Wanita itu tidak mengeluarkan sepatah pun kata, akan tetapi tangannya yang memegang pedang bergerak membacok ke arah Lili! Sungguh aneh dan hebat gerakan bacokan ini sehingga Lili sendiri menjadi ngeri mengira bahwa wanita ini akan membunuhnya.
Tak terasa lagi gadis ini meramkan matanya. Akan tetapi tiba-tiba ia merasa betapa tangan dan kakinya terlepas dari belenggu! Ternyata bahwa wanita itu bukan membacok tubuhnya, melainkan membacok belenggu-belenggu yang mengikat kaki tangannya!
Cepat ia melompat berdiri dan karena tubuhnya masih kaku dan kesemutan, Lili menjadi limbung! Cepat-cepat ia melakukan gerakan bhesi yang disebut Sepasang Gunung Menembus Awan, sebuah bhesi dari Ilmu Silat Pek-in-hoatsut dan kedua tangannya ia gerak-gerakkan sehingga mengeluarkan uap putih.
Lili melakukan gerakan ini selain untuk mencegah tubuhnya limbung dan jatuh, juga untuk melemaskan urat-urat tangannya dan mencegah masuknya hawa atau angin jahat ke dalam tubuhnya.
Akan tetapi wanita itu nampak terkejut sekali. Sekali kedua kakinya bergerak, wanita itu telah melesat dan berdiri dekat sekali di depan Lili. Dipegangnya pundak Lili, digoncang-goncangnya beberapa kali sambil bertanya,
“Siapa kau? Dari mana kau mempelajari Pen-in-hoatsut?”
Ketika wanita baju merah itu menggoncang-goncang pundak Lili, gadis ini dapat melihat wajah wanita itu dengan jelas sekali dan terkejutlah dia. Wajah ini setelah terlihat jelas ternyata merupakan wajah seorang nenek-nenek yang sudah tua sekali! Rambutnya sudah putih semua dan kulit mukanya sudah penuh keriput. Sekaligus lenyaplah sifat-sifat kecantikan wanita itu, dan pada saat itu juga teringatlah Lili dengan hati berdebar siapa adanya wanita di depannya itu.
“Ang… Ang… I Niocu….” katanya dengan suara gemetar.
Kedua tangan yang halus dan amat kuat, yang tadi menggoncang-goncangkan pundaknya dengan kekuatan luar biasa itu kini terhenti tiba-tiba.
“Kau siapakah? Lekas mengaku, kau siapa dan anak siapa!” kata pula wanita itu yang memang betul Ang I Niocu adanya.
“Ah… Ie-ie (Bibi) Im Giok…!”
Tak terasa pula Lili lalu merangkul wanita itu. Semenjak kecilnya, ibunya seringkali menceritakan tentang Kiang Im Giok atau Ang I Niocu yang amat dicinta oleh ayah ibunya ini, wanita perkasa yang telah banyak melepas budi kepada Pendekar Bodoh suami isteri (baca cerita Pendekar Bodoh).
Pertemuan ini amat menggirangkan hatinya juga amat mengharukah karena selalu terbayang olehnya bahwa Ang I Niocu adalah seorang wanita tercantik di dunia ini. Sungguhpun ia telah mendengar dari ibunya bahwa kini Ang I Niocu telah tertimpa malapetaka dan menjadi tua sekali, namun tidak pernah terduga bahwa wanita ini akan menjadi setua itu, maka ia menjadi amat terharu. Air mata tak tertahan pula mengalir di atas pipinya.
Sementara itu, melihat wajah dan watak gadis ini, Ang I Niocu tidak ragu-ragu lagi.
“Kau puteri Lin Lin, anak Cin Hai…?” bisiknya.
“Betul, Ie-ie Im Giok, aku bernama Sie Hong Li atau Lili. Masih ada saudaraku, yaitu kakakku bernama Sie Hong Beng.”
Ang I Niocu memegang kedua pundak Lili, menjauhkan tubuh gadis itu dari padanya dan memandang wajah cantik itu dengan air mata mengalir turun di pipinya yang kisut. Ang I Niocu, wanita yang keras hati seperti baja ini tak dapat menahan keharuan hatinya melihat puteri dari kawan-kawannya yang tercinta!
Pada saat itu, Saliban dan kawan-kawannya telah melihat Ang I Niocu dan ketika Saliban melihat betapa Lili telah terlepas ikatan kaki tangannya, ia menjadi marah sekali. Cepat ia mencabut pedangnya dan memerintahkan kawan-kawannya untuk menyerbu.
“Tangkap Nona itu dan bunuh wanita baju merah itu!” teriaknya.
Berubah wajah Ang I Niocu ketika ia mendengar seruan ini. Cepat ia melepaskan pundak Lili dan berkata,
“Apakah mereka ini yang menangkapmu? Ha-haha, lihatlah anakku, lihat betapa Ie-iemu, biarpun sudah tua masih sanggup membuat puluhan orang ini menjadi setan tak berkepala lagi dalam sekejap mata!”
Sambil berkata demikian, tangan kanannya meraba pinggang dan tahu-tahu pedang yang tajam berkilau itu telah tercabut dan berada di tangannya! Pedang ini sesungguhnya juga pedang Liong-cukiam, asalnya merupakan siang-kiam (pedang pasangan), sebatang panjang dan sebatang pula pendek. Ang I Niocu dan Cin Hai yang mendapatkan pedang ini di dalam gua, dan kemudian menurut pesan Bu Pun Su guru Cin Hai, pedang yang panjang diberikan kepada Cin Hai sedangkan yang pendek jatuh pada Ang I Niocu. Oleh karena itu, pedang yang berada di tangan Ang I Niocu ini hebat sekali dan tajam luar biasa!
Melihat kemarahan Ang I Niocu, Lili menjadi kuatir sekali. Ia dapat menduga bahwa wanita baju merah ini benar-benar melakukan ancamannya, semua orang Haimi itu tentu akan mati di tangan Ang I Niocu. Ia pernah mendengar dari ibunya betapa ganas wanita ini kalau sedang marah.
“Ie-ie Im Giok, tahan dulu…!” teriaknya sambil melompat maju dan memegang tangan kanan Ang I Niocu yang memegang pedang. “Orang-orang ini adalah suku bangsa Haimi yang tidak jahat, hanya kepalanya saja yang memaksa mereka menjadi penjahat. Biarlah aku menghadapi mereka, Ie-ie Im Giok. Ampunkanlah mereka, dan tentang kepalanya yang jahat itu, biarkan aku sendiri yang menghajarnya!”
Ang I Niocu memandang kepada Lili dengan matanya yang amat tajam. Lili kuatir kalau-kalau nyonya luar biasa ini akan marah, akan tetapi ternyata tidak. Ang I Niocu bahkan tersenyum dan berkata perlahan,
“Kau seperti ayahmu, berbudi dan pengasih, dan berani seperti ibumu. Nah, kau pakailah pedangku untuk menghadapi kepala mereka.”
“Terima kasih, Ie-ie, tak usah!” jawab Lili gembira. “Untuk membunuh seekor anjing, tak patut mengotorkan pedang Liong-cu-kiam!”
Ia kini tak ragu-ragu lagi menyebutkan nama pedang ini karena memang ia telah tahu dari ayahnya bahwa pedang Ang I Niocu adalah pedang Liong-cu-kiam.
Dengan kedua tangan di pinggang, Lili berdiri dengan gagahnya, menanti datangnya serbuan puluhan orang Haimi itu. Orang-orang ini memang sudah merasa kagum dan segan untuk memusuhi gadis itu, maka kini mereka menjadi ragu-ragu. Mereka maju hanya atas perintah dan desakan Saliban, maka kini setelah berada di depan gadis yang gagah itu, mereka berdiri ragu-ragu, mundur tidak maju pun gentar.
“Saudara-saudara suku bangsa Haimi, dengarlah kata-kataku! Dengarlah ucapan puteri Pendekar Bodoh yang semenjak dahulu menjadi sahabat dan pembela Manako dan Meilani! Agaknya sekarang kalian telah diselewengkan oleh kepalamu yang baru, yang mengekor dan menjadi kaki tangan bangsa Mongol yang jahat! Kalian hidup dalam bahaya kehancuran seluruh bangsamu. Jangan takut kepada kepalamu yang jahat itu, dan jangan takut kepada orang Mongol yang menindasmu. Aku akan melindungimu, aku dan ayah ibuku. Pendekar Bodoh dan kawan-kawan kami akan melindungimu, akan memukul hancur bangsa Mongol! Lebih baik tinggalkan kepalamu yang jahat itu dan kembalilah kepada keluargamu masing-masing!”
Tak seorang pun diantara orang-orang Haimi itu berani menjawab dan tiba-tiba Saliban melompat ke depan dengan pedang di tangan.
“Perempuan sombong! Kau kemarin telah tertawan dan kami tidak membunuhmu karena sayang kepadamu yang masih muda. Dan sekarang kau berani mengeluarkan ucapan sesombong itu? Terpaksa sekarang kami harus membunuhmu karena mulutmu jahat sekali!”
“Ha-ha, kau bernama Saliban? Tidak tahu entah dari mana datangnya harimau tak berkumis yang telah berhasil membujuk dan menipu harimau-harimau Haimi yang gagah perkasa. Kau mau membunuhku? Aduh sombongnya! Kemarin juga kalau tidak dengan secara pengeroyokan yang pengecut sekali, agaknya kau telah mampus dalam tanganku!”
Saliban memang gentar menghadapi kegagahan Lili yang kemarin sudah disaksikannya akan tetapi oleh karena sekarang pedang gadis itu berada di dalam tangannya dan gadis itu sendiri bertangan kosong, ia menjadi berani. Ia berseru keras,
“Kawan-kawan, serbu dan bunuh perempuan sombong ini!”
Akan tetapi tak seorang pun diantara orang-orang Haimi itu yang mau menggerakkan senjata. Ucapan Lili tadi telah mempengaruhi mereka dan kini mereka mengambil keputusan hendak berdiam diri dulu, menyaksikan bagaimana gadis ini akan mengalahkan Saliban yang gagah perkasa dan yang mereka takuti.
Sebelum Saliban dapat mengulangi perintahnya, tiba-tiba Lili telah menggerakkan kakinya dan tubuhnya melesat cepat ke arah Saliban.
Saliban mengangkat pedang Liong-coan-kiam, pedang Lili yang sudah dirampasnya lalu membacok dengan kuat dan hebat ke arah kepala gadis itu. Akan tetapi, dengan amat mudahnya Lili mengelak ke kiri dan dengan lincahnya ia lalu mempermainkan Saliban.
Serangan kepala Suku bangsa Haimi yang dilakukan secara bertubi-tubi itu sama halnya dengan serangan yang ditujukan kepada angin belaka. Sedikit pun belum pernah pedang itu dapat menyentuh ujung pakaian Lili.
Ang I Niocu mau tidak mau tersenyum geli melihat betapa Lili mempermainkan lawannya sambil mainkan Ilmu Silat Kong-ciak-sinna. Hebat sekali gadis ini, pikirnya. Lincah dan tabah seperti ibunya, akan tetapi tenang dan penuh perhitungan seperti ayahnya. Ah, ia merasa menyesal mengapa ia telah menjauhkan diri dari mereka ini, kalau saja ia tahu bahwa Cin Hai dan Lin Lin mempunyai seorang puteri secantik dan segagah ini, dari dahulu tentu sudah dipinangnya gadis ini untuk puteranya, Lie Siong!
Kalau dibuat perbandingan, ilmu silat Saliban jauh kalah oleh Lili sehingga pertempuran itu seperti seekor kucing mempermainkan tikus. Pada jurus ke dua puluh, mulailah Lili membalas serangan lawannya. Ia mengelak cepat dari sebuah tusukan dan begitu tangan kirinya bergerak, terdengarlah suara “plok!” yang keras sekali karena pipi Saliban telah kena ditampar.
Saliban merasa seakan-akan kepalanya disambar petir, matanya berkunang dan bumi yang dipijaknya serasa beralun. Akan tetapi ia masih dapat mempertahankan dirinya, sungguhpun ia merasa betapa separuh mukanya menjadi panas dan bengkak membesar, ia tetap saja maju menyerang dengan mati-matian!
Saliban memekik kesakitan ketika pukulan Pek-in-hoatsut itu mengenai dadanya. Pedangnya terampas dengan mudah dan akibat pukulan yang lihai itu, tubuhnya terpental sampai beberapa tombak jauhnya dan tiba di tengah-tengah kumpulan kawan-kawannya yang memandang dengan mata terbelalak kagum.
Lili memang betul berhati pengasih dan pengampun seperti ayahnya. Tadinya ia tidak niat membunuh Saliban, hanya hendak mengalahkannya, memberi hajaran keras merampas pedangnya dan menginsyafkan orang-orang Haimi yang disesatkannya.
Maka ia terkejut sekali melihat betapa tiba-tiba orang-orang Haimi yang berkumis panjang itu kini menghujani tubuh Saliban yang sudah tak bergerak dengan golok dan pedang mereka. Tentu saja dalam sekejap mata tubuh Saliban menjadi hancur lebur tercacah oleh puluhan batang golok dan pedang.
Lili melompat ke tempat itu hendak mencegah, akan tetapi terlambat. Tubuh Saliban telah hancur tidak karuan lagi dan ketika orang-orang Haimi itu melihat Lili melompat dekat, mereka lalu melepaskan senjata dan menjatuhkan diri berlutut di depan gadis gagah itu.
“Lihiap, jahanam ini sudah terlampau banyak mendatangkan kesusahan kepada kami,” kata seorang Haimi tua yang malam tadi menyatakan tidak setuju terhadap kehendak Saliban. “Semenjak bangsa kami diserang dan dikalahkan oleh bangsa Mongol sehingga kepala kami yang bernama Manako melarikan diri dan Meilani telah tewas, kami hidup seperti budak-budak belian yang tidak berkuasa atas pikiran dan hati sendiri. Bangsat rendah Saliban ini menambah malapetaka, karena ia pandai bermuka-muka sehingga diangkat oleh Malangi Khan sebagai kepala kami. Hari ini, Lihiap telah datang dan membebaskan kami dari tindasan Saliban, akan tetapi hal ini belum berarti bahwa Lihiap telah membebaskan kami dari tindasan orang-orang Mongol. Bahkan kematian Saliban ini tentu akan mendatangkan malapetaka yang lebih besar lagi dan mungkin sebentar lagi seluruh anak isteri kami dibunuh oleh orang Mongol!”
Setelah orang tua ini berkata demikian, terdengar isak tangis karena sebagian besar orang-orang Haimi itu telah menangis sedih.
Ang I Niocu yang datang berdiri di dekat Lili, lalu berkata kepada orang-orang Haimi itu dengan suara mengejek,
“Hmm, kalian ini orang-orang bodoh hanya kumisnya saja yang panjang, akan tetapi pikiranmu pendek sekali. Hanya tampang saja yang gagah akan tetapi hatinya lemah dan pengecut melebihi wanita yang selemah-lemahnya! Kesukaran tak dapat diatasi hanya dengan cucuran air mata. Persoalan tak mungkin dapat dipecahkan hanya dengan keluh kesah belaka! Kalau kalian mempunyai kesulitan, lebih baik cepat ceritakan kepada Nona ini, karena Nona ini sekali mengeluarkan kesanggupan pasti akan dipenuhi.”
Tak terasa lagi gadis ini meramkan matanya. Akan tetapi tiba-tiba ia merasa betapa tangan dan kakinya terlepas dari belenggu! Ternyata bahwa wanita itu bukan membacok tubuhnya, melainkan membacok belenggu-belenggu yang mengikat kaki tangannya!
Cepat ia melompat berdiri dan karena tubuhnya masih kaku dan kesemutan, Lili menjadi limbung! Cepat-cepat ia melakukan gerakan bhesi yang disebut Sepasang Gunung Menembus Awan, sebuah bhesi dari Ilmu Silat Pek-in-hoatsut dan kedua tangannya ia gerak-gerakkan sehingga mengeluarkan uap putih.
Lili melakukan gerakan ini selain untuk mencegah tubuhnya limbung dan jatuh, juga untuk melemaskan urat-urat tangannya dan mencegah masuknya hawa atau angin jahat ke dalam tubuhnya.
Akan tetapi wanita itu nampak terkejut sekali. Sekali kedua kakinya bergerak, wanita itu telah melesat dan berdiri dekat sekali di depan Lili. Dipegangnya pundak Lili, digoncang-goncangnya beberapa kali sambil bertanya,
“Siapa kau? Dari mana kau mempelajari Pen-in-hoatsut?”
Ketika wanita baju merah itu menggoncang-goncang pundak Lili, gadis ini dapat melihat wajah wanita itu dengan jelas sekali dan terkejutlah dia. Wajah ini setelah terlihat jelas ternyata merupakan wajah seorang nenek-nenek yang sudah tua sekali! Rambutnya sudah putih semua dan kulit mukanya sudah penuh keriput. Sekaligus lenyaplah sifat-sifat kecantikan wanita itu, dan pada saat itu juga teringatlah Lili dengan hati berdebar siapa adanya wanita di depannya itu.
“Ang… Ang… I Niocu….” katanya dengan suara gemetar.
Kedua tangan yang halus dan amat kuat, yang tadi menggoncang-goncangkan pundaknya dengan kekuatan luar biasa itu kini terhenti tiba-tiba.
“Kau siapakah? Lekas mengaku, kau siapa dan anak siapa!” kata pula wanita itu yang memang betul Ang I Niocu adanya.
“Ah… Ie-ie (Bibi) Im Giok…!”
Tak terasa pula Lili lalu merangkul wanita itu. Semenjak kecilnya, ibunya seringkali menceritakan tentang Kiang Im Giok atau Ang I Niocu yang amat dicinta oleh ayah ibunya ini, wanita perkasa yang telah banyak melepas budi kepada Pendekar Bodoh suami isteri (baca cerita Pendekar Bodoh).
Pertemuan ini amat menggirangkan hatinya juga amat mengharukah karena selalu terbayang olehnya bahwa Ang I Niocu adalah seorang wanita tercantik di dunia ini. Sungguhpun ia telah mendengar dari ibunya bahwa kini Ang I Niocu telah tertimpa malapetaka dan menjadi tua sekali, namun tidak pernah terduga bahwa wanita ini akan menjadi setua itu, maka ia menjadi amat terharu. Air mata tak tertahan pula mengalir di atas pipinya.
Sementara itu, melihat wajah dan watak gadis ini, Ang I Niocu tidak ragu-ragu lagi.
“Kau puteri Lin Lin, anak Cin Hai…?” bisiknya.
“Betul, Ie-ie Im Giok, aku bernama Sie Hong Li atau Lili. Masih ada saudaraku, yaitu kakakku bernama Sie Hong Beng.”
Ang I Niocu memegang kedua pundak Lili, menjauhkan tubuh gadis itu dari padanya dan memandang wajah cantik itu dengan air mata mengalir turun di pipinya yang kisut. Ang I Niocu, wanita yang keras hati seperti baja ini tak dapat menahan keharuan hatinya melihat puteri dari kawan-kawannya yang tercinta!
Pada saat itu, Saliban dan kawan-kawannya telah melihat Ang I Niocu dan ketika Saliban melihat betapa Lili telah terlepas ikatan kaki tangannya, ia menjadi marah sekali. Cepat ia mencabut pedangnya dan memerintahkan kawan-kawannya untuk menyerbu.
“Tangkap Nona itu dan bunuh wanita baju merah itu!” teriaknya.
Berubah wajah Ang I Niocu ketika ia mendengar seruan ini. Cepat ia melepaskan pundak Lili dan berkata,
“Apakah mereka ini yang menangkapmu? Ha-haha, lihatlah anakku, lihat betapa Ie-iemu, biarpun sudah tua masih sanggup membuat puluhan orang ini menjadi setan tak berkepala lagi dalam sekejap mata!”
Sambil berkata demikian, tangan kanannya meraba pinggang dan tahu-tahu pedang yang tajam berkilau itu telah tercabut dan berada di tangannya! Pedang ini sesungguhnya juga pedang Liong-cukiam, asalnya merupakan siang-kiam (pedang pasangan), sebatang panjang dan sebatang pula pendek. Ang I Niocu dan Cin Hai yang mendapatkan pedang ini di dalam gua, dan kemudian menurut pesan Bu Pun Su guru Cin Hai, pedang yang panjang diberikan kepada Cin Hai sedangkan yang pendek jatuh pada Ang I Niocu. Oleh karena itu, pedang yang berada di tangan Ang I Niocu ini hebat sekali dan tajam luar biasa!
Melihat kemarahan Ang I Niocu, Lili menjadi kuatir sekali. Ia dapat menduga bahwa wanita baju merah ini benar-benar melakukan ancamannya, semua orang Haimi itu tentu akan mati di tangan Ang I Niocu. Ia pernah mendengar dari ibunya betapa ganas wanita ini kalau sedang marah.
“Ie-ie Im Giok, tahan dulu…!” teriaknya sambil melompat maju dan memegang tangan kanan Ang I Niocu yang memegang pedang. “Orang-orang ini adalah suku bangsa Haimi yang tidak jahat, hanya kepalanya saja yang memaksa mereka menjadi penjahat. Biarlah aku menghadapi mereka, Ie-ie Im Giok. Ampunkanlah mereka, dan tentang kepalanya yang jahat itu, biarkan aku sendiri yang menghajarnya!”
Ang I Niocu memandang kepada Lili dengan matanya yang amat tajam. Lili kuatir kalau-kalau nyonya luar biasa ini akan marah, akan tetapi ternyata tidak. Ang I Niocu bahkan tersenyum dan berkata perlahan,
“Kau seperti ayahmu, berbudi dan pengasih, dan berani seperti ibumu. Nah, kau pakailah pedangku untuk menghadapi kepala mereka.”
“Terima kasih, Ie-ie, tak usah!” jawab Lili gembira. “Untuk membunuh seekor anjing, tak patut mengotorkan pedang Liong-cu-kiam!”
Ia kini tak ragu-ragu lagi menyebutkan nama pedang ini karena memang ia telah tahu dari ayahnya bahwa pedang Ang I Niocu adalah pedang Liong-cu-kiam.
Dengan kedua tangan di pinggang, Lili berdiri dengan gagahnya, menanti datangnya serbuan puluhan orang Haimi itu. Orang-orang ini memang sudah merasa kagum dan segan untuk memusuhi gadis itu, maka kini mereka menjadi ragu-ragu. Mereka maju hanya atas perintah dan desakan Saliban, maka kini setelah berada di depan gadis yang gagah itu, mereka berdiri ragu-ragu, mundur tidak maju pun gentar.
“Saudara-saudara suku bangsa Haimi, dengarlah kata-kataku! Dengarlah ucapan puteri Pendekar Bodoh yang semenjak dahulu menjadi sahabat dan pembela Manako dan Meilani! Agaknya sekarang kalian telah diselewengkan oleh kepalamu yang baru, yang mengekor dan menjadi kaki tangan bangsa Mongol yang jahat! Kalian hidup dalam bahaya kehancuran seluruh bangsamu. Jangan takut kepada kepalamu yang jahat itu, dan jangan takut kepada orang Mongol yang menindasmu. Aku akan melindungimu, aku dan ayah ibuku. Pendekar Bodoh dan kawan-kawan kami akan melindungimu, akan memukul hancur bangsa Mongol! Lebih baik tinggalkan kepalamu yang jahat itu dan kembalilah kepada keluargamu masing-masing!”
Tak seorang pun diantara orang-orang Haimi itu berani menjawab dan tiba-tiba Saliban melompat ke depan dengan pedang di tangan.
“Perempuan sombong! Kau kemarin telah tertawan dan kami tidak membunuhmu karena sayang kepadamu yang masih muda. Dan sekarang kau berani mengeluarkan ucapan sesombong itu? Terpaksa sekarang kami harus membunuhmu karena mulutmu jahat sekali!”
“Ha-ha, kau bernama Saliban? Tidak tahu entah dari mana datangnya harimau tak berkumis yang telah berhasil membujuk dan menipu harimau-harimau Haimi yang gagah perkasa. Kau mau membunuhku? Aduh sombongnya! Kemarin juga kalau tidak dengan secara pengeroyokan yang pengecut sekali, agaknya kau telah mampus dalam tanganku!”
Saliban memang gentar menghadapi kegagahan Lili yang kemarin sudah disaksikannya akan tetapi oleh karena sekarang pedang gadis itu berada di dalam tangannya dan gadis itu sendiri bertangan kosong, ia menjadi berani. Ia berseru keras,
“Kawan-kawan, serbu dan bunuh perempuan sombong ini!”
Akan tetapi tak seorang pun diantara orang-orang Haimi itu yang mau menggerakkan senjata. Ucapan Lili tadi telah mempengaruhi mereka dan kini mereka mengambil keputusan hendak berdiam diri dulu, menyaksikan bagaimana gadis ini akan mengalahkan Saliban yang gagah perkasa dan yang mereka takuti.
Sebelum Saliban dapat mengulangi perintahnya, tiba-tiba Lili telah menggerakkan kakinya dan tubuhnya melesat cepat ke arah Saliban.
Saliban mengangkat pedang Liong-coan-kiam, pedang Lili yang sudah dirampasnya lalu membacok dengan kuat dan hebat ke arah kepala gadis itu. Akan tetapi, dengan amat mudahnya Lili mengelak ke kiri dan dengan lincahnya ia lalu mempermainkan Saliban.
Serangan kepala Suku bangsa Haimi yang dilakukan secara bertubi-tubi itu sama halnya dengan serangan yang ditujukan kepada angin belaka. Sedikit pun belum pernah pedang itu dapat menyentuh ujung pakaian Lili.
Ang I Niocu mau tidak mau tersenyum geli melihat betapa Lili mempermainkan lawannya sambil mainkan Ilmu Silat Kong-ciak-sinna. Hebat sekali gadis ini, pikirnya. Lincah dan tabah seperti ibunya, akan tetapi tenang dan penuh perhitungan seperti ayahnya. Ah, ia merasa menyesal mengapa ia telah menjauhkan diri dari mereka ini, kalau saja ia tahu bahwa Cin Hai dan Lin Lin mempunyai seorang puteri secantik dan segagah ini, dari dahulu tentu sudah dipinangnya gadis ini untuk puteranya, Lie Siong!
Kalau dibuat perbandingan, ilmu silat Saliban jauh kalah oleh Lili sehingga pertempuran itu seperti seekor kucing mempermainkan tikus. Pada jurus ke dua puluh, mulailah Lili membalas serangan lawannya. Ia mengelak cepat dari sebuah tusukan dan begitu tangan kirinya bergerak, terdengarlah suara “plok!” yang keras sekali karena pipi Saliban telah kena ditampar.
Saliban merasa seakan-akan kepalanya disambar petir, matanya berkunang dan bumi yang dipijaknya serasa beralun. Akan tetapi ia masih dapat mempertahankan dirinya, sungguhpun ia merasa betapa separuh mukanya menjadi panas dan bengkak membesar, ia tetap saja maju menyerang dengan mati-matian!
Saliban memekik kesakitan ketika pukulan Pek-in-hoatsut itu mengenai dadanya. Pedangnya terampas dengan mudah dan akibat pukulan yang lihai itu, tubuhnya terpental sampai beberapa tombak jauhnya dan tiba di tengah-tengah kumpulan kawan-kawannya yang memandang dengan mata terbelalak kagum.
Lili memang betul berhati pengasih dan pengampun seperti ayahnya. Tadinya ia tidak niat membunuh Saliban, hanya hendak mengalahkannya, memberi hajaran keras merampas pedangnya dan menginsyafkan orang-orang Haimi yang disesatkannya.
Maka ia terkejut sekali melihat betapa tiba-tiba orang-orang Haimi yang berkumis panjang itu kini menghujani tubuh Saliban yang sudah tak bergerak dengan golok dan pedang mereka. Tentu saja dalam sekejap mata tubuh Saliban menjadi hancur lebur tercacah oleh puluhan batang golok dan pedang.
Lili melompat ke tempat itu hendak mencegah, akan tetapi terlambat. Tubuh Saliban telah hancur tidak karuan lagi dan ketika orang-orang Haimi itu melihat Lili melompat dekat, mereka lalu melepaskan senjata dan menjatuhkan diri berlutut di depan gadis gagah itu.
“Lihiap, jahanam ini sudah terlampau banyak mendatangkan kesusahan kepada kami,” kata seorang Haimi tua yang malam tadi menyatakan tidak setuju terhadap kehendak Saliban. “Semenjak bangsa kami diserang dan dikalahkan oleh bangsa Mongol sehingga kepala kami yang bernama Manako melarikan diri dan Meilani telah tewas, kami hidup seperti budak-budak belian yang tidak berkuasa atas pikiran dan hati sendiri. Bangsat rendah Saliban ini menambah malapetaka, karena ia pandai bermuka-muka sehingga diangkat oleh Malangi Khan sebagai kepala kami. Hari ini, Lihiap telah datang dan membebaskan kami dari tindasan Saliban, akan tetapi hal ini belum berarti bahwa Lihiap telah membebaskan kami dari tindasan orang-orang Mongol. Bahkan kematian Saliban ini tentu akan mendatangkan malapetaka yang lebih besar lagi dan mungkin sebentar lagi seluruh anak isteri kami dibunuh oleh orang Mongol!”
Setelah orang tua ini berkata demikian, terdengar isak tangis karena sebagian besar orang-orang Haimi itu telah menangis sedih.
Ang I Niocu yang datang berdiri di dekat Lili, lalu berkata kepada orang-orang Haimi itu dengan suara mengejek,
“Hmm, kalian ini orang-orang bodoh hanya kumisnya saja yang panjang, akan tetapi pikiranmu pendek sekali. Hanya tampang saja yang gagah akan tetapi hatinya lemah dan pengecut melebihi wanita yang selemah-lemahnya! Kesukaran tak dapat diatasi hanya dengan cucuran air mata. Persoalan tak mungkin dapat dipecahkan hanya dengan keluh kesah belaka! Kalau kalian mempunyai kesulitan, lebih baik cepat ceritakan kepada Nona ini, karena Nona ini sekali mengeluarkan kesanggupan pasti akan dipenuhi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar