang seorang gadis Haimi, maka untuk mencari bukti, ia segera menegur Lilani dalam bahasa Haimi,

“Apakah kau orang Haimi?”

Ditegur demikian tiba-tiba dalam bahasanya sendiri, Lilani menjadi terkejut, akan tetapi menjawab juga,

“Betul! Saudara siapakah?”

Akan tetapi Kam Wi tidak banyak cakap lagi, segera membentak dan mengulur tangannya hendak menangkap pundak Lilani,

“Mata-mata Mongol! Jangan harap akan dapat melepaskan diri dari Sin-houw Enghiong!”

Akan tetapi Lilani bukanlah seorang gadis yang lemah. Ia telah mendapat tambahan pelajaran silat dari Lie Siong, maka kegesitannya bertambah. Melihat betapa orang tinggi besar yang berwajah galak itu tiba-tiba menyerang dan hendak menangkap pundaknya, ia cepat mengelak dan melompat mundur.

Bukan main marahnya hati Kam Wi melihat cengkeramannya dapat dielakkan oleh gadis itu. Kecurigaannya bertambah. Seorang gadis Haimi dapat mengelak dari cengkeramannya pastilah bukan orang sembarangan dan patut kalau menjadi mata-mata Mongol atau setidaknya pencari orang-orang kang-ouw untuk membantu pergerakan bangsa Mongol.

“Bagus, kau berani mengelak? Coba kau mengelak lagi kalau dapat!”

Sambil berkata demikian, Kam Wi mengeluarkan kepandaiannya yang diandalkan, yaitu Ilmu Silat Houw-jiauw-kang! Tangannya terulur maju merupakan cengkeraman atau kuku harimau dan ia menubruk ke depan untuk menangkap atau mencengkeram pundak gadis itu!

Lilani benar-benar menjadi bingung dan gugup. Serangan kali ini hebat luar biasa dan kedua tangan Kam Wi yang merupakan kuku harimau itu benar-benar sukar untuk dielakkan lagi. Jalan ke kanan kiri atau ke belakang tertutup dan Lilani hanya akan dapat menghindarkan serangan ini kalau ia dapat ke atas atau amblas ke dalam bumi!

Akan tetapi pada saat itu, terdengar bentakan keras dan tahu-tahu tubuh gadis itu benar-benar mumbul ke atas! Kam Wi sampai membelalakkan matanya ketika tiba-tiba yang hendak ditangkapnya itu lenyap dari depan matanya dan telah melompati tubuhnya, melalui atas kepala dan tiba di belakangnya!

Ia cepat menengok dan ternyata bahwa yang menolong gadis itu adalah pemuda yang tadi bersama gadis itu datang dengan tenangnya. Memang sesuhgguhnya adalah Lie Siong yang telah menolong Lilani dari cengkeraman Kam Wi tadi.

Ketika tadi pemuda itu melihat betapa Lilani terancam bahaya cengkeraman yang demikian lihainya cepat ia melompat sambil menyambar pinggang Lilani, dibawa lompat melampaui atas kepala Kam Wi dengan gerakan Hui-niau-coan-in (Burung Terbang menerjang Mega)!

Dengan gerakan ginkang yang luar biasa ini ia berhasil menolong gadis itu sehingga kini. Kam Wi memandang dengan tertegun dan penuh kekaguman.

“Siapa Saudara muda yang gagah ini? Mengapa bisa bersama dengan seorang gadis Haimi yang menjadi mata-mata Mongol? Mungkinkah seorang enghiong yang gagah perkasa sampai tersesat dan hendak mengkhianati bangsa sendiri?”

Sebelum Lie Siong sempat menjawab, Lo Sian sudah mendahuluinya, pengemis ini mengangkat kedua tangan menjura sambil berkata,

“Orang gagah, harap kau suka bersabar dulu, agaknya kau telah salah sangka! Kami sekali-kali bukanlah pengkhianat-pengkhianat seperti yang kau kira!”

Kam Wi berpaling kepada Lo Sian dan ketika melihat pengemis ini ia memandang penuh perhatian dan berkata,

“Ah, bukankah aku berhadapan dengan Sin-kai Lo Sian?”

Lo Sian tertegun dan ia mengerti bahwa dahulu tentu orang yang gagah ini pernah bertemu atau kenal dengannya, akan tetapi ia telah lupa sama sekali, maka dengan senyum ramah ia berkata,

“Maaf, memang benar siauwte adalah Lo Sian orang yang bodoh. Akan tetapi sungguh otakku yang tumpul tidak ingat lagi siapa adanya orang gagah yang berdiri di hadapanku sekarang.”

Kam Wi tertawa bergelak.
“Ah, ah, Sin-kai Lo Sian benar-benar suka bergurau! Kini aku tidak ragu-ragu lagi bahwa kawan-kawanmu ini pasti bukan orang jahat, akan tetapi sungguh amat mengherankan apabila Sin-kai Lo Sian sampai lupa kepadaku. Aku adalah Kam Wi, sudah lupa lagikah kau akan Sin-houw-enghiong dari Kun-lun-pai?”

Akan tetapi Kam Wi tidak tahu bahwa benar-benar Lo Sian tidak ingat lagi kepadanya. Bagaimana pengemis ini dapat ingat kepadanya sedangkan kepada diri sendiri saja sudah lupa? Akan tetapi Lo Sian tidak mau berpanjang lebar, maka cepat ia menjura lagi sambil berkata,

“Ah, tidak tahunya Sin-houw-enghiong Kam Wi, tokoh dari Kun-lun-pai! Maaf, maaf, kami tidak tahu sebelumnya maka berani berlaku kurang ajar. Harap Enghiong suka melepaskan kami, karena sesungguhnya kami bukanlah orang-orang jahat. Kami hendak mengantar Nona ini kembali ke bangsanya maka bisa sampai di tempat ini.”

Kam Wi berdiri ternganga. Lo Sian sama sekali tidak mengira bahwa ucapannya ini benar-benar mengherankan hati Kam Wi karena dahulu Lo Sian tidak demikian “sopan santun” sikapnya. Mengapa pengemis ini begini berubah?

“Sungguh aneh!” kata Kam Wi. “Kalian tidak bermaksud menggabungkan diri dengan para pengkhianat bangsa, akan tetapi hendak mencari suku bangsa Haimi, sedangkan suku bangsa Haimi sudah bersekutu dengan orang-orang Mongol! Bangsa Haimi dan bangsa Mongol sudah menjadi sekutu untuk menyerang dan mengganggu negara kita!”

“Kau bohong!” tiba-tiba Lilani berseru keras. “Bangsaku tidak pernah berlaku seperti itu! Selamanya bangsaku bahkan diganggu oleh orang-orang Mongol dan mendapat pertolongan bangsa Han. Tak mungkin sekarang bisa bersekutu dengan perampok-perampok Mongol!”

“Nona, baiknya kau datang bersama Sin-kai Lo Sian sehingga aku percaya bahwa kau bukanlah orang jahat. Kalau tidak demikian halnya, tuduhan bohong kepada Sin-houw-enghiong Kam Wi sudah merupakan alasan cukup untuk membuat turun tangan. Aku Kam Wi selama hidup tak pernah berbohong. Agaknya kau telah lama meninggalkan bangsamu sehingga kau tidak tahu betapa pemimpinmu yang bernama Saliban itu telah membawa bangsamu bersekutu dengan orang.-orang Mongol!”

Lilani terkejut. Saliban adalah seorang diantara sekian banyak pamannya. Memang ia tahu bahwa diantara paman-pamannya, Saliban adalah seorang yang jahat. Menurut cerita mendiang ibunya, Meilani, dahulu Saliban pernah memberontak dan hampir membunuh kakeknya karena pamannya itu ditolak cintanya oleh ibunya yang pada masa itu telah bertunangan dengan Manako, mendiang ayahnya (diceritakan dengan rnenarik di dalam cerita Pendekar Bodoh).

Lilani berpaling kepada Lie Siong,
“Tai-hiap, bantulah aku untuk menolong bangsaku dan melenyapkan Saliban yang memang jahat itu! Mari kita pergi mencari mereka.”

Lie Siong tidak membantah dan kedua orang muda ini tanpa melirik lagi kepada Kam Wi lalu pergi dari situ. Adapun Sin-kai Lo Sian lalu memberi hormat kepada Kam Wi dan berkata,

“Sin-houw-enghiong, terima kasih atas kepercayaanmu. Biarlah lain waktu kita bertemu lagi.”

Setelah berkata demikian, Sin-kai Lo Sian hendak pergi. Akan tetapi Kam Wi menahannya dengan kata-kata,

“Nanti dulu, kawan. Negara sedang terancam oleh penyerbuan pengacau-pengacau Mongol dan Tartar. Apakah kau sebagai seorang gagah mau berpeluk tangan saja?”

“Siapa bilang aku ingin peluk tangan saja? Dimana saja aku bertemu dengan mereka, aku akan mengerahkan sedikit kebodohanku untuk menghancurkan mereka.”

“Bagus, kalau begitu kau benar-benar seorang sahabat. Ketahuilah bahwa aku sedang mengumpulkan kawan-kawan seperjuangan. Kalau kau bermaksud membantu, pergilah ke Guunng Alkata-san dan bantulah tentara kerajaan disana.”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar