Selasa, 20 Agustus 2019

Pendekar Remaja Jilid 114

“Mari kita bawa dia lari keluar dari sini saja!” kata Lilani.

“Kau boleh bawa dia lari, Lilani. Akan tetapi aku tidak dapat meninggalkan Sin-houw-enghiong begitu saja. Aku harus membantunya, biarpun untuk usaha ini akan tewas. Tidak selayaknya aku meninggalkan seorang penolong begitu saja mati sendiri!”

Lilani dapat memaklumi sifat gagah dari Lo Sian ini. Dia sendiri pun kalau tidak ingat akan keselamatan Lie Siong yang dicintanya, belum tentu sudi meninggalkan Kam Wi dalam keadaan terancam bahaya seperti itu. Maka gadis ini lalu memondong tubuh Lie Siong dan berkata,

“Lo-enghiong, berlakulah hati-hati!” kemudian ia melompat keluar dari pintu belakang.

Lo Sian segera kembali ke ruang depan dan ia melihat betapa Kam Wi kini telah terdesak hebat sekali. Sungguh amat lucu dan harus dikasihani orang tinggi besar ini yang bertangan kosong, melompat ke kanan kiri untuk menghindarkan diri dari sambaran tongkat dan huncwe maut. Ia sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk membalas serangan kedua orang lawannya.

“Sin-houw-enghiong, biar siauwte membelamu dengan nyawaku!” tiba-tiba Lo Sian berseru keras.

Pengemis Sakti ini telah melepaskan ikat pinggangnya dan ia menyerbu bersenjatakan ikat pinggang ini. Biarpun ikat pinggang itu hanya terbuat dari sehelai kain, namun di dalam tangan seorang ahli dapat menjadi senjata yang cukup berbahaya. Dan sesungguhnya, kepandaian Lo Sian sudah mencapai tingkat tinggi juga, hanya saja apabila dibandingkan dengan tingkat kepandaian Ban Sai Cinjin, Coa-ong Lojin, atau Sin-houw-enghiong Kam Wi, ia masih ketinggalan amat jauh!

Lo Sian amat benci kepada Ban Sai Cinjin, sungguhpun ia tidak ingat lagi akan perlakuan kejam kakek mewah ini terhadapnya belasan tahun yang lalu. Mungkin perasaan hatinya membisikkan sesuatu karena baru melihatnya saja, Lo Sian sudah merasa benci sekali. Oleh karena itu, begitu ia menyerbu ia tujukan ikat pinggangnya untuk menyerang Ban Sai Cinjin.

Ban Sai Cinjin menjadi marah sekali.
“Jembel kelaparan! Aku tidak akan mengampuni jiwamu untuk kedua kalinya!”

Sambil berkata demikian, huncwenya bergerak cepat dan ia sengaja menangkis ikat pinggang itu, terus memutar huncwenya sedemikian rupa. Sebetulnya ikat pinggang itu ketika dipergunakan oleh Lo Sian, telah menjadi kaku seperti besi. Akan tetapi begitu beradu dengan huncwe di tangan Ban Sai Cinjin, tenaga lwee-kang yang disalurkan oleh Lo Sian ke dalam ikat pinggangnya menjadi buyar karena ia memang kalah tenaga sehingga ikat pinggang menjadi lemas lagi.

Karena ikat pinggang itu kini telah melibat huncwe, ketika Ban Sai Cinjin mengerahkan tenaga membetotnya, terlepaslah ikat pinggang itu dari tangan Lo Sian. Dalam keadaan terhuyung-huyung Lo Sian hendak mempertahankan diri, akan tetapi tangan kiri Ban Sai Cinjin cepat meluncur maju dan sekali totok saja robohlah Lo Sian dengan tubuh lemas. Jalan darah kin-hun-hiat di bagian iganya telah kena ditotok sehingga biarpun pikirannya masih terang dan panca inderanya masih dapat dipergunakan, namun seluruh tubuhnya lemas tak bertenaga lagi.

Ban Sai Cinjin tertawa bergelak, akan tetapi cepat ia kembali mengeroyok Kam Wi, karena sebentar saja ia meninggalkan Kam Wi untuk menghadapi Lo Sian, keadaan Coa-ong Lojin menjadi terdesak hebat oleh jagoan dari Kun-lun-pai itu. Kini kembali Kam Wi terkurung dan jago Kun-lun yang sudah lelah ini pun akhirnya kena ditendang roboh oleh Ban Sai Cinjin!

“Ha-ha-ha!”

Ban Sai Cinjin tertawa bergelak, dan dengan amat tenangnya ia lalu memasang tembakau pada pipanya yang panjang, menyalakan tembakaunya dan mengebulkan asap yang wangi. Ia nampak puas sekali, demikian pun Coa-ong Lojin.

“Kita bereskan saja mereka sekarang juga agar jangan merupakan gangguan lagi!” kata pengemis tongkat ular itu.

“Nanti dulu, aku mau bicara sedikit kepada mereka,” jawab Ban Sai Cinjin yang segera menghampiri Kam Wi yang sudah menggeletak di lantai dengan mata melotot memandangnya penuh keberanian.






“Orang she Kam! Sesungguhnya tidak ada permusuhan di antara kita, akan tetapi kau sendiri yang datang mencari mampus, maka jangan menjadi penasaran kalau hari ini kau menemui maut. Kalau kau memiliki kepandaian lebih tinggi, tentu bukan engkau melainkan kami yang menggeletak disini tak bernyawa lagi! Sebelum aku membunuhmu, ketahuilah bahwa memang sesungguhnya aku yang mengadakan persekutuan dengan bangsa Mongol! Kau tahu mengapa? Karena Kaisar amat lemah, tidak pantas menjadi seorang junjungan! Aku tahu, kau membela Kaisar karena keponakanmu, Kam-ciangkun, menjadi panglima kerajaan. Karena itu aku harus membunuhmu!”

Kemudian Ban Sai Cinjin menghampiri Lo Sian dan berkata,
“Kau pengemis jembel hina dina, selalu kau mencampuri urusanku, selalu kau menghalangi jalanku. Agaknya memang dahulu di dalam penjelmaan yang lalu kau telah berhutang nyawa kepadaku maka sekarang kau takkan mampus kalau tidak di tanganku. Dulu aku sudah mengampuni jiwamu dan hanya merampas ingatanmu, akan tetapi agaknya kau iri hati kepada Lie Kong Sian dan suhengmu Mo-kai Nyo Tiang Le. Kau juga harus mampus!”

Bukan main kagetnya hati Lo Sian mendengar ini. Baru sekarang ia tahu bahwa yang membuat ia menjadi gila dan kehilangan pikiran adalah Ban Sai Cinjin, yang membunuh Lie Kong Sian juga orang ini, bahkan suhengnya, Mo-kai Nyo Tiang Le sebagaimana yang telah diceritakan oleh Lili kepadanya, agaknya juga telah terbunuh oleh penjahat besar ini!

Akan tetapi apa dayanya? Ia telah berada di dalam tangan orang ini dan agaknya tak lama lagi ia akan mati, maka seperti juga Kam Wi, Lo Sian hanya memandang dengan mata melotot, sedikit pun tidak merasa takut.

“Coa-ong Lojin, kau habiskan nyawa manusia she Kam itu, biar aku bereskan pengemis jembel ini!” kata Ban Sai Cinjin sambil mengangkat huncwenya, hendak diketokkan ke arah kepala Lo Sian, sedangkan Coa-ong Lojin juga mengangkat tongkatnya untuk ditotokkan ke arah jalan darah atau urat kematian dari Kam Wi!

Akan tetapi pada saat itu dari luar berkelebat dua bayangan orang didahului oleh sinar pedang yang luar biasa sekali bagaikan halilintar menyambar dan “trang-trang!” tongkat dan huncwe itu telah tertangkis oleh pedang dan baik Ban Sai Cinjin maupun Coa-ong Lojin merasa telapak tangan mereka tergetar hebat. Tak terasa lagi mereka lalu melangkah mundur sampai lima tindak.

Ketika dua orang ini mengangkat muka memandang, berubahlah air muka mereka bahkan Coa-ong Lojin nampak pucat, sedangkan Ban Sai Cinjin si setan yang tak kenal takut itu kali ini nampak gentar juga.

Dua orang yang menggerakkan pedang secara luar biasa sekali dan berhasil mencegah Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin membunuh Lo Sian dan Kam Wi, adalah seorang laki-laki dan seorang wanita yang berusia kurang lebih empat puluh tahun.

Yang laki-laki gagah sekali, bertubuh tegap dan berwajah tampan, sepasang matanya membayangkan kejujuran hati yang tulus dan di tangannya nampak sebatang pedang yang berkilau cahayanya. Yang wanita biarpun sudah setengah tua, nampak cantik sekali dengan bibir mengandung senyum jenaka dan sepasang mata bintang yang bersinar penuh keberanian.

Pantas saja Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin merasa gentar menghadapi sepasang orang gagah ini, karena mereka bukan lain adalah suami isteri yang amat terkenal yaitu Pendekar Bodoh dan isterinya! Sie Cin Hai Si Pendekar Bodoh dan Lin Lin, isterinya yang berkepandaian tinggi, datang pada saat yang amat tepat untuk menolong nyawa Lo Sian dan Kam Wi.

“Pendekar Bodoh…” bibir Ban Sai Cinjin masih sempat mengeluarkan kata-kata yang membayangkan kegelisahannya.

Cin Hai terseyum, senyum yang dingin.
“Ban Sai Cinjin, telah lama aku mendengar namamu. Telah lama aku ingin sekali bertemu dengan muridmu yang bernama Bouw Hun Ti untuk menagih hutang. Sekarang kebetulan sekali kami berdua sempat menghalangi terjadinya sebuah di antara kekejamanmu. Akan tetapi oleh karena aku telah menerima tantangan suhengmu, Wi Kong Siansu, dan karena kau tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan aku, kali ini aku takkan mengganggumu! Pergilah!”

Bukan main malu dan marahnya Ban Sai Cinjin mendengar ucapan ini. Ia berada di rumah sendiri, bagaiman Pendekar Bodoh ini berani mengusirnya begitu saja seperti seekor anjing? Biarpun ia telah mendengar nama besar Pendekar Bodoh dan tentang kelihaiannya, akan tetapi belum pernah merasakan kelihaian itu dan pula dia, Ban Sai Cinjin, Si Huncwe Maut, bukanlah seorang bubeng-siauw-cut (orang rendah tak terkenal) juga bukan orang biasa.

“Pendekar Bodoh, lagakmu benar-benar sama besarnya dengan namamu, akan tetapi aku masih meragukan apakah kepandaianmu juga sebesar itu. Aku berada di rumahku sendiri, bagaimana kau bisa mengusirku?” lagak Ban Sai Cinjin menantang.

“Aku tidak mengusirmu pergi dari rumahmu, hanya minggat dari depan mataku. Sebal aku melihatmu!” kata Lin Lin yang mewakili suaminya.

Makin merah muka Ban Sai Cinjin. Kedua kaki tangannya berbunyi karena ia telah menahan kemarahannya sambil mengepalkan tinju sehingga pipa yang digenggamnya hampir remuk!

“Kalau aku tidak mau pergi?” tantangnya.

“Mau atau tidak, pergilah!” bentak Pendekar Bodoh sambil melangkah cepat ke arah kakek mewah itu.

Ban Sai Cinjin ketika melihat betapa Pendekar Bodoh menghampirinya tanpa memegang pedang, timbul sifat pengecut dan liciknya. Tiba-tiba ia menggerakkan huncwe mautnya yang dipukulkan sehebatnya ke arah kepala Cin Hai!

Akan tetapi Ban Sai Cinjin kecelik besar kalau mengira bahwa serangan tiba-tiba secara pengecut ini akan dapat menghancurkan kepala Pendekar Bodoh. Ia tidak tahu bahwa Cin Hai telah memiliki kepandaian yang luar biasa sekali yang diwarisinya dari suhunya, yaitu Bu Pun Su. Kepandaian yang luar biasa sekali, yaitu pengertian tentang dasar dan pokok segala macam gerakan tubuh manusia di waktu melakukan gerakan silat. Oleh karena itu, menyerang Pendekar Bodoh dengan tiba-tiba dan tak tersangka, sama saja sukarnya dengan menyerang angin!

Belum juga huncwe itu bergerak, baru gerakan pundak Ban Sai Cinjin saja sudah dapat dilihat dan diketahui oleh Cin Hai, sehingga sebelum huncwe melayang ke kepalanya, ia telah tahu bahwa huncwe itu akan melayang dan menyerangnya.

Dengan tenang sekali Cin Hai mendiamkan saja, akan tetapi setelah huncwe melayang dekat dan Ban Sai Cinjin sudah merasa girang sekali tiba-tiba terdengar seruan kaget dari Ban Sai Cinjin dan tubuh kakek ini terlempar dan melayang keluar dari pintu ruangan itu! Suara tubuhnya jatuh berdebuk disusul berkelontangnya huncwe yang menyusulnya!

Bukan main terkejut dan herannya hati Ban Sai Cinjin. Bagaimana bisa terjadi hal seperti itu? Ia tidak melihat Pendekar Bodoh bergerak, dan tadi sudah jelas sekali terlihat olehnya betapa huncwenya sudah mampir mengenai kepala lawannya. Ia hanya melihat tangan kiri dan kaki kanan lawannya bergerak sedikit pada saat huncwenya sudah hampir mengenai sasaran dan tahu-tahu ia telah terdorong sedemikian hebatnya!

Sesungguhnya, ketika tadi Cin Hai melihat serangan Ban Sai Cinjin, ia berlaku tenang saja. Ia tahu dengan pasti bagaimana serangan itu akan dilanjutkan, maka ia mendiamkannya saja dan ketika tangan yang memegang huncwe sudah hampir mengenai kepalanya, secepat kilat akan tetapi tetap tenang tangan kiri Cin Hai melayang dibarengi uap putih mengebul dari tangannya. Inilah sebuah gerak tipu dari Ilmu Silat Pek-in-hoat-sut!

Sambaran hawa putih yang keluar dari pukulan ini membuat tangan Ban Sai Cinjin terdorong sehingga pukulannya menjadi menceng dan tidak mengenai kepala Cin Hai dan berbareng dengan saat itu juga, kaki kanan Cin Hai telah melayang dan mendorong tubuh lawannya yang sama sekali tidak mengira akan hal ini. Demikianlah, dengan mudah Cin Hai telah membuktikan omongannya, yaitu memaksa Ban Sai Cinjin pergi dari depannya.

Sementara itu, Coa-ong Lojin melihat hal itu dengan mata terbelalak. Ia melihat dengan jelas betapa dengan mudahnya Pendekar Bodoh mengalahkan Ban Sai Cinjin. Hampir ia tidak percaya akan pandang matanya sendiri. Akan tetapi ia dapat melihat bahwa kekalahan yang demikian mudah dari Ban Sai Cinjin terjadi karena kesalahan kakek itu sendiri.

Dalam pandang matanya, Ban Sai Cinjin terlalu mencurahkan perhatian penjagaan diri. Memang serangan balasan dari Pendekar Bodoh tadi terjadi amat diluar sangkaan dan mungkin di sinilah letaknya kekuatan dan kelihaian Pendekar Bodoh. Coa-ong Lojin merasa dapat menghadapi Pendekar Bodoh, sungguhpun tidak akan menang, akan tetapi ia mungkin dapat bertahan sampai beberapa lama, tidak seperti Ban Sai Cinjin, baru segebrakan saja sudah terlempar keluar pintu.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar