Musim chun (semi) tiba dan puncak Thian-san nampak kehijauan dan indah sekali pemandangan alamnya. Di puncak itu terdapat sebuah kuil besar yang kuno dengan ukiran-ukiran indah, akan tetapi kuil ini tidak terurus oleh karena penghuninya telah berpuluh tahun yang lalu mengosongkan tempat ini.
Dahulu, kuil ini adalah pusat dari partai persilatan Thian-san-pai yang besar, akan tetapi akhir-akhir ini habislah orang yang masih suka mengurus kuil ini dan semua anak murid Thian-san-pai lebih suka berkelana di dunia bebas.
Akan tetapi pagi hari itu di dalam kuil tidak sunyi seperti biasanya. Ban Sai Cinjin dan kawan-kawannya telah berada di tempat itu dan berunding dengan kawan-kawannya. Betapapun juga, setelah Im-yang Giok-cu tewas, mereka tidak berapa takut menghadapi Pendekar Bodoh. Telah mereka perhitungkan bahwa untuk menghadapi kawan-kawan Pendekar Bodoh, kepandaian mereka masih dapat mengimbangi, adapun Pendekar Bodoh sendiri akan dilawan oleh Wi Kong Siansu.
Tiba-tiba dari luar kuil terdengar suara nyaring yang menantang mereka,
“Ban Sai Cinjin dan Wi Kong Siansu! Kami sudah datang untuk memenuhi tantanganmu!”
Ban Sai Cinjin, Wi Kong Siansu,Thian-te Te-it Siansu, Lak Mou Couwsu, Bouw Ki, dan Coa Ong Lojin serta beberapa orang pemimpin Coa-tung Kai-pang yang telah datang terlebih dulu di tempat itu, keluar dari kuil itu dan ketika tiba di luar, dengan tercengang mereka melihat empat orang muda yang bukan lain adalah Goat Lan, Lili, Lie Siong dan Hong Beng!
Ban Sai Cinjin berdebar hatinya. Ia tidak melihat Pendekar Bodoh orang yang paling ditakuti dan dibencinya, maka untuk menetapkan hatinya ia bertanya,
“Mana Pendekar Bodoh? Apakah dia takut datang kesini sehingga mewakilkannya kepada anak-anaknya?”
“Ban Sai Cinjin, jangan membuka mulut sombong!” Lili berseru marah. “Orang macam kau tidak pantas untuk dilawan oleh ayahku. Kami orang-orang muda sudah cukup untuk membuktikan bahwa kepandaian kami tidak kalah olehmu.”
“Cu-wi-enghiong,” kata Hong Beng yang lebih tenang dan sabar sambil menjura kepada pihak tuan rumah, “kedatangan kami berempat mengandung dua maksud. Pertama, untuk memenuhi tantangan Wi Kong Siansu yang telah menantang ayah untuk datang berpibu disini pada waktu ini. Kedua kalinya, kami harus membalas dendam dan sakit hati kepada Ban Sai Cinjin yang telah membunuh Lie Kong Sian supek, Ang I Niocu bibi kami dan juga Im-yang Giok-cu suhu dari Nona Kwee. Nah, terserah kepada Wi Kong Siansu hendak memulai pibu itu atau memberikan kesempatan kepada kami membunuh Ban Sai Cinjin lebih dulu.”
Wi Kong Siansu tak dapat menjawab dan saling pandang dengan Ban Sai Cinjin. Dibandingkan dengan yang lain, sebetulnya Wi Kong Siansu lebih gagah, karena dalam beberapa pertempuran keroyokan, sengaja tosu ini tidak mengeluarkan seluruh kepandaiannya, karena ia merasa malu untuk mendapat kemenangan sambil mengeroyok. Kini melihat empat orang muda itu menantang, tentu saja ia merasa malu pula untuk maju mengeroyok.
“Sute, apakah kau merasa tidak kuat menghadapi seorang diantara mereka?” tanyanya kepada Ban Sai Cinjin perlahan sekali.
Ban Sai Cinjin sudah mengenal kehebatan empat orang muda itu, akan tetapi akhir-akhir ini ia telah memperdalam ilmu silatnya dan kalau bertempur satu lawan satu, agaknya sukar dipercaya kalau ia akan kalah. Lagi pula, tentu saja ia merasa malu kalau menyatakan takut. Maka ia lalu melompat maju dan berkata menantang.
“Orang-orang muda yang sombong! Siapa sih takut kepadamu? Majulah, mana saja, atau kalian hendak mengeroyok aku?” sambil berkata demikian, ia mengisi huncwe baru yang berwarna hitam dengan tembakau hitamnya yang terkenal, bahkan lalu mempersiapkan sepuluh batang panah tangan di saku bajunya.
Kemudian terjadi hal yang lucu. Empat orang muda itu saling berebut untuk menghadapi Ban Sai Cinjin!
“Dia membunuh guruku Im-yang Giok-cu, akulah yang berhak untuk membalasnya!” kata Goat Lan.
“Tidak, Goat Lan. Dia telah menewaskan ayah bundaku, akulah yang lebih berhak pula!” kata Lie Siong sambil mengeluarkan pedangnya.
“Aku yang paling tua, biar aku saja menghancurkan kepalanya!” kata Hong Beng.
“Tidak, tidak! Akulah yang membunuh anjing tua ini, Enci Lan, kau mengalah sajalah kepadaku. Siong-ko, biar aku membalaskan sakit hati orang tuamu dan Beng-ko, kau harus mengalah terhadap adikmu!” kata Lili dan sekali menggerakkan kedua kakinya, gadis ini telah melompat menghadapi Ban Sai Cinjin!
“Lili, kau tidak boleh bertangan kosong saja!” kata Hong Beng yang mengkuatirkan keselamatan adiknya, karena ia maklum bahwa kelihaian Lili tergantung dari kipas dan pedangnya.
“Lili, kau pakailah bambu runcingku!” kata Goat Lan.
Adapun Lie Siong lalu melompat mengejar dan menyerahkan pedangnya kepada Lili,
“Kau pakailah ini, Lili.”
Lili memandang dengan mesra dan berterima kasih.
“Tak usah, Siong-ko, jangan membikin kotor pedangmu, kedua tanganku cukup untuk menghadapinya.”
Lie Siong melompat mundur kembali dan diam-diam tiga orang muda itu merasa gelisah. Bagaimana Lili demikian sembrono untuk menghadapi Ban Sai Cinjin yang lihai dengan bertangan kosong saja?
Akan tetapi Ban Sai Cinjin tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Ia berseru keras dan segera menyerang Lili dengan huncwenya. Gadis itu tersenyum mengejek dan begitu ia mengeluarkan Ilmu Pukulan Hang-liong-cap-it-ciang, tidak saja Ban Sai Cinjin yang menjadi terkejut sekali, bahkan Lie Siong, Hong Beng, dan Goat Lan juga memandang dengan mata terbelalak.
Belum pernah mereka menyaksikan ilmu pukulan seperti itu dan seingat Hong Beng, ayahnya sendiripun tidak pernah memberi pelajaran ilmu silat seperti yang dimainkan oleh Lili ini.
Namun hasilnya luar biasa sekali. Dalam jurus-jurus pertama saja Ban Sai Cinjin sudah amat terdesak. Huncwenya terbentur oleh tenaga pukulan yang lebih berbahaya daripada senjata tajam. Memang hebat sekali Hang-liong-cap-it-ciang ini dan kalau Lili mau, setelah menyerang selama tiga puluh jurus lebih, ia dapat membinasakan lawannya.
Akan tetapi, di samping kegalakan dan kelincahannya, tabiat ayahnya menempel gadis ini. Ia pemurah dan mudah memberi ampun. Ketika mendapat kesempatan, ia mengirim pukulan dengan kedua tangan bahkan kaki kirinya juga mendupak ke arah dada lawan.
Terdengar bunyi keras dan kembali untuk kedua kalinya huncwe maut dari Ban Sai Cinjin pecah terkena hawa pukulan Hang-liong-cap-it-ciang, dan biarpun kakek itu hendak menangkis, tetap saja dadanya terkena pukulan sehingga ia menjerit dan terlempar roboh sambil memuntahkan darah segar!
Biarpun Lili tidak membunuhnya, namun ia telah menderita luka berat dan untuk sementara waktu takkan dapat bergerak! Wi Kong Siansu melompat ke depan hendak menantang, akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan tujuh orang dan muncullah Cin Hai, Kwee An, Lin Lin, Ma Hoa, dikawani oleh Kam Liong, Kam Wi, dan Tiong Kun Tojin!
“Kami datang atas perintah Kaisar menangkap pengkhianat dan pemberontak Ban Sai Cinjin, Coa Ong Lojin dan pengemis-pengemis Coa-tung Kai-pang!” seru Kam Wi sambil mengeluarkan lengki (bendera titah raja).
Melihat bendera ini, Wi Kong Siansu dan ketiga Hailun Thai-lek Sam-kui lalu berlutut. Coa Ong Lojin hendak melarikan diri, akan tetapi sekali menggerakkan tangannya, Tiong Kun Tojin telah dapat menangkapnya dan menotok punggungnya! Kam Wi tertawa bergelak, lalu berpaling kepada Pendekar Bodoh sambil berkata,
“Urusan kami telah beres, beberapa hari lagi kami akan datang ke Shaning mengurus perjodohan!”
Ia lalu menyeret Coa Ong Lojin, Ban Sai Cinjin dan beberapa orang pengemis Coa-tung Kai-pang, lalu menjura dan meninggalkan tempat itu bersama Kam Liong dan Tiong Kun Tojin sambil membawa tawanan-tawanan mereka.
Pendekar Bodoh tersenyum lalu menjura kepada Wi Kong Siansu.
“Wi Kong Siansu, sekarang kau melihat sendiri betapa jahatnya sutemu itu. Ia bersekongkol untuk membunuh putera Kaisar dan bahkan ia membantu pula pergerakan orang-orang Mongol yang lalu. Nah, karena kita berhadapan sebagai musuh hanya karena gara-gara Ban Sai Cinjin, perlukah permusuhan ini dilanjutkan lagi?”
Wi Kong Siansu dan Hailun Thai-lek Sam-kui saling pandang. Terang bahwa keadaan pihak mereka jauh kalah kuat, akan tetapi untuk menutup rasa malu, Wi Kong Siansu berkata
“Pendekar Bodoh, orang-orang seperti kita hanya mempunyai satu macam kesukaan, yaitu memperdalam pengertian ilmu silat. Setelah kita bertemu, mengapa kita tidak main-main sebentar?”
Cin Hai menghela napas.
“Baiklah, orang tua. Kau boleh menyerangku tanpa kubalas, dan kalau dalam sepuluh jurus kau dapat membuatku menggerakkan kaki selangkah saja, aku mengaku kalah padamu!”
Setelah berkata demikian, Cin Hai lalu berdiri tegak dan menundukkan kepalanya. Ia memegang sebatang suling dan meramkan matanya seperti tidur!
“Pendekar Bodoh, agaknya kau telah mewarisi kepandaian Bu Pun Su benar-benar. Biarlah aku mencobanya!”
Sambil berkata demikian, Wi Kong Siansu mencabut Hek-kwi-kiam, lalu berseru,
“Lihat pedang!” dan menyerang dengan sebuah tusukan ke arah dada Cin Hai.
Akan tetapi Pendekar Bodoh tetap tidak membuka matanya, hanya ketika pedang itu sudah dekat dengan dadanya, ia mengangkat sulingnya menangkis. Wi Kong Siansu merasa telapak tangannya tergetar, lalu ia menerjang lagi sampai tiga kali, tetap saja sia-sia, karena selalu suling di tangan Cin Hai dapat menangkis dengan tepat.
Ketika Wi Kong Siansu hendak menyerang untuk yang ketujuh kalinya tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu Lie Siong telah menangkis dengan Sin-liong-kiam.
“Wi Kong Siansu, sungguh tak tahu malu sekali kau menyerang seorang lawan yang tidak membalas, bahkan melihatmu pun tidak. Kalau kau memang gagah, lawanlah pedangku!”
Tanpa menanti jawaban, Lie Siong lalu menyerang dan Wi Kong Siansu kaget sekali melihat gerakan pedang pemuda ini benar-benar luar biasa sekali. Semua orang lalu menonton karena pertempuran ini jauh lebih menarik dan ramai.
“Heran sekali…” Cin Hai yang sudah membuka matanya berkata perlahan. “Dari mana ia memperoleh gerakan-gerakan ini?”
Memang matanya yang tajam melihat gerakan-gerakan ilmu pedang yang aneh dan lihai dan membuat sinar pedang hitam di tangan Wi Kong Siansu makin lama makin kecil.
“Siong-ji, tahan! Jangan mendesak orang tua!”
Cin Hai berseru dan sekali ia melompat, ia telah berada di antara ke dua orang yang bertempur itu. Wi Kong Siansu menyimpan pedangnya dan menarik napas panjang lalu berkata,
“Hebat, memang hebat! Keturunanmu memang hebat, Pendekar Bodoh. Pinto mengaku kalah.”
Ia hendak pergi setelah menjura, akan tetapi Lili lalu berkata kepadanya,
“Totiang, jangan kau salah sangka. Pembunuh muridmu, Song Kam Seng, adalah Ban Sai Cinjin. Aku sendirilah yang mengurus pemakamannya!”
Wi Kong Siansu terkejut dan menoleh. Gadis itu dengan singkat lalu menceritakan peristiwa itu. Wi Kong Siansu kembali menarik napas panjang lalu pergi dari situ dengan hati terpukul.
Dengan lega dan girang, Pendekar Bodoh lalu mengajak semua orang kembali ke timur, di sepanjang jalan tiada hentinya saling menuturkan pengalaman masing-masing.
Dahulu, kuil ini adalah pusat dari partai persilatan Thian-san-pai yang besar, akan tetapi akhir-akhir ini habislah orang yang masih suka mengurus kuil ini dan semua anak murid Thian-san-pai lebih suka berkelana di dunia bebas.
Akan tetapi pagi hari itu di dalam kuil tidak sunyi seperti biasanya. Ban Sai Cinjin dan kawan-kawannya telah berada di tempat itu dan berunding dengan kawan-kawannya. Betapapun juga, setelah Im-yang Giok-cu tewas, mereka tidak berapa takut menghadapi Pendekar Bodoh. Telah mereka perhitungkan bahwa untuk menghadapi kawan-kawan Pendekar Bodoh, kepandaian mereka masih dapat mengimbangi, adapun Pendekar Bodoh sendiri akan dilawan oleh Wi Kong Siansu.
Tiba-tiba dari luar kuil terdengar suara nyaring yang menantang mereka,
“Ban Sai Cinjin dan Wi Kong Siansu! Kami sudah datang untuk memenuhi tantanganmu!”
Ban Sai Cinjin, Wi Kong Siansu,Thian-te Te-it Siansu, Lak Mou Couwsu, Bouw Ki, dan Coa Ong Lojin serta beberapa orang pemimpin Coa-tung Kai-pang yang telah datang terlebih dulu di tempat itu, keluar dari kuil itu dan ketika tiba di luar, dengan tercengang mereka melihat empat orang muda yang bukan lain adalah Goat Lan, Lili, Lie Siong dan Hong Beng!
Ban Sai Cinjin berdebar hatinya. Ia tidak melihat Pendekar Bodoh orang yang paling ditakuti dan dibencinya, maka untuk menetapkan hatinya ia bertanya,
“Mana Pendekar Bodoh? Apakah dia takut datang kesini sehingga mewakilkannya kepada anak-anaknya?”
“Ban Sai Cinjin, jangan membuka mulut sombong!” Lili berseru marah. “Orang macam kau tidak pantas untuk dilawan oleh ayahku. Kami orang-orang muda sudah cukup untuk membuktikan bahwa kepandaian kami tidak kalah olehmu.”
“Cu-wi-enghiong,” kata Hong Beng yang lebih tenang dan sabar sambil menjura kepada pihak tuan rumah, “kedatangan kami berempat mengandung dua maksud. Pertama, untuk memenuhi tantangan Wi Kong Siansu yang telah menantang ayah untuk datang berpibu disini pada waktu ini. Kedua kalinya, kami harus membalas dendam dan sakit hati kepada Ban Sai Cinjin yang telah membunuh Lie Kong Sian supek, Ang I Niocu bibi kami dan juga Im-yang Giok-cu suhu dari Nona Kwee. Nah, terserah kepada Wi Kong Siansu hendak memulai pibu itu atau memberikan kesempatan kepada kami membunuh Ban Sai Cinjin lebih dulu.”
Wi Kong Siansu tak dapat menjawab dan saling pandang dengan Ban Sai Cinjin. Dibandingkan dengan yang lain, sebetulnya Wi Kong Siansu lebih gagah, karena dalam beberapa pertempuran keroyokan, sengaja tosu ini tidak mengeluarkan seluruh kepandaiannya, karena ia merasa malu untuk mendapat kemenangan sambil mengeroyok. Kini melihat empat orang muda itu menantang, tentu saja ia merasa malu pula untuk maju mengeroyok.
“Sute, apakah kau merasa tidak kuat menghadapi seorang diantara mereka?” tanyanya kepada Ban Sai Cinjin perlahan sekali.
Ban Sai Cinjin sudah mengenal kehebatan empat orang muda itu, akan tetapi akhir-akhir ini ia telah memperdalam ilmu silatnya dan kalau bertempur satu lawan satu, agaknya sukar dipercaya kalau ia akan kalah. Lagi pula, tentu saja ia merasa malu kalau menyatakan takut. Maka ia lalu melompat maju dan berkata menantang.
“Orang-orang muda yang sombong! Siapa sih takut kepadamu? Majulah, mana saja, atau kalian hendak mengeroyok aku?” sambil berkata demikian, ia mengisi huncwe baru yang berwarna hitam dengan tembakau hitamnya yang terkenal, bahkan lalu mempersiapkan sepuluh batang panah tangan di saku bajunya.
Kemudian terjadi hal yang lucu. Empat orang muda itu saling berebut untuk menghadapi Ban Sai Cinjin!
“Dia membunuh guruku Im-yang Giok-cu, akulah yang berhak untuk membalasnya!” kata Goat Lan.
“Tidak, Goat Lan. Dia telah menewaskan ayah bundaku, akulah yang lebih berhak pula!” kata Lie Siong sambil mengeluarkan pedangnya.
“Aku yang paling tua, biar aku saja menghancurkan kepalanya!” kata Hong Beng.
“Tidak, tidak! Akulah yang membunuh anjing tua ini, Enci Lan, kau mengalah sajalah kepadaku. Siong-ko, biar aku membalaskan sakit hati orang tuamu dan Beng-ko, kau harus mengalah terhadap adikmu!” kata Lili dan sekali menggerakkan kedua kakinya, gadis ini telah melompat menghadapi Ban Sai Cinjin!
“Lili, kau tidak boleh bertangan kosong saja!” kata Hong Beng yang mengkuatirkan keselamatan adiknya, karena ia maklum bahwa kelihaian Lili tergantung dari kipas dan pedangnya.
“Lili, kau pakailah bambu runcingku!” kata Goat Lan.
Adapun Lie Siong lalu melompat mengejar dan menyerahkan pedangnya kepada Lili,
“Kau pakailah ini, Lili.”
Lili memandang dengan mesra dan berterima kasih.
“Tak usah, Siong-ko, jangan membikin kotor pedangmu, kedua tanganku cukup untuk menghadapinya.”
Lie Siong melompat mundur kembali dan diam-diam tiga orang muda itu merasa gelisah. Bagaimana Lili demikian sembrono untuk menghadapi Ban Sai Cinjin yang lihai dengan bertangan kosong saja?
Akan tetapi Ban Sai Cinjin tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Ia berseru keras dan segera menyerang Lili dengan huncwenya. Gadis itu tersenyum mengejek dan begitu ia mengeluarkan Ilmu Pukulan Hang-liong-cap-it-ciang, tidak saja Ban Sai Cinjin yang menjadi terkejut sekali, bahkan Lie Siong, Hong Beng, dan Goat Lan juga memandang dengan mata terbelalak.
Belum pernah mereka menyaksikan ilmu pukulan seperti itu dan seingat Hong Beng, ayahnya sendiripun tidak pernah memberi pelajaran ilmu silat seperti yang dimainkan oleh Lili ini.
Namun hasilnya luar biasa sekali. Dalam jurus-jurus pertama saja Ban Sai Cinjin sudah amat terdesak. Huncwenya terbentur oleh tenaga pukulan yang lebih berbahaya daripada senjata tajam. Memang hebat sekali Hang-liong-cap-it-ciang ini dan kalau Lili mau, setelah menyerang selama tiga puluh jurus lebih, ia dapat membinasakan lawannya.
Akan tetapi, di samping kegalakan dan kelincahannya, tabiat ayahnya menempel gadis ini. Ia pemurah dan mudah memberi ampun. Ketika mendapat kesempatan, ia mengirim pukulan dengan kedua tangan bahkan kaki kirinya juga mendupak ke arah dada lawan.
Terdengar bunyi keras dan kembali untuk kedua kalinya huncwe maut dari Ban Sai Cinjin pecah terkena hawa pukulan Hang-liong-cap-it-ciang, dan biarpun kakek itu hendak menangkis, tetap saja dadanya terkena pukulan sehingga ia menjerit dan terlempar roboh sambil memuntahkan darah segar!
Biarpun Lili tidak membunuhnya, namun ia telah menderita luka berat dan untuk sementara waktu takkan dapat bergerak! Wi Kong Siansu melompat ke depan hendak menantang, akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan tujuh orang dan muncullah Cin Hai, Kwee An, Lin Lin, Ma Hoa, dikawani oleh Kam Liong, Kam Wi, dan Tiong Kun Tojin!
“Kami datang atas perintah Kaisar menangkap pengkhianat dan pemberontak Ban Sai Cinjin, Coa Ong Lojin dan pengemis-pengemis Coa-tung Kai-pang!” seru Kam Wi sambil mengeluarkan lengki (bendera titah raja).
Melihat bendera ini, Wi Kong Siansu dan ketiga Hailun Thai-lek Sam-kui lalu berlutut. Coa Ong Lojin hendak melarikan diri, akan tetapi sekali menggerakkan tangannya, Tiong Kun Tojin telah dapat menangkapnya dan menotok punggungnya! Kam Wi tertawa bergelak, lalu berpaling kepada Pendekar Bodoh sambil berkata,
“Urusan kami telah beres, beberapa hari lagi kami akan datang ke Shaning mengurus perjodohan!”
Ia lalu menyeret Coa Ong Lojin, Ban Sai Cinjin dan beberapa orang pengemis Coa-tung Kai-pang, lalu menjura dan meninggalkan tempat itu bersama Kam Liong dan Tiong Kun Tojin sambil membawa tawanan-tawanan mereka.
Pendekar Bodoh tersenyum lalu menjura kepada Wi Kong Siansu.
“Wi Kong Siansu, sekarang kau melihat sendiri betapa jahatnya sutemu itu. Ia bersekongkol untuk membunuh putera Kaisar dan bahkan ia membantu pula pergerakan orang-orang Mongol yang lalu. Nah, karena kita berhadapan sebagai musuh hanya karena gara-gara Ban Sai Cinjin, perlukah permusuhan ini dilanjutkan lagi?”
Wi Kong Siansu dan Hailun Thai-lek Sam-kui saling pandang. Terang bahwa keadaan pihak mereka jauh kalah kuat, akan tetapi untuk menutup rasa malu, Wi Kong Siansu berkata
“Pendekar Bodoh, orang-orang seperti kita hanya mempunyai satu macam kesukaan, yaitu memperdalam pengertian ilmu silat. Setelah kita bertemu, mengapa kita tidak main-main sebentar?”
Cin Hai menghela napas.
“Baiklah, orang tua. Kau boleh menyerangku tanpa kubalas, dan kalau dalam sepuluh jurus kau dapat membuatku menggerakkan kaki selangkah saja, aku mengaku kalah padamu!”
Setelah berkata demikian, Cin Hai lalu berdiri tegak dan menundukkan kepalanya. Ia memegang sebatang suling dan meramkan matanya seperti tidur!
“Pendekar Bodoh, agaknya kau telah mewarisi kepandaian Bu Pun Su benar-benar. Biarlah aku mencobanya!”
Sambil berkata demikian, Wi Kong Siansu mencabut Hek-kwi-kiam, lalu berseru,
“Lihat pedang!” dan menyerang dengan sebuah tusukan ke arah dada Cin Hai.
Akan tetapi Pendekar Bodoh tetap tidak membuka matanya, hanya ketika pedang itu sudah dekat dengan dadanya, ia mengangkat sulingnya menangkis. Wi Kong Siansu merasa telapak tangannya tergetar, lalu ia menerjang lagi sampai tiga kali, tetap saja sia-sia, karena selalu suling di tangan Cin Hai dapat menangkis dengan tepat.
Ketika Wi Kong Siansu hendak menyerang untuk yang ketujuh kalinya tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu Lie Siong telah menangkis dengan Sin-liong-kiam.
“Wi Kong Siansu, sungguh tak tahu malu sekali kau menyerang seorang lawan yang tidak membalas, bahkan melihatmu pun tidak. Kalau kau memang gagah, lawanlah pedangku!”
Tanpa menanti jawaban, Lie Siong lalu menyerang dan Wi Kong Siansu kaget sekali melihat gerakan pedang pemuda ini benar-benar luar biasa sekali. Semua orang lalu menonton karena pertempuran ini jauh lebih menarik dan ramai.
“Heran sekali…” Cin Hai yang sudah membuka matanya berkata perlahan. “Dari mana ia memperoleh gerakan-gerakan ini?”
Memang matanya yang tajam melihat gerakan-gerakan ilmu pedang yang aneh dan lihai dan membuat sinar pedang hitam di tangan Wi Kong Siansu makin lama makin kecil.
“Siong-ji, tahan! Jangan mendesak orang tua!”
Cin Hai berseru dan sekali ia melompat, ia telah berada di antara ke dua orang yang bertempur itu. Wi Kong Siansu menyimpan pedangnya dan menarik napas panjang lalu berkata,
“Hebat, memang hebat! Keturunanmu memang hebat, Pendekar Bodoh. Pinto mengaku kalah.”
Ia hendak pergi setelah menjura, akan tetapi Lili lalu berkata kepadanya,
“Totiang, jangan kau salah sangka. Pembunuh muridmu, Song Kam Seng, adalah Ban Sai Cinjin. Aku sendirilah yang mengurus pemakamannya!”
Wi Kong Siansu terkejut dan menoleh. Gadis itu dengan singkat lalu menceritakan peristiwa itu. Wi Kong Siansu kembali menarik napas panjang lalu pergi dari situ dengan hati terpukul.
Dengan lega dan girang, Pendekar Bodoh lalu mengajak semua orang kembali ke timur, di sepanjang jalan tiada hentinya saling menuturkan pengalaman masing-masing.
**** 154 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar