*

*

Ads

Rabu, 28 Agustus 2019

Pendekar Remaja Jilid 126

Sie Cin Hai, Lin Lin dan Kwee An yang melakukan perjalanan cepat serta mereka sudah berpengalaman di daerah ini di waktu mereka masih muda dapat lebih dulu tiba di kaki Gunung Alkatasan. Beberapa kali mereka mengobrak-abrik pasukan-pasukan Mongol yang berhasil menerobos ke selatan dari jurusan lain, menjauhi Bukit Alkata-san yang dijaga oleh sepasang pendekar remaja yang mereka takuti itu.

Oleh karena melakukan perjalanan sambil membasmi pasukan-pasukan musuh inilah, maka mereka agak terlambat tiba di benteng dimana Hong Beng dan Goat Lan mengatur penjagaan pasukan mereka yang kecil jumlahnya.

Para penjaga benteng dari jauh sudah melihat tiga bayangan orang yang mendatangi dengan kecepatan luar biasa sekali. Ketika melihat tiga orang gagah itu berdiri di depan pintu gerbang, seorang penjaga membentak,

“Siapa diluar?”

“Kami, orang tua dari Sie Hong Beng dan Kwee Goat Lan. Apakah mereka ada di dalam?” seru Kwee An dengan suaranya yang nyaring.

Semua orang di dalam benteng itu tidak ada yang mengenal Pendekar Bodoh, isterinya, dan Kwee Tai-hiap, maka mendengar disebutnya orang-orang tua Hong Beng dan Goat Lan, mereka cepat membuka pintu dan tiga orang pendekar ternama itu diterima dengan sinar mata kagum dan juga girang.

Siapa orangnya yang tidak menjadi girang kedatangan pendekar-pendekar yang boleh diandalkan dalam daerah dan keadaan yang amat berbahaya itu?

“Sie-enghiong dan Kwee-lihiap baru dua hari ini pergi meninggalkan benteng untuk menyelidiki kedudukan musuh di gunung utara. Sie-enghiong malahan meninggalkan sepucuk surat, maka kebetulan sekali Sam-wi datang hari ini. Kami sendiri sudah merasa amat kuatir.”

Kepala pengawal menyerahkan surat yang ditinggalkan oleh Hong Beng. Cin Hai segera menerima surat itu dan membacanya,

“Ayah, Ibu, Kwee-pekhu atau Lili dan siapa saja yang kebetulan menerima surat ini! Kami, Sie Hong Beng dan Kwee Goat Lan, hari ini didatangi oleh Song Kam Seng yang menggambarkan bahwa Kwee Cin telah diculik oleh Ban Sai Cinjin dan kini ditahan di dalam benteng orang-orang Mongol di bukit utara. Oleh karena itu kami lalu pergi ke sana untuk menolong Adik Cin dan mencoba merampas kembali kitab obat yang juga dicuri oleh kawan-kawan Ban Sai Cinjin.

Dari sini menuju ke bukit itu melalui belakang benteng, menurut perhitungan Song Kam Seng, dapat dicapai dalam waktu satu setengah hari, maka jika dalam waktu tiga atau empat hari kami tidak kembali ke benteng, berarti kami telah tertahan atau terbinasa oleh musuh. Sekian harap menjadikan maklum.

Terima kasih,
Sie Hong Beng.”

Tidak saja Cin Hai terkejut, tetapi Lin Lin dan Kwee An yang mendengar Cin Hai membacakan surat itu, menjadi amat kaget. Kwee An sendiri menjadi pucat wajahnya.

“Bagaimana bisa terjadi hal seperti ini?” tanyanya dengan mata mulai menjadi merah karena kemarahan mulai bernyala di dalam hatinya.

“Kita harus berlaku tenang dan sabar,” kata Cin Hai yang dalam menghadapi segala macam urusan bersikap tenang seperti suhunya. “Menurut laporan kepala pengawal mereka baru dua hari pergi. Kalau sekarang kita menyusul ke sana, belum tentu kita dapat bertemu dengan mereka sehingga bahkan menyulitkan keadaan. Kita harus percaya penuh kepada Hong Beng dan Goat Lan. Agaknya tidak mungkin mereka berdua akan dapat ditawan musuh. Biarlah kita menanti sampai empat hari, jadi dua hari lagi, kalau mereka tidak pulang, barulah kita mengambil keputusan apa yang harus kita lakukan.”

Kwee An mengangguk menyatakan setuju. Sebetulnya ia merasa amat gelisah mendengar bahwa puteranya diculik orang, akan tetapi harus ia akui bahwa kalau sekarang ia nekat menyusul Goat Lan, amat dikuatirkan ia bahkan akan mempersulit dan mengacaukan usaha Hong Beng dan Goat Lan yang sedang berusaha menolong Kwee Cin. Lagi pula, ia tidak sangsi lagi akan kelihaian puterinya dan juga kelihaian Hong Beng yang seperti ucapan Pendekar Bodoh tadi, agaknya tidak mudah ditawan oleh musuh.

Alangkah girang hati semua orang, termasuk juga para prajurit di dalam benteng itu, ketika pada keesokan harinya, dari jurusan barat datanglah serombongan orang-orang Haimi yang dipimpin oleh Lili dan Ma Hoa diikuti pula oleh Sin-kai Lo Sian!






Ma Hoa lalu menceritakan sejelasnya pengalamannya sehingga puteranya, Kwee Cin, sampai diculik orang, berikut kitab Thian-te Ban-yo Pit-kip, sebagaimana telah dituturkan di bagian depan dengan jelas. Bukan main marahnya Cin Hai, Lin Lin dan Kwee An mendengar penuturan ini.

“Betapapun juga,” kata Kwee An, “kita harus menanti sampai besok pagi. Kalau Goat Lan dan Hong Beng belum juga kembali barulah kita beramai akan menyerbu ke sana dan awaslah Ban Sai Cinjin kalau ia berani mengganggu Cin-ji (Anak Cin)!”

Ketika membaca surat yang ditinggalkan oleh Hong Beng, Ma Hoa juga sependapat dengan suaminya, yaitu menanti sehari lagi. Akan tetapi tidak demikian dengan Lili. Diam-diam hati gadis ini merasa gemas dan benci sekali kepada Ban Sai Cinjin. Kakek pesolek itu amat pengecut dan licin, siapa tahu kalau-kalau Hong Beng dan Goat Lan terjebak dalam perangkapnya?

Malam hari itu, Lili lalu bertemu dengan Nurhacu, orang Haimi yang tua dan banyak pengalaman di daerah utara ini. Dari Nurhacu ia mendapat banyak petunjuk tentang keadaan bukit di utara itu.

Benteng itu kini menjadi ramai dan penjagaan diperkuat dengan adanya pasukan Haimi yang juga gagah. Dan pada malam hari itu, melalui penjagaan yang dilakukan oleh orang-orang Haimi, Lili keluar dengan diam-diam dan di bawah sinar bulan purnama yang muram, gadis ini berlari cepat sekali menuju ke utara! Dia hendak menyusul Hong Beng dan Goat Lan dan tentu saja kepergiannya ini tidak diberitahukan kepada ayah bundanya, karena ia tahu bahwa mereka pasti takkan mau meluluskannya.

Adapun Lilani segera dapat merampas hati Lin Lin yang merasa suka dan kasihan melihat nasib gadis ini. Kwee An dan Cin Hai juga menganggap gadis ini seperti keponakan sendiri sehingga Lilani merasa amat terharu.

Gadis yang lincah dan rajin ini lalu cepat-cepat melayani pendekar-pendekar gagah itu sehingga dua pasang suami isteri itu makin menyayanginya. Benar-benar Lilani dapat menyesuaikan diri dengan keadaan di sekelilingnya, dan inilah yang membuat seseorang selalu disuka.

Tentu saja pada keesokan harinya, semua orang menjadi terkejut dan geger melihat betapa Lili telah tidak ada pula di dalam benteng. Cin Hai dan Lin Lin mencari kemana-mana, akan tetapi tidak nampak bayangan Lili. Nurhacu yang mendengar betapa semua orang mencari Lili, lalu menghadap Cin Hai dan menceritakan bahwa malam tadi Lili mencari keterangan sejelasnya tentang keadaan bukit di utara itu.

“Tidak salah lagi!” Cin Hai membanting kakinya. “anak bengal itu dengan lancang tentu menyusul kakaknya ke sana!”

Pada saat semua orang sedang membicarakan urusan perginya Lili ini, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dan tak lama lagi seorang pengawal dengan wajah berseri memberi laporan akan datangnya sebuah barisan yang besar sekali, dipimpin sendiri oleh Kam-ciangkun dari kota raja!

Semua orang menyambut dan benar saja bahwa yang memimpin barisan adalah Kam Liong. Dengan penuh hormat, Kam Liong memberi penghormatan kepada Cin Hai suami isteri dan Kwee An serta Ma Hoa, yang dianggapnya pendekar-pendekar yang lebih tinggi tingkatnya pehingga semua orang diam-diam menaruh perhatian dan suka kepada panglima muda ini.

Ketika Kam Liong mendengar bahwa Hong Beng dan Goat Lan sudah empat hari tidak kembali dari penyelidikan mereka di markas musuh dan bahwa Lili juga semalam mengejar kesana, pemuda ini mengerutkan keningnya sambil berkata,

“Berbahaya, berbahaya! Bukit itu penuh dengan tentara Mongol, bahkan Malangi Khan sendiri berada di tempat itu! Ah, terlalu berbahaya! Lebih baik kita segera menyerang dan menyerbu dengan mendadak, barangkali saja masih dapat menolong putera Kwee-lo-enghiong dan kedua Saudara Hong Beng dan Goat Lan!”

“Jangan, Kam-ciangkun. Itu terlalu berbahaya. Kita harus mencari daya upaya lain untuk menolong mereka itu, dan pula belum tentu ketiga orang anak kami akan mudah saja mengalami bencana di tempat itu!” kata Cin Hai.

Pada saat itu, terdengar suara kaki kuda dan ternyata seorang Mongol yang berkuda dengan cepat sekali, datang membawa sesampul surat yang katanya harus disampaikan kepada Pendekar Bodoh!

Melihat orang Mongol itu datang membawa tanda utusan Raja Mongol, para perajurit tidak berani mengganggunya dan orang itu lalu dihadapkan kepada Cin Hai. Orang Mongol itu bertubuh tinggi kurus, bermata tajam dan ganas, sedangkan bibirnya menyeringai seperti sikap seorang yang tidak takut mati.

“Aku datang sebagai utusan Malangi Khan yang maha besar!” katanya setelah ia dibawa ke dalam benteng.

“Mana surat yang kau bawa?” Cin Hai bertanya.

“Harus kuserahkan sendiri kepada Pendekar Bodoh,” jawab utusan itu.

“Akulah orang yang dimaksudkan itu,” jawab Cin Hai.

Orang Mongol itu memandang seperti tidak percaya. Orang ini nampaknya demikian lemah, pikirnya, mana bisa dia adalah Pendekar Bodoh yang demikian terkenal dan bahkan ditakuti oleh Malangi Khan sendiri?

Cin Hai dapat menduga pikiran orang. Sambil tersenyum ia berkata,
“Kalau kau berlama-lama, biarlah aku mengambilnya sendiri!”

Tangan kirinya bergerak perlahan ke depan ke arah dada orang Mongol itu. Orang Mongol itu cepat menangkis sambil mengerahkan tenaganya, akan tetapi ketika lengan tangannya beradu dengan tangan Cin Hai, ia kesakitan dan sedetik kemudian seruannya terhenti karena ia telah terkena totokan jari tangan kiri Cin Hai. Orang Mongol itu berdiri seperti patung dengan sikap masih menangkis sehingga nampak lucu sekali.

Cin Hai lalu menggeledah saku orang itu dan mendapatkan sesampul surat yang dialamatkan kepada Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya. Ketika ia membuka sampulnya dan membaca, ternyata bahwa surat itu adalah surat yang ditulis oleh Ban Sai Cinjin dan yang ditujukan kepadanya dan semua kawan-kawannya, bahwa kalau Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya maju membantu bala tentara kerajaan maka Kwee Cin akan dibunuh dan kepalanya akan dibawa ke medan perang.

Cin Hai dan Kwee An menjadi merah sekali mukanya. Cin Hai lalu membebaskan totokannya dan setelah orang Mongol itu dapat bergerak lagi, ia membentak,

“Kau bilang diutus oleh Malangi Khan, mengapa yang kau bawa ini adalah surat dari Ban Sai Cinjin?”

“Apakah bedanya, Malangi Khan dan Ban Sai Cinjin?” Orang Mongol itu menjawab. “Ban Sai Cinjin telah menjadi tangan kanan Malangi Khan, maka setiap perintah Ban Sai Cinjin tentu sudah disetujui oleh Malangi Khan!”

“Baik, kau kembalilah dan sampaikan kepada Ban Sai Cinjin bahwa kami tidak akan melanggar larangannya dan jangan dia sekali-kali berani mengganggu Kwee Cin karena kalau dia mengganggu anak itu, biarpun ia akan lari sampal ke neraka, pedangku pasti akan mendapatkan lehernya!”

Utusan itu lalu dilepaskan dan dengan kudanya yang luar biasa, utusan Mongol ini lalu membalap sehingga sebentar saja ia hanya nampak sebagai titik hitam yang mengebul di belakangnya.

“Nah, Kam-ciangkun, kau lihat dan mendengar sendiri. Kalau kita menyerbu begitu saja, pasti akan terbukti ancaman Ban Sai Cinjin yang berhati kejam dan curang.”

“Kalau begitu, Sie Tai-hiap. Biarlah siauwte memimpin sendiri barisan kerajaan untuk menggempur gunung itu. Ada-pun Cu-wi sekalian mengambil jalan belakang untuk mencari saudara-saudara yang sampai sekarang belum kembali.”

“Ini pun kurang sempurna, Kam-ciangkun,” kata Kwee An. “Memang kita semua sudah berpikir bulat untuk bersama-sama menghalau pengacau negara dan memusuhi barisan Mongol yang membikin kekacauan. Pihak Mongol selain banyak jumlahnya, juga disana mereka dibantu oleh orang-orang pandai seperti Ban Si Cinjin dan entah siapa lagi. Kalau kau maju dan sampai mengalami kekalahan, bukankah itu melemahkan semangat para perajurit? Lebih baik kau biarkan kami mencari anakku lebih dulu dan kalau sudah berhasil dan selamat barulah kita bersama membikin pembalasan dan menghancurkan barisan Malangi Khan di bukit itu.”

“Berilah waktu lima hari kepada kami,” Cin Hai menyambung, “setelah lewat lima hari boleh kau memimpin barisanmu menggempur musuh.”

Tentu saja Kam Liong tidak berani membantah dan menyatakan baik. Sikap pemuda ini amat menyenangkan hati dua pasang suami isteri pendekar itu, karena berbeda dengan sikap panglima-panglim lain yang biasanya amat sombong dan angkuh. Sikap panglima muda ini benar-benar menarik hati sehingga diam-diam Lin Lin menyampaikan kepada Ma Hoa dan Kwee An tentang lamaran yang diajukan oleh paman pemuda ini terhadap Lili.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar