*

*

Ads

Kamis, 05 September 2019

Pendekar Remaja Jilid 136

Kedatangan Cin Hai, Kwee An, Hong Beng, dan Goat Lan di benteng Alkata-san disambut dengan girang oleh semua orang. Ma Hoa menjadi cemas ketika melihat bahwa puteranya tidak berada diantara mereka, sebaliknya Pendekar Bodoh bahkan membawa seorang anak laki-laki bangsa Mongol yang berwajah tampan dan berpakaian indah.

Akan tetapi ketika ia mendengar bahwa anak ini adalah putera Malangi Khan yang sengaja diculik untuk kelak ditukarkan dengan Kwee Cin, Ma Hoa menjadi girang dan penuh harapan. Tentu saja ia merawat Pangeran Kamangis dengan baik, karena ia pun menghendaki agar supaya puteranya diperlakukan dengan baik oleh ayah anak ini.

Pada hari itu juga, datang rombongan Tiong Kun Tojin dan Sin-houw-enghiong Kam Wi, dua orang tokoh besar Kun-lun-san itu yang membawa kawan-kawannya untuk membantu perjuangan negara menghadapi orang-orang Mongol.

Diantara rombongan ini terdapat pula Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hwesio, Si Cengeng dan Si Gendut yang sudah kita kenal itu. Kemudian kelihatan pula Hailun Thai-lek Sam-kui, tiga orang kakek aneh yang suka berkelahi, dan masih ada beberapa belas orang gagah dari dunia kang-ouw lagi.

Sungguh amat menarik hati kalau dilihat sikap orang-orang gagah ini ketika bertemu dengan Pendekar Bodoh. Rata-rata menyatakan hormatnya terhadap Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya yang sudah tersohor.

Yang amat menggembirakan adalah Sikap Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hwesio. Dua orang pendeta bersaudara ini ketika melihat Cin Hai dan Lin Ling segera berlari menghampiri. Ceng Tek Hwesio tertawa-tawa sampai perutnya yang besar itu bergerak gerak sedangkan Ceng To Tosu meweknya makin menyedihkan. Cin Hai juga amat gembira bertemu dengan mereka sehingga Pendekar Bodoh menowel-nowel perut Ceng Tek Hwesio sambil berkelakar.

“Aduh, biar mati pun aku tidak penasaran lagi setelah bertemu dengan kalian suami isteri!” kata Ceng Tek Hwesio kepada Cin Hai dan Lin Lin.

Akan tetapi yang paling aneh dan mengesankan adalah sikap dari Hailun Thai-lek Sam-kui, karena tiga orang iblis ini sudah lama sekali mendengar nama besar dari Pendekar Bodoh dan ingin sekali menguji kepandaiannya. Apalagi mereka sudah pernah mencoba kelihaian Goat Lan puteri Kwee An dan juga Lili puteri Pendekar Bodoh, maka begitu berhadapan dan saling diperkenalkan oleh Kam Liong sebagai tuan rumah, tiga orang kakek aneh ini lalu meloloskan senjata masing-masing!

Thian-he Te-it Siansu si kate menggerak-gerakkan payungnya, Lak Mouw Couwsu si hwesio gemuk itu menarik keluar rantai besarnya, sedangkan Bouw Ki si tinggi kurus mengeluarkan tongkatnya dan Thian-he Te-it Siansu berkata,

“Pendekar Bodoh, sungguh kebetulan sekali! Tanpa disengaja kita telah saling bertemu di tempat ini, hal yang sudah seringkali kami impikan. Hayolah kau perlihatkan kelihaianmu dan mari kita main-main sebentar agar puas hati kami bertiga!”

Tentu saja Cin Hai menjadi tertegun melihat sikap mereka ini dan untuk sesaat tidak mampu menjawab! Bagaimanakah ada orang-orang yang baru saja dikenalkan lalu menantang berpibu (mengadu kepandaian)? Akan tetapi hal ini telah membuat Tiong Kun Tojin menjadi merah mukanya. Ia melangkah maju dan menjura kepada Cin Hai,

“Sie Tai-hiap, harap suka memaafkan Hailun Thai-lek Sam-kui yang suka main-main.” Kemudian ia berkata kepada tiga orang aneh itu,

“Sam-wi sungguh-sungguh tidak memandang kepadaku! Pinto yang menjadi kepala rombongan ini, apakah sengaja Sam-wi datang-datang hendak membikin malu kepada pinto?”

Suara Tiong Kun Tojin terdengar tandas sekali, memang tosu ini amat berdisiplin dan memegang teguh aturan, juga berwatak keras.

Thian-he Te-it Siansu bergelak mendengar dan melihat sikap tokoh Kun-lun-san ini.
“Ah, Tiong Kun Totiang mengapa begitu galak? Apa sih buruknya menambah pengetahuan ilmu silat selagi bertemu dengan orang gagah? Kesenangan kita satu-satunya hanya ilmu silat, kalau sekarang tidak bergembira mau tunggu kapan lagi?”

“Bicaramu memang benar, Siansu. Akan tetapi pibu harus dilakukan dengan aturan, pada waktu dan tempat yang tepat, tidak sembarangan seperti kau ini! Kita datang di sini bukan untuk main-main, melainkan untuk berjuang. Sie Taihiap adalah seorang pendekar gagah yang datang juga untuk membantu mengusir orang-orang Mongol, apakah datang-datang kau mau menimbulkan kekacauan? Berlakulah sabar, kalau semua urusan yang besar telah selesai, kau mau mengajak pibu siapapun juga, pinto takkan ambil peduli.”

Thian-he Te-it Siansu memandang kepada dua orang adiknya, lalu menghela napas berulang-ulang dan kemudian sambil tertawa ia berkata kepada Pendekar Bodoh,

“Pendekar Bodoh, kalau begitu terpaksa kita harus menanti sampai nanti di puncak Thai-san nanti tahun depan pada musim chun (musim semi).”






“Sam-wi Lo-enghiong (Tiga Orang Tua Gagah), siauwte adalah seorang yang bodoh, maka tentu saja kalau ada yang hendak memberi petunjuk siauwte akan merasa berterima kasih sekali,” jawab Cin Hai dengan merendah, dan ternyata bahwa pendekar besar ini telah dapat menekan kemarahannya melihat sikap tiga orang tua ini.

Kam Wi yang mendengar bahwa keponakannya, yaitu Kam-ciangkun atau Kam Liong masih belum menyerang musuh dan menanti sampai lima hari, dan mendengar pula tentang usaha Pendekar Bodoh yang berusaha merampas kembali Kwee Cin dan kini berhasil menawan putera Malangi Khan, lalu berkata sambil mengerutkan kening,

“Tidak baik, tidak baik! Dengan penundaan serangan kedudukan lawan akan menjadi makin kuat dan orang-orang Mongol akan menyangka bahwa kita takut!”

Tokoh Kun-lun-san yang berwatak keras ini berkata dengan sikap seolah-olah ia seorang panglima perang yang ulung. Hal ini tidak mengherankan oleh karena semua orang juga tahu bahwa dia adalah adik dari Panglima Besar Kam Hong Sin.

“Lebih baik pukul hancur perkemahan Malangi Khan kalau sudah dekat dengan mereka dan memukul hancur pasukannya, akhirnya kita akan dapat membebaskan putera Kwee Tai-hiap juga. Sekarang kebetulan sekali putera dari Malangi Khan telah berada di tangan kita, kita pergunakan untuk mengancamnya. Apabila dia tidak mau menyerah dengan damai, besok aku akan membawa kepala puteranya di ujung tombak di luar dari bentengnya!”

Pendekar Bodoh, Kwee An, Ma Hoa dan Lin Lin mengerutkan kening, dan mereka ini merasa tak setuju sama sekali atas usul orang kasar ini. Akan tetapi, dipandang darl sudut siasat kemiliteran, memang usul ini tidak buruk, maka Kam Liong biarpun menduduki pucuk pimpinan, tidak berani berkata sesuatu, hanya memandang kepada orang-orang tua yang ia hormati itu dengan mata penuh pertanyaan.

Cin Hai lalu menghadapi Kam Wi dan setelah menjura, ia berkata,
“Memang apa yang dikatakan oleh Kam-enghiong betul sekali, akan tetapi mengingat akan keselamatan keponakanku, aku dan saudara-saudaraku mengharapkan pengertian Kam-ciangkun agar supaya penyerbuan itu ditunda dua hari lagi. Aku percaya bahwa Malangi Khan takkan membiarkan puteranya terlalu lama menjadi tawanan dan akan menyerahkan Kwee Cin untuk ditukar dengan puteranya. Setelah itu, barulah tentang penyerbuan kita rundingkan lagi.”

Alis mata Kam Wi yang tebal itu dikerutkan, kemudian ia mengangguk-angguk dan berkata,

“Kalau saya tidak mengingat bahwa Sie Tai-hiap adalah calon besan dan calon mertua Kam Liong, tentu Kam Liong akan merasa keberatan melakukan penundaan-penundaan ini. Akan tetapi biarlah, biar kita menanti sampai dua hari lagi…”

“Kam-enghiong, urusan perjodohan itu belum diputuskan, harap kau suka bersabar setelah urusan ini selesai dan kita kembali ke pedalaman, barulah akan kita pertimbangkan lagi,” kata Cin Hai tak senang.

Kam Wi tersenyum.
“Aku tidak melihat lain halangan lagi, maka aku sudah berani memastikan, bukan begitu, Kam Liong?”

Kam-ciangkun hanya menundukkan mukanya yang menjadi amat merah akan tetapi ia tidak berani melayani pamannya yang kasar ini.

Dan pada malam hari itu, Kam Liong menjamu para orang gagah itu dengan pesta makan yang cukup besar dan meriah. Di tengah-tengah benteng itu, dalam ruangan yang lebar, dipasang meja-meja besar dan semua orang duduk mengelilingi beberapa buah meja dan makan minum dengan gembira.

Sebagai seorang panglima perang yang berhati-hati, di waktu berpesta malam itu, Kam Liong sengaja memesan dengan keras kepada para perwiranya agar supaya penjagaan di luar benteng diperkuat, takut kalau-kalau ada sesuatu yang tidak diingini terjadi.

Akan tetapi, tetap saja terjadi hal yang luar biasa dan di dalam benteng itu masuk tiga orang tanpa ada seorang pun penjaga yang mengetahuinya! Tahu-tahu tiga bayangan orang itu telah berada di atas genteng ruang pesta itu.

Dan orang pertama yang dapat mendengar suara kaki mereka adalah Pendekar Bodoh. Pada saat itu, Cin Hai yang duduk menghadapi meja bersama Lin Lin, Kwee An, Ma Hoa, Lo Sian, Lilani, Hong Beng, Goat Lan dan Kam Liong sendiri tiba-tiba menaruh sumpitnya di atas meja dan berkata dengan suaranya yang keras karena dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khi-kang.

“Ji-wi (Tuan Berdua) yang berada di atas, silakan turun saja kalau hendak bicara!”

Tentu saja semua orang yang berada di dalam ruangan itu menjadi heran dan terkejut. Rata-rata mereka memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, akan tetapi mereka tadi tidak mendengar sesuatu. Kini semua orang berdiam dan memasang telinga, benar saja terdengar suara kaki dua orang di atas genteng. Setelah teguran Pendekar Bodoh lenyap, terdengarlah jawaban dari atas genteng,

“Sie Tai-hiap, yang datang hanyalah siauwte untuk mengantarkan Adik Kwee Cin!”

“Lie Tai-hiap…!” seru Lilani yang segera mengenal suara Lie Siong.

Ma Hoa, Kwee An, Lin Lin, dan Pendekar Bodoh segera berdiri.
“Siong-ji (Anak Siong), lekas bawa Cin-ji (Anak Cin) turun!” seru Ma Hoa.

Akan tetapi biarpun berkata demikian, ia sudah melompat keluar diikuti oleh suaminya dan juga oleh Cin Hai dan Lin Lin. Juga Hong Beng dan Goat Lan segera menyusul. Enam bayangan orang yang amat gesit gerakannya melompat ke atas genteng.

Benar saja di atas genteng itu mereka melihat Lie Siong bersama Kwee Cin. Anak kecil itu ketika melihat bundanya segera bergerak menubruk dan Ma Hoa memeluk Kwee Cin dengan mata membasahi pipinya.

“Terima kasih… terima kasih, Siong-ji…” kata Ma Hoa sambil memandang ke arah Lie Siong dengan mata bersyukur

“Bukan aku yang telah menyelamatkan Adik Cin, Ie-ie (Bibi),” kata Lie Siong merendah.

“Ibu, yang menolongku adalah En Siong dan suhunya, kakek pincang yang bisa terbang itu!” tiba-tiba Kwee berkata sehingga semua orang terheran dan terkejut mendengarnya.

“Lie Siong, mengapa kau tidak mengajak suhumu kesini?”

“Dia sudah berada disini!” tiba-tiba Kwee Cin berkata pula. “Tadipun dia yang mengantar kami kesini, entah sekarang kemana dia pergi!”

Kembali semua orang merasa terheran, lebih-lebih Cin Hai. Dia tadi hanya mendengar suara kaki dua orang, yang ternyata adalah injakan kaki pada genteng dari Lie Siong dan Kwee Cin. Kalau benar ada tiga orang, mengapa ia tidak mendengar suara kaki yang seorang lagi?

“Siong-ji, manakah gurumu itu? Biar kami bertemu dengan dia dan menghaturkan terima kasih serta belajar kenal,” kata Lin Lin kepada pemuda yang tampan dan yang berdiri dengan muka tunduk itu.

“Dia… dia tidak suka bertemu dengan lain orang. Maafkan siauwte… maafkan karena aku tidak dapat lama-lama tinggal disini.” Ia menengok ke belakang dan berkata, “Suhu, marilah kita pergi.”

Terdengar suara terkekeh dan tiba-tiba berkelebat bayangan yang cepat bagaikan setan ke arah Lie Siong dan tahu-tahu pemuda itu berkelebat dan lenyap di malam gelap!

Cin Hai, Lin Lin, Kwee An, dan Ma Hoa telah memiliki ilmu kepandaian yang hampir sempurna, apalagi Cin Hai, maka biarpun gerakan kakek aneh itu cepat sekali, mereka masih saja melihat wajah dan bentuk tubuh kakek itu dan mereka berempat saling pandang.

Sedangkan Hong Beng dan Goat Lan, karena mereka dapat mengetahui bahwa ilmu gin-kang dari kakek itu masih lebih hebat daripada kepandaian kedua orang tua mereka, hal ini membikin sepasang anak muda ini penasaran sekali. Bagi mereka, orang-orang tua mereka memiliki kepandaian yang paling tinggi diantara orang-orang kang-ouw!

“Siapakah dia…?”

Pendekar Bodoh mengerutkan kening dan mengingat-ingat. Juga Kwee An dan Ma Hoa belum pernah melihat orang itu.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar