*

*

Ads

Sabtu, 24 Agustus 2019

Pendekar Remaja Jilid 118

Pada masa itu, keadaan di tapal batas sebelah utara memang amat genting. Pertempuran-pertempuran telah pecah dan terjadi dimana-mana, dimana saja rombongan pengacau bangsa Tartar dan Mongol bertemu dengan rombongan pasukan pemerintah yang menjaga di perbatasan.

Malangi Khan amat pandai dalam siasatnya. Tidak saja ia membujuk dan menarik bangsa Tartar untuk bergabung dengan pasukannya dan sama-sama memukul ke selatan dengan janji-janji muluk, akan tetapi juga ia telah membujuk suku-suku bangsa Tiongkok yang tinggal di perbatasan utara untuk bersama-sama menggulingkan pemerintahan Kaisar Tiongkok.

Juga ia masih berusaha untuk menghubungi orang-orang gagah di dunia kang-ouw untuk membantu usaha penyerbuannya, dengan pancingan-pancingan berupa harta benda dan janji kedudukan. Bahkan dengan Ban Sai Cinjin ia telah mengadakan hubungan yang erat, dan menjanjikan bahwa kalau kelak pemerintah kaisar telah terguling, ia hendak mengangkat Ban Sai Cinjin menjadi kaisar!

Ban Sai Cinjin sendiri bukan seorang bodoh, dan tidak dapat ia menelan mentah-mentah janji muluk ini akan tetapi dengan kerja sama ini Ban Sai Cinjin sendiri pun mempunyai rencana. Kalau mereka bersama sudah berhasil menyerbu ke selatan dan mendapat kemenangan, dengan mudah saja ia akan mempergunakan pengaruhnya untuk mengkhianati orang-orang Mongol itu dan ia akan dapat berkuasa di kota raja.

Suku bangsa Haimi lama dikuasai oteh Malangi Khan. Semenjak ia memukul bangsa Haimi ini sehingga kepalanya, yaitu Manako melarikan diri dengan puterinya, maka bangsa ini menjadi semacam bangsa jajahan.

Saliban, yang tadinya menjadi pembantu Manako, dengan sikapnya yang pandai menjilat, terpakai oleh Malangi Khan dan orang ini diangkat menjadi kepala dari suku bangsa Haimi dan boleh dibilang ia menjadi kaki tangan bangsa Mongol. Saliban mengumpulkan orang-orangnya baik dengan halus maupun secara paksa, untuk bergabung kembali dan bersama-sama merupakan sebuah kesatuan yang cukup kuat untuk membantu usaha kaum Mongol itu menyerbu ke selatan, atau setidaknya mengacaukan pertahanan tentara kerajaan di selatan.

Berkat usaha Saliban, bangsa Haimi banyak yang ditangkap dan dijadikan anggauta pasukan secara paksa, sehingga sungguhpun di dalam hati orang-orang Haimi ini tidak suka membantu orang Mongol dan memusuhi tentara Han, namun terpaksa mereka maju juga.

Pada suatu hari, barisan suku bangsa Haimi yang berjumlah lima puluh orang lebih dipimpin sendiri oleh Saliban, sambil berteriak-teriak menyeramkan, sedang mengurung sepasukan penjaga tapal batas yang hanya berjumlah tiga puluh orang. Sungguh menyeramkan orang-orang Haimi ini. Mereka rata-rata berkumis panjang, kecuali Saliban sendiri yang semenjak muda telah membuang kumisnya, bersenjata golok dan pedang lalu menyerbu sambil berteriak-teriak menyeramkan.

Sebentar saja, pasukan kerajaan yang jauh lebih kecil jumlahnya itu telah terkurung rapat-rapat dan sudah banyak korban yang jatuh di pihak pasukan ini. Seorang perwira tua dari pasukan kerajaan ini dengan mati-matian bertempur mainkan sepasang pedangnya. Luka-luka telah membuat seluruh tubuhnya mandi darah akan tetapi perwira ini harus dipuji ketabahan dan keuletannya, karena ia tidak hendak menyerah sebelum titik darah terakhir!

Pada saat itu, tiba-tiba keadaan pihak orang-orang Haimi menjadi kacau-balau. Ternyata bahwa entah dari mana datangnya, di gelanggang peperangan itu telah datang seorang gadis cantik yang mainkan pedangnya secara luar biasa sekali. Pedang tunggal di tangannya berkilauan dan setiap kali tangannya menggerakkan pedang, robohlah seorang lawan!

Gadis muda ini bukan lain adalah Sie Li atau Lili! Sebagaimana telah diceritakan di bagian depan, setelah mendengar lamaran yang terus terang dan kasar dari Kam Wi, paman dari Kam Liong, gadis ini lalu melarikan diri meninggalkan rombongan Kam Liong.

Karena ia memang tidak tahu jalan dan di sepanjang perjalanannya, ia tidak bertemu dengan seorang manusia pun, ia telah salah mengambil jalan dan yang disangkanya ke utara sebetulnya membelok ke barat!

Demikianlah, ketika ia melihat betapa serombongan tentara kerajaan dikeroyok dan dikurung oleh pasukan berkumis yang jauh lebih besar jumlahnya, tanpa diminta dan tanpa mengeluarkan kata-kata Lili lalu membantu pasukan kerajaan itu dan menyerang barisan berkumis dengan hebatnya.

Akan tetapi, pada saat Lili datang membantu, pasukan kerajaan telah habis, bahkan perwira tua itu hanya sempat melihat Lili sebentar saja, karena perwira ini lalu roboh saking lelah dan banyak mengeluarkan darah. Beberapa bacokan golok menamatkan riwayatnya.

Sebentar kemudian hanya Lili seorang saja yang masih dikeroyok oleh puluhan orang berkumis. Saliban yang melihat seorang gadis cantik jelita dan gagah perkasa, merasa sayang kalau gadis ini sampai mengalami kematian, maka ia lalu berseru,

“Kawan-kawan, jangan bunuh gadis ini. Tangkap hidup-hidup!”






Akan tetapi, perintah ini lebih mudah diucapkan daripada dijalankan, karena jangan kata hendak menangkap hidup-hidup, untuk mendekati gadis itu saja sukarnya bukan main!

Tiap orang yang terlalu berani mendekati Lili, tanpa dapat dicegah lagi roboh terkena tendangan atau kena sambaran hawa pukulan dari tangan kiri gadis itu, atau juga roboh karena keserempet pedang! Lili sengaja tidak mau membunuh orang. Melihat orang-orang berkumis ini, teringatlah ia akan cerita ayah bundanya tentang bangsa Haimi, maka ia tidak tega untuk membunuh seorang pun di antara mereka.

“Bukankah kalian ini orang-orang Haimi? Mengapa memusuhi tentara kerajaan? Dengarlah, aku adalah puteri Pendekar Bodoh. Ayah ibuku kenal baik dengan kepala kalian, Manako dan Meilani!” seru Lili diantara amukannya.

Benar saja, mendengar seruannya ini, sebagian besar orang Haimi lalu mengundurkan diri. Mereka sudah mendengar nama Pendekar Bodoh yang menjadi sahabat baik daripada kepala mereka yang dahulu, Manako. Akan tetapi terdengar bentakan-bentakan Saliban yang mendorong mereka untuk maju lagi dan mengadakan pengeroyokan.

Lili menjadi kewalahan juga dan tak mungkin ia akan dapat melepaskan diri dari kepungan tanpa merobohkan atau menewaskan beberapa orang diantara mereka.

“Mana Manako atau Meilani? Suruh mereka keluar biar aku bicara dengan mereka!” teriaknya lagi, akan tetapi siapakah yang berani melayaninya? Biarpun semua orang Haimi itu timbul hati simpatinya terhadap gadis ini, namun mereka takut kepada Saliban.

Celaka bagi Lili pada saat itu, serombongan pasukan Mongol yang lihai datang! Orang-orang Mongol ini ketika melihat betapa sepasukan orang Haimi mengeroyok seorang gadis Han, cepat mereka menyerbu dan mengeroyok Lili.

Keadaan Lili menjadi lebih berbahaya lagi. Biarpun ia mengamuk hebat, akan tetapi bagaimana ia dapat melayani ratusan orang musuh yang mengeroyoknya? Mereka itu kini mulai mempergunakan kaitan dan tambang sehingga gerakan Lili menjadi terhalang.

Ia melawan terus dan pertempuran luar biasa ini sungguh hebat. Seorang gadis muda jelita dikeroyok oleh ratusan orang Mongol dan Haimi, dan biarpun sudah ribuan jurus, belum juga gadis ini kalah! Sudah bertumpuk mayat dan pandangan mata Lili sudah menjadi kabur. Kepalanya pening, peluhnya membasahi seluruh tubuhnya dan tenaganya mulai berkurang. Tak mungkin baginya untuk keluar dari kepungan, maka dengan nekat ia lalu menyerbu, maksudnya hendak membunuh sebanyak-banyaknya musuh sebelum ia roboh.

Tiba-tiba terdengar sorak-sorai bergemuruh dari jauh. Sepasukan tentara kerajaan yang lain datang menolong! Orang-orang Mongol memisahkan diri dan menyambut datangnya pasukan kerajaan yang terdiri dari seratus orang itu.

Pertempuran makin hebat dan besar, akan tetapi Lili sudah lelah sekali sehingga ketika kakinya terjirat tambang, tubuhnya terhuyung lalu terguling. Banyak tangan yang kuat menubruknya dan dalam sekejap mata saja ia telah diikat kuat-kuat oleh orang-orang Haimi, lalu Saliban mengempitnya dan membawanya lari bersama orang-orangnya.

Lili yang roboh pingsan saking lelahnya tidak ingat sesuatu. Ketika ia telah siuman kembali ternyata ia telah berada di dalam sebuah hutan dan waktu itu telah malam. Kegelapan malam di dalam hutan itu terusir oleh cahaya api unggun besar yang dibuat oleh orang-orang Haimi di tempat itu.

Disini agaknya memang menjadi tempat beristirahat, karena pohon-pohon telah ditebang merupakan tempat terbuka yang dikelilingi pohon-pohon besar. Lili tak dapat menggerakkan tubuhnya yang terikat erat-erat dan ia didudukkan menyandar batu karang.

Ketika ia membuka matanya, ia melihat banyak sekali orang Haimi mengelilingi api, duduk bercakap-cakap dalam bahasa Haimi. Dahulu, secara iseng-iseng ayah bundanya yang sedikit mengerti bahasa ini, telah memberi tahu dan memberi pelajaran kepadanya tentang bahasa Haimi, maka biarpun hanya sedikit, Lili dapat menangkap percakapan mereka.

“Jangan, Saliban, dia adalah puteri Pendekar Bodoh, pendekar besar sahabat baik Kwee Tai-hiap yang sudah banyak berjasa terhadap kita. Jangan ganggu dia!” terdengar seorang Haimi yang sudah tua berkata terhadap orang Haimi yang tak berkumis.

Ucapan ini agaknya diterima dan dinyatakan setuju oleh sebagian besar orang-orang disitu, karena mereka nampak menganggukkan kepala. Akan tetapi orang Haimi yang tidak berkumis itu menjadi marah.

“Siapa takut Pendekar Bodoh? Tidak tahukah kalian bahwa Pendekar Bodoh adalah musuh orang-orang Mongol? Kita harus memperlihatkan jasa, dan sekarang kesempatan yang amat baik ini jangan kita lewatkan begitu saja. Gadis ini demikian cantik jelita dan berkepandaian tinggi pula. Kalau kita membawanya kepada Malangi Khan dan mempersembahkannya, tentu ia akan berterima kasih dan girang sekali. Kalau dia tidak mau, aku sendiri pun membutuhkan seorang isteri segagah dan secantik ini.”

Kembali terdengar suara menggumam dari pada hadirin, akan tetapi kali ini menyatakan tidak setuju. Hal ini tidak terlepas dari pandangan mata Lili yang tajam. Ia mendapat kesimpulan bahwa orang-orang Haimi ini betapapun juga masih menaruh hati setia kawan terhadap ayahnya, akan tetapi mereka agaknya takut kepada orang yang bernama Saliban, orang Haimi yang tidak berkumis itu.

Diam-diam Lili mengeluh. Alangkah buruk nasibnya. Melakukan perjalanan bersama Kam Liong, mendengar lamaran yang kasar dan yang membuat mukanya menjadi selalu merah kembali kalau diingatnya. Meninggalkan rombongan itu, belum juga bertemu dengan Hong Beng dan Goat Lan bahkan kini terjatuh ke dalam tangan serombongan orang Haimi yang telah berubah dan telah menjadi kaki tangan Mongol!

Kalau ia diserahkan kepada bangsa Mongol itu, akan celakalah dia! Akan tetapi, Lili tak pernah putus asa. Selama hayat masih dikandung badan, gadis ini takkan mati putus asa. Ia masih hidup, kepandaiannya masih ada. Betapapun hebat malapetaka mengancam, ia akan dapat menolong diri sendiri.

Dengan pikiran ini, hati Lili menjadi tetap dan ia lalu meramkan mata dan tertidur. Ia menganggap perlu sekali beristirahat dan tidur melepaskan lelahnya. Besok pagi-pagi ia akan berusaha untuk melepaskan ikatan kaki tangannya.

Memang cerdik sekali pikiran Lili ini. Kalau ia berusaha atau berkuatir hati, mungkin ia takkan dapat tidur dan hal ini berbahaya sekali. Ia amat penat dan kehabisan tenaga, kalau ditambah lagi dengan kegelisahan dan tak dapat tidur, keadaannya tentu akan menjadi lebih buruk lagi.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Lili telah bangun dari tidurnya. Sungguhpun kaki tangannya terasa kaku dan kesemutan, namun ia merasa tubuhnya sehat dan segar, tidak lemas seperti malam tadi. Dan ia merasa heran sekali ketika melihat betapa semua orang Haimi masih duduk mengelilingi api.

Mereka tidak bercakap-cakap lagi, hanya duduk melenggut. Melihat keadaan orang-orang ini, timbul hati kasihan di dalam dada Lili. Alangkah sengsaranya hidup seperti orang-orang ini. Agaknya tidak berumah, tidak bebas, dan hidup hanya sebagai budak belian, dibawah perintah orang Haimi tak berkumis yang telah diperbudak pula oleh orang Mongol itu. Kemanakah perginya Manako dan Meilani, kepala suku bangsa Haimi yang menjadi sahabat baik ayah bundanya?

Dan pada saat Lili termenung sambil memandang ke arah Saliban yang juga telah bangun dan sedang menendangi kawan-kawannya memerintahkan mereka bangun, nampaklah oleh Lili berkelebatnya bayangan merah yang luar biasa sekali gerakannya.

Bayangan ini berkelebat bagaikan bintang jatuh dan tiba-tiba tanpa diketahui oleh orang-orang Haimi itu, di depannya telah berdiri seorang wanita. Cuaca pagi hari di dalam hutan itu masih agak gelap, remang-remang tertutup halimun. Dalam pandangan Lili, wanita yang berdiri di depannya itu demikian cantiknya seperti seorang bidadari dari kahyangan.

Pakaiannya berwarna merah dan biarpun disana-sini sudah ditambal, namun tidak mengurangi potongan bentuk tubuhnya yang langsing. Tangan wanita itu memegang pedang yang mengeluarkan sinar mencorong bagaikan bintang pagi, mengingatkan Lili kepada pedang Liong-cu-kiam dari ayahnya. Akan tetapi pedang di tangan wanita baju merah itu lebih pendek daripada Liong-cukiam ayahnya.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar