*

*

Ads

Kamis, 08 Agustus 2019

Pendekar Remaja Jilid 087

Can Po Gan memandang kepada Lili dan senyum mengejek menghias bibirnya yang tebal.

“Apa kau tidak takut melihat tanganku ini?” Ia mengacungkan kepalan tangan kanannya yang kini menjadi kemerah-merahan.

Melihat cahaya merah yang menjalar di sepanjang lengan tangan yang besar itu diam-diam Lili terkejut dan mengetahui bahwa lengan tangan itu memiliki kekuatan Ang-see-jiu yang berbahaya. Akan tetapi ia tidak takut, bahkan ia lalu membuka telapak tangannya, mengulurkan ke depan dan berkata,

“Siapa sih takut kepada lengan tangan kasar berbulu macam itu? Gunanya paling banyak hanya untuk memukul meja atau menakut-nakuti orang.”

“Bocah bermulut lancang! Kepalamu pun akan tertembus terkena pukulanku,” kata Can Po Gan.

Lili tersenyum dingin.
“Begitukah? Coba kau tembuskan telapak tanganku ini, kalau dapat membuat aku merasa sakit, aku mau berlutut di depan kakimu dan mengangkat kau sebagai Sucouw (Kakek Guru)!”

“Kau menantang!”

“Beranikah kau memukul tanganku?”

“Siapa takut? Awas, kuhancurkan tanganmu yang kecil halus!”

Setelah berkata demikian, Can Po Gan telah melakukan pukulan keras ke arah telapak tangan Lili yang diperlihatkan kepadanya.

Tanpa dapat terlihat oleh orang lain, karena gerakannya cepat sekali, tangan gadis itu bergeser sedikit dan jari telunjuknya menyentil dengan cepat dan keras ketika lengah tangan lawannya itu meluncur lewat menyerempet telapak tangannya.

“Aduh…!”

Can Po Gan menarik kembali lengannya, akan tetapi ia tidak dapat menggerakkan lengan tangan kirinya yang kini telah menjadi kaku seperti sepotong kayu itu! Ternyata ketika tadi dia memukul, dari gerakan anginnya saja Lili sudah dapat mengelak sedikit tanpa menggerakkan lengan, hanya menggerakkan pergelangan tangannya, kemudian ia telah melakukan sentilan jari telunjuk untuk menotok jalan darah pada pergelangan siku lawannya!

“Jangan main-main terhadap gadis itu Sicu!” kata Wi Kong Siansu yang sudah melangkah maju dengan beberapa kali urutan serta tepukan, totokan itu dapat dibebaskan dari lengan tangan Can Po Gan.

Akan tetapi Can Po Gan dan Can Po Tin sudah menjadi marah sekali dan mereka lalu mencabut golok masing-masing, siap maju menggempur Lili.

Akan tetapi, sambil mengeluarkan seruan nyaring, tubuh Lili mencelat ke atas meja dan kini ia telah berdiri di atas meja dengan tangan memegang sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya, yakni pedang Liong-coan-kiam!

“Kalian mau mencari mampus? Boleh, boleh, majulah!” tantangnya dengan sikap gagah sekali.

Melihat ini, kedua saudara Can itu menjadi gentar juga. Sesungguhnya, kekalahan Can Po Gan tadi bukan karena ilmu kepandaiannya jauh di bawah tingkat kepandaian Lili, akan tetapi terjadi oleh karena kurang hati-hatinya dan kesembronoannya juga karena tadinya ia memandang rendah. Sekarang melihat ketabahan dan kekerasan gadis itu, apalagi mengingat bahwa gadis itu adalah puteri Pendekar Bodoh setidaknya mereka menjadi ragu-ragu. Wi Kong Siansu lalu maju pula dan mencegah mereka.

“Ji-wi Can-sicu, tak perlu membikin ribut disini. Kelak saja pada permulaan musim semi tahun depan, kita mempunyai kesempatan banyak untuk mengadu tenaga dengan Nona ini.”






“Baiklah, kami akan menanti datangnya saat itu dengan hati tidak sabar,” kata Can Po Gan sambil duduk kembali dan menyimpan senjatanya.

Adapun Lili ketika melihat sikap lawannya ini, juga tidak mau mendesak lebih lanjut, karena gadis ini bukan tidak tahu bahwa kalau sampai terjadi pertempuran dan Wi Kong Siansu turun tangan, sukar sekali bagi dia dan suhunya untuk mencapai kemenangan.

Lili melompat turun, menyimpan pedangnya dan memberi ganti kerugian kepada pelayan restoran, kemudian ia mengajak suhunya untuk cepat-cepat meninggalkan tempat itu, karena kini dia menjadi perhatian semua orang yang tadi menyaksikan peristiwa itu.

“Jangan lupa sampaikan undanganku kepada ayahmu!”

Wi Kong Siansu masih berseru keras ketika Lili dan Lo Sian sudah tiba di luar restoran. Gadis itu tidak menjawab karena ia merasa mendongkol sekali. Terang-terangan ayahnya ditantang oleh tosu itu dan ia merasa penasaran sekali tidak dapat menghadapi tosu itu sekarang juga!

Ketika tiba di Shaning dan memasuki rumah keluarga Sie, Lo Sian disambut oleh Cin Hai dan Lin Lin dengan penuh penghormatan. Kedua suami-isteri pendekar ini merasa amat berterima kasih kepada Lo Sian dan mereka menyambutnya sebagai seorang penolong besar.

Sebaliknya Lo Sian merasa amat canggung dan juga kagum, melihat sepasang suami isteri yang namanya telah terkenal di seluruh penjuru bumi Tiongkok, akan tetapi yang ternyata bersikap ramah tamah dan sederhana, juga, suami-isteri itu amat tampan dan cantik.

Ketika mendengar penuturan Lili tentang keadaan Lo Sian, Cin Hai dan Lin Lin mengerutkan keningnya. Apalagi kelika mereka mendengar bahwa Lo Sian merasa pasti akan kematian Lie Kong Sian, kedua orang ini menjadi amat berduka.

“Tidak dapatkah kau mengingat dimana dan bagaimana Lie-suheng menemui kematiannya?” tanya Cin Hai, akan tetapi Lo Sian menggeleng kepalanya.

“Menyesal sekali, Tai-hiap. Ingatanku sudah lenyap sama sekali, dan aku sendiri pun tidak tahu mengapa aku berhal seperti ini. Sudah kucoba untuk mengerahkan ingatan, akan tetapi hasilnya nihil belaka. Hanya dapat kurasakan dan agaknya sudah terukir dalam-dalam di hatiku bahwa Lie Kong Sian Tai-hiap telah tewas, entah dengan cara bagaimana dan dimana, yang sudah pasti menurut perasaan hatiku, tewas dalam cara yang amat mengerikan!”

“Suhu sudah lupa segala macam peristiwa yang lalu, Ayah. Bahkan nama sendiri pun dia telah lupa. Akan tetapi ketika aku menjumpai Suhu dalam keadaan lupa ingatan dan rusak pikiran, Suhu berseru-seru ketakutan dan mengucapkan kata-kata ‘pemakan jantung’, entah apa yang dimaksudkan.”

Mendengar kata-kata ini, wajah Lo Sian berubah agak pucat dan ia menghela napas berkali-kali.

“Ucapan ini sudah seringkali membuatku tak dapat tidur. Aku sendiri merasa bahwa dalam ucapan ini terkandung hal yang amat hebat, akan tetapi sayang sekali, aku tak dapat mengingatnya lagi.”

Cin Hai dan Lin Lin merasa kasihan melihat keadaan penolong puterinya ini dan tahu bahwa orang ini perlu beristirahat dan mendapatkan hiburan. Maka ia merasa girang sekali mendengar keinginan Lili untuk menahan suhunya tinggal disitu. Mereka menyatakan persetujuan mereka, bahkan mereka setengah memaksa Lo Sian untuk tinggal disitu, sehingga lenyaplah keraguan dan kesungkanan dari hati Lo Sian. Semenjak saat itu, ia tinggal bersama Pendekar Bodoh dan menempati kamar bekas tempat tinggal Yousuf yang masih dibiarkan kosong.

Ketika Cin Hai dan isterinya mendengar penuturan Lili tentang Wi Kong Siansu yang menantang mereka untuk mengadu kepandaian di puncak Thai-san pada musim semi tahun depan, Cin Hai hanya tersenyum saja dan berkata tenang,

“Wi Kong Siansu seperti anak kecil saja. Betapapun juga, undangan macam ini tak boleh tidak harus disambut dengan gembira.”

Sebaliknya, Lin Lin berkata dengan muka merah,
“Pendeta sombong! Kalau memang dia merasa penasaran dan hendak mencoba kepandaian, mengapa dia tidak terus datang saja sekarang? Siapa yang takut menghadapinya?”

Mendengar percakapan suami-isteri ini, Lo Sian menjadi kagum sekali. Sikap Pendekar Bodoh demikian tenang dan tabah sebagaimana layaknya sikap seorang pendekar besar yang telah luas sekali pengetahuannya. Dan sikap dari Lin Lin demikian gagahnya, mengingatkan Lo Sian kepada watak Lili.

“Menurut pendapatku yang bodoh, seorang yang mengundang pibu dengan menyebutkan waktu dan tempat tertentu harus dihadapi dengan hati-hati. Kalau Wi Kong Siansu telah menetapkan waktu tahun depan dan mengambil tempat di puncak Thai-san, tentulah dia telah merencanakan hal ini dengan semasak-masaknya dan takkan mengherankan apabila Tai-hiap kelak tidak hanya akan bertemu dengan dia seorang, melainkan dengan orang-orang lain yang lihai.”

Cin Hai mengangguk-angguk dan Lin Lin segera berkata dengan wajah berseri,
“Lo-twako, mendengar bicaramu aku teringat kepada mendiang ayah angkatku! Kau sama benar dengan ayah, hati-hati dan jauh pandangan.”

Sebentar saja Lo Sian merasa cocok dan suka sekali dengan sepasang pendekar besar itu yang menyebutnya twako (kakak tertua), sedangkan Lili lalu menyebutnya twa-pek (uwa).

**** 087 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar