Orang-orang Haimi yang mendengar kata-kata ini, menjadi merah mukanya karena malu dan jengah. Mendengar nasihat tentang kegagahan dari seorang wanita tua, sungguh amat memalukan sekali.
“Siapakah kau, Toanio, yang mengeluarkan kata-kata segagah ini?” tanya orang Haimi tua tadi.
Dengan suara bangga, Lili lalu memperkenalkan Ang I Niocu kepada mereka.
“Kalian tentu pernah mendengar nama Ang I Niocu, bukan? Nah, inilah dia Ang I Niocu, pendekar wanita terbesar di segala jaman! Dia adalah Twa-ieku yang tercinta. Dengan adanya dia disini, apakah kalian masih ragu-ragu lagi bahwa aku takkan dapat menolong kalian? Jangankan baru Malangi Khan, Raja Mongol yang hanya seorang manusia biasa itu, biarpun orang-orang Mongol mempunyai raja seorang dewata, dengan Ie-ieku ini di sampingku, aku sanggup menghadapinya!”
Nama besar Ang I Niocu memang sudah amat terkenal dari selatan sampai ke utara, dari barat sampai ke timur, maka sebagian besar orang-orang Haimi itu, terutama sekali yang tua-tua, telah mendengar dan mengenal nama ini, maka serentak mereka memberi hormat sambil berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala.
“Kalau begitu, kami mulai hari ini mengangkat Lihiap dan Niocu sebagai pemimpin-pemimpin kami. Hanya kepada Lihiap dan Niocu kami menyerahkan nasib bangsa kami. Ketahuilah, Lihiap dan Niocu, setelah kami dikalahkan oleh bangsa Mongol, keluarga kami yaitu isteri, orang-orang tua dan anak-anak kami semua dikumpulkan dalam sebuah kampung dan dijaga oleh pasukan Mongol. Hanya beberapa hari sekali kami diperkenankan menjumpai mereka. Hal itu dilakukan oleh bangsa Mongol yang jahat untuk merantai kaki kami, karena dengan demikian, mau tidak mau kami tidak berani membantah perintah mereka yang dikeluarkan melalui mulut Saliban yang khianat!”
Mendengar penuturan ini, baik Lili maupun Ang I Niocu menjadi marah sekali.
“Dimana tempat keluarga kalian itu terkurung?” tanya Ang I Niocu.
“Tidak jauh dari sini, di sebuah dusun di kaki Gunung Alkata-san,” jawab orang Haimi tua tadi.
“Nah, kita tunggu apa lagi? Mari berangkat kesana untuk menolong mereka,” kata pula Ang I Niocu.
Orang-orang Haimi itu terkejut sekali.
“Akan tetapi… tempat itu dijaga oleh seratus orang-orang yang jahat.”
Lili menjadi hilang sabar.
“Pengecut! Kalian tadi sudah mengaku kami berdua sebagai pemimpin, mengapa sekarang masih banyak membantah lagi? Apakah kalian tidak percaya kepada Ie-ieku? Kalau tidak percaya, sudah saja, kami pergi meninggalkan kalian!”
Mendengar ini buru-buru orang-orang Haimi itu berlutut lagi dan minta maaf. Kemudian dengan wajah gembira orang tua itu lalu mengumpulkan kawan-kawannya yang jumlahnya masih ada empat puluh dua orang lalu beramai-ramai mereka pergi menuju ke dusun dimana keluarga mereka yang jumlahnya hampir seratus orang wanita, orang-orang tua, dan anak-anak itu ditahan dan dikurung.
Tempat dimana keluarga Haimi itu dikurung adalah sebuah dusun yang telah kosong. Disitu hanya terdapat gubuk-gubuk yang amat sederhana dan miskin, dan penghidupan keluarga Haimi itu tidak lebih baik daripada penghidupan sekelompok ternak. Di sekeliling kampung itu benar saja dijaga oleh orang-orang Mongol yang bersenjata lengkap, dan tidak jarang orang-orang wanita keluarga Haimi itu mendapat gangguan yang kurang ajar dari para penjaganya.
Ang I Niocu dari Lili yang mengepalai empat puluh dua orang Haimi itu berjalan menuju ke kampung itu. Di sepanjang perjalanan, kedua orang ini bercakap-cakap seperti dua orang keluarga yang telah lama berpisah.
“Ie-ie, aku pernah bertemu dengan puteramu,” kata Lili.
Ang I Niocu cepat menengok dan memandang dengan wajah berseri.
“Betulkah? Kau sudah bertemu dengan Siong-ji? Dimana? Bagaimana dia?”
Lili adalah seorang gadis yang jujur seperti ayahnya. Biarpun ia gemar sekali berjenaka, akan tetapi pada saatnya ia dapat berlaku sungguh-sungguh dan jujur sekali.
“Menyesal sekali harus kukatakan bahwa puteramu itu amat aneh dan juga… kurang ajar sekali, Ie-ie!”
Bukan main terkejutnya hati Ang I Niocu mendengar ini, sehingga ia lalu menoleh ke belakang dan membentak semua orang Haimi agar berhenti untuk beristirahat! Kemudian ia menarik tangan Lili ke bawah batang pohon dan berkata, suaranya amat menyeramkan,
“Nah, katakanlah terus terang, mengapa kau menganggap dia demikian? Apakah yang telah ia perbuat?”
“Perjumpaanku yang pertama adalah ketika dia, dia mengganggu seorang gadis cantik!”
Kembali Ang I Niocu terkejut sekali.
“Tak mungkin! Siong-ji takkan melakukan perbuatan seperti itu!”
Akan tetapi Lili lalu menceritakan pertemuannya dengan Lie Siong ketika pemuda ini hendak meninggalkan Lilani sehingga gadis Haimi itu menangis sambil mengejarnya sehingga kemudian ia bertempur dengan Lie Siong.
“Agaknya puteramu itu… mencinta gadis itu atau sebaliknya.”
“Siapa gadis itu, Lili? Dan mengapa puteraku bersama dengan dia dan melakukan perjalanan bersama?”
“Bagaimana aku dapat menjawab pertanyaan ini, Ie-ie? Aku hanya bertemu sebentar dan pertemuan itu pun bukan pertemuan ramah tamah, bahkan kami telah bertempur karena tidak saling mengenal.”
“Hmm, sudahlah, dan kemudian dimana lagi kau berjumpa dengan dia?”
“Yang kedua kalinya, kami berjumpa di kuil Siauw-lim-si di Ki-ciu, tempat tinggal Thian Kek Hwesio yang mengobati penyakit Sin-kai Lo Sian. Juga di tempat ini… puteramu dan aku telah bertempur karena puteramu hendak menyerang Lo Sian. Dan dalam pertempuran ini… ia…” Lili berhenti sebentar karena wajahnya menjadi merah sekali dan untuk sejenak ia menundukkan mukanya, “dia telah… berlaku amat kurang ajar terhadap aku, Ie-ie…”
“Ia berbuat apakah? Lekas, lekas ceritakan, aku tak sabar lagi.”
“Dia telah merampas sebelah sepatuku!”
“Apa…??” Kini Ang I Niocu memandang dengan mata terbelatak. “Merampas sepatumu? Untuk apakah?”
Makin merah wajah Lili.
“Entahlah, siapa tahu?” Ia cemberut, sehingga hampir Ang I Niocu tertawa. Gadis ini sama benar dengan Lin Lin, ibunya. “Aku tak dapat mengejar karena kakiku telanjang. Ia pergi sambil membawa sepatuku dan luka di punggungnya.”
“Hmm, aneh… aneh, mengapa Siong-ji menjadi begitu aneh?”
“Masih belum hebat, Ie-ie. Belum lama ini, dia bahkan berani datang ke rumah dan selagi ayah bundaku pergi ke Tiang-an, puteramu itu telah menculik Sin-kai Lo Sian!”
“Gila! Apa artinya semua ini, Lili? Ada hubungan apakah antara puteraku dengan Sin-kai Lo Sian? Kalau misalnya ia bermusuhan dengan pengemis itu, tentu ia akan membunuhnya. Akan tetapi menculik pengemis, untuk apa?”
Sebetulnya Lili merasa enggan untuk menceritakan sebabnya, akan tetapi oleh karena pandang mata Ang I Niocu demikian tajamnya sehingga seakan-akan hendak menembus dadanya, maka ia tidak berani menyembunyikannya lagi.
“Harap Ie-ie mendengar dengan tenang. Sesungguhnya Sin-kai Lo Sian mengetahui sebuah hal amat penting dan mengejutkan hati. Dia menyatakan dan terdengar oleh puteramu bahwa… bahwa… suamimu telah meninggal dunia.”
Lili melihat betapa wajah Ang I Niocu yang sudah keriputan itu menjadi pucat sekali, akan tetapi tidak sebuah pun seruan kaget keluar dari mulutnya.
“Di mana matinya? Bagaimana dan oleh siapa?” hanya demikian tanyanya.
“Inilah soalnya, Ie-ie. Ini pula agaknya yang membuat puteramu melakukan penculikan terhadap diri Sin-kai Lo Sian, untuk memaksanya memberi keterangan. Ah, kasihan orang tua itu, dia sesungguhnya tak dapat memberi keterangan itu karena ingatannya telah hilang.”
“Apakah maksudmu?”
Dengan jelas Lili lalu menceritakan keadaan Lo Sian. Mendengar semua ini Ang I Niocu lalu bangkit berdiri. Ia berdiri diam bagaikan patung, tak sedikit pun kata-kata keluar dari mulutnya lagi.
Lili memandang dengan terharu dan kagum. Beginilah sikap seorang wanita gagah. Menderita pukulan batin yang hebat, mendengar kematian suaminya, tidak mencak-mencak atau menangis seperti biasa dilakukan oleh wanita, akan tetapi berdiri mengatur napas dan termenung menenteramkan batin untuk mengatasi pukulan itu.
Tanpa bergerak atau menoleh, tiba-tiba Ang I Niocu berkata,
“Lili, bencikah kau kepada anakku?”
Lili terkejut sekali. Tak pernah disangkanya akan mendapat pertanyaan seperti ini. Ia, seorang gadis yang jujur, apalagi terhadap Ang I Niocu, ia tidak boleh membohong. Bencikah ia kepada Lie Siong pernuda kurang ajar itu? Wajah pemuda itu seringkali terbayang kembali dengan segala kekasaran dan kekurangajarannya.
“Tidak, Ie-ie. Penuturanku tadi adalah sesungguhnya, bukan berdasarkan kebencianku. Mengapa aku harus membencinya? Biarpun ia telah berlaku kurang ajar merampas dan membawa lari sepatuku…”
“Itu tanda dia suka kepadamu, anak bodoh!”
Lili tertegun.
“Aku… aku tidak benci kepadanya Ie-ie,” katanya dengan hati tetap karena ia tidak membenci ketika mengatakan hal ini.
“Dan kau suka kepadanya?” tanya Pula Ang I Niocu, masih belum bergerak dan tidak menoleh.
Berdebar jantung Lili. Sungguh hebat sekali Ang I Niocu ini, menyerang dengan pertanyaan-pertanyaan demikian jitu dan langsung, benar-benar menyulitkannya. Agaknya demikian pula kalau pendekar wanita ini menyerang lawan dengan pedang. Jitu, hebat, dan langsung!
“Ie-ie, bagaimana aku dapat menjawab pertanyaanmu ini? Sungguh sukar bagiku untuk menjawab. Apakah maksudmu dengan pertanyaan ini, Ie-ie yang baik?”
“Masudku, Lili,” kata Ang I Niocu yang kini tiba-tiba menoleh dan memandang tajam kepada gadis itu, “karena kalau sudah tiba masanya puteraku memilih jodoh, kaulah yang akan menjadi jodohnya! Dulu ketika aku bertemu dengan puteri Kwee An dan Ma Hoa yang bernama Goat Lan, aku berpikir bahwa dialah yang patut menjadi mantuku.”
“Enci Goat Lan adalah tunangan Engko Hong Beng,” Lili memprotes.
“Lebih-lebih begitu. Setelah aku melihatmu, telah tetap dalam hatiku takkan memperbolehkan Siong-ji menikah selain dengan engkau!”
Bukan main jengahnya perasaan Lili mendengar ini. Mukanya menjadi merah sampai ke telinganya dan dadanya berdebar, ia tidak tahu apakah debar jantungnya itu tanda girang atau marah.
“Tak mungkin, Ie-ie. Puteramu itu telah mencintai seorang gadis lain yang melakukan perjalanan bersama dia!”
“Apakah kau yakin bahwa Siong-ji mencintainya?”
“Aku tidak mau tahu urusan orang lain,” jawab Lili dan kembali ia cemberut seperti ibunya kalau marah. “Yang sudah pasti, gadis itu amat mencintainya.”
“Tak mungkin Siong-ji menjatuhkan hatinya pada seorang gadis kecuali gadis seperti engkau. Ah, sudahlah, hal itu mudah dilihat nanti. Pendeknya sukakah kau menjadi mantuku?”
“Ie-ie, dalam hal ini, aku hanya menyerahkannya kepada ayah ibuku. Bagaimana aku dapat memutuskannya sendiri?”
“Siapakah kau, Toanio, yang mengeluarkan kata-kata segagah ini?” tanya orang Haimi tua tadi.
Dengan suara bangga, Lili lalu memperkenalkan Ang I Niocu kepada mereka.
“Kalian tentu pernah mendengar nama Ang I Niocu, bukan? Nah, inilah dia Ang I Niocu, pendekar wanita terbesar di segala jaman! Dia adalah Twa-ieku yang tercinta. Dengan adanya dia disini, apakah kalian masih ragu-ragu lagi bahwa aku takkan dapat menolong kalian? Jangankan baru Malangi Khan, Raja Mongol yang hanya seorang manusia biasa itu, biarpun orang-orang Mongol mempunyai raja seorang dewata, dengan Ie-ieku ini di sampingku, aku sanggup menghadapinya!”
Nama besar Ang I Niocu memang sudah amat terkenal dari selatan sampai ke utara, dari barat sampai ke timur, maka sebagian besar orang-orang Haimi itu, terutama sekali yang tua-tua, telah mendengar dan mengenal nama ini, maka serentak mereka memberi hormat sambil berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala.
“Kalau begitu, kami mulai hari ini mengangkat Lihiap dan Niocu sebagai pemimpin-pemimpin kami. Hanya kepada Lihiap dan Niocu kami menyerahkan nasib bangsa kami. Ketahuilah, Lihiap dan Niocu, setelah kami dikalahkan oleh bangsa Mongol, keluarga kami yaitu isteri, orang-orang tua dan anak-anak kami semua dikumpulkan dalam sebuah kampung dan dijaga oleh pasukan Mongol. Hanya beberapa hari sekali kami diperkenankan menjumpai mereka. Hal itu dilakukan oleh bangsa Mongol yang jahat untuk merantai kaki kami, karena dengan demikian, mau tidak mau kami tidak berani membantah perintah mereka yang dikeluarkan melalui mulut Saliban yang khianat!”
Mendengar penuturan ini, baik Lili maupun Ang I Niocu menjadi marah sekali.
“Dimana tempat keluarga kalian itu terkurung?” tanya Ang I Niocu.
“Tidak jauh dari sini, di sebuah dusun di kaki Gunung Alkata-san,” jawab orang Haimi tua tadi.
“Nah, kita tunggu apa lagi? Mari berangkat kesana untuk menolong mereka,” kata pula Ang I Niocu.
Orang-orang Haimi itu terkejut sekali.
“Akan tetapi… tempat itu dijaga oleh seratus orang-orang yang jahat.”
Lili menjadi hilang sabar.
“Pengecut! Kalian tadi sudah mengaku kami berdua sebagai pemimpin, mengapa sekarang masih banyak membantah lagi? Apakah kalian tidak percaya kepada Ie-ieku? Kalau tidak percaya, sudah saja, kami pergi meninggalkan kalian!”
Mendengar ini buru-buru orang-orang Haimi itu berlutut lagi dan minta maaf. Kemudian dengan wajah gembira orang tua itu lalu mengumpulkan kawan-kawannya yang jumlahnya masih ada empat puluh dua orang lalu beramai-ramai mereka pergi menuju ke dusun dimana keluarga mereka yang jumlahnya hampir seratus orang wanita, orang-orang tua, dan anak-anak itu ditahan dan dikurung.
Tempat dimana keluarga Haimi itu dikurung adalah sebuah dusun yang telah kosong. Disitu hanya terdapat gubuk-gubuk yang amat sederhana dan miskin, dan penghidupan keluarga Haimi itu tidak lebih baik daripada penghidupan sekelompok ternak. Di sekeliling kampung itu benar saja dijaga oleh orang-orang Mongol yang bersenjata lengkap, dan tidak jarang orang-orang wanita keluarga Haimi itu mendapat gangguan yang kurang ajar dari para penjaganya.
Ang I Niocu dari Lili yang mengepalai empat puluh dua orang Haimi itu berjalan menuju ke kampung itu. Di sepanjang perjalanan, kedua orang ini bercakap-cakap seperti dua orang keluarga yang telah lama berpisah.
“Ie-ie, aku pernah bertemu dengan puteramu,” kata Lili.
Ang I Niocu cepat menengok dan memandang dengan wajah berseri.
“Betulkah? Kau sudah bertemu dengan Siong-ji? Dimana? Bagaimana dia?”
Lili adalah seorang gadis yang jujur seperti ayahnya. Biarpun ia gemar sekali berjenaka, akan tetapi pada saatnya ia dapat berlaku sungguh-sungguh dan jujur sekali.
“Menyesal sekali harus kukatakan bahwa puteramu itu amat aneh dan juga… kurang ajar sekali, Ie-ie!”
Bukan main terkejutnya hati Ang I Niocu mendengar ini, sehingga ia lalu menoleh ke belakang dan membentak semua orang Haimi agar berhenti untuk beristirahat! Kemudian ia menarik tangan Lili ke bawah batang pohon dan berkata, suaranya amat menyeramkan,
“Nah, katakanlah terus terang, mengapa kau menganggap dia demikian? Apakah yang telah ia perbuat?”
“Perjumpaanku yang pertama adalah ketika dia, dia mengganggu seorang gadis cantik!”
Kembali Ang I Niocu terkejut sekali.
“Tak mungkin! Siong-ji takkan melakukan perbuatan seperti itu!”
Akan tetapi Lili lalu menceritakan pertemuannya dengan Lie Siong ketika pemuda ini hendak meninggalkan Lilani sehingga gadis Haimi itu menangis sambil mengejarnya sehingga kemudian ia bertempur dengan Lie Siong.
“Agaknya puteramu itu… mencinta gadis itu atau sebaliknya.”
“Siapa gadis itu, Lili? Dan mengapa puteraku bersama dengan dia dan melakukan perjalanan bersama?”
“Bagaimana aku dapat menjawab pertanyaan ini, Ie-ie? Aku hanya bertemu sebentar dan pertemuan itu pun bukan pertemuan ramah tamah, bahkan kami telah bertempur karena tidak saling mengenal.”
“Hmm, sudahlah, dan kemudian dimana lagi kau berjumpa dengan dia?”
“Yang kedua kalinya, kami berjumpa di kuil Siauw-lim-si di Ki-ciu, tempat tinggal Thian Kek Hwesio yang mengobati penyakit Sin-kai Lo Sian. Juga di tempat ini… puteramu dan aku telah bertempur karena puteramu hendak menyerang Lo Sian. Dan dalam pertempuran ini… ia…” Lili berhenti sebentar karena wajahnya menjadi merah sekali dan untuk sejenak ia menundukkan mukanya, “dia telah… berlaku amat kurang ajar terhadap aku, Ie-ie…”
“Ia berbuat apakah? Lekas, lekas ceritakan, aku tak sabar lagi.”
“Dia telah merampas sebelah sepatuku!”
“Apa…??” Kini Ang I Niocu memandang dengan mata terbelatak. “Merampas sepatumu? Untuk apakah?”
Makin merah wajah Lili.
“Entahlah, siapa tahu?” Ia cemberut, sehingga hampir Ang I Niocu tertawa. Gadis ini sama benar dengan Lin Lin, ibunya. “Aku tak dapat mengejar karena kakiku telanjang. Ia pergi sambil membawa sepatuku dan luka di punggungnya.”
“Hmm, aneh… aneh, mengapa Siong-ji menjadi begitu aneh?”
“Masih belum hebat, Ie-ie. Belum lama ini, dia bahkan berani datang ke rumah dan selagi ayah bundaku pergi ke Tiang-an, puteramu itu telah menculik Sin-kai Lo Sian!”
“Gila! Apa artinya semua ini, Lili? Ada hubungan apakah antara puteraku dengan Sin-kai Lo Sian? Kalau misalnya ia bermusuhan dengan pengemis itu, tentu ia akan membunuhnya. Akan tetapi menculik pengemis, untuk apa?”
Sebetulnya Lili merasa enggan untuk menceritakan sebabnya, akan tetapi oleh karena pandang mata Ang I Niocu demikian tajamnya sehingga seakan-akan hendak menembus dadanya, maka ia tidak berani menyembunyikannya lagi.
“Harap Ie-ie mendengar dengan tenang. Sesungguhnya Sin-kai Lo Sian mengetahui sebuah hal amat penting dan mengejutkan hati. Dia menyatakan dan terdengar oleh puteramu bahwa… bahwa… suamimu telah meninggal dunia.”
Lili melihat betapa wajah Ang I Niocu yang sudah keriputan itu menjadi pucat sekali, akan tetapi tidak sebuah pun seruan kaget keluar dari mulutnya.
“Di mana matinya? Bagaimana dan oleh siapa?” hanya demikian tanyanya.
“Inilah soalnya, Ie-ie. Ini pula agaknya yang membuat puteramu melakukan penculikan terhadap diri Sin-kai Lo Sian, untuk memaksanya memberi keterangan. Ah, kasihan orang tua itu, dia sesungguhnya tak dapat memberi keterangan itu karena ingatannya telah hilang.”
“Apakah maksudmu?”
Dengan jelas Lili lalu menceritakan keadaan Lo Sian. Mendengar semua ini Ang I Niocu lalu bangkit berdiri. Ia berdiri diam bagaikan patung, tak sedikit pun kata-kata keluar dari mulutnya lagi.
Lili memandang dengan terharu dan kagum. Beginilah sikap seorang wanita gagah. Menderita pukulan batin yang hebat, mendengar kematian suaminya, tidak mencak-mencak atau menangis seperti biasa dilakukan oleh wanita, akan tetapi berdiri mengatur napas dan termenung menenteramkan batin untuk mengatasi pukulan itu.
Tanpa bergerak atau menoleh, tiba-tiba Ang I Niocu berkata,
“Lili, bencikah kau kepada anakku?”
Lili terkejut sekali. Tak pernah disangkanya akan mendapat pertanyaan seperti ini. Ia, seorang gadis yang jujur, apalagi terhadap Ang I Niocu, ia tidak boleh membohong. Bencikah ia kepada Lie Siong pernuda kurang ajar itu? Wajah pemuda itu seringkali terbayang kembali dengan segala kekasaran dan kekurangajarannya.
“Tidak, Ie-ie. Penuturanku tadi adalah sesungguhnya, bukan berdasarkan kebencianku. Mengapa aku harus membencinya? Biarpun ia telah berlaku kurang ajar merampas dan membawa lari sepatuku…”
“Itu tanda dia suka kepadamu, anak bodoh!”
Lili tertegun.
“Aku… aku tidak benci kepadanya Ie-ie,” katanya dengan hati tetap karena ia tidak membenci ketika mengatakan hal ini.
“Dan kau suka kepadanya?” tanya Pula Ang I Niocu, masih belum bergerak dan tidak menoleh.
Berdebar jantung Lili. Sungguh hebat sekali Ang I Niocu ini, menyerang dengan pertanyaan-pertanyaan demikian jitu dan langsung, benar-benar menyulitkannya. Agaknya demikian pula kalau pendekar wanita ini menyerang lawan dengan pedang. Jitu, hebat, dan langsung!
“Ie-ie, bagaimana aku dapat menjawab pertanyaanmu ini? Sungguh sukar bagiku untuk menjawab. Apakah maksudmu dengan pertanyaan ini, Ie-ie yang baik?”
“Masudku, Lili,” kata Ang I Niocu yang kini tiba-tiba menoleh dan memandang tajam kepada gadis itu, “karena kalau sudah tiba masanya puteraku memilih jodoh, kaulah yang akan menjadi jodohnya! Dulu ketika aku bertemu dengan puteri Kwee An dan Ma Hoa yang bernama Goat Lan, aku berpikir bahwa dialah yang patut menjadi mantuku.”
“Enci Goat Lan adalah tunangan Engko Hong Beng,” Lili memprotes.
“Lebih-lebih begitu. Setelah aku melihatmu, telah tetap dalam hatiku takkan memperbolehkan Siong-ji menikah selain dengan engkau!”
Bukan main jengahnya perasaan Lili mendengar ini. Mukanya menjadi merah sampai ke telinganya dan dadanya berdebar, ia tidak tahu apakah debar jantungnya itu tanda girang atau marah.
“Tak mungkin, Ie-ie. Puteramu itu telah mencintai seorang gadis lain yang melakukan perjalanan bersama dia!”
“Apakah kau yakin bahwa Siong-ji mencintainya?”
“Aku tidak mau tahu urusan orang lain,” jawab Lili dan kembali ia cemberut seperti ibunya kalau marah. “Yang sudah pasti, gadis itu amat mencintainya.”
“Tak mungkin Siong-ji menjatuhkan hatinya pada seorang gadis kecuali gadis seperti engkau. Ah, sudahlah, hal itu mudah dilihat nanti. Pendeknya sukakah kau menjadi mantuku?”
“Ie-ie, dalam hal ini, aku hanya menyerahkannya kepada ayah ibuku. Bagaimana aku dapat memutuskannya sendiri?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar