*

*

Ads

Kamis, 05 September 2019

Pendekar Remaja Jilid 137

“Kepandaiannya mengingatkan kepada suhu Bu Pun Su,” kata Lin Lin.

Tiba-tiba Cin Hai menepuk jidatnya. Ucapan isterinya ini mengingatkan dia akan sesuatu. Pernah dahulu Bu Pun Su gurunya menyebut-nyebut tentang seorang yang bernama The Kun Beng yang pernah menjadi sahabat baik gurunya. Menurut gurunya, orang ini memiliki kepandaian yang tidak berada di sebelah bawah kepandaian Bu Pun Su sendiri, yaitu ketika keduanya masih muda.

“Hmm, siapa lagi yang dapat memiliki kepandaian setingkat dengan Empat Besar selain dia?” pikir Pendekar Bodoh.

Ia tidak berkata sesuatu kepada orang lain karena hanya menduga-duga, akan tetapi diam-diam ia merasa girang bahwa putera Ang I Niocu bertemu dengan seorang guru yang demikian lihainya.

Dengan wajah girang semua orang lalu membawa Kwee Cin turun ke ruang pesta, dimana Kwee Cin disambut dengan ucapan selamat dari semua orang yang hadir. Tiba-tiba terdengar suara girang

“Kwee Cin…?”

Anak ini menengok dengan wajah berseri, lalu berseru,
“Kamangis!!”

Keduanya lalu berlari saling menghampiri dan saling berpegang lengan dengan wajah girang sekali.

“Kamangis, kau sudah berada disini?” tanya Kwee Cin.

“Aku suka sekali ikut ayah bundamu, mereka orang-orang baik sekali!” jawab Kamangis.

“Ayahmu juga seorang baik, Kamangis,” kata Kwee Cin.

Ma Hoa dan Kwee An yang mendengar ini menjadi amat terharu dan juga girang. Akan tetapi tiba-tiba Kam Wi berdiri dan berkata dengan suara lantang,

“Kebetulan sekali, Kwee-kongcu telah tertolong dan terampas kembali. Besok pagi-pagi kita boleh serbu benteng orang-orang Mongol dan kita gunakan Putera dari Malangi Khan ini sebagai perisai! Ha-ha-ha! Malangi Khan kali ini tentu akan dapat dihancurkan segala-galanya.”

“Tidak boleh!” tiba-tiba Ma Hoa menarik Kamangis dalam pelukannya dan sambil memandang ke depan dengan sepasang matanya yang tajam, nyonya ini berkata.

“Siapapun juga tidak boleh mengganggu Kamangis! Dia datang disini karena dibawa Pendekar Bodoh dan kini berada dalam perlindunganku! Siapapun juga tidak bisa mengganggunya dan aku akan mengembalikannya kepada ayah bundanya dengan baik-baik, karena orang tuanya pun telah memperlakukan anakku dengan baik pula. Siapa pun boleh tidak menyetujui omonganku, dan kalau ada yang hendak mengganggu Kamangis, boleh coba-coba mengalahkan sepasang senjataku!”

Sambil berkata demikian dengan sekali gerakan Ma Hoa telah mencabut sepasang bambu runcingnya yang terkenal lihai. Sikapnya amat gagah dan membikin orang menjadi jerih juga melihatnya!

Kam Wi adalah seorang yang berdarah panas. Mendengar ucapan ini ia sudah melotot dan hendak maju mendebat, akan tetapi tiba-tiba Kam Liong yang tidak menghendaki perpecahan, segera maju dan menjura kepada Ma Hoa dan berkata dengan suara lemah-lembut dan sikap sopan santun.

“Mohon Toanio sudi memaafkan, pamanku tadi hanya mengeluarkan kata-kata yang ditujukan karena kebenciannya kepada Malangi Khan yang sudah menyerang negara kita. Siauwte dapat memaklumi perasaan Toanio terhadap anak ini setelah Kwee-kongcu bebas dari benteng orang Mongol, dan kiranya diantara kita juga tidak ada yang ingin mencelakakan Pangeran Kamangis yang masih kecil dan tidak berdosa sesuatu. Akan tetapi, oleh karena putera Toanio telah tertolong sedangkan Putera Mahkota Mongol ini masih tertahan disini, tentu saja Malangi Khan takkan tinggal diam dan bala tentara Mongol sewaktu-waktu bisa menyerang pertahanan kita dan hal ini amat berbahaya. Oleh karena itu, sebelum mereka menyerang, kita harus mendahului mereka menyerang benteng mereka dan sesungguhnya…” ia melirik ke arah Pangeran Kamangis, “sesungguhnya dengan adanya Pangeran Mongol ini disini kita telah mendapatkan kemenangan perasaan yang amat besar. Sangat boleh jadi bahwa Malangi Khan akan menyerah dan takluk tanpa perang karena puteranya berada di dalam kekuasaan kita. Maka demi kepentingan negara dan demi kemenangan kita, harap Toanio menahan dulu anak itu, jangan dikembalikan kepada Malangi Khan sebelum selesai perang ini.”

Ma Hoa menggeleng-geleng kepalanya.
“Aku tidak setuju dengan cara-cara yang licik itu! Aku memang tidak tahu tentang siasat perang akan tetapi ayahku dahulu juga seorang panglima perang dan karena semenjak kecil aku dididik kegagahan, maka aku menghargai kegagahan dan keadilan. Di dalam pertempuran maupun perang besar, aku lebih mengutamakan kegagahan dan keadilan dan tidak suka menggunakan cara-cara yang curang dan licik. Apakah kita takut terhadap bala tentara Mongol maka harus menggunakan kecurangan? Lebih baik kalah dengan cara gagah perkasa dari pada, menang dengan menggunakan akal curang!”

Merahlah muka Kam-ciangkun mendengar ucapan ini, akan tetapi karena Pendekar Bodoh melihat betapa kedua pihak telah memerah muka, ia cepat maju dan sambil tersenyum, Cin Hai berkata,

“Sebetulnya tidak ada urusan sesuatu yang harus diributkan. Biarlah besok pagi-pagi aku pergi ke benteng Malangi Khan dan mengajak bicara dengan baik. Syukur kalau ia bisa mengakhiri perang ini dengan damai, karena betapapun juga kalau terjadi perang tentu akan mengorbankan banyak manusia. Perlukah kematian dan kehancuran ini kita hadapi kalau disana terdapat jalan lain ke arah perdamaian?”

Semua orang menyatakan setuju dengan usul ini dan urusan Pangeran Kamangis itu selanjutnya tidak disinggung-singgung lagi, pesta perjamuan berjalan terus sedangkan Kamangis dan Kwee Cin bicara dengan amat gembiranya di dalam kamar mereka. Dua orang anak ini memang merasa amat cocok dan watak mereka sama pula, gembira dan suka akan kegagahan.

**** 137 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar