*

*

Ads

Rabu, 04 September 2019

Pendekar Remaja Jilid 133

Lie Siong yang diserang dengan hebat oleh Ban Sai Cinjin tidak menangkis maupun mengelak. Sebaliknya yang bergerak adalah kakek tua renta itu yang menggerakkan kedua tangannya sambil terkekeh-kekeh.

Biarpun kedua tangannya kurus tinggal kulit dan tulang dan gerakannya lambat sekali, namun Ban Sai Cinjin terkejut setengah mati. Sekali sambar saja huncwe Ban Sai Cinjin itu telah kena direbut lalu dibalikkan dan kini huncwe itu menyodok ke arah perut Ban Sai Cinjin, dibarengi dengan tangan kiri ditamparkan ke arah kepala kakek mewah itu.

Angin pukulan dari kakek tua renta ini terasa oleh Ban Sai Cinjin bagaikan angin puyuh menyambar ke arahnya, maka tentu saja ia cepat-cepat mengelak, akan tetapi sebelum ia mengetahui bagaimana kakek ini bergerak, Kwee Cin yang berada di dalam pondongannya telah terbang dan pindah ke dalam pondongan kakek tua bangka itu!

“Tangkap…! Keroyok…!!”

Ban Sai Cinjin memekik bingung melihat kelihaian kakek ini dan para panglima lalu maju mengurung, dipimpin sendiri oleh Malangi Khan yang merasa gelisah melihat betapa penukar puteranya itu telah dirampas orang.

Ban Sai Cinjin sendiri masih tertegun karena baru satu kali selama hidupnya ia menyaksikan orang yang tingkat kepandaiannya sama dengan kakek tua renta ini, yaitu Bu Pun Su yang sudah mati. Tadinya ia mengira bahwa di dunia ini tidak ada orang lain yang memiliki kepandaian seperti Bu Pun Su, akan tetapi sekarang ia menghadapi kakek tua renta yang sudah mau mati saking tuanya ini, ia menjadi bingung dan terkejut.

Agaknya kepandaian kakek tua renta ini tidak berada di sebelah bawah kepandaian Empat Besar, yaitu Bu Pun Su, Hok Peng Taisu, Pok Pok Sianjin, dan Swi Kiat Siansu yang semuanya sudah meninggal dunia. Bagi Ban Sai Cinjin, agaknya tidak ada tokoh besar dunia kang-ouw yang tidak diketahui atau dikenalnya, akan tetapi selama hidupnya belum pernah ia melihat atau mendengar tentang kakek yang aneh ini!

Adapun kakek itu biarpun dikurung oleh panglima-panglima yang bersenjata tajam, kelihatan enak-enak saja. Ia mengisap huncwe rampasan itu yang masih ada tembakaunya mengepul, disedotnya beberapa kali sambil matanya berkedap-kedip dan memondong Kwee Cin yang memandang dengan ketakutan.

Sementara itu, karena para panglima sudah mulai menyerang, Lie Siong mencabut pedang naganya dan setelah ia menggerakkan pedangnya, terdengar suara nyaring dan beberapa batang golok atau tombak menjadi patah. Akan tetapi kurungan tidak mengendur, bahkan makin merapat.

Kakek tua yang menyedot asap huncwe, nampak mengernyitkan hidungnya dan wajahnya menjadi makin buruk.

“Ah, huncwe tidak enak, tembakaunya apek berbau busuk!” katanya menyengir lalu ia menyodorkan huncwe itu kembali kepada Ban Sai Cinjin.

Si Huncwe Maut ini terbelalak matanya memandang penuh keheranan karena tadi ia melihat sendiri betapa kakek ini telah menyedot sedikitnya lima kali dan melihat nyala api di dalam huncwe, tentu banyak sekali asap yang tersedot. Akan tetapi ia tidak melihat asap itu keluar lagi seakan-akan lima kali sedotan itu membuat asapnya tersimpan di dalam dada Si Kakek Aneh. Padahal tembakau yang dipasangnya di dalam huncwenya adalah tembakau hitam yang beracun! Oleh karena kaget dan heran, setelah menerima kembali huncwenya, ia hanya berdiri bengong.

Kakek itu memandang ke arah Lie Siong yang terdesak hebat, dan kini Malangi Khan sendiri lalu memimpin sebagian orangnya untuk menyerang kakek itu dan merampas kembali Kwee Cin.

Akan tetapi tiba-tiba kakek itu terkekeh-kekeh dan dari mulutnya menyambar keluar asap hitam bergulung-gulung seperti naga hitam yang jahat. Inilah asap dari huncwe Ban Sai Cinjin yang tadi disimpan dengan kekuatan lwee-kang dan khi-kang luar biasa sekali dan kini dikeluarkan untuk menyerang para pengeroyok.

“Awas, mundur…! Asap itu berbahaya sekali…!”

Ban Sai Cinjin berteriak gagap, karena ia maklum akan berbahayanya asap huncwenya sendiri yang mengandung racun hebat. Akan tetapi beberapa orang sudah tersambar oleh asap itu dan seketika menjadi roboh pingsan. Yang lain-lain menjadi takut dan mundur.

Kakek itu mendekati Lie Siong.
“Muridku, hayo kita pergi!”

Baru saja ucapan ini habis dikeluarkan, tiba-tiba tubuhnya dan tubuh Lie Siong melayang cepat sekali ke atas genteng dan lenyap dari pandangan mata! Kembali Ban Sai Cinjin terkejut. Itu adalah ilmu gin-kang yang luar biasa sekali. Bagaimana pemuda itu tiba-tiba saja telah memiliki kepandaian ini?

Melihat gerakan pedang pemuda tadi, masih tidak jauh bedanya dengan dulu. Setelah berpikir sebentar, dapatlah ia menduga bahwa tentu pemuda itu dipegang lengannya oleh kakek yang sakti tadi dan dibawa melompat pergi. Ketika ia memandang ke arah Malangi Khan, dari sepasang mata Raja Mongol ini terbayang maut yang ditujukan kepadanya, sehingga ia menjadi kaget. Ia tahu bahwa Raja ini marah sekali kepadanya dan menganggap dia menjadi biang keladi sehingga Kwee Cin terampas orang.

“Biar hamba mengejar mereka!” seru Ban Sai Cinjin dan cepat ia pun melayang ke atas genteng dan melarikan diri!

Kakek mewah ini tahu bahwa dia tidak sanggup mengejar, dan alasannya ini hanya dipergunakan agar dapat melarikan diri dari situ. Ia tahu bahwa setelah kini Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya datang dan berada di benteng Alkata-san, amat berbahaya baginya berada di tempat itu. Ia lalu pergi cepat sekali dengan tujuan menyusul muridnya, Bouw Hun Ti, untuk mengumpulkan pembantu-pembantu yang pandai guna menghadapi Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya yang ditakuti.

**** 133 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar