Rabu, 28 Agustus 2019

Pendekar Remaja Jilid 129

Di bawah sinar lampu, Kwee An melihat dengan heran betapa kakek pesolek ini nampak matang biru mukanya, bahkan pipinya sebelah kanan nampak ada tanda goresan-goresan dan kedua matanya serta pipinya nampak biru seakan-akan mukanya telah berkali-kali ditampar orang! Kakek ini tidak hentinya menyumpah-nyumpah,

“Akan kubunuh tujuh turunan… kubunuh tujuh turunan…!” Kemudian ia memegang pinggangnya dan membungkuk-bungkuk. “Aduh… aduh… jahanam benar Pendekar Bodoh aduh…!”

Setelah tiba di depan rumah itu, para penjaga segera berdiri dan memberi hormat kepada Ban Sai Cinjin. Kwee An melihat bahwa Ban Sai Cinjin berjalan dengan sukar, dibantu Coa-ong Lojin dan di belakangnya nampak beberapa orang lain.

Mereka ini sebetulnya adalah pengurus-pengurus dari Coa-tung Kai-pang atau pembantu-pembantu dari Coa-ong Lojin yang dahulu membantu Ban Sai Cinjin melakukan pencurian di Tiang-an dan selain menculik Kwee Cin juga telah mencuri kitab Thian-te Ban-yo Pit-kip.

“Apakah dua orang muda itu masih berada di kamar masing-masing?” tanyanya kepada para penjaga.

“Masih ada, mereka tak pernah pergi keluar dari kamar!” jawab para penjaga.

Tiba-tiba terdengar suara Hong Beng dari kamarnya,
“Ban Sai Cinjin, kau orang yang berhati curang dan pengecut! Kalau kau tidak mau disebut seorang rendah yang tidak pantas hidup di dunia kang-ouw, kau lepaskan Kwee Cin dan mari kita bertempur seribu jurus sampai seorang diantara kita mampus!”

“Tutup mulut! Kau… kau anak Pendekar Bodoh si bangsat kurang ajar! Awas kalau ada kesempatan, akan kubunuh tujuh turunan. Aku tak hendak bicara dengan kau! Kau mau pergi dari sini, pergilah! Aku hanya akan membunuh Kwee Cin dan Nona Goat Lan. Pergi dari sini, aku tidak butuh orang macam kau!”

Terdengar Hong Beng tertawa bergelak, mentertawakan Ban Sai Cinjin yang menyumpah-nyumpah tiada hentinya, kemudian kakek pesolek ini memasuki kamar Goat Lan diikuti oleh Coa-ong Lojin.

Dengan hati berdebar Kwee An memasang telinga mendengarkan percakapan itu. Dengan amat pandainya, ia dapat mempergunakan kesempatan ketika Ban Sai Cinjin ribut mulut dengan Hong Beng, untuk melompat ke atas genteng dan kini berada di atas kamar Goat Lan!

“Nona Kwee,” ia mendengar suara parau dari Ban Sai Cinjin, “apakah kau masih belum mau insyaf? Alangkah keras kepala kau? Kau sudah ditipu oleh kaisar lalim, sudah dihina, akan tetapi masih saja kau bersetia kepadanya? Kau menyelamatkan nyawa Putera Mahkota, akan tetapi apa yang kau dapat? Hukuman buang! Kau dihina, hendak dijadikan selir, kemudian kau dibuang ke tempat yang seperti neraka di utara ini. Apakah kau tidak mempunyai perasaan keangkuhan sama sekali? Sekarang adikmu berada di tanganku, dan aku tidak minta banyak. Asal kau suka membantu kami, membantu sampai Kaisar lalim itu terguling dari kedudukannya, tidak saja adikmu akan selamat, bahkan banyak kemungkinan adikmu akan menjadi seorang pangeran!”

“Ban Sai Cinjin, percuma saja kau mengoceh disini! Aku tetap tidak mau mendengar ocehanmu dan aku akan menuruti permintaanmu tidak keluar dari tempat ini. Akan tetapi sebaliknya, kau pun jangan sekali-kali berani mengganggu adikku, karena kalau kau sampai berani mengganggunya, aku akan mempertahankan nyawaku untuk memukul sampai remuk batok kepalamu!”

Ban Sai Cinjin menyumpah-nyumpah dan tersaruk-saruk keluar dari kamar itu. Masih terdengar keluhannya ketika ia menuju ke bangunan dimana ia tinggal. Malam itu masih terdengar terus keluhannya ketika ia mengobati luka-luka di tubuhnya yang membuat ia merasa sakit seluruh tubuhnya, terutama sekali hatinya yang terasa amat sakit.

Malam hari itu sial sekali baginya. Siang tadi ia menghadap Malangi Khan dan hendak minta Kwee Cin, akan tetapi Malangi Khan tidak memperbolehkan, karena Kwee Cin ternyata telah menjadi sahabat yang karib sekali dengan puteranya, Pangeran Kamangis. Dengan hati mendongkol Ban Sai Cinjin kembali ke kampung di belakang istana akan tetapi di tengah jalan ia bertemu dengan Pendekar Bodoh!

“Bangsat tua bangka, kau sungguh curang dan tidak tahu malu!” Pendekar Bodoh memaki. “Orang macam kau sepatutnya dibunuh, akan tetapi karena kita ada perjanjian untuk bertemu di puncak Thai-san, kali ini kau takkan kubunuh, hanya ingin memberi hajaran!”

Setelah berkata demikian, tanpa banyak cakap lagi Cin Hai menyerangnya dengan hebat! Coa-ong Lojin dan kawan-kawannya cepat membantu, akan tetapi ketika Cin Hai mencabut Liong-cu-kiam, sekali gerakan saja senjata mereka terbabat putus!






Terpaksa mereka mundur lagi dan Ban Sai Cinjin yang melawan mati-matian dibuat permainan oleh Cin Hai! Mukanya ditampar berkali-kali dan pukulan serta tendangan menghujani tubuhnya. Cin Hai sengaja tidak memukul atau menendang dengan sepenuh tenaga, namun cukup membuat muka kakek itu menjadi matang biru dan tubuhnya menjadi sakit semua.

Setelah Ban Sai Cinjin menjadi setengah pingsan, barulah Cin Hai meninggalkannya! Tentu saja si Huncwe Maut merasa terhina sekali dan ia menyumpah-nyumpah. Kebenciannya terhadap Pendekar Bodoh makin meluap, akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Sementara itu, Pendekar Bodoh telah menghilang di malam gelap, entah kemana perginya.

Setelah Ban Sai Cinjin pergi, Goat Lan menengok ke atas dan berkata sambil tersenyum,

“Ayah, turunlah sekarang!”

Kwee An girang sekali melihat ketajaman mata dan telinga puterinya. Ia segera membuka genteng dan melompat turun ke dalam kamar anaknya. Goat Lan memegang tangan ayahnya dan berkata,

“Ayah, bagaimana kau bisa datang ke tempat ini?”

Gadis ini mengeluarkan ucapan dengan keras sehingga Kwee An cepat memberi tanda dengan tangannya. Akan tetapi Goat Lan tertawa,

“Ayah, kita bukan ditawan. Aku berada disini atas kehendakku sendiri, mengapa mesti takut? Biarlah Ban Sai Cinjin monyet tua itu mengetahui bahwa kau berada disini, biar dia makin panas dan jengkel. Dia bisa berbuat apa terhadap kita?”

Mendengar ucapan ini, Kwee An menarik napas panjang.
“Asal saja dia tidak dapat mengganggu Cin-ji, aku pun tidak takut apa-apa.”

Sementara itu, Hong Beng yang mendengar suara Goat Lan, dengan girang lalu datang dan memberi hormat kepada Kwee An. Mereka bertiga bicara dengan asyik sekali sehingga melupakan waktu.

Ketika Hong Beng mendengar bahwa ayahnya juga masuk ke dalam benteng ini dan bahkan mendatangi istana Malangi Khan dan mendengar bahwa sebetulnya Kwee Cin telah berada di istana dan tidak di dalam tangan Ban Sai Cinjin, Hong Beng lalu bangkit berdiri.

“Ah, kalau kita tahu hal itu, tidak usah lama-lama kita berada di tempat ini,” katanya kepada Goat Lan yang mengangguk menyatakan persetujuannya. “Kalau begitu, biarlah aku pergi sekarang juga menyusul ayah. Siapa tahu kalau dia membutuhkan bantuan!”

Kwee An dan Goat Lan tidak mencegahnya, maka Hong Beng lalu melompat keluar dan pergi dari rumah itu dengan cepat!

Ketika Ban Sai Cinjin mendapat laporan bahwa Hong Beng pergi dari kamar tahanan dan Goat Lan menerima seorang tamu laki-laki yang disebut sebagai ayahnya, ia merasa terkejut dan juga marah sekali. Cepat ia mengumpulkan orang-orangnya dan mengerahkan semua perajurit Mongol yang berada di situ untuk mengurung rumah tahanan itu!

Kemudian, pada keesokan harinya setelah ia merasa bahwa tubuhnya tidak begitu sakit-sakit lagi, bersama Coa-ong Lojin ia menghampiri rumah itu dan sekali ia mendorong, daun pintu terbuka.

Ia menjadi marah sekali ketika melihat bahwa Goat Lan telah berdiri di situ dengan seorang laki-laki yang bukan lain adalah Kwee An, orang yang pernah dijumpainya dan yang telah memaksa Coa-ong Lojin mengobati Lie Siong dahulu itu. Kwee An melihat Goat Lan hendak bergerak menyerang Ban Sai Cinjin, maka cepat ia memegang pundak anaknya.

“Sabar dulu, Lan-ji,” katanya, kemudian sambil tersenyum mengejek ia memandang kepada Ban Sai Cinjin. “Selamat pagi, Ban Sai Cinjin, dan selamat bertemu kembali. Agaknya kau masih belum puas menerima gebukan dari Pendekar Bodoh dan masih hendak minta tambah dari aku!”

Ban Sai Cinjin marah sekali dan kemarahannya ini membuat dadanya yang kena tendang oleh Cin Hai terasa sakit lagi. Ia berdiri tidak tetap dan hanya setelah Coa-ong Lojin memegang punggungnya, ia dapat berdiri teguh. Huncwenya terpegang dengan tangan kiri, kosong tak berasap, dan dengan tangan kanannya ia menudingkan telunjuknya ke arah Kwee An.

“Orang she Kwee, jangan kau banyak berlagak disini! Sudah habis kesabaranku dan sekarang juga aku hendak menyuruh orang membunuh puteramu yang telah kutawan!”

Akan tetapi, Goat Lan dan Kwee An hanya tertawa, bahkan Kwee An tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, Ban Sai Cinjin, memang sudah menjadi kebiasaan orang macammu ini selalu menggunakan gertakan, ancaman, penipuan dan lain-lain perbuatan curang dan licin. Apa kau kira sekarang kau dapat menggertak lagi? Aku tahu bahwa puteraku setelah kau culik secara curang dan pengecut, sekarang telah berada bersama putera Malangi Khan dan kau tidak dapat mengganggunya! Sekarang, aku tidak akan berlaku murah seperti Pendekar Bodoh! Untuk perbuatanmu menculik puteraku saja kau sudah layak kubunuh. Akan tetapi, aku masih hendak memberi kelonggaran kepadamu. Kembalikanlah Thian-te Ban-yo Pit-kip, baru aku akan mengampuni nyawa anjingmu!”

“Manusia sombong! Bukalah lebar-lebar matamu dan lihat, rumah ini telah terkurung oleh seratus lebih tentara, dan kau masih sanggup menyombong? Ha, untuk apa kitab itu kalau sebentar lagi kau dan anakmu akan mampus dibawah hujan senjata?”

“Setan Tua, mampuslah kau!”

Goat Lan yang sudah tak dapat menahan sabarnya lagi lalu menyerang dengan tangan kosong! Biarpun serangan ini dilakukan dengan tangan kosong, namun Ban Sai Cinjin maklum akan kelihaian gadis ini, cepat ia melompat keluar dari pintu, diikuti oleh Coa-ong Lojin.

Goat Lan mencabut bambu runcingnya dan mengejar ke luar, disusul oleh ayahnya yang sudah mencabut pedangnya. Akan tetapi, benar saja, di luar mereka disambut oleh keroyokan hebat. Tidak saja Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin yang mengeroyok, bahkan di situ terdapat Can Po Gan dan Can Po Tin, dua orang jago dari Shan-tung yang menjadi sahabat Wi Kong Siansu dan yang pernah bertemu dengan Lili dan Lo Sian di rumah makan.

Juga di situ terdapat pengurus-pengurus tingkat satu dari Coa-tung Kai-pang, perwira-perwira Mongol yang pandai bermain golok yang jumlahnya semua menjadi empat belas orang!

Kagetlah Goat Lan melihat ini, karena sesungguhnya ia tidak pernah menduga bahwa di tempat itu terdapat orang-orang sedemikian banyaknya, yaitu orang-orang pandai. Melihat gerakan-gerakan senjata mereka, ia maklum bahwa orang-orang ini tidak boleh dipandang ringan dan keadaannya bersama ayahnya bukannya tidak berbahaya. Apalagi ketika ia menengok, tempat itu sudah terkurung oleh barisan yang amat tebal, barisan orang Mongol yang bersenjata lengkap, jumlahnya tidak kurang dari seratus orang!

Ban Sai Cinjin biarpun sudah dihajar sampai babak bundas oleh Cin Hai, akan tetapi ia tidak menderita luka dalam. Kini setelah menghadapi pertempuran besar dan karena ia memang marah sekali, seketika itu juga tubuhnya terasa segar kembali. Ia menyerang dengan huncwenya, dan permainan huncwenya ini tetap saja yang paling berbahaya di antara semua pengeroyok.

Ban Sai Cinjin menyerang Kwee An dan dibantu juga oleh Coa-ong Lojin, yang masih merasa sakit hati terhadap Kwee An. Raja pengemis ini mainkan sebatang tongkat ular yang ujungnya berbisa sehingga sekali saja ujung tongkatnya mengenai kulit musuhnya, pasti lawannya akan roboh dan tewas! Selain Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin, masih ada lagi lima orang perwira Mongol yang cukup kosen yang mengeroyok Kwee An!

Adapun Goat Lan yang mainkan sepasang bambu runcing, menghadapi keroyokan dua orang jago Shan-tung itu. Sebagaimana diketahui, dua orang ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi, barangkali tidak di bawah tingkat kepandaian Coa-ong Lojin, apalagi Po Tin yang bertubuh kecil itu ternyata memiliki gerakan yang amat lincah dan tenaga lwee-kangnya hebat, berbeda dengan Po Gan yang memiliki tenaga gwa-kang seperti seekor gajah!

Selain dua orang jago Shan-tung yang berhasil dibeli oleh Ban Sai Cinjin ini, Goat Lan masih dikeroyok oleh lima orang pengurus kelas satu dari Coa-ong Kai-pang yang mengeroyok dengan tongkat ular mereka yang berbahaya.

Akan tetapi Goat Lan dan Kwee An tidak menjadi gentar, bahkan dua orang ini merasa gembira. Wajah mereka berseri-seri dan mereka seakan-akan hendak berlomba merobohkan lawan! Ayah dan anak ini merasa lega karena berita tentang Kwee Cin yang tidak berada dalam cengkeraman Ban Sai Cinjin lagi.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar