*

*

Ads

Rabu, 28 Agustus 2019

Pendekar Remaja Jilid 128

Kam Seng menjadi malu sekali.
“Aku sudah kalah…” katanya dengan muka ditundukkan dan air matanya hampir menitik turun, wajahnya merah sekali. “Kalau Ji-wi menganggap aku tersesat dan jahat, bunuhlah, apa gunanya hidup dalam kesesatan dan kehinaan?”

Cin Hai merasa terharu melihat keadaan putera dari Song Kun ini, maka ia lalu melangkah maju mengembalikan pedang yang dirampasnya dan menepuk-nepuk pundaknya.

“Anak muda, aku tidak dapat menyalahkan engkau! Aku sendiri di waktu muda selalu menjadi korban dari nafsu sendiri, melakukan perbuatan tanpa dipikir dulu dan menganggap diri sendiri selalu benar! Ketahuilah, bahwa kebaktian terhadap orang tua bukan asal berbakti saja. Membela nama orang tua bukanlah asal kau dapat membasmi musuh-musuh orang tuamu saja. Kau harus dapat mempergunakan akal sehat dan otak yang jernih. Apabila orang tuamu melakukan sesuatu kesalahan, sebagaimana sudah menjadi lajimnya setiap manusia kadang-kadang tersesat dari jalan kebenaran, jalan satu-satunya bagimu untuk berbakti ialah dengan menebus kesalahan orang tuamu itu. Biarpun ayahmu telah dianggap jahat oleh dunia kang-ouw dan oleh orang-orang gagah, akan tetapi kalau kau sebagai putera tunggalnya dapat melakukan kebaikan, nama buruk ayahmu itu akan terhapus oleh perbuatan-perbuatanmu yang mulia. Sebaliknya, kalau kau dibutakan oleh dendam tanpa melihat sebab-sebab kematian ayahmu, kau berarti akan menambah kotor nama ayahmu sehingga kau merupakan seorang anak yang durhaka!”

Kam Seng memandang dengan wajah pucat dan kedua matanya terbelalak. Tak pernah disangkanya bahwa ia akan menerima wejangan seperti ini dari mulut musuh besarnya! Ia makin ragu-ragu, tak tahu apa yang harus diucapkan maupun dilakukannya.

“Ketahuilah bahwa kita semua ini berada di bawah pengaruh hukum alam, yaitu sebab dan akibat. Segala peristiwa yang terjadi merupakan akibat dan juga menjadi sebab peristiwa lain yang akan terjadi. Kematian ayahmu di dalam tanganku juga merupakan akibat yang kini menyebabkan kau mencari dan hendak membalas padaku! Maka aku tidak marah kepadamu, karena di dalam segala petistiwa yang kujumpai, aku menengok dan mencari pada sebabnya. Tak mungkin kau hendak membunuhku tanpa sebab, seperti juga tidak mungkin tanganku membunuh ayahmu jika tidak ada sebab-sebab yang kuat! Carilah sebab-sebabnya dan kau tidak akan kaget melihat akibatnya karena kalau sebab-sebabnya sudah kau ketahui, akibat-akibatnya akan kau anggap sewajarnya!”

Tunduklah hati Kam Seng mendengar ucapan yang mengandung filsafat tinggi akan tetapi mudah ditangkap ini. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Cin Hai dan tak dapat menahan isak tangisnya!

“Susiok (Paman guru), ampunkanlah teecu dan ampunkan pula semua dosa mendiang ayahku…” katanya dengan hati terharu.

“Tidak ada salah atau benar dalam hal ini, Kam Seng, dan tidak perlu maaf-memaafkan. Di dalam setiap perbuatan itu terkandung kesalahan dan kebenaran, tergantung yang melihatnya. Aku sudah cukup girang melihat kau dapat berpikir dengan otak sehat.” Cin Hai mengangkat pemuda itu berdiri lagi.

“Bagus, semua kegelapan sudah menjadi terang sekarang,” kata Kwee An. “Akan tetapi, Kam Seng, kau masih harus menerangkan tentang keadaan puteraku dan juga tentang keadaan Goat Lan dan Hong Beng. Kedatanganmu memberitahukan kepada mereka itu bukankah hanya satu pancingan belaka?”

“Tidak, Kwee Tai-hiap, sama sekali tidak! Biarpun harus kuakui bahwa aku telah salah memilih kawan dan telah terjerumus ke dalam lembah kejahatan, namun aku tetap tidak menjadi seorang pengkhianat negara dan bangsa! Aku merasa jijik melihat Susiok Ban Sai Cinjin, dan merasa sayang bahwa aku tak dapat menegurnya. Sesungguhnya, ketika aku melihat bahwa puteramu yang masih kecil itu datang bersama Ban Sai Cinjin dan mendengar bahwa ia hendak menggunakan puteramu itu untuk mencegah orang-orang gagah membantu tentara kerajaan, aku menjadi gelisah sekali. Hendak menolong dan membawa pergi puteramu, aku tidak berani. Maka aku lalu berlaku nekat dan diam-diam mengunjungi benteng Alkata-san dimana aku bertemu dengan Nona Goat Lan dan Saudara Hong Beng. Aku menjelaskan maksud kedatanganku dan bahwa aku memberi gambaran tentang jalan belakang yang akan membawa mereka ke tempat kediaman Ban Sai Cinjin dan yang lain-lain. Sudah kukatakan bahwa tempat itu berbahaya sekali, akan tetapi ternyata Nona Goat Lan dan Saudara Hong Beng nekat dan datang juga kesana…”

“Lalu bagaimana? Apa yang terjadi dengan mereka?” tanya Kwee An dengan rasa ingin tahu sekali.

“Mereka juga telah tertawan oleh Ban Sai Cinjin!” kata Kam Seng. “Oleh karena itu siauwte sengaja hendak pergi ke benteng Ji-wi untuk memberitahukan hal ini dan tak terduga sama sekali telah bertemu dengan Ji-wi disini.”






“Tak mungkin!” kata Kwee An.

“Sukar dipercaya bahwa Hong Beng dan Goat Lan akan dapat tertawan sedemikian mudahnya,” kata Cin Hai.

Kam Seng tersenyum.
“Harus diakui bahwa kepandaian Nona Goat Lan dan Saudara Hong Beng cukup lihai dan memang agaknya akan sukar sekali mengalahkan dan menawan mereka. Akan tetapi dalam hal kecerdikan, mereka itu masih kalah jauh oleh orang-orang seperti Ban Sai Cinjin! Mereka berdua bukan tertawan karena kekerasan, akan tetapi mereka terpaksa mengalah dan menurut setelah Ban Sai Cinjin mengancam hendak membunuh Kwee Cin kalau mereka melawan terus!”

“Pengecut hina dina yang curang!” Kwee An berseru marah. “Akan kuhancurkan kepala manusia itu!”

“Kwee Tai-hiap, bagaimana kalau Ban Sai Cinjin mengancam padamu untuk membinasakan puteramu sebelum kau turun tangan?” tanya pemuda itu.

Kwee An tak dapat menjawab, hanya menggertak gigi dengan marah dan gemas sekali.
“Kam Seng, kau yang mengetahui keadaan mereka, tidak maukah kau menolong kami? Tidak maukah kau melawan kejahatan dan membela kebenaran untuk menebus nama buruk mendiang ayahmu?” kata Cin Hai.

“Susiok, kedatangan teecu seperti telah kuceritakan tadi, sesungguhnya untuk memberi tahu kepada benteng tentara kerajaan. Sebetulnya tak usah dikuatirkan karena Kwee Cin telah diminta oleh Malangi Khan dan dijadikan kawan bermain putera Malangi Khan yang bernama Kamangis dan yang usianya sebaya. Untuk sementara ini, biarpun Ban Sai Cinjin sendiri tidak boleh berlaku sesuka hatinya untuk membunuh Kwee Cin yang disuka oleh Kamangis putera Malangi Khan! Akan tetapi, untuk merampas kembali anak itupun bukan merupakan hal yang mudah.”

Kemudian dengan jelas Kam Seng lalu menggambarkan tempat kedudukan Ban Sai Cinjin dan juga istana Malangi Khan di dalam benteng itu yang berada di tengah-tengah. Setelah menuturkan semua ini, Kam Seng lalu minta diri untuk kembali ke benteng Mongol itu. Ia berjanji bahwa ia akan memasang telinga dan mata serta akan berusaha menolong Goat Lan dan Hong Beng.

“Betapapun juga, kita harus berusaha menolong Cin-ji,” kata Kwee An kepada Cin Hai setelah Kam Seng pergi.

Cin Hai mengerutkan kening.
“Sekarang lebih ruwet lagi. Kalau kita berkeras memasuki istana Malangi Khan dan andaikata berhasil merampas dan menyelamatkan Cin-ji bagaimana dengan nasib Goat Lan dan Hong Beng? Dan dimana pula adanya Lili? Ah, kita harus mencari akal dan berlaku hati-hati.”

Kedua orang pendekar besar itu duduk di bawah pohon dan bertukar pikiran. Kemudian mereka mengambil keputusan untuk berpisah. Cin Hai hendak menuju ke tengah benteng, masuk ke dalam istana Malangi Khan, adapun Kwee An akan mencari Goat Lan dan Hong Beng di belakang benteng, di tempat tinggal Ban Sai Cinjin dan kaki tangannya.

Kwee An menyetujui hal ini oleh karena ia pun mengakui bahwa Cin Hai memiliki kepandaian yang lebih tinggi maka patut menerima tugas yang lebih berbabaya dan berat.

Dengan ilmu lari cepat mereka, keduanya lalu melanjutkan perjalanan, mengitari bukit itu untuk masuk melalui belakang benteng. Tepat seperti yang dituturkan oleh Nurhachu orang Haimi itu dan juga seperti yang digambarkan oleh Kam Seng, jalan itu sunyi saja, akan tetapi penuh hutan yang amat liar dan menyeramkan.

Ketika mereka melintas dengan cepat melalui sebuah hutan, dari jauh nampak bayangan orang yang berjalan cepat. Cin Hai dan Kwee An merasa curiga, cepat mereka melompat ke arah bayangan itu, akan tetapi ketika mereka tiba di situ, bayangan itu berkelebat dan lenyap dari pandangan mata mereka! Cin Hai dan Kwee An saling pandang heran.

“Apakah ada setan di tengah hari?” tanya Kwee An.

Siapakah orangnya yang dapat menghilang dari depan mata mereka sedemikian anehnya? Juga Cin Hai merasa heran sekali. Kalau bayangan tadi benar-benar seorang manusia, maka kepandaian gin-kangnya agaknya tidak berada di sebelah bawah kepandaiannya sendiri! Gerakan seperti itu menurut ingatannya hanya dimiliki oleh suhunya, yakni Bu Pun Su, atau orang-orang seperti Swi Kiat Sansu, Pok Pok Sianjin, Hok Peng Taisu dan tokoh-tokoh tinggi lain yang kesemuanya telah meninggal dunial

“Mungkin kita salah lihat,” katanya karena bukan menjadi watak Pendekar Bodoh untuk mengganggu orang yang tidak memperlihatkan diri, “kita mempunyai tugas yang lebih penting.”

Mereka melanjutkan perjalanan dan tak lama kemudian mereka tibalah di bawah tembok benteng sebelah belakang dari benteng tentara Mongol itu.

Mereka mempergunakan gin-kang yang hebat dan melompat ke atas tembok. Dari sini mereka berpisah. Cin Hai terus berlari-larian di atas tembok yang tingginya kira-kira empat tombak dan lebarnya hanya kurang dari satu kaki itu.

Tembok ini memanjang sampai beberapa belas li dan Cin Hai terus berlari mencari-cari bangunan istana kepala bangsa Mongol. Beberapa orang penjaga yang mulai banyak terlihat setelah ia berlari kurang lebih dua li, melihat bayangannya, akan tetapi tak seorang pun diantara mereka yang dapat mengejar. Bahkan sebagian besar mengira bahwa yang melayang itu bukanlah seorang manusia, melainkan seekor burung besar. Gerakan Cin Hai amat cepat sehingga kalau tidak kebetulan, jarang ada penjaga yang dapat melihatnya!

Sementara itu, Kwee An setelah berada di atas tembok dan melihat betapa keadaan di bawah sunyi saja, lalu melayang turun. Memang benar bahwa di situ tidak terjaga sama sekali dan di bawah dinding ini hanya merupakan belukar yang tidak terurus. Jauh di depan nampak tembok-tembok bangunan yaitu bagian paling belakang dari benteng Mongol itu.

Kwee An berlaku hati-hati sekali. Waktu itu udara mulai gelap karena matahari telah bersembunyi di barat. Ia pikir bahwa kalau ia berlaku sembrono dan menyerbu pada malam hari itu sehingga terlihat oleh musuh, maka keselamatan Goat Lan dan Hong Beng akan terancam.

Dari Kam Seng ia mendapat keterangan bahwa Goat Lan dan Hong Beng ditahan di dalam rumah kecil yang berada di tengah-tengah kampung dalam benteng itu, tidak jauh dari rumah yang ditinggali oleh Ban Sai Cinjin. Goat Lan ditahan di dalam kamar sebelah kiri dan Hong Beng di kamar ke dua sebelah kanan. Di depan dan belakang, pendeknya rumah itu dikelilingi oleh penjaga-penjaga yang sebenarnya bukan menjaga untuk menghalangi dua orang muda ini pergi, hanya untuk melihat saja kalau mereka pergi, akan segera dilaporkan dan Kwee Cin akan dibunuh!

Kwee An dengan perlahan bergerak maju di balik belukar dan mengintai ke arah kampung itu. Ia menanti sampai gelap benar barulah ia menggunakan kepandalannya masuk ke dalam kampung itu dan melompat naik ke atas wuwungan rumah. Ia melompat dari genteng ke wuwungan lain dan akhirnya dapat mendekati rumah kecil di mana puterinya dan Hong Beng ditahan.

Benar saja, di seputar rumah itu dipasang kursi dan meja dimana duduk para penjaga yang nampaknya enak-enak saja, karena mereka tidak ditugaskan untuk mencegah kedua orang muda itu melarikan diri. Kalau sampai dua orang muda itu memberontak dan melarikan diri, apakah yang dapat mereka lakukan terhadap dua orang gagah itu?

Kwee An memandang ke arah jendeta dan dalam cahaya yang remang-remang ia melihat bayangan seorang gadis yang berpinggang langsing melalui tirai jendela. Hatinya berbedar. Itulah Goat Lan, tak salah lagi! Ingin ia melompat turun dan mengamuk, membunuh para penjaga yang tak berarti itu bahkan kalau perlu mencari dan membunuh Ban Sai Cinjin. Akan tetapi ia tidak berani melakukan ini sebelum Kwee Cin dapat tertolong oleh Cin Hai.

Pula, sudah jelas bahwa Goat Lan dan Hong Beng tidak mengalami penderitaan dan hanya ditahan karena dua orang muda itu takut kalau-kalau Kwee Cin dibunuh, maka perlu apa menguatirkan keadaan dua orang muda ini? Lebih baik aku menyusul Cin Hai dan lebih dulu menyelamatkan Kwee Cin pikirnya.

Akan tetapi, sebelum ia berangkat meninggalkan tempat itu untuk menuju ke selatan di mana terdapat istana Malangi Khan yang terpisah jauh, ia mendengar suara orang memaki-maki dan nampaklah Ban Sai Cinjin yang diikuti oleh lima orang lain berjalan ke arah rumah kecil itu.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar