Malangi Khan mengerutkan keningnya,
“Kau tahu apa tentang perang? Pendeknya, berani atau tidak kau menghadapi Sam-koksu kami?”
“Khan yang baik, aku datang dengan maksud baik, tentu saja aku akan menerima segala macam sambutan dari pihak tuan rumah. Sudah lama aku mendengar bahwa Mongol mempunyai banyak panglima-panglima yang pilihan dan jagoan maka barisan Mongol berani menyerang ke selatan. Kalau Tiga Guru Negara (Sam-koksu) sudi membuka mataku dan menambah pengetahuanku, sebelumnya aku mengucapkan banyak terima kasih!”
“Beri ruangan yang lebar! Buka ikatan tangan tamu kita ini!”
Malangi Khan berseru dengan wajah berseri. Raja bangsa Mongol ini, seperti juga raja-raja Mongol yang sudah dan yang akan datang, memang terkenal sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan dan keperwiraan. Malangi Khan sendiri juga terhitung seorang yang memiliki kepandaian silat tinggi, maka tentu saja ia merasa amat gembira melihat tamunya yang mengaku Pendekar Bodoh ini sanggup menghadapi ketiga orang koksunya! Kegembiraan Raja ini kiranya sama dengan kegembiraan seorang penggemar adu ayam melihat dua ekor ayam berlaga hendak bertarung!
“Tidak usah, Khan yang baik!” jawab Cin Hai dengan kegembiraan pula, karena pengalamannya dengan orang-orang Mongol ini mengingatkan dia akan pengalamannya di waktu muda dahulu (baca cerita Pendekar Bodoh). “Tidak usah dibuka belenggu ini, biarlah aku menghadapi tiga jago-jagomu dengan tangan terbelenggu!”
Tentu saja ucapan ini membuat semua melengak. Malangi Khan memandang ke arah Cin Hai dengan ragu-ragu dan mulailah ia bersangsi apakah orang yang dikira sebagai Pendekar Bodoh ini bukannya seorang gila.
Akan tetapi tiga orang koksu itu menjadi marah sekali. Ucapan ini saja sudah merupakan penghinaan yang tak boleh diampuni lagi! Bagaimana seorang tamu berani menantang koksu-koksu yang terkenal ini untuk dilawan dengan tangan kosong yang terbelenggu?
Sementara itu, para penghadap raja sudah mundur dan membuat lingkaran yang cukup lebar sehingga ruang persidangan itu kini berubah menjadi semacam Lian-bu-thia (ruang bermain silat).
Cin Hai menjura di hadapan Raja, lalu berjalan dengan langkah enak berlenggang kangkung menuju ke tengah ruangan itu. Kedua tangannya masih terbelenggu dan tergantung di depan perutnya.
“Khan yang mulia, hamba merasa malu untuk melawan seorang yang berotak miring!” kata Ganisa, orang tertua dari Sam-koksu itu kepada rajanya.
“Tidak apa, Ganisa, biarlah kau coba menyerangnya. Kalau dia Pendekar Bodoh yang sesungguhnya, boleh kau mengukur sampai dimana tinggi ilmu kepandaiannya sehingga ia sesombong itu. Kalau dia bukan Pendekar Bodoh melainkan seorang gila, kau boleh membunuhnya karena dia telah berani bermain gila di tempat ini!”
Mendengar perintah Raja ini, Mohopi yang paling muda lalu maju mewakili kakaknya. Ia lalu mendapat ijin dari Malangi Khan dan Mohopi lalu melompat cepat berdiri di hadapan Cin Hai.
Melihat gerakan ini, Cin Hai tersenyum lalu berkata dengan beraninya.
“Malangi Khan yang baik, bukankah tadi kau menantang padaku untuk menghadapi Sam-koksu (Tiga Guru Negara)? Mengapa yang maju hanya satu orang saja? Apakah yang dua sudah merasa jerih untuk menghadapi aku, takut kalah?”
Cin Hai sengaja mengeluarkan ucapan ini bukan tiada alasannya. Pertama karena ia ingin sekali mempengaruhi Raja itu agar tunduk kepadanya sehingga mudah diajak berunding untuk membebaskan Kwee Cin, kedua kalinya karena gerakan melompat dari Mohopi tadi sudah cukup baginya untuk menilai sampai dimana gerakan tingkat kepandaian tiga orang jago Mongol itu.
“Orang gila, kau benar-benar sombong sekali!”
Mohopi berseru marah mendengar ucapan ini dan serentak ia melakukan serangan bertubi-tubi. Pertama-tama tangan kanannya dikepal menghantam dada Cin Hai dan pukulan ini disusul dengan tusukan dua jari tangan kiri ke arah mata, lalu disusul pula dengan tendangan kaki kanan yang hebat sekali ke arah ulu hati!
Tiga macam pukulan maut ini bergerak dengan beruntun hampir berbareng dan satu saja diantara tiga serangan ini mengenai sasaran, dapat dibayangkan bahwa orang yang diserangnya pasti akan roboh. Baru hawa pukulan dan tendangan itu saja sudah menerbitkan suara bersuitan!
Akan tetapi sebelum tiga macam serangan itu melayang, lebih dulu Cin Hai telah dapat menduganya. Pendekar Bodoh adalah seorang pendekar sakti yang memiliki pengetahuan tentang pokok dasar segala macam gerakan ilmu silat, semacam pengetahuan yang menjadi raja segala macam ilmu silat. Diserang dengan gerak tipu dari cabang persilatan manapun juga, sebelum serangan itu melayang ia telah dapat menduganya hanya dengan melihat gerakan pundak dan paha untuk dapat menduga pukulan dan tendangan lawan.
Ketika semua orang, termasuk Malangi Khan, mengharapkan bahwa segebrakan serangan yang mengandung tiga macam pukulan ini akan berhasil menjatuhkan tamu itu, tahu-tahu Mohopi sendiri menjadi kebingungan dan terdengar suara ketawa dari beberapa orang panglima yang merasa geli melihat pemandangan amat lucu.
Ketika kelihatannya Pendekar Bodoh seperti mau terkena pukulan yang tiga macam itu, tiba-tiba ia merendahkan tubuhnya dengan kegesitan yang tak terduga dan dengan gerakan cepat sekali ia lalu bergerak maju menyusup di bawah kaki lawan yang menendangnya! Dengan demikian, ia telah berhasil menyelamatkan diri dan kini berada di belakang Mohopi tanpa diketahui oleh lawannya, karena memang gerakan Pendekar Bodoh tadi cepat sekali.
Ketika melihat betapa Mohopi nampak tercengang mencari-cari lawannya, Malangi Khan sendiri menjadi terheran-heran, lalu tertawa bergelak. Gerakan dari Pendekar Bodoh tadi bukanlah gerakan ilmu silat, lebih mirip gerakan seekor monyet yang lucu, akan tetapi buktinya Mohopi dapat ditipu mentah-mentah.
“Majulah, majulah kalian bertiga!” perintah Malangi Khan dengan wajah gembira sekali.
Ganisa dan Citalani atau yang biasa disebut Thai-kok (Guru Negara Pertama) dan Ji-koksu (Guru Negara kedua) jadi marah sekali melihat betapa mereka dipermainkan oleh orang mengaku Pendekar Bodoh itu. Mereka pun tadi melihat betapa gerakan Cin Hai bukanlah gerakan silat, walaupun harus mereka akui bahwa gerakan itu selain amat cepat juga tidak terduga.
Mereka masih mengira bahwa hal itu hanya kebetulan saja, akan tetapi kini mendengar perintah Malangi Khan, mereka serentak maju berbareng mengirim serangan dengan maksud sekali serang merobohkan atau menewaskan tamu ini.
Akan tetapi kembali semua orang menjadi tercengang. Sambil tersenyum-senyum, Cin Hai dapat menghindarkan diri dari semua serangan dengan hanya sedikit menggerakkan tubuhnya, miring ke kanan kiri, melompat ke depan belakang bagaikan seekor monyet yang amat gesit dan sukar diserang.
Biarpun penyerangnya ada tiga orang, akan tetapi mana dapat mereka ini melukai Cin Hai? Dahulupun ketika supek mereka masih hidup, yaitu Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu, kedua orang ini pun tidak berdaya menghadapi Pendekar Bodoh, apalagi murid keponakannya! Tingkat kepandaian Sie Cin Hai masih beberapa tingkat lebih tinggi dari tingkat kepandaian Sam-koksu ini maka biarpun mereka menyerang sambil mengerahkan semua kepandaian, tetap saja Pendekar Bodoh dapat menghadapi mereka dengan kedua tangan terbelenggu tanpa dapat teluka sedikit pun.
“Koksu, serang dia dengan senjatamu!” bentak Malangi Khan yang menjadi merah mukanya karena malu dan penasaran mengapa tiga orang jagonya yang dijadikan pelindung negara ternyata tidak bisa apa-apa terhadap seorang yang demikian sederhana saja.
Mendengar perintah ini, tiga orang itu lalu mencabut senjata masing-masing. Akan tetapi yang menarik perhatian dan membuat Cin Hai terkejut adalah senjata di tangan Thai-koksu Ganisa, karena orang tua ini memegang seuntai rantai yang ujungnya diikatkan pada sebuah tengkorak kecil yang amat mengerikan!
Teringatlah Cin Hai kepada Thian Kek Losu yang dahulu juga memiliki senjata macam ini, maka ia berlaku hati-hati sekali. Senjata Ji-koksu dan Sam-koksu tidak begitu diperhatikan karena kedua orang guru negara ke dua dan ke tiga ini hanya bersenjatakan golok besar yang biasa saja.
Kedua golok besar itu menyambar cepat hanya dielakkan oleh Cin Hai sambil mempergunakan gin-kangnya yang luar biasa, akan tetapi ketika tengkorak kecil di ujung rantai yang dipegang oleh Thaikoksu itu mengarah mukanya, ia cepat mengangkat kedua tangannya yang terbelenggu.
Ia maklum dari pengalamannya dahulu menghadapi Thai Kek Losu, bahwa tengkorak kecil ini mengandung hawa mujijat dari kekuatan sihir dan selain ini, juga di dalam tengkorak ini terdapat senjata-senjata rahasia yang berbisa dan amat berbahaya apabila ditangkis.
Oleh karena itu, tanpa mempedulikan dua buah golok yang menyambar-nyambar, ia lalu mencurahkan perhatiannya kepada tengkorak kecil itu, ketika melihat tengkorak menyambar cepat ke arah mukanya seperti hendak menciumnya, ia lalu menggerakkan kedua tangan dan sebelum Thai-koksu tahu, tengkorak itu telah kena terpegang oleh kedua tangan Pendekar Bodoh!
Thai-koksu terkejut dan hendak membetot dan menggunakan senjata rahasia yang berada dalam tengkorak, akan tetapi cepat bagaikan kilat, Pendekar Bodoh sudah mengirim tendangan ke arah pergelangan tangannya. Thai-koksu berseru keras karena dengan tepat sekali tendangan itu telah membuat sambungan pergelangan tangannya terlepas!
Sambil membawa tengkorak kecil itu, Cin Hai melanjutkan gerakannya. Sepasang golok dari Ji-koksu dan Sam-koksu menyambar dari kanan kiri, maka cepat ia lalu melangkah mundur, miring ke kanan, menggunakan sikunya “dimasukkan” ke dalam perut Sam-koksu.
“Ngek!”
Biarpun Mohopi atau Samkoksu itu mengerahkan lwee-kangnya ke arah perut, namun tentu saja ia tidak dapat menahan pukulan siku ini dan segera ia terhuyung mundur sambil memegangi perutnya yang tiba-tiba menjadi mulas! Adapun Ji-koksu yang menjadi marah sekali lalu menerjang dengan goloknya, membabat bertubi-tubi ke arah pinggang dan leher Pendekar Bodoh.
Cin Hai yang kedudukannya masih miring ketika merobohkan Mohopi tadi, melihat datangnya babatan golok, cepat menotol kedua kakinya dan mengerahkan tenaga sehingga tubuhnya lalu mencelat ke atas bagaikan seekor burung terbang.
Citalani atau Ji-koksu yang memiliki ilmu golok paling lihai diantara saudara-saudaranya, cepat menerjang terus selagi tubuh Cin Hai masih berada di udara. Akan tetapi, dengan enaknya Cin Hai menggunakan tendangan menyerong yang kelihatannya ditujukan ke arah kepala lawannya, akan tetapi sesungguhnya lalu menyerong dan menendang ke arah golok!
Seorang yang tidak memiliki ilmu gin-kang yang luar biasa tingginya tidak mungkin melakukan tendangan selagi tubuh masih berada di udara, dan lagi pula, kalau tidak mengandalkan tenaga lwee-kang yang hebat juga tak mungkin orang akan berani menendang sebatang golok yang tajam sekali. Akan tetapi, Pendekar Bodoh merupakan kekecualian karena sebagai murid terkasih dari mendiang Bu Pun Su, guru besar nomor satu dalam dunia persilatan, ia telah memiliki kepandaian yang sukar diukur sampai dimana tingginya.
Begitu ujung kakinya mengenai golok Ji-koksu, terdengar suara nyaring sekali dan golok itu menjadi rompal dan terlepas dari tangan lawannya, terus meluncur ke bawah dan menancap di lantai sampai setengahnya. Adapun Ji-koksu meringis-ringis karena dua buah jari tangannya ternyata telah patah tulangnya keserempet tendangan dari Pendekar Bodoh!
Setelah mengalahkan tiga orang lawannya, Cin Hai lalu melompat ke hadapan Malangi Khan, menjura sambil berkata,
“Harap Malangi Khan yang mulia sudi memaafkan kekasaranku tadi terhadap tiga Koksu!”
Malangi Khan untuk beberapa lama tidak dapat mengeluarkan kata-kata saking kagum dan herannya melihat kelihaian Pendekar Bodoh. Ia turun dari tempat duduknya dan dengan kedua tangan sendiri hendak membuka belenggu di tangan Cin Hai, akan tetapi sekali lagi ia melengak ketika tiba-tiba Cin Hai menggerakkan kedua tangannya dan belenggu besi itu rontok dan jatuh terlepas dari tangannya!
Tidak hanya Malangi Khan yang terkejut, bahkan semua panglima yang berada di situ menjadi pucat mukanya melihat kehebatan demonstrasi tenaga raksasa ini.
“Kau tahu apa tentang perang? Pendeknya, berani atau tidak kau menghadapi Sam-koksu kami?”
“Khan yang baik, aku datang dengan maksud baik, tentu saja aku akan menerima segala macam sambutan dari pihak tuan rumah. Sudah lama aku mendengar bahwa Mongol mempunyai banyak panglima-panglima yang pilihan dan jagoan maka barisan Mongol berani menyerang ke selatan. Kalau Tiga Guru Negara (Sam-koksu) sudi membuka mataku dan menambah pengetahuanku, sebelumnya aku mengucapkan banyak terima kasih!”
“Beri ruangan yang lebar! Buka ikatan tangan tamu kita ini!”
Malangi Khan berseru dengan wajah berseri. Raja bangsa Mongol ini, seperti juga raja-raja Mongol yang sudah dan yang akan datang, memang terkenal sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan dan keperwiraan. Malangi Khan sendiri juga terhitung seorang yang memiliki kepandaian silat tinggi, maka tentu saja ia merasa amat gembira melihat tamunya yang mengaku Pendekar Bodoh ini sanggup menghadapi ketiga orang koksunya! Kegembiraan Raja ini kiranya sama dengan kegembiraan seorang penggemar adu ayam melihat dua ekor ayam berlaga hendak bertarung!
“Tidak usah, Khan yang baik!” jawab Cin Hai dengan kegembiraan pula, karena pengalamannya dengan orang-orang Mongol ini mengingatkan dia akan pengalamannya di waktu muda dahulu (baca cerita Pendekar Bodoh). “Tidak usah dibuka belenggu ini, biarlah aku menghadapi tiga jago-jagomu dengan tangan terbelenggu!”
Tentu saja ucapan ini membuat semua melengak. Malangi Khan memandang ke arah Cin Hai dengan ragu-ragu dan mulailah ia bersangsi apakah orang yang dikira sebagai Pendekar Bodoh ini bukannya seorang gila.
Akan tetapi tiga orang koksu itu menjadi marah sekali. Ucapan ini saja sudah merupakan penghinaan yang tak boleh diampuni lagi! Bagaimana seorang tamu berani menantang koksu-koksu yang terkenal ini untuk dilawan dengan tangan kosong yang terbelenggu?
Sementara itu, para penghadap raja sudah mundur dan membuat lingkaran yang cukup lebar sehingga ruang persidangan itu kini berubah menjadi semacam Lian-bu-thia (ruang bermain silat).
Cin Hai menjura di hadapan Raja, lalu berjalan dengan langkah enak berlenggang kangkung menuju ke tengah ruangan itu. Kedua tangannya masih terbelenggu dan tergantung di depan perutnya.
“Khan yang mulia, hamba merasa malu untuk melawan seorang yang berotak miring!” kata Ganisa, orang tertua dari Sam-koksu itu kepada rajanya.
“Tidak apa, Ganisa, biarlah kau coba menyerangnya. Kalau dia Pendekar Bodoh yang sesungguhnya, boleh kau mengukur sampai dimana tinggi ilmu kepandaiannya sehingga ia sesombong itu. Kalau dia bukan Pendekar Bodoh melainkan seorang gila, kau boleh membunuhnya karena dia telah berani bermain gila di tempat ini!”
Mendengar perintah Raja ini, Mohopi yang paling muda lalu maju mewakili kakaknya. Ia lalu mendapat ijin dari Malangi Khan dan Mohopi lalu melompat cepat berdiri di hadapan Cin Hai.
Melihat gerakan ini, Cin Hai tersenyum lalu berkata dengan beraninya.
“Malangi Khan yang baik, bukankah tadi kau menantang padaku untuk menghadapi Sam-koksu (Tiga Guru Negara)? Mengapa yang maju hanya satu orang saja? Apakah yang dua sudah merasa jerih untuk menghadapi aku, takut kalah?”
Cin Hai sengaja mengeluarkan ucapan ini bukan tiada alasannya. Pertama karena ia ingin sekali mempengaruhi Raja itu agar tunduk kepadanya sehingga mudah diajak berunding untuk membebaskan Kwee Cin, kedua kalinya karena gerakan melompat dari Mohopi tadi sudah cukup baginya untuk menilai sampai dimana gerakan tingkat kepandaian tiga orang jago Mongol itu.
“Orang gila, kau benar-benar sombong sekali!”
Mohopi berseru marah mendengar ucapan ini dan serentak ia melakukan serangan bertubi-tubi. Pertama-tama tangan kanannya dikepal menghantam dada Cin Hai dan pukulan ini disusul dengan tusukan dua jari tangan kiri ke arah mata, lalu disusul pula dengan tendangan kaki kanan yang hebat sekali ke arah ulu hati!
Tiga macam pukulan maut ini bergerak dengan beruntun hampir berbareng dan satu saja diantara tiga serangan ini mengenai sasaran, dapat dibayangkan bahwa orang yang diserangnya pasti akan roboh. Baru hawa pukulan dan tendangan itu saja sudah menerbitkan suara bersuitan!
Akan tetapi sebelum tiga macam serangan itu melayang, lebih dulu Cin Hai telah dapat menduganya. Pendekar Bodoh adalah seorang pendekar sakti yang memiliki pengetahuan tentang pokok dasar segala macam gerakan ilmu silat, semacam pengetahuan yang menjadi raja segala macam ilmu silat. Diserang dengan gerak tipu dari cabang persilatan manapun juga, sebelum serangan itu melayang ia telah dapat menduganya hanya dengan melihat gerakan pundak dan paha untuk dapat menduga pukulan dan tendangan lawan.
Ketika semua orang, termasuk Malangi Khan, mengharapkan bahwa segebrakan serangan yang mengandung tiga macam pukulan ini akan berhasil menjatuhkan tamu itu, tahu-tahu Mohopi sendiri menjadi kebingungan dan terdengar suara ketawa dari beberapa orang panglima yang merasa geli melihat pemandangan amat lucu.
Ketika kelihatannya Pendekar Bodoh seperti mau terkena pukulan yang tiga macam itu, tiba-tiba ia merendahkan tubuhnya dengan kegesitan yang tak terduga dan dengan gerakan cepat sekali ia lalu bergerak maju menyusup di bawah kaki lawan yang menendangnya! Dengan demikian, ia telah berhasil menyelamatkan diri dan kini berada di belakang Mohopi tanpa diketahui oleh lawannya, karena memang gerakan Pendekar Bodoh tadi cepat sekali.
Ketika melihat betapa Mohopi nampak tercengang mencari-cari lawannya, Malangi Khan sendiri menjadi terheran-heran, lalu tertawa bergelak. Gerakan dari Pendekar Bodoh tadi bukanlah gerakan ilmu silat, lebih mirip gerakan seekor monyet yang lucu, akan tetapi buktinya Mohopi dapat ditipu mentah-mentah.
“Majulah, majulah kalian bertiga!” perintah Malangi Khan dengan wajah gembira sekali.
Ganisa dan Citalani atau yang biasa disebut Thai-kok (Guru Negara Pertama) dan Ji-koksu (Guru Negara kedua) jadi marah sekali melihat betapa mereka dipermainkan oleh orang mengaku Pendekar Bodoh itu. Mereka pun tadi melihat betapa gerakan Cin Hai bukanlah gerakan silat, walaupun harus mereka akui bahwa gerakan itu selain amat cepat juga tidak terduga.
Mereka masih mengira bahwa hal itu hanya kebetulan saja, akan tetapi kini mendengar perintah Malangi Khan, mereka serentak maju berbareng mengirim serangan dengan maksud sekali serang merobohkan atau menewaskan tamu ini.
Akan tetapi kembali semua orang menjadi tercengang. Sambil tersenyum-senyum, Cin Hai dapat menghindarkan diri dari semua serangan dengan hanya sedikit menggerakkan tubuhnya, miring ke kanan kiri, melompat ke depan belakang bagaikan seekor monyet yang amat gesit dan sukar diserang.
Biarpun penyerangnya ada tiga orang, akan tetapi mana dapat mereka ini melukai Cin Hai? Dahulupun ketika supek mereka masih hidup, yaitu Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu, kedua orang ini pun tidak berdaya menghadapi Pendekar Bodoh, apalagi murid keponakannya! Tingkat kepandaian Sie Cin Hai masih beberapa tingkat lebih tinggi dari tingkat kepandaian Sam-koksu ini maka biarpun mereka menyerang sambil mengerahkan semua kepandaian, tetap saja Pendekar Bodoh dapat menghadapi mereka dengan kedua tangan terbelenggu tanpa dapat teluka sedikit pun.
“Koksu, serang dia dengan senjatamu!” bentak Malangi Khan yang menjadi merah mukanya karena malu dan penasaran mengapa tiga orang jagonya yang dijadikan pelindung negara ternyata tidak bisa apa-apa terhadap seorang yang demikian sederhana saja.
Mendengar perintah ini, tiga orang itu lalu mencabut senjata masing-masing. Akan tetapi yang menarik perhatian dan membuat Cin Hai terkejut adalah senjata di tangan Thai-koksu Ganisa, karena orang tua ini memegang seuntai rantai yang ujungnya diikatkan pada sebuah tengkorak kecil yang amat mengerikan!
Teringatlah Cin Hai kepada Thian Kek Losu yang dahulu juga memiliki senjata macam ini, maka ia berlaku hati-hati sekali. Senjata Ji-koksu dan Sam-koksu tidak begitu diperhatikan karena kedua orang guru negara ke dua dan ke tiga ini hanya bersenjatakan golok besar yang biasa saja.
Kedua golok besar itu menyambar cepat hanya dielakkan oleh Cin Hai sambil mempergunakan gin-kangnya yang luar biasa, akan tetapi ketika tengkorak kecil di ujung rantai yang dipegang oleh Thaikoksu itu mengarah mukanya, ia cepat mengangkat kedua tangannya yang terbelenggu.
Ia maklum dari pengalamannya dahulu menghadapi Thai Kek Losu, bahwa tengkorak kecil ini mengandung hawa mujijat dari kekuatan sihir dan selain ini, juga di dalam tengkorak ini terdapat senjata-senjata rahasia yang berbisa dan amat berbahaya apabila ditangkis.
Oleh karena itu, tanpa mempedulikan dua buah golok yang menyambar-nyambar, ia lalu mencurahkan perhatiannya kepada tengkorak kecil itu, ketika melihat tengkorak menyambar cepat ke arah mukanya seperti hendak menciumnya, ia lalu menggerakkan kedua tangan dan sebelum Thai-koksu tahu, tengkorak itu telah kena terpegang oleh kedua tangan Pendekar Bodoh!
Thai-koksu terkejut dan hendak membetot dan menggunakan senjata rahasia yang berada dalam tengkorak, akan tetapi cepat bagaikan kilat, Pendekar Bodoh sudah mengirim tendangan ke arah pergelangan tangannya. Thai-koksu berseru keras karena dengan tepat sekali tendangan itu telah membuat sambungan pergelangan tangannya terlepas!
Sambil membawa tengkorak kecil itu, Cin Hai melanjutkan gerakannya. Sepasang golok dari Ji-koksu dan Sam-koksu menyambar dari kanan kiri, maka cepat ia lalu melangkah mundur, miring ke kanan, menggunakan sikunya “dimasukkan” ke dalam perut Sam-koksu.
“Ngek!”
Biarpun Mohopi atau Samkoksu itu mengerahkan lwee-kangnya ke arah perut, namun tentu saja ia tidak dapat menahan pukulan siku ini dan segera ia terhuyung mundur sambil memegangi perutnya yang tiba-tiba menjadi mulas! Adapun Ji-koksu yang menjadi marah sekali lalu menerjang dengan goloknya, membabat bertubi-tubi ke arah pinggang dan leher Pendekar Bodoh.
Cin Hai yang kedudukannya masih miring ketika merobohkan Mohopi tadi, melihat datangnya babatan golok, cepat menotol kedua kakinya dan mengerahkan tenaga sehingga tubuhnya lalu mencelat ke atas bagaikan seekor burung terbang.
Citalani atau Ji-koksu yang memiliki ilmu golok paling lihai diantara saudara-saudaranya, cepat menerjang terus selagi tubuh Cin Hai masih berada di udara. Akan tetapi, dengan enaknya Cin Hai menggunakan tendangan menyerong yang kelihatannya ditujukan ke arah kepala lawannya, akan tetapi sesungguhnya lalu menyerong dan menendang ke arah golok!
Seorang yang tidak memiliki ilmu gin-kang yang luar biasa tingginya tidak mungkin melakukan tendangan selagi tubuh masih berada di udara, dan lagi pula, kalau tidak mengandalkan tenaga lwee-kang yang hebat juga tak mungkin orang akan berani menendang sebatang golok yang tajam sekali. Akan tetapi, Pendekar Bodoh merupakan kekecualian karena sebagai murid terkasih dari mendiang Bu Pun Su, guru besar nomor satu dalam dunia persilatan, ia telah memiliki kepandaian yang sukar diukur sampai dimana tingginya.
Begitu ujung kakinya mengenai golok Ji-koksu, terdengar suara nyaring sekali dan golok itu menjadi rompal dan terlepas dari tangan lawannya, terus meluncur ke bawah dan menancap di lantai sampai setengahnya. Adapun Ji-koksu meringis-ringis karena dua buah jari tangannya ternyata telah patah tulangnya keserempet tendangan dari Pendekar Bodoh!
Setelah mengalahkan tiga orang lawannya, Cin Hai lalu melompat ke hadapan Malangi Khan, menjura sambil berkata,
“Harap Malangi Khan yang mulia sudi memaafkan kekasaranku tadi terhadap tiga Koksu!”
Malangi Khan untuk beberapa lama tidak dapat mengeluarkan kata-kata saking kagum dan herannya melihat kelihaian Pendekar Bodoh. Ia turun dari tempat duduknya dan dengan kedua tangan sendiri hendak membuka belenggu di tangan Cin Hai, akan tetapi sekali lagi ia melengak ketika tiba-tiba Cin Hai menggerakkan kedua tangannya dan belenggu besi itu rontok dan jatuh terlepas dari tangannya!
Tidak hanya Malangi Khan yang terkejut, bahkan semua panglima yang berada di situ menjadi pucat mukanya melihat kehebatan demonstrasi tenaga raksasa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar