*

*

Ads

Jumat, 18 Mei 2012

Pendekar Remaja Jilid 009

Tadinya Bouw Hun Ti tak bermaksud membunuh pemilik rumah makan ini dan hanya hendak mempermainkannya, akan tetapi oleh karena pada saat itu ia sedang menengok sehingga keadaannya amat berbahaya, ketika ia merasa betapa angin serudukan kepala dari Si Muka Hitam itu amat kuatnya dan tidak ada kesempatan lagi baginya untuk menghindarkan diri, ia lalu mengerahkan sinkangnya dan… “cep!” kepala Thio Seng menancap pada perutnya bagaikan anak panah menancap pada batang pohon!

Memang benar-benar luar biasa, karena kini tubuh Thio Seng menjadi kaku, kepala menancap di perut Bouw Hun Ti dan kakinya terangkat lurus ke belakang! Dengan sin-kangnya yang benar-benar luar biasa sekali Bouw Hun Ti telah menyedot perutnya sehingga rongga perutnya menjadi kosong dan ketika kepala lawannya menyeruduk perutnya ia mempergunakan tenaga lwee-kang untuk menggencet dan menolak tenaga serudukan itu!

Ketika Bouw Hun Ti melembungkan perutnya lagi, tubuh Thio Seng terlempar dan roboh dalam keadaan tak bernyawa lagi! Ternyata bahwa penolakan tenaga dari perut Bouw Hun Ti telah membuat tenaga serudukan Thio Seng kembali menyerang kepalanya sendiri sehingga ia mendapat luka di dalam kepala dan tewas pada saat itu juga!

Ributlah keadaan disitu melihat hal yang mengerikan ini. Dan ketika Bouw Hun Ti menengok untuk membawa pergi Lili, ia melihat anak itu telah dipondong oleh seorang laki-laki berpakaian tambal-tambalan!

“Lepaskan anak itu!” seru Bouw Hun Ti dan tangannya diulur kedepan sedangkan kedua kakinya melompat dalam serbuan itu.

Lo Sian melihat tangan Si Brewok menyambar ke jalan darah Tai-twi-hiat, cepat mengangkat tangan kirinya menangkis. Dua tangan orang-orang yang berilmu tinggi dan ahli lwee-keh bertemu dengan keras dan Lo Sian terpental ke belakang! Untung ia berlaku waspada dan hanya terhuyung-huyung saja tidak sampai roboh, sedangkan Bouw Hun Ti juga melangkah mundur dua langkah.

Bukan main marahnya Bouw Hun Ti dan berbareng ia juga merasa terkejut karena tak pernah disangkanya di tempat itu ia akan bertemu dengan seorang yang memiliki tenaga lwee-kang demikian tingginya.

“Bangsat rendah kau ingin mampus!” Dan ia lalu bergerak maju kembali untuk melakukan serangan.

Akan tetapi, para pelayan dan beberapa orang kaki tangan Thio Seng yang melihat betapa Thio Seng terbunuh oleh orang brewok itu menjadi marah dan serentak maju menyerang dengan senjata di tangan.

Hal ini membuat Bouw Hun Ti terpaksa menunda niatnya menyerang Lo Sian, dan sebaliknya ia lalu memutar tubuhnya dan menghadapi para penyerangnya. Bukan main ributnya pertempuran itu, karena biarpun Bouw Hun Ti tidak mempergunakan senjata, namun begitu tubuhnya bergerak, pedang dan golok beterbangan dan tubuh para pengeroyoknya jatuh, tumpang tindih dan malang melintang! Jangankan sampai terkena pukulan dan tendangan Bouw Hun Ti, baru keserempet sedikit saja para pengeroyok bergulingan jatuh tak dapat bangun pula!

Tentu saja kehebatan sepak terjang Si Brewok ini membuat pengeroyok lain menjadi terkejut dan gentar sehingga mereka merasa ragu-ragu untuk maju menyerang. Bouw Hun Ti cepat menengok, akan tetapi ia tidak melihat lagi pengemis berbaju tambalan yang tadi memondong Lili.

“Kau hendak lari kemana?” serunya keras dan tahu-tahu tubuhnya telah melayang melewati kepala para pengeroyoknya yang berdiri melongo di depan pintu!

Bouw Hun Ti melompat naik ke atas genteng memandang ke kanan kiri, akan tetapi tetap saja ia tidak melihat adanya orang yang telah merampas anak itu. Bukan main marah dan mendongkolnya, akan tetapi kepada siapakah ia harus melampiaskan rasa marahnya? Ia melompat turun lagi dan ketika ia melihat seorang di antara para pelayan itu memegang tali kudanya, ia cepat menyambar dengan tendangannya.

Pelayan yang bermaksud menahan kudanya itu menjerit ngeri dan tubuhnya terlempar jauh, jatuh di atas tanah dalam keadaan tidak bernyawa pula! Untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya karena Lili dirampas orang, Bouw Hun Ti telah membunuh seorang lagi!

Ia lalu melompat ke atas kudanya dan melarikan kudanya cepat-cepat menuju ke barat, dengan harapan kalau-kalau ia akan dapat menyusul orang yang membawa lari anak kecil tawanannya itu. Akan tetapi ia tidak tahu bahwa Lo Sian, Si Pengemis Sakti itu, tidak membawa lari Lili ke barat, melainkan ke selatan!

Lo Sian membawa Lili bersembunyi ke dalam sebuah kelenteng tua yang terdapat di sebelah selatan dusun itu. Ia menurunkan Lili yang semenjak tadi meronta-ronta dalam pondongannya dan ketika diturunkan, Lili lalu melompat dan menyerangnya dengan pukulan kedua tangannya!






Lo Sian berseru terheran-heran. Bukan saja ia merasa heran mengapa anak ini begitu dilepaskan lalu tiba-tiba menyerangnya dengan marah, akan tetapi ia juga merasa heran melihat bahwa gerakan serangan anak kecil ini indah dan baik sekali, merupakan tipu pukulan dari ilmu silat yang tinggi!

Ia mengelak cepat dan berkata,
“Eh, eh, anak baik, mengapa kau menyerang aku?”

Akan tetapi, tanpa berkata sesuatu, Lili terus menyerangnya membabi buta, menggerakkan kedua tangannva, bahkan mengirim tendangan dengan kakinya! Dalam keheranannya, Lo Sian menjadi gembira dan ingin melihat sampai dimana kepandaian anak ini dan ilmu silatnya dari cabang mana, maka ia tetap mengelak ke sana ke mari dengan cepatnya.

Makin lama makin terheranlah ia ketika mendapat kenyataan bahwa ilmu silat yang dimainkan oleh Lili untuk menyerangnya, benar-benar merupakan ilmu pukulan yang luar biasa sekali gerak-geriknya dan yang sama sekali belum pernah dilihatnya!

Ia paham akan ilmu silat cabang-cabang besar seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Go-bi-pai dan lain-lain, akan tetapi ilmu silat anak kecil ini benar-benar belum pernah dilihatnya dan yang harus diakui amat hebat! Kalau ia tidak memiliki gerakan yang cepat, tentu ia telah kena terpukul, sungguhpun pukulan anak itu tentu saja takkan mendatangkan bahaya sesuatu terhadap tubuhnya. Ia lalu mengulur tangan dan menangkap pergelangan tangan Lili, lalu merangkul anak itu.

“Anak yang baik, dengarlah. Aku bukan orang jahat!”

“Kau juga penculik!” tiba-tiba Lili berseru keras dan sepasang mata yang indah bening itu memandang tajam dan marah, bibirnya dikatupkan keras-keras.

Makin tertariklah hati Lo Sian melihat anak ini. Ia dapat menduga bahwa anak ini bukanlah anak sembarangan, dan ia kagum sekali menyaksikan keberanian dan kekerasan hati anak ini.

“Bukan, bukan, anakku! Mungkin kau masih dipengaruhi oleh Si Brewok yang kejam tadi! Dia memang orang jahat dan aku menolongmu dan merampasmu dari tangannya!”

Lili memang cerdik dan setelah kini terbuka matanya dan tahu bahwa orang berbaju tambalan ini selain mempunyai wajah yang sabar dan baik juga kata-katanya tidak sekasar dan seganas Si Brewok tadi, maka tiba-tiba saja ia menangis tersedu-sedu!

Lo Sian menarik napas panjang dan mengelus-elus kepala anak itu.
“Kasihan, anak yang baik. Kau siapakah dan anak siapa serta bagaimana pula sampai terjatuh ke dalam tangan penculik jahat itu?”

Lili masih merasa gemas kepada ayah ibunya yang sampai saat itu belum juga datang menyusul dan menolongnya, karena ia masih kecil, maka ia tidak dapat berpikir jauh dan tidak tahu bahwa kedua orang tuanya tak mungkin dapat menyusulnya dengan mudah karena tidak tahu kemana ia dibawa pergi. Yang ia ketahui hanyalah ayah ibunya belum muncul dan dalam anggapannya, ayah ibunya itu seakan-akan membiarkan saja ia dibawa pergi oleh penculik jahat tadi!

Penderitaan-penderitaan yang ia alami selama tiga hari itu memang benar-benar hebat. Seorang anak kecil seperti dia, baru berusia delapan tahun, telah dibawa lari seorang kejam seperti Bouw Hun Ti, mengalami kekagetan, kelaparan, bahkan selalu berada dalam pengaruh totokan yang membuatnya gagu, dan tadi malahan ia telah ditotok sehingga merasakan kesakitan yang luar biasa.

Tentu saja ia merasa marah dan sakit hati mengapa ayah ibunya membiarkan saja ia menderita sehebat itu! Kini ia telah tertolong oleh seorang lain, tentu saja segala simpatinya tercurah kepada orang ini dan ketika ia melihat orang itu mengelus-elus kepalanya dan memandangnya penuh rasa terharu dan sayang, tiba-tiba ia memeluk Lo Sian dan menangis di atas dada pengemis sakti itu!

“Anakku sayang, sudahlah jangan menangis. Si jahat itu telah pergi dan kau takkan tersiksa lagi. Percayalah, dengan adanya aku disini, takkan ada orang yang berani mengganggumu. Aku bernama Lo Sian dan kau boleh menyebutku Lo-pekhu. Siapakah namamu?” Lo Sian mengulang pertanyaannya.

Di dalam pelukan Lo Sian, Lili teringat kepada kakeknya, karena di samping ayah ibunya, orang yang mengasihinya hanyalah kakeknya itulah, maka ia seakan-akan mendapat pengganti kakeknya dalam diri Lo Sian ini.

“Namaku Lili,” jawabnya tanpa mengangkat muka dari dada Pengemis Sakti itu.

“Nama yang bagus!” kata Lo Sian. “Dan siapa Ayah Ibumu?”

Tiba-tiba Lili mengerutkan mukanya dan ia memandang dengan marah kepada Lo Sian. Bibirnya yang manis itu cemberut sedangkan matanya yang masih basah dengan air mata itu menyinarkan cahaya tajam yang membuat Lo Sian memandang makin kagum saja.

“Ayah ibuku tidak mau menolongku! Jangan kau tanyakan nama mereka!”

Ia benar-benar marah dan mengepal tinjunya! Lo Sian tersenyum. Alangkah pemarah dan galaknya anak ini, pikirnya. Akan tetapi, dalam kemarahannya, anak ini benar-benar kelihatan gagah dan bersemangat. Tentu ia anak seorang pendekar, pikirnya.

“Baiklah, kalau kau tidak mau memberitahukan nama Ayah Ibumu, sedikitnya kau mau memberitahukan she-mu dan dimana pula kau tinggal.”

Lili tahu bahwa ayahnya bernama Sie Cin Hai dan ibunya bernama Kwee Lin, akan tetapi karena tadi ia sudah berkata tak hendak memberitahukan nama ayah ibunya, maka ia pun tidak mau memakai she (nama keturunan) mereka. Ia teringat akan nama kakeknya, maka ia menjawab,

“Aku she Yo dan dimana tempatku, aku tidak mau bilang karena aku tidak mau pulang!”

“Eh, eh, mengapa tidak mau pulang? Ayah-ibumu tentu akan mencari-carimu. Katakanlah dimana tempat tinggalmu agar aku dapat mengantar kau pulang ke rumah orang tuamu,” kata Lo Sian membujuk.

“Tidak, tidak! Aku tidak mau pulang! Ayah dan Ibu tidak mau menolong dan mencariku, untuk apa aku pulang? Lopek, aku mau ikut kau saja!”

Lo Sian tersenyum.
“Maukah kau menceritakan bagaimana kau sampai terjatuh ke dalam tangan penculik kejam tadi?”

“Dia datang dan mengejarku ketika aku sedang bermain-main di luar rumah, di kampung lain. Aku tidak tahu mengapa ia membenci dan menculik aku!”

Lo Sian menjadi makin bingung. Anak ini tidak mau memberitahukan siapa orang tuanya dan dimana rumahnya, bahkan tidak mau pulang. Pancingannya untuk mendapat keterangan secara jelas ternyata gagal, bahkan mengapa Si Brewok tadi menculik anak ini pun masih merupakan teka-teki baginya.

Yang dapat memberi keterangan hanyalah Si Brewok tadi, akan tetapi ia maklum bahwa Si Brewok itu adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Dia sendiri belum tentu akan dapat mengalahkannya, karena dari peraduan lengan tangan mereka tadi saja ia maklum bahwa tenaga lwee-kang orang itu masih lebih tinggi setingkat daripada tenaganya sendiri!

“Anak yang baik, ilmu silatmu baik sekali. Dari siapakah kau belajar ilmu silat itu? Siapa yang melatihmu?”

“Yang mengajarku Ayah, Ibu, dan juga Kakekku!”

Terkejutlah Lo Sian mendengar ini. Dugaannya tidak salah. Anak ini datang dari keluarga pendekar. Tidak saja ayahnya yang dapat silat, bahkan ibu dan kakeknya agaknya juga orang-orang berkepandaian tinggi.

“Siapakah nama kakekmu, Lili?”

“Kakekku she Yo, namanya aku tidak tahu.”

Lo Sian mengangguk-angguk dan mengira bahwa kakek she Yo itu tentulah ayah dari bapak anak ini, kalau tidak demikian tentu anak ini tidak bershe Yo pula.

“Diantara ketiga orang tua itu, siapakah yang terlihai ilmu silatnya?”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar