*

*

Ads

Kamis, 05 September 2019

Pendekar Remaja Jilid 138

Pada keesokan harinya, baru saja Cin Hai keluar dari benteng untuk melakukan tugasnya, yaitu mencari Malangi Khan membicarakan tentang Putera Mahkota yang masih tertahan di benteng Alkata-san, tiba-tiba dari depan ia melihat debu mengebul tinggi. Cepat Pendekar Bodoh menyelinap di belakang sebatang pohon dan memandang ke depan.

Ternyata yang datang adalah sepasukan berkuda, terdiri dari kurang lebih lima puluh orang. Di depan sendiri, menunggang seekor kuda bulu putih yang besar dan kuat, adalah Malangi Khan yang berwajah muram dan keningnya berkerut.

Melihat bahwa yang datang hanya sepasukan kecil, maka Cin Hai maklum bahwa Malangi Khan hendak mendatangi benteng bukan dengan maksud menyerang, maka ia lalu melompat keluar dari balik pohon itu dan menghadang di jalan sambil mengangkat tangannya.

Ketika Malangi Khan melihat Pendekar Bodoh, ia memberi perintah berhenti dan ia cepat melompat turun dari kudanya, berlari menghampiri Cin Hai. Begitu datang, dengan wajah merah saking marahnya, Raja Mongol itu menudingkan telunjuknya kepada Pendekar Bodoh dan berkata,

“Tidak kusangka bahwa Pendekar Bodoh adalah seorang yang tidak bisa dipercaya mulutnya, seorang yang mudah melanggar janji!”

Cin Hai sudah mengerti mengapa Raja Mongol ini datang-datang begitu marah dan gemas, maka ia lalu menjura dan berkata dengan senyum simpul,

“Malangi Khan, kebetulan sekali aku pun sedang menuju ke bentengmu untuk bicara tentang puteramu.”

“Kembalikan puteraku, kalau tidak, demi nenek moyangku, aku akan mengerahkan seluruh bangsaku untuk menerjang ke selatan sampai orang terakhir. Akan kubumi hanguskan setiap jengkal tanah di selatan!”

“Sabar, sabar, Khan yang baik. Seorang Raja yang besar tidak demikian mudah dikuasai oleh nafsu marah. Dengarlah dulu, sesungguhnya tentang keponakanku Kwee Cin, bukan akulah yang merampasnya, maka jangan dikira bahwa Pendekar Bodoh tidak memegang janji.”

“Biarpun bukan kau, tentu kawan-kawanmu atas perintahmu!”

Cin Hai menggeleng kepala.
“Sayang sekali bukan, Khan yang mulia. Aku tidak tahu-menahu tentang perampasan kembali anak itu. Akan tetapi sudahlah, anak itu sudah kembali kepada ayah bundanya, adapun puteramu sedang bermain-main dengan anak itu dibawah perlindungan Kwee An dan isterinya yang amat mencintainya!”

“Puteraku tidak diganggu? Kamangis tidak apa-apa?” tanya Khan ini dengan muka gelisah.

“Siapa yang akan berani mengganggu puteramu kalau ibu dari Kwee Cin menantang setiap orang yang akan mengganggunya? Ketahuilah, ibu dari anak yang tertawan di bentengmu itu, bersedia mengorbankan nyawanya untuk melindungi puteramu!”

Cin Hai dengan sejujurnya lalu menceritakan tentang pembelaan Ma Hoa terhadap Kamangis sehingga Kaisar Mongol ini menjadi terharu sekali.

“Maafkan aku, Pendekar Bodoh. Aku telah meragukan kegagahanmu dan sifat ksatriamu! Dimana anakku?” kata Malangi Khan dengan terharu sambil memegang lengan tangan Cin Hai.

“Malangi Khan, apakah ini berarti bahwa selanjutnya kau akan mengaku sahabat kepadaku?”

“Tentu, bahkan kuakui kau dan saudara-saudaramu sebagai sanak saudaraku sendiri. Lebih dari itu, aku menyerahkan Kamangis putera tunggalku itu sebagai muridmu!”

Melihat sikap sungguh-sungguh dari Malangi Khan, Cin Hai merasa girang sekali dan bertanya lagi,

“Tidak hanya aku dan saudara-saudaraku, akan tetapi rakyat Tiongkok seluruhnya, maukah kau menganggapnya sebagai saudara? Kau takkan mengganggu mereka lagi, takkan menyerang ke selatan lagi?”

“Tidak, tidak! Dengan adanya orang-orang seperti engkau, aku merasa malu kalau harus menyerang ke selatan. Biarlah, aku lupakan pembunuhan yang sudah-sudah, yang dilakukan oleh tentara-tentara selatan di perbatasan utara. Aku akan mengunjungi kaisarmu, akan mengirim bulu ternak yang paling halus sebagai tanda penghargaan.”






Kini Cin Hai yang memegang lengan Malangi Khan dengan kuat sehingga Kaisar itu meringis kesakitan. Cin Hai yang lupa diri lalu mengendorkan pegangannya dan berkata,

“Malangi Khan kau berjanji untuk membuktikan omonganmu tadi?”

“Tentu saja! Bagiku berlaku ucapan dari bangsamu : It-gan-ki-jut, su-ma-lam-twi (Sekali perkataan keluar, empat ekor kuda takkan dapat menarik kembali).”

Bukan main girangnya hati Pendekar Bodoh. Tak disangkanya bahwa tugasnya ini terpenuhi dengan demikian mudahnya. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dari arah belakangnya dan sepasukan besar tentara kerajaan yang dipimpin oleh Kam Liong sendiri, dikawani pula oleh semua orang gagah yang berkumpul di benteng Alkata-san, datang menuju ke tempat itu!

Ini adalah gara-gara para penjaga yang melaporkan bahwa Malangi Khan bersama pasukannya yang amat kuat telah datang menyerbu!

“Pendekar Bodoh, apakah artinya ini?”

Kembali wajah Malangi Khan menjadi muram dan bercuriga akan tetapi Cin Hai segera menjawab,

“Jangan kuatir, Khan yang mulia. Akulah yang bertanggung jawab dan mencegah mereka bertindak!”

Kemudian, Cin Hai lalu menghadang di tengah jalan sambil mengangkat tangan, lalu mengerahkan tenaganya berseru dengan amat nyaringnya,

“Kam-ciangkun, jangan menyerang! Malangi Khan datang dengan maksud damai!”

Kam Liong terheran melihat Pendekar Bodoh berada di situ dan setelah mendengar seruan ini, ia lalu memberi perintah pasukannya berhenti. Ia sendiri lalu turun dari kudanya dan bersama Tiong Kun Tojin, Kam Wi, dan juga Kwee An dan yang lain-lain, Kam Liong lalu menghampiri Cin Hai dan Malangi Khan.

Dengan angkuh Malangi Khan berdiri menghadapi mereka dengan dada terangkat, sikapnya agung sesuai dengan kedudukannya, yaitu sebagai seorang Khan yang besar. Kam Liong adalah seorang panglima yang tahu diri dan tidak sombong, maka ia lalu memberi hormat terlebih dahulu yang segera dibalas oleh Malangi Khan.

“Malangi Khan, benarkah kata-kata Sie Tai-hiap tadi bahwa kau bermaksud damai?”

“Memandang muka Pendekar Bodoh, yang menjadi saudaraku dan juga menjadi guru dari puteraku, memang benar aku akan mengakhiri permusuhan, melupakan segala kejadian yang lalu dan aku akan mengadakan kunjungan kehormatan kepada Kaisarmu. Sampaikan kata-kataku ini kepada Kaisar dan juga kepada semua perajuritmu yang menjaga tapal batas, agar jangan sampai mengganggu orang-orangku yang hendak memasuki daerah Tiong-goan dalam perjalanannya berdagang.”

Bukan main girangnya hati Kam Liong mendengar ini. Hal ini memang amat diharapkan oleh Kaisar dan biarpun yang berjasa dalam hal ini adalah Pendekar Bodoh, namun karena dia adalah pemimpin besar barisan, tentu saja kepada dia pahalanya terjatuh!

Akan tetapi Kam Wi yang beradat kasar itu merasa curiga. Sambil melangkah maju ia berkata,

“Dengan latar belakang dan alasan apakah maka tiba-tiba Malangi Khan hendak berdamai?”

Malangi Khan memandang dengan mata mendelik, juga Kam Wi melotot sehingga dua orang tinggi besar itu berlagak bagaikan dua ekor ayam jantan akan bertarung. Akan tetapi Cin Hai cepat berkata,

“Kam-enghiong, Malangi Khan yang mulia telah melihat bahwa orang-orang yang tadinya dianggap musuhnya ternyata tidak mengganggu puteranya, dan hal ini melembutkan hatinya dan ia suka sekali berdamai dengan orang-orang yang tidak mengganggu anak kecil, biarpun anak itu anak musuhnya pula.”

Keterangan ini diterima oleh Kam Wi dengan muka menjadi merah karena merasa tersindir. Tadinya dia bermaksud untuk memenggal leher Putera Mahkota Mongol itu untuk melumpuhkan semangat barisan Mongol.

“Malangi Khan, untuk membuktikan kesungguhan maksud hatimu yang baik, aku mewakili panglima kerajaan yang menjadi keponakanku sendiri untuk mengundangmu makan minum di dalam benteng Alkata-san, sesuai dengan sikap persaudaraan yang kau kemukakan tadi,”

Kam Wi berkata kepada Malangi Khan. Dia adalah seorang kang-ouw yang selalu jujur dan kasar, juga amat berhati-hati, maka ia sengaja melakukan siasat ini untuk mencari tahu sikap sesungguhnya dari Malangi Khan.

“Selain Kaisarmu sendiri, aku tidak mau menerima undangan dari segala orang!” Malangi Khan berkata dengan angkuh.

“Kalau begitu, bagaimana kami bisa percaya bahwa kau mempunyai maksud damai?”

Kam Wi membentak marah dan suasana menjadi panas lagi. Melihat ini Kam Liong lalu berkata dengan halus,

“Malangi Khan, benar seperti yang diucapkan oleh pamanku tadi. Kami mengundangmu menghadiri perjamuan sederhana untuk merayakan perdamaian kita.”

Akan tetapi Malangi Khan tetap berkepala batu dan menggelengkan kepala. Akhirnya Pendekar Bodoh turun tangan. Ia menghampiri Malangi Khan dan berkata,

“Khan yang baik, mengapa kau menolak undangan persaudaraan? Marilah sekalian kau menyambut puteramu yang tentu telah lama menanti-nantikan kedatanganmu. Kau bawalah pengiring-pengiringmu, karena dalam suasana perdamaian ini, perlu sekali diadakan malam gembira antara kita sama kita!”

Mendengar ucapan ini, lenyaplah kemuraman di wajah Kaisar Mongol itu.
“Kalau kau yang mengundang, itu lain lagi, Saudaraku!”

Dan ia lalu memberi tanda dengan tangannya kepada semua pengiringnya yang berada di belakangnya, maka majulah mereka bergerak menuju ke benteng Alkata-san dalam suasana damai!

Diam-diam Kam Wi membisikkan sesuatu kepada Kam Liong,
“Suruh para penyelidikmu menyelidiki keadaan di luar, siapa tahu kalau Malangi Khan diam-diam memerintahkan penyerbuan besar.”

Kam Liong mengangguk-angguk, karena tanpa nasihat ini, dia pun tentu takkan melupakan hal ini.

Pertemuan antara Malangi Khan dan Kamangis amat menggembirakan.
“Ada orang yang mengganggumu disini?” ayah itu bertanya kaku.

Kamangis menggelengkan kepalanya, lalu menunjuk ke arah Ma Hoa.
“Aku mendapatkan perlindungan dari dia yang kuanggap seperti ibuku sendiri. Dia amat manis budi dan baik sekali, Ayah.”

Malangi Khan memandang kepada Ma Hoa lalu menjura,
“Bukankah Toanio ini Ibu dari Kwee Cin?”

Ma Hoa mengangguk, maka Malangi Khan dengan girang dan kagum lalu tertawa besar.

“Eh, Kamangis, kalau begitu mengapa kau tidak menyebut ibu saja kepadanya? Kau boleh menjadi anak angkatnya. Ha-ha-ha!”

Dan serta merta Kamangis yang amat patuh kepada ayahnya itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Ma Hoa sambil menyebut,

“Ibu…”

Ma Hoa girang dan juga terharu. Ia memeluk Kamangis dan berkata,
“Bagus, memang kau baik sekali. Patut menjadi saudara Cin-ji. Karena kau telah menjadi anak angkatku, sepatutnya kau kuberi nama julukan, yaitu Kwee Hong”

Malangi Khan tertawa terbahak-bahak.
“Bagus, bagus! Memang burung Hong merupakan lambang kebesaran dan kemuliaan. Terima kasih, Toanio!”

Pendekar Bodoh lalu bertepuk tangan diikuti oleh orang-orang lain sehingga suasana disitu gembira sekali.

“Eh, aku hampir lupa, Kamangis, hayo kau memberi hormat kepada gurumu!” Ia menuding ke arah Cin Hai.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar