*

*

Ads

Senin, 26 Agustus 2019

Pendekar Remaja Jilid 123

Yang menyerbu ini adalah seorang wanita setengah tua yang cantik dan bersenjata sepasang bambu runcing yang kekuning-kuningan itu, Lie Siong terkejut. sekali. Ia telah menangkis serangan bambu runcing dengan pedangnya, akan tetapi ujung bambu runcing kiri hampir saja mengenai pundaknya kalau ia tidak cepat-cepat membuang diri ke kiri! Juga Lili lalu melompat mundur. Melihat betapa wanita itu terus mendesak Lie Siong, Lili berseru,

“Pek-bo, jangan lukai dia!”

Seruan ini diucapkan tanpa disadarinya lagi. Wanita itu yang ternyata adalah Ma Hoa isteri Kwee An atau juga ibu Goat Lan, menahan sepasang bambu runcing dan kini ia berdiri dengan mata heran memandang kepada Lili.

“Hong Li, kau bertempur dengan orang ini kenapa kau melarangku menyerangnya.”

Merahlah wajah Lili. Seruan tadi benar-benar tidak disadarinya, seruan yang keluar dari hatinya yang menaruh kekuatiran kalau-kalau pemuda itu akan terluka hebat menehadapi bambu runcing yang lihai dari pek-bonya (uwaknya) itu!

“Pek-bo, dia ini… dia adalah putera dari Ie-ie Im Giok!”

Terbelalak mata Ma Hoa memandang kepada Lie Siong.
“Apa… ?? Dia putera Ang I Niocu? Pantas saja kulihat tadi Sianli-kiam-hoat terbayang dalam permainan pedangnya. Eh, anak muda, siapa namamu dan bagaimana ibumu? Baik-baik sajakah dia? Sudah lama aku merasa rindu sekali kepada ibumu!” Matanya memandang dengan penuh kekaguman dan juga dengan kasih sayang.

Menghadapi pandangan mata ini, luluhlah kekerasan hati Lie Siong. Ucapan yang mesra, pertanyaan-pertanyaan tentang ibunya yang penuh gairah dan perhatian ini, membuat ia mau tidak mau tunduk terhadap Ma Hoa. Ia cepat menyimpan Sin-liong-kiam lalu menjura deigan hormat sekali.

“Sudah lama sekali aku mendengar ibuku bercerita tentang kegagahan Kwee Tai-hiap dan Kwee Toanio, mohon maaf aku Lie Siong yang muda dan bodoh berlaku kurang hormat kepada KweeToanio.”

Ma Hoa tertawa riang, suara ketawa yang merdu dan nyaring, tak ubahnya seperti suara ketawanya di waktu muda.

“Anak nakal, apa-apaan segala sebutan taihiap dan toanio ini? Ibumu adalah seperti enciku sendiri, dan kita boleh dibilang orang-orang sekeluarga. Aku tidak mau kau sebut toanio, lebih baik kau menyebut aku Ie-ie (Bibi) saja.”

“Baiklah… Ie-ie!” kata Lie Siong dengan muka merah.

“Nah, begitu lebih enak pada telinga. Dan sekarang, mengapa kalian anak-anak nakal ini sampai bertempur mati-matian? Apa yang kalian perebutkan?”

Lie Siong tak dapat menjawab. Lili juga tak dapat menjawab. Tanpa janji lebih dulu mereka saling pandang. Dua pasang mata bertemu, mendatangkan warna merah pada pipi dan telinga.

“Pek-bo, kami hanya berpibu menguji kepandaian masing-masing,” kata Lili akhirnya.

Bagaimana ia bisa menjelaskan semua kepada Ma Hoa? Kalau ia menceritakan semua, tentu ia harus menceritakan pula bahwa pada hakekatnya mereka berebutan… sepatu!

“Benar, Ie-ie. Kami hanya mengadu kepandaian saja dan aku… aku menyerah kalah terhadap… Adik Hong Li! Maafkan, Ie-ie, sekarang aku harus pergi untuk mencari pembunuh ayahku!” Setelah berkata demikian, ia lalu berkata kepada Lilani, “Lilani, sekarang kau telah kuantarkan kepada bangsamu sendiri dan dengan pertolongan puteri Pendekar Bodoh, kuyakin kau akan dapat menyelamatkan suku bangsamu. Juga Lo-pek, aku menghaturkan banyak terima kasih atas segala bantuanmu. Aku hendak mencari Ban Sai Cinjin dan membalas dendam. Sekarang tidak perlu bantuanmu lagi.”

Lie Siong hendak pergi, akan tetapi Ma Hoa yang terheran-heran mendengar ini, segera berkata

“Nanti dulu, Siong-ji (Anak Siong)! Bagaimanakah soalnya? Sudah pastikah ayahmu terbunuh oleh Ban Sai Cinjin?”

“Memang sudah pasti, Ie-ie, dan aku akan mencarinya untuk membalas dendam sekarang juga.”






“Kalau begitu kita bisa mencari bersama-sama! Ban Sai Cinjin tidak berada jauh, dia telah menggabungkan diri dengan tentara Mongol dan aku pun sedang mencarinya. Ketahuilah bahwa dia telah menculik puteraku, Kwee Cin!”

Semua orang terkejut mendengar ini, terutama sekali Lili. Gadis ini lalu maju dan memeluk Ma Hoa.

“Pek-bo, bagaimana Adik Cin sampai dapat terculik oleh bangsat itu? Mari kita cepat mengejarnya, dan aku sendiri akan menghancurkan kepalanya. Memang masih ada perhitungan lama antara bangsat itu dengan aku!”

“Ie-ie, kalau begitu, lebih banyak alasan lagi bagiku untuk segera mencarinya! Aku akan berusaha merampas kembali puteramu dan membinasakan kakek jahanam itu!” kata pula Lie Siong.

“Eh, eh, mengapa kau hendak pergi sendiri? Mengapa tidak bersama kami?” tanya Ma Hoa.

“Aku… aku lebih senang bekerja sendiri, Ie-ie!” setelah berkata demikian, tanpa dapat dicegah lagi Lie Siong lalu melompat pergi.

“Pemuda aneh…” Ma Hoa berkata perlahan.

“Jangan pedulikan dia, Pek-bo…” kata Lili mendongkol.

“Bagaimana aku tidak boleh pedulikan dia, putera Ang I Niocu?”

Sementara itu, Lilani yang semenjak tadi mendengar percakapan itu dan memandang kepada Ma Hoa, tiba-tiba menghampiri nyonya ini dan menjatuhkan diri berlutut.

“Kwee-hujin (Nyonya Kwee), hamba Lilani menghaturkan hormat.”

Ma Hoa memandang kepada Lilani dengan heran, kemudian ia memandang kepada orang-orang Haimi yang semuanya berkumis panjang itu. Teringatlah ia akan pengalamannya dengan suaminya dahulu, ketika suaminya masih menjadi tunangannya (baca cerita Pendekar Bodoh), dan berkatalah dia,

“Kalau aku tidak salah duga, orang ini adalah suku bangsa Haimi yang dulu dipimpin oleh Manako dah Meilani. Kau siapakah, Nona?”

“Hamba adalah puteri yang malang dari Manako dan Meilani, mendiang orang tuaku!”

Ma Hoa lalu membungkuk, memeluk Lilani dan ditariknya gadis itu berdiri.
“Ah, jadi kau, puteri Meilani? Pantas saja kau cantik jelita seperti ibumu. Jadi orang tuamu sudah meninggal semua? Kasihan, kasihan.”

Melihat nyonya gagah ini demikian halus dan baik budi, Lilani tak dapat menahan keharuan hati dan menangislah dia. Lo Sian yang sejak tadi juga melihat semua ini, cepat maju dan memberi hormat kepada Ma Hoa.

“Siauwte yang bodoh telah lama mendengar nama besar dari Kwee-toanio dan sudah mendapat kehormatan bertemu dengan kedua mata sendiri bahwa nama besarmu itu bukan kosong belaka.”

Lili lalu memperkenalkan Lo Sian dan dengan singkat ia menceritakan riwayat Pengemis Sakti ini. Ma Hoa mengangguk-angguk maklum, karena ia telah mendengar hal itu dari Lin Lin dan Cin Hai.

Kini setelah Lie Siong pergi lenyaplah rasa cemburu yang amat tidak enak dalam hati Lili, dan sambil memegang tangan Lilani, berkatalah dia,

“Lilani, tadi aku hanya bergurau saja. Memang, kau harus memimpin bangsamu dan jangan kuatir, aku akan mengantarmu sampai benteng penjagaan pasukan kerajaan.”

Lilani makin terharu, ia memeluk Lili dan berkata,
“Nona, aku sudah menduga bahwa hatimu tentu mulia. Orang secantik kau dan puteri Pendekar Bodoh pula, tak mungkin berhati kejam. Tadi kau bersikap galak, akan tetapi aku dapat menangkap sinar matamu yang penuh kebijaksanaan. Akulah yang minta maaf kepadamu, Nona. Kau telah menolong bangsaku, biar selamanya menjadi pelayanmu, aku akan rela dan merasa bahagia.”

“Jangan kau bilang demikian, Lilani,” kata Lili.

Ma Hoa yang tidak tahu akan urusannya, lalu mendengarkan penuturan Lili tentang pengalaman menolong orang-orang Haimi yang dibantu pula oleh Ang I Niocu.

“Sayang dia keburu pergi sebelum mendengar penuturan bahwa ibunya baru tiga hari yang lalu meninggalkan tempat ini,” kata gadis ini menutup penuturannya. Yang dimaksudkan dengan “dia” tentu saja adalah Lie Siong, pemuda kurang ajar itu.

“Dia sudah pergi, biarlah,” kata Ma Hoa. “Sekarang mari kita melanjutkan perjalanan, mengantar orang-orang Haimi ini ke benteng dimana kita akan menjumpai Goat Lan dan kakakmu Hong Beng. Disana pula kita tentu akan bertemu dengan ayah ibumu, dan pek-humu yang sudah berangkat lebih dulu.”

Bicara tentang suaminya, kembali Ma Hoa teringat akan puteranya yang terculik, maka wajahnya menjadi muram.

“Pek-bo, bagaimana Adik Cin sampai dapat terjatuh dalam tangan orang jahat?”

“Kalau diceritakan membuat hati menjadi gemas sekali,” kata Ma Hoa. “Mari kita berangkat, nanti di jalan kuceritakan kepadamu tentang hal itu.”

Setelah rombongan itu berangkat untuk menuju ke benteng pertahanan tentara kerajaan dengan Nurhacu orang Haimi tua itu sebagai penunjuk jalan maka berceritalah Ma Hoa tentang penculikan Kwee Cing puteranya.

Sebagaimana telah diketahui, Ma Hoa pergi bersama Kwee An, Cin Hai dan Lin Lin, karena Kwee Cin masih kecil dan tidak baik ditinggalkan seorang diri di rumah dalam saat mereka terancam oleh musuh-musuh yang jahat. Untuk membawa Kwee Cin dalam perjalanan ke utara juga kurang baik bagi anak itu.

Semenjak menjadi isteri Kwee An, Ma Hoa belum pernah berpisah lama-lama dari suaminya dan mereka hidup rukun dan saling mencinta. Tidak mengherankan apabila kepergian Kwee An kali ini membuat Ma Hoa merasa tidak betah di rumah. Apalagi ia maklum bahwa perjalanan suaminya itu penuh dengan bahaya, maka hatinya selalu merasa gelisah sekali.

Pada suatu hari, menjelang senja dan keadaan terasa sunyi sekali oleh Ma Hoa. Memang rumahnya amat besar dan dia hanya mempunyai dua orang pelayan. Biasanya apabila ada Kwee An, di situ nampak gembira dan ramai, apalagi kalau Goat Lan berada di rumah. Akan tetapi sekarang, berdua saja dengan Kwee Cin, ia benar-benar sunyi.

Tiba-tiba dari pintu pekarangan depan masuk seorang kakek yang berpakaian indah dan mengisap sebatang huncwe panjang. Dengan tindakan lebar, kakek ini maju menghampiri Ma Hoa yang duduk di ruang depan bersama Kwee Cin. Kakek ini datang-datang segera bertanya dengan suaranya yang parau dan keras,

“Apakah aku berhadapan dengan Nyonya Kwee An, ibu dari nona Kwee Goat Lan?”

Ma Hoa belum pernah bertemu dengan orang ini, akan tetapi matanya yang tajam dapat menduga bahwa kakek ini bukanlah orang biasa dan ketika ia teringat akan cerita Lin Lin dan Cin Hai, ia menjadi terkejut sekali karena kakek ini cocok sekali dengan gambaran Pendekar Bodoh tentang seorang bernama Ban Sai Cinjin Si Huncwe Maut!

Maka diam-diam Ma Hoa bersiap sedia dan berlaku waspada. Ia merasa girang bahwa selama ini ia berlaku hati-hati dan selalu mempersiapkan bambu runcingnya di tempat yang tak jauh dari situ.

“Benar, aku adalah Nyonya Kwee, tidak tahu siapakah Lo-enghiong dan ada keperluan apakah datang di rumahku yang buruk ini?”

Ban Sai Cinjin tertawa bergelak dan dengan tenang akan tetapi mulutnya tersenyum menyeringai ia membuang abu tembakau dari pipanya, lalu mengisinya lagi dengan tembakau warna hitam! Semua ini ia lakukan sambil matanya memandang kepada nyonya itu dengan kagum. Biarpun Ma Hoa telah berusia hampir empat puluh tahun, akan tetapi nyonya ini tiada bedanya dengan seorang gadis yang cantik jelita saja!

Ma Hoa diam-diam merasa gelisah dan ia berkata kepada Kwee Cin,
“Cin-ji, kau masuklah ke dalam.”

Kwee Cin memang selamanya amat taat kepada ayah bundanya, maka sebagai seorang anak kecil yang belum dapat menduga hal-hal hebat yang akan terjadi, ia menyatakan baik dan anak itu lalu masuk ke dalam kamarnya.

Kembali Ban Sai Cinjin tertawa dan kini suara ketawanya terdengar nyaring sekali sehingga terdengar sampai jauh karena kakek ini memang mengerahkan khi-kangnya untuk mengirim suara ketawanya kepada dua orang kawannya yang bersembunyi di luar!






Tidak ada komentar:

Posting Komentar