*

*

Ads

Selasa, 20 Agustus 2019

Pendekar Remaja Jilid 113

Tadi ketika mendengar bahwa Lilani sedang mencari suku bangsanya, Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin saling pandang dengan muka berubah. Akan tetapi ketika mendengar bahwa pemuda yang ditawannya itu adalah putera Lie Kong Sian, tiba-tiba wajah Ban Sai Cinjin menjadi pucat dan kaget sekali.

“Apa…? Dia putera Lie Kong Sian… Kalau begitu kau… kau ingat lagi akan peristiwa dahulu…??”

Lo Sian sebetulnya tidak mengerti maksud pertanyaan ini, akan tetapi dia adalah seorang yang banyak pengalaman dan cerdik. Sengaja ia mengangguk dan berkata,

“Mengapa tidak ingat? Kau maksudkan peristiwa dahulu tentang Lie Kong Sian Tai-hiap? Tentu saja!”

“Bangsat rendah! Jadi kau sengaja membawa puteranya untuk mencariku? Ah, kalau begitu kalian harus mampus!”

Kakek mewah ini bangkit berdiri dan huncwe mautnya sudah dipegang erat-erat di dalam tangannya.

“Nanti dulu, sahabat,” tiba-tiba Coa-ong Lojin mencegahnya. “Kau boleh saja membunuh Lo Sian, akan tetapi gadis ini…” ia menghampiri Lilani yang menjadi ketakutan. “Eh, Nona, benar-benarkah kau hendak pergi mencari bangsamu?”

Lilani mengangguk tanpa dapat mengeluarkan suara jawaban.
“Kenalkah kau kepada Saliban?”

“Dia adalah pamanku.”

Kembali Coa-ong Lojin dan Ban Sai Cinjin saling pandang.
“Biar aku yang membawamu kepada pamanmu, Nona!” kata Ban Sai Cinjin. “Pamanmu adalah kawan baik kami, jangan kuatir, kami takkan mengganggumu. Akan tetapi pengemis ini dan pemuda tadi harus mampus!”

“Jangan bunuh mereka!”

Lilani menjerit dengan bingung dan ia bersikap untuk melawan mati-matian guna membela Lo Sian dan Lie Siong.

“Kau tidak tahu, Nona. Mereka ini orang-orang berbahaya yang kelak hanya akan menggagalkan rencana kita, rencana kami dan pamanmu. Nah, Lo Sian, kau bersiaplah untuk mampus!”

Sambil berkata demikian, Ban Sai Cinjin menghampiri Lo Sian. Sementara itu, Lo Sian semenjak tadi telah memutar otaknya. Ah, pasti ada apa-apanya dalam ucapan Ban Sai Cinjin tadi. Kakek mewah ini pasti tahu akan kematian Lie Kong Sian dan menurut ucapannya tadi, sangat boleh jadi Lie Kong Sian terbunuh oleh Ban Sai Cinjin.

“Ban Sai Cinjin!” katanya sambil memandang tajam sama sekali tidak gentar menghadapi saat-saat maut iu. “Jadi kaukah yang membunuh Lie Kong Sian?”

Terdengar suara ketawa yang parau dan menyeramkan dari kakek mewah itu.
“Ha-ha-ha! Kau kini berpura-pura tidak tahu? Sebentar lagi kau boleh menyusul dia!!”

Huncwenya terayun, akan tetapi tiba-tiba Lilani menubruk Lo Sian, melindunginya dan berteriak keras,

“Jangan bunuh dia!”

“Lilani, minggirlah, biar aku menghadapinya. Aku tidak takut mati,” kata Lo Sian. “Sekarang puaslah hatiku karena aku sudah tahu siapa yang membunuh Lie Kong Sian Tai-hiap.”

Akan tetapi Lilani memegangi tangan Lo Sian dan tidak mau melepaskannya. Ban Sai Cinjin kembali mengangkat huncwenya, siap untuk dipukulkan. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan keras dan sesosok bayangan melompat masuk dari pintu depan.

“Ban Sai Cinjin, manusia rendah! Jadi kaukah yang mendalangi semua pemberontakan dan pengkhianatan?”






Ketika Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin menengok, mereka melihat seorang laki-laki tinggi besar yang berwajah kasar berdiri sambil bertolak pinggang.

“Sin-houw-enghiong Kam Wi!” kata Ban Sai Cinjin dengan alis dikerutkan. “Kau yang kudengar sudah bertapa mengasingkan diri di Kun-lun-san, datang kesini mau apakah? Aku mempunyai perhitungan lama dengan Sin-kai Lo Sian, apakah kau mau mencampuri urusan orang lain?”

“Ban Sai Cinjin, jangan kau memutar balik persoalan. Urusan dengan segala macam pengemis tidak ada sangkut pautnya dengan aku. Akan tetapi, tadi mendengar bahwa kau adalah sahabat dari Saliban, maka mudah saja diduga bahwa tentu kau pula yang membujuk orang-orang gagah di kalangan kang-ouw untuk menjadi pengkhianat-pengkhianat amat rendah. Dan hal ini, aku Sin-houw-enghiong Kam Wi tak dapat membiarkannya begitu saja!”

Sambil berkata demikian ia melirik ke arah Coa-ong Lojin, karena sesungguhnya ketika tadi menyatakan bahwa urusan dengan segala macam pengemis ia tidak mempunyai sangkut-paut diam-diam ia telah menyindir Coa-ong Lojin.

Merah muka Ban Sai Cinjin mendengar ucapan ini.
“Kam Wi, kau manusia macam apa berani berlagak besar-besaran di hadapanku? Sepak-terjangku yang manapun juga, kau tidak boleh tahu dan tidak boleh mencampuri. Urusan hubunganku dengan Saliban, baik kita bicarakan nanti setelah aku bikin mampus pengemis hina ini!” Ia kembali hendak menghampiri Lo Sian yang masih dipegangi lengannya oleh Lilani.

“Tahan dulu! Tidak boleh kau mengabaikan aku begitu saja, Ban Sai Cinjin! Kau kira aku orang macam apa maka tidak kau layani lebih dulu?”

Kini Ban Sai Cinjin benar-benar menjadi marah.
“Kam Wi, biarpun orang lain boleh takut mendengar kepandaianmu Houw-jiauw-kang, akan tetapi aku Ban Sai Cinjin tidak takut! Sebetulnya apakah kehendakmu?”

“Kau harus ikut dengan aku ke kota raja untuk menerima kuhuman atas pengkhianatanmu!”

“Ho-ho! Sejak kapan tokoh Kun-lun-pai menjadi kaki tangan kaisar?” Ban Sai Cinjin menyindir.

“Ban Sai Cinjin, dengan membawamu ke kota raja, berarti aku masih memandang mukamu sebagai orang kang-ouw. Aku selamanya tidak mempedulikan urusan pemerintah, akan tetapi kalau negara sedang dikacau musuh dan timbul pengkhianat seperti engkau, aku harus turun tangan. Tinggal kau pilih, kubawa ke kota raja atau kau minta diadili oleh orang-orang kang-ouw sendiri!”

“Kalau aku memilih yang terakhir?” tantang Ban Sai Cinjin.

“Hukuman dunia kang-ouw bagi seorang pengkhianat bangsa hanyalah kematian!”

“Bagus, Kam Wi! Kau hendak menghukum mati kepadaku? Ha-ha-ha! Aku merasa seperti mendengar seekor kucing hendak membunuh harimau! Majulah biar aku membereskan jiwa anjingmu dulu sebelum aku bikin mampus Lo Sian!”

Sambil berkata demikian, Ban Sai Cinjin menggerakkan huncwenya, akan tetapi Coa-ong Lojin yang semenjak tadi sudah menjadi marah sekali kepada Kam Wi yang dianggapnya sombong, segera mendahuluinya berkata,

“Sahabat Ban Sai Cinjin, biar aku sendiri yang membereskan cacing dari bukit Kun-lun-san ini!”

Karena melihat bahwa Kam Wi tidak bersenjata, Coaong Lojin tidak mau merendahkan diri dengan menyerang dan menggunakan senjata tongkatnya. Ia maju memukul dengan tangan kosong.

Kam Wi cepat mengelak.
“Ha-ha, sejak tadi aku sudah menduga bahwa kau tentulah raja pengemis Coa-tung Kai-pang yang jahat dan hina dina! Hayo keluarkan tongkatmu yang lapuk itu, hendak kulihat betapa jahatnya tongkat ularmu.”

“Bangsat she Kam! Sudah lama aku mendengar bahwa Houw-jiauw-kang dari Kun-lun-pai adalah hebat sekali. Kebetulan sekali kau datang mengantar kesombonganmu disini, biar kucoba sampai dimana sih kepandaianmu maka kau berani bersikap sesombong ini!”

Setelah berkata demikian, Coa-ong Lojin lalu menyerang dengan kedua tangan dibuka dan jari-jari tangannya mengeras dan menegang. Melihat betapa kedua tangan pengemis itu kini tergetar dan mengeluarkan cahaya kehitaman, tahulah Kam Wi bahwa lawannya ini memiliki ilmu pukulan yang ia dengar disebut Hek-coa-tok-jiu (Tangan Racun Ular Hitam) yang amat berbahaya.

Akan tetapi ia tidak takut dan cepat ia mengelak lalu mengirim serangan balasan yang tak kalah hebatnya. Tangan kanannya mencengkeram ke arah lambung lawan dan hampir saja lambung Coa-ong Lojin menjadi korban.

Harus diketahui bahwa tidak saja Ilmu Silat Houw-jiauw-kang ini amat hebat, akan tetapi juga tenaga lwee-kang dari Kam Wi sudah mencapai tingkat tinggi sehingga biarpun cengkeramannya tidak mengenai sasaran, namun angin pukulannya telah membuat lawannya merasa lambungnya terlanggar benda tajam! Coa-ong Lojin menjadi terkejut sekali dan tahulah dia bahwa tokoh Kun-lun-pai ini benar-benar tak boleh dibuat permainan! Ia lalu bersilat dengan amat hati-hati.

Namun segera ternyata bahwa kepandaian Kam Wi benar-benar lebih menang setingkat. Selain ia menang tenaga, juga gin-kangnya amat mengagumkan. Kedua kakinya berlompatan bagaikan seekor harimau dan kedua tangannya amat panas ganas. Sekali saja Coa-ong Lojin kena sampok atau diterkam, pasti akan celakalah dia. Hal ini dimaklumi sedalamnya oleh Coa-ong Lojin, maka setelah bertempur dua puluh jurus lebih, raja pengemis yang berlaku hati-hati ini mulai terdesak dan main mundur.

“Ha-ha-ha, begini sajakah kepandaian raja pengemis dari Coa-tung Kai-pang? Hayo, jembel busuk, keluarkan kepandaianmu! Mana tongkatmu pemukul anjing itu?” Kam Wi mengejek sambil menyerang makin hebat.

Sementara itu, Lo Sian dan Lilani menyaksikan pertempuran itu dengan hati gelisah. Lo Sian maklum bahwa biarpun kepandaian tokoh Kun-lun-pai ini lebih tinggi, namun apabila Ban Sai Cinjin maju mengeroyok, akan celakalah dia. Ia merasa bingung sekali. Untuk membantu, ia maklum bahwa kepandaiannya masih kalah jauh.

Tiba-tiba terdengar Lo Sian berseru keras,
“Sin-houw-enghiong, awas belakang!”

Sebetulnya seruan ini tidak perlu lagi, karena Kam Wi yang berkepandaian tinggi sudah mendengar adanya suara angin pukulan amat hebat menyambar dari belakang. Pada saat itu ia sedang mendesak Coa-ong Lojin, maka ketika mendengar suara pukulan dari belakang dan melihat berkelebatnya huncwe maut yang berkilauan, cepat ia berseru keras sekali. Tubuhnya mumbul ke atas dan kaki kanannya menendang ke depan untuk menghalangi serangan gelap dari Coa-ong Lojin.

Dengan lompatan tinggi yang dilakukan dengan gin-kang hebat ini selamatlah ia dari serangan Ban Sai Cinjin yang dilakukan dengan cara pengecut sekali itu. Setibanya tubuhnya di atas, Kam Wi lalu menukar kedudukan kakinya, kaki kiri yang ditekuk ke belakang itu tiba-tiba ditendangkan pula ke arah Coa-ong Lojin, sedangkan kaki kanan bagaikan halilintar menyambar dengan sepakan ke belakang sehingga kedua kaki itu menggunting. Kaki kanan menyerang ke arah pergelangan tangan Ban Sai Cinjin!

Inilah gerakan tendangan berantai yang disebut Soan-hoang-twi yang lihai sekali karena sepasang kaki itu melakukan tendangan dengan tenaga seribu kati beratnya!

“Bangsat Ban Sai Cinjin, kau benar-benar curang sekali!” seru Kam Wi yang kini telah turun lagi ke bawah.

Akan tetapi Ban Sai Cinjin tidak mempedulikan makian ini, dengan muka merah saking marah dan malunya ia lalu menyerang dengan huncwe mautnya, sedangkan Coa-ong Lojin juga sudah mencabut tongkat ularnya!

Kam Wi, tokoh Kun-lun-pai itu benar-benar tangguh karena selain ilmu silatnya sudah tinggi, ia memiliki banyak sekali pengalaman bertempur melawan orang-orang pandai. Akan tetapi kali ini ia menghadapi dua orang jago kawakan yang tingkat kepandaiannya sudah sama dengan dia, maka dengan bertangan kosong saja menghadapi mereka, bagaimana ia dapat bertahan?

Lo Sian dan Lilani yang telah menjadi bingung itu baru teringat bahwa kalau Lie Siong dapat membantu, tentu Kam Wi akan dapat menghadapi dua orang lawan jahat itu, maka ketika melihat betapa dua orang kakek itu sedang mengeroyok Kam Wi, Lo Sian dan Lilali lalu berlari ke dalam kamar dimana Lie Siong tadi dilempar oleh Ban Sai Cinjin.

Mereka melihat pemuda ini masih rebah tak bergerak, hanya napasnya saja yang masih ada seperti orang pingsan. Cepat Lo Sian menepuk pundak pemuda itu dan mengurut jalan darahnya. Akan tetapi ia tidak dapat membebaskan Lie Siong dari totokan Coa-ong Lojin yang selain lihai, juga berbeda dengan totokan biasa. Betapapun Lo Sian mengurut-urut pundak Lie Siong, tetap saja pemuda itu tidak sadar dan pundaknya bahkan ada tanda titik merah sebesar kacang kedelai. Lo Sian menjadi gelisah sekali sedangkan Lilani lalu mulai menangis sambil memeluki tubuh Lie Siong.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar