*

*

Ads

Rabu, 28 Agustus 2019

Pendekar Remaja Jilid 127

“Memang dia orang baik, agaknya cukup pantas menjadi mantumu,” kata Kwee An kepada adiknya ini, “akan tetapi betapapun juga, sekarang belum waktunya untuk membicarakan soal ini. Lagi pula dalam hal perjodohan harus ada persesuaian antara anak, ibu dan ayah. Jika ketiganya cocok barulah perjodohan itu dianggap baik dan berbahagia. Kita tunggu saja bagaimana pendapat Lili sendiri tentang pinangan itu.”

Mereka berempat lalu berunding mengenai urusan mereka untuk menolong Kwee Cin dan juga mencari Hong Beng, Goat Lan dan Lili.

“Lebih baik kita bagi-bagi tugas,” kata Kwee An, “biarlah aku dan Cin Hai pergi ke sarang mereka. Adapun kau dan Lin Lin tinggallah saja disini. Siapa tahu kalau-kalau utusan Mongol tadi hanya merupakan pancingan agar kita semua pergi mengejar ke sana dan meninggalkan benteng ini. Kalau kita semua pergi dan mereka tiba-tiba datang menyerang, kasihan sekali kalau sampai Kam-ciangkun mengalami kekalahan hebat! Kurasa aku dan Cin Hai berdua sudah cukup untuk menyelidiki keadaan mereka di gunung itu.”

“Apa yang dikatakan oleh Kwee An memang benar dan aku merasa setuju sekali,” kata Cin Hai yang biarpun menjadi adik ipar Kwee An namun selalu menyebut namanya begitu saja karena sudah menjadi kebiasaan semenjak mereka belum menikah.

Biarpun merasa kecewa, namun Lin Lin dan Ma Hoa tidak membantah, karena memang tepat apa yang diusulkan oleh Kwee An itu. Pula tugas menjaga benteng itu tidak kalah pentingnya, kalau tidak dapat disebut lebih berbahaya.

Berangkatlah Cin Hai dan Kwee An pada hari itu juga menuju ke bukit utara itu. Seperti juga Lili sebelum berangkat mereka minta keterangan tentang kedudukan bukit itu kepada Nurhacu, karena biarpun Cin Hai dan Kwee An pernah mengadakan perantauan di daerah utara di waktu mereka muda (baca cerita Pendekar Bodoh), namun mereka belum pernah naik ke bukit itu.

Nurhacu yang tadinya dipaksa membantu orang-orang Mongol, tentu saja sudah pernah masuk ke dalam markas besar Malangi Khan dan dengan jelas ia menggambarkan kedudukan markas musuh yang terjaga kuat itu.

Setelah kedua orang pendekar itu meninggalkan kaki Bukit Alkata-san di sebelah utara dan sedang berlari cepat menuju ke bukit yang menjulang tinggi di sebelah utara itu, tiba-tiba dari sebuah tikungan jalan keluarlah seorang pemuda tampan yang berlari cepat dengan gerakan gesit sekali. Pemuda itu lalu berhenti menghadang di tengah jalan ketika ia melihat dua orang laki-laki setengah tua yang berlari cepat itu.

Cin Hai dan Kwee An merasa curiga dan mereka pun lalu menahan kaki mereka dan berhenti di depan pemuda itu. Untuk beberapa lama mereka saling pandang, kemudian pemuda itu dengan sikap sopan lalu menjura dan bertanya,

“Mohon tanya, siapakah Ji-wi Lo-enghiong yang gagah ini? Dalam keadaan seperti sekarang, melihat dua orang gagah menuju ke utara, sungguh amat mengherankan hati.”

“Anak muda, kau pandai sekali membolak-balikkan kenyataan. Kami yang menuju ke utara belum dapat dikatakan aneh, sebaliknya kau seorang pemuda yang gagah akan tetapi dalam waktu seperti ini, berkeliaran di daerah musuh benar-benar menimbulkan kecurigaan besar!”

Merahlah wajah pemuda itu.
“Maaf, kau berkata benar, Lo-enghiong. Memang aku Song Kam Seng telah salah memilih jalan. Akan tetapi aku sedang berusaha mencari jalan yang benar. Kuulangi lagi, siapakah gerangan Ji-wi yang terhormat?”

Mendengar disebutnya nama ini, berubah wajah Cin Hai dan juga Kwee An. Kedua orang pendekar ini telah membaca surat Hong Beng dan tahu bahwa Hong Beng dan Goat Lan pergi meninggalkan benteng setelah dipancing oleh pemuda ini! Dan pula, Cin Hai sudah mendengar dari Lili bahwa pemuda ini adalah putera Song Kun dan yang telah mengancam hendak membalas dendam kepadanya!

“Hemm, jadi kaukah yang bernama Song Kam Seng putera Song Kun? Ketahuilah, aku yang disebut Pendekar Bodoh dan ini adalah saudara tuaku bernama Kwee An! Hayo lekas kau ceritakan dimana adanya anak-anak kami, Hong Beng, Goat Lan dan Kwee Cin?”

Mendengar bahwa yang berhadapan dengannya adalah musuh besarnya, pembunuh ayahnya, tiba-tiba Kam Seng menjadi makin marah. Ia lalu memandang kepada Cin Hai dengan mata tajam, lalu mencabut pedangnya dan berkata,

“Bagus, jadi kaukah yang bernama Sie Cin Hai, orang yang telah membunuh ayahku dan membuat ibu dan aku hidup menderita bertahun-tahun? Manusia kejam, kau telah berhutang nyawa, sudah selayaknya sekarang aku menagihnya!”






Sambil berkata demikian, Kam Seng lalu mengayun pedangnya menusuk dada Cin Hai. Pendekar Bodoh hanya tersenyum saja dan sama sekali tidak menangkis atau mengelak. Akan tetapi tiba-tiba dari samping berkelebat bayangan pedang dan dengan kerasnya pedang Kam Seng terpukul oleh pedang yang digerakkan oleh Kwee An sehingga pedang itu terpental kembali dan hampir terlepas dari pegangan Kam Seng!

“Song Kam Seng, jangan kau berlaku sembrono! Ayahmu Song Kun bukan mati dibunuh oleh Pendekar Bodoh, akan tetapi ia mati karena kejahatannya sendiri. Seorang gagah membela kebenaran tanpa memandang kepada hubungan keluarga! Kalau kiranya ayahmu itu masih hidup dan menjadi seorang yang amat jahat, apakah kau juga akan membantunya dan ikut-ikutan menjadi jahat?”

Dengan pandangan mata liar Kam Seng membalikkan tubuh dan menghadapi Kwee An.

“Kau bilang ayahku jahat? Apa maksudmu?”

“Memang hal yang paling sukar di dunia ini adalah mengakui atau melihat kesalahan pihak sendiri. Ayahmu dahulu mengancam jiwa Lin Lin yang telah menjadi tunangan Cin Hai. Adikku itu terkena racun seorang jahat dan obat penawarnya dirampas oleh ayahmu, kemudian ayahmu mengancam hendak melenyapkan obat penawar itu kalau adikku tidak mau menjadi isterinya!”

Dengan singkat akan tetapi jelas, Kwee An lalu menceritakan kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh Song Kun di waktu mudanya (baca cerita Pendekar Bodoh) dan bahwa kematian Song Kun terjadi di dalam pertempuran melawan Cin Hai yang membela diri, jadi sekali-kali bukan Pendekar Bodoh yang sengaja membunuhnya.

Mendengar penuturan ini, pucatlah wajah Kam Seng. Alangkah bedanya dengan cerita yang didengarnya dari Ban Sai Cinjin! Mana yang benar? Akan tetapi suara hatinya membisikkan bahwa ia harus lebih percaya kepada dua orang pendekar besar ini daripada kepada Ban Sai Cinjin yang berhati khianat.

“Biarpun andaikata mendiang ayahku jahat, sebagai puteranya aku harus berani menghadapi kenyataan dan berani pula membalaskan sakit hatinya. Aku menantang kepada Pendekar Bodoh untuk mengadu kepandaian, lepas dari soal siapa salah siapa benar antara dia dan ayahku. Aku hanya hendak memenuhi kewajiban sebagai seorang anak yang harus berbakti kepada ayahnya. Kalau aku kalah, sudahlah, mungkin ayah yang memang bersalah dalam pertempuran dahulu.”

Sambil, berkata demikian, kembali pemuda itu menghadapi Cin Hai dengan sikap menantang.

“Bocah lancang!” Kwee An membentak marah. “Kau mengandalkan apakah maka berani menantang Pendekar Bodoh? Mudah saja menyatakan tentang sakit hati dan dendam. Ketahuilah bahwa aku pun menaruh dendam kepadamu kalau pandanganku sepicik engkau! Kau telah memancing dan mencelakakan puteriku Goat Lan dan bahkan mungkin kau telah membantu susiokmu Ban Sai Cinjin untuk menculik anakku Cin-ji! Nah, bukankah aku pun boleh berdendam kepadamu? Coba kau hadapi pedangku dulu kalau memang kau memiliki kepandaian!”

Akan tetapi, sambil tersenyum Cin Hai berkata,
“Biarkanlah, Kwee An, biarkan anak ini memperlihatkan tanduknya! Sikapnya mengingatkan padaku akan ayahnya, Song Kun. Demikian berani dan keras hati. Eh, Kam Seng, aku sudah mendengar namamu disebut oleh puteriku, Lili. Kau sudah menyeberang ke pihak jahat dan menjadi murid dari Wi Kong Siansu? Kau salah, anak muda. Kalau saja kau tetap menjadi murid Nyo Tiang Le dan kemudian kau datang kepadaku, mengingat hubungan ayahmu dengan aku, kiranya aku takkan menolak untuk memberi bimbingan kepadamu. Sekarang kau bahkan hendak menantangku bertempur? Hmm, cobalah maju dan jangan ragu-ragu, seranglah sesuka hatimu.”

Mendengar ucapan yang tenang ini dan melihat sikap yang acuh tak acuh dari Pendekar Bodoh musuh besarnya, Kam Seng menjadi ragu-ragu. Tadi ia sudah merasai kelihaian tangkisan pedang Kwee An. Baru Kwee An saja sudah demikian hebat tenaganya, apalagi Cin Hai yang kabarnya memiliki kepandaian jauh lebih tinggi daripada kepandaian Kwee An!

Akan tetapi Kam Seng tidak takut. Sudah bulat hatinya untuk membalas dendam ayahnya sehingga ia mengorbankan perasaannya dan berpindah ke pihak Ban Sai Cinjin. Bukan karena ia lebih cocok dengan rombongan ini, tidak, karena sesungguhnya ia benci melihat kejahatan kakek pesolek itu. Ia rela berguru kepada Wi Kong Siansu hanya karena ia ingin tercapai maksudnya membalas dendam kepada musuh besarnya, yaitu Pendekar Bodoh.

Kalau ia teringat betapa ia dan ibunya terlunta-lunta setelah ayahnya tewas, sakit hatinya terhadap Pendekar Bodoh makin besar. Dan sekarang setelah ia bertemu dengan musuh besarnya, biarpun ia ingat musuhnya itu ayah dari Lili, gadis satu-satunya di dunia ini yang dicintainya, biarpun ia sudah mendengar keterangan dari Kwee An betapa dahulu sebenarnya ayahnya yang salah dan jahat, namun bagaimana ia dapat membatalkan niat hatinya hendak membalas dendam?

Kini melihat sikap Cin Hai, amat tidak enak hati Kam Seng. Ia sebenarnya segan melawan pendekar yang bersikap tenang dan gagah ini, namun ia malu terhadap bayangannya sendiri kalau ia tidak melanjutkan niatnya yang telah terpendam di dalam hati sampai bertahun-tahun lamanya. Maka ia paksakan hatinya dan berseru,

“Ayah di alam baka! Lihat bahwa anak telah melakukan usaha sekuat tenaga!”

Sambil berkata demikian ia lalu maju menyerang dengan hebat sekali kepada Pendekar Bodoh. Akan tetapi, dengan cara yang amat membingungkan mata Kam Seng, tahu-tahu pendekar besar itu telah dapat mengelak dari tusukan pedangnya. Ia menjadi penasaran dan melanjutkan serangannya sambil mengeluarkan ilmu pedang yang ia pelajari dengan susah payah dari Wi Kong Siansu.

Kalau dibandingkan dengan dahulu ketika ia menghadapi Lili, ilmu kepandaian pemuda ini sudah maju amat pesat dan jauh. Tidak saja ilmu pedangnya yang sudah menjadi kuat dan cepat, juga tenaga lwee-kangnya bertambah dan ginkangnya pun amat baik mendekati kesempurnaan.

Diam-diam Cin Hai memuji, akan tetapi dengan amat mudahnya, Pendekar Bodoh mengelak dari setiap serangan. Pendekar Bodoh tidak mencabut pedangnya, hanya mempergunakan ujung lengan bajunya untuk kadang-kadang menyampok pedang kalau ia tidak keburu mengelak.

Dari sampokan ujung lengan baju ini saja Kam Seng sudah merasa terkejut sekali. Gurunya sendiri, Wi Kong Siansu, juga ahli dalam hal bersilat dengan ujung lengan baju, akan tetapi kiranya tidak sehebat ini.

Kam Seng makin mempercepat gerakan pedangnya sehingga tubuhnya lenyap dalam sinar pedangnya yang bergulung-gulung. Pemuda ini mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya, mengambil keputusan untuk bertempur sampai mati! Ia merasa seakan-akan ayahnya menyaksikan pertempuran ini dari alam baka, maka ia tidak mau berlaku mengalah dan mendesak Pendekar Bodoh dengan nekat.

Pendekar Bodoh maklum bahwa biarpun ia telah mengenal ilmu pedang pemuda ini dan dapat menjaga diri, namun ia tidak dapat menaksir sampai dimana kehebatan ilmu pedang ini apabila dimainkan oleh Wi Kong Siansu. Ia telah mendapat tantangan dari Wi Kong Siansu, maka ia merasa kebetulan sekali kini dapat menghadapi ilmu pedang pendeta itu yang dimainkan oleh seorang muridnya yang pandai.

Menurut taksirannya, ilmu pedang yang dimainkan oleh Kam Seng ini baru paling banyak tujuh puluh bagian tingkatnya. Maka ia lalu mencabut sulingnya yang selalu terselip di pinggangnya. Pendekar Bodoh boleh ketinggalan pakaian atau uang, akan tetapi ia tak pernah ketinggalan suling dan pedangnya! Suling ini merupakan senjatanya yang istimewa, bahkan lebih lihai daripada pedangnya Liong-cu-kiam!

Setelah mencabut sulingnya, makin ramailah pertempuran itu. Pendekar Bodoh kini mempergunakan sulingnya untuk mengimbangi ilmu pedang Kam Seng. Sesungguhnya kalau dia mau, dalam dua puluh jurus saja pasti ia akan dapat merobohkan Kam Seng, akan tetapi Pendekar Bodoh memang ingin sekali mengukur sampai dimana kelihaian ilmu pedang ini yang kelak akan dihadapinya pula.

Sampai penuh keringat tubuh Kam Seng. Cin Hai berhasil memancingnya sehingga pemuda itu menghabiskan seluruh jurus dari ilmu pedang yang dipelajarinya dari Wi Kong Siansu! Memang inilah maksudnya, dan setelah ilmu pedang itu habis dimainkan, Cin Hai lalu mengerahkan tenaga pada sulingnya sehingga ketika pedang dan suling menempel, pedang itu tak dapat ditarik kembali!

Betapapun hebat Kam Seng mengeluarkan tenaga untuk membetot pedangnya, tetap saja pedang itu tak dapat terlepas dari suling yang menempelnya. Akhirnya Cin Hai menggerakkan tangannya membetot dan sambil berseru keras Kam Seng terpaksa melepaskan gagang pedangnya karena tidak kuat menghadapi tenaga tarikan luar biasa ini.

“Kam Seng, kau memiliki bakat yang cukup baik. Sayang sekali kau mempelajari ilmu silat yang keliru. Kepandaianmu kalau dibandingkan dengan kepandaian ayahmu, ah, kau ketinggalan amat jauh! Kalau saja kau tidak dibikin buta oleh dendam dan sakit hati yang bodoh dan sesat, aku akan suka sekali memberi bimbingan kepadamu, mengingat hubunganku dengan mendiang ayahmu.”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar