*

*

Ads

Rabu, 04 September 2019

Pendekar Remaja Jilid 134

Bagaimana Lie Siong bisa datang bersama kakek tua renta itu dan siapa pula kakek yang aneh itu?

Seperti telah diketahui, setelah Lie Siong bertemu dengan Lili dan Ma Hoa dan meninggalkan Lilani pada suku bangsanya sendiri yang kemudian diantar oleh Lili dan Ma Hoa ke benteng Alkata-san, Lie Siong lalu pergi seorang diri untuk mencari Ban Sai Cinjin guna membalas dendam ayahnya dan juga untuk mencoba menolong Kwee Cin yang diculik oleh kakek mewah berhuncwe maut itu.

Ia telah mendengar bahwa Ban Sai Cinjin membantu bala tentara Mongol, maka ia lalu melakukan penyelidikan di sekitar daerah pegunungan yang dijadikan markas besar bala tentara Mongol. Tentu saja dia tidak berani memasuki perbentengan itu karena tahu bahwa perbuatan ini hanya berarti mengantar nyawa saja. Di dalam benteng itu selain terdapat puluhan ribu, bahkan mungkin ratusan ribu tentara Mongol juga terdapat banyak panglima-panglima kosen dan orang-orang gagah seperti Ban Sai Cinjin dan lain-lain.

Demikianlah ia hanya bersembunyi saja sambil menanti-nanti kalau-kalau ada kesempatan baik. Banyak akal terpikirkan dalam otaknya. Ia dapat menangkap seorang perajurit Mongol dan kemudian menyamar sebagai perajurit itu memasuki benteng. Atau ia bisa menanti sampai Ban Sai Cinjin keluar untuk diserang dengan tiba-tiba atau menyelidiki dimana ditahannya Kwee Cin untuk kemudian coba dirampasnya.

Ketika ia sedang berjalan di dalam hutan di kaki bukit itu, tiba-tiba ia mendengar suara orang tertawa-tawa. Suara ketawa ini seperti suara ketawa anak kecil yang sedang bermain-main dengan riang gembira.

Heran dan kagetlah Lie Siong mendengar suara ini. Bagaimana di dalam hutan seperti ini, dekat perbentengan tentara Mongol dan di daerah pertempuran, bisa terdengar suara ketawa anak-anak yang bermain-main? Ia segera mencari siapa yang ketawa itu dan ketika ia keluar dari belakang sebatang pohon besar, ia berdiri terpukau saking herannya.

Di bawah pohon itu nampak seorang kakek yang kurus kering dan bongkok, kulit mukanya keriputan sehingga sukar sekali dibedakan mana hidung mana mulut, seorang kakek ompong yang tak berdaging lagi, tengah bermain-main seorang diri sambil berjongkok di atas tanah!

Ketika Lie Siong memandang penuh perhatian, ternyata bahwa kakek tua renta ini sedang bermain gundu seorang diri dan tiap kali ia menyentil gundunya mengenai gundu yang lain, ia tertawa-tawa puas seperti seorang anak kecil! Hampir saja Lie Siong tak dapat menahan kegelian hatinya ketika melihat kakek yang saking tuanya telah kembali menjadi kekanak-kanakan ini!

Akan tetapi ketika ia memandang cara kakek itu bermain gundu, kegeliannya lenyap dan jangankan menertawakannya, bahkan kini sepasang mata pemuda itu menjadi terbelalak.

Ternyata bahwa cara kakek itu bermain gundu amat istimewa sekali. Gundunya terbuat dari tanah liat dikeringkan, jumlahnya sepuluh butir. Yang hebat ialah tiap kali kakek itu menyentil “jagonya”, maka gundunya itu akan meluncur berlenggak-lenggok, kemudian dengan tepat sekali lalu membentur sembilan butir gundu itu satu demi satu, seakan-akan jagonya itu hidup dan memiliki mata yang dapat mencari-cari sembilan lawannya!

Tentu saja Lie Siong mengerti bahwa hal ini baru mungkin dilakukan kalau orang memiliki tenaga lwee-kang yang sempurna. Dia sendiri paling banyak bisa menyentil gundu untuk membentur tiga atau empat gundu lain sebelum berhenti, akan tetapi kakek ini biarpun gundu jagonya telah membentur sembilan gundu lain masih saja gundu jagonya itu dapat berputar kembali ke tangannya yang sudah siap menanti.

Dan juga gundu-gundu yang terbentur itu terlempar pada jarak tertentu sehingga sembilan butir gundu itu membentuk suatu garis-garis perbintangan yang luar biasa sekali!

“Hebat…” bisiknya di dalam hati dan saking kagumnya bibirnya ikut bergerak.

Tanpa menoleh kepadanya, kakek tua renta itu lalu berkata,
“Hayo, sekarang giliranmu, orang muda. Kau bidikkan gundumu!”

Ketika Lie Siong diam saja, kakek itu menengok ke arahnya dan kagetlah pemuda itu ketika melihat sepasang mata bagaikan mata harimau menyambarnya.

“Aku… aku tidak punya gundu,” jawabnya gagap.

Kakek itu tertawa terkekeh-kekeh.
“Ha-ha-ha, aku lupa! Kau masih bodoh bermain gundu, tentu saja gundumu habis, kalah semua olehku. Nah, ini, kuberi hadiah sebuah gundu agar kau dapat ikut bermain-main.”






Tangan kiri kakek itu mencengkeram ke arah batu karang hitam yang berdiri di sebelah kirinya. Terdengar suara “krak” dan gempallah sepotong batu karang! Kemudian, seakan-akan batu karang itu hanya sepotong tahu saja kakek itu lalu mencuwil-cuwilnya dan membentuk sebutir gundu yang bundar dan halus dalam sekejab mata.

Dengan hati berdebar kagum, Lie Siong menerima gundu istimewa itu dan ketika ia menekan, gundu itu memang benar terbuat dari batu karang yang luar biasa kerasnya, akan tetapi yang diperlakukan seperti tanah liat basah oleh kakek luar biasa ini.

“Hayo, bidiklah!” kakek itu berseru girang.

Lie Siong terpaksa lalu berjongkok dan melayani kakek ini bermain gundu! Ia membidikkan gundunya sambil berpikir. Gundu yang diberikan kepadanya dan menjadi gundu jagonya adalah terbuat dari batu karang yang keras dan lebih berat daripada gundu-gundu yang berada di atas tanah, karena semua gundu itu terbuat dari tanah liat yang kering. Mana bisa gundunya yang berat itu akan membentur gundu lain ke dua, ke tiga dan seterusnya? Paling-paling yang akan terpental adalah gundu yang dibentur oleh gundu jagonya!

Setelah berpikir sebentar, Lie Siong lalu membidik dan melepaskan gundunya dengan keras. Gundunya menendang gundu terdekat yang mencelat dan membentur gundu ke dua yang sebaliknya terpentat pula membentur yang ke tiga. Demikianlah, dengan pengerahan tenaga yang besar dan tepat, Lie Siong berhasil membuat gundu-gundu itu saling bentur sampal gundu ke lima, akan tetapi sampai kepada gundu ke lima, tenaga benturan telah habis dan mogok di jalan.

“Kau licik…!” kakek itu bersungut. “Gundu jagomu diam saja, yang membentur adalah gundu sasaran! Tidak boleh begitu!”

“Tentu saja, karena gundu jagoku lebih berat dan keras sedangkan gundu-gundu sasaran ringan sekali!”

Lie Siong membantah dan mereka ini benar-benar seperti dua orang anak-anak yang sedang bersitegang dalam permainan mereka.

“Siapa bilang gundu jagomu keras dan berat? Coba lihat sekarang hendak kubidik gundumu, lihat saja mana yang lebih keras!”

Sambil berkata demikian, kakek itu mempergunakan gundu jagonya yang kecil dan terbuat dari tanah liat yang dikeringkan untuk disentil dan membentur gundu jago Lie Siong yang terbuat dari batu karang.

“Prak!!”

Kalau dibicarakan memang sungguh aneh dan mengherankan, bahkan Lie Siong yang sudah mahir dalam ilmu lwee-kang dan tahu akan kemujijatannya tenaga lwee-kang, masih terbelalak memandang karena belum pernah ia menyaksikan demonstrasi tenaga lwee-kang yang demikian hebatnya.

Begitu dua butir kelereng atau gundu itu beradu, gundu jagonya yang terbuat dari batu karang itu telah hancur berhamburan, sedangkan gundu kakek itu yang terbuat dari tanah liat kering, sama sekali tidak apa-apa, gugus sedikit pun tidak!

Lie Siong adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Melihat sikap kakek ini dan menyaksikan kehebatan tenaga lwee-kangnya, ia dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang sakti yang telah menjadi pikun atau berubah menjadi anak-anak saking tuanya, atau mungkin juga berubah pikirannya.

Kalau saja betul kakek ini seorang luar biasa yang telah dilupakan orang, alangkah baiknya kalau ia menjadi muridnya! Maka ia lalu ingin mencoba apakah dalam hal ilmu silat, kakek ini juga lihai. Ia berpura-pura marah dan membentak,

“Kau merusak gunduku! Kau menghancurkan gunduku!” Sambil berkata demikian Lie Siong maju menampar pundak kakek itu.

Kelihatannya kakek itu tidak mengelak, akan tetapi sedikit saja ia menggerakkan pundak, tamparan Lie Siong meleset!

“Kau yang licik, kalah pandai main gundu, mengapa penasaran? Gundumu pecah bukan karena salahku, salah gundumu mengapa pecah dan mudah hancur, ha-ha-ha!”

Kakek itu kelihatan senang sekali karena tidak saja ia menang bermain gundu, juga gundu lawannya menjadi pecah!

“Kau harus dipukul!” seru Lie Siong pula dan cepat ia mengirim pukulan yang lebih kuat dan cepat ke arah pundak orang.

Sekali lagi pukulan ini melesat. Lie Siong mulai penasaran dan ketika sekarang kakek itu berdiri dengan tubuhnya yang bongkok, ia lalu menyerang dengan Ilmu Pukulan Sian-li Utauw (Tari Bidadari) yang kelihatan lembek akan tetapi mengandung tenaga lwee-kang dan gerakannya indah dan cepat.

Kembali ia tercengang, karena kakek itu sambil tertawa haha-hehe selalu dapat menggerakkan tubuh menghindari pukulannya dan mulutnya tiada hentinya berkata mengejek,

“Kalah main gundu kok mengamuk, sungguh anak yang licik sekali kau ini!”

Yang membuat Lie Siong merasa amat penasaran sekali adalah sikap kakek itu yang seakan-akan tidak memandang sedikitpun juga kepada ilmu silatnya Sianli Utauw, buktinya kakek itu tidak memandang kepadanya, bahkan sambil mengelak ia lalu mengambil gundu-gundu itu sebutir demi sebutir dan dimasukkan ke dalam kantongnya. Biarpun matanya ditujukan kepada gundu, namun tetap saja setiap pukulan Lie Siong dapat dihindarkan dengan amat mudah.

“Sudahlah, main gundunya tidak becus, mana mau main pukul? Anak nakal dan licik, lebih baik kau pulang belajar lagi main gundu yang betul!” kata kakek itu dan sekali saja ia mengangkat tangan menangkis pukulan Lie Siong, pemuda ini terlempar sampai dua tombak lebih dan merasa betapa tangannya sakit sekali.

Namun Lie Siong masih belum merasa puas. Ia maju lagi dan kini setelah ia menggerak-gerakkan kedua tangannya, dari tangan dan lengannya mengebul uap tipis putih. Inilah limu Silat Pek-in-hoatsut yang ia pelajari dari ibunya, ilmu pukulan yang amat lihai dari sucouwnya, yaitu Bu Pun Su!

Kakek itu nampaknya tertegun melihat ilmu pukulan ini, dan berdiri bengong. Tangan kanannya memijit-mijit pelipis kepalanya seakan-akan ia mengumpulkan ingatan untuk mengingat kembali ilmu silat yang ia lihat dimainkan oleh anak muda ini.

“Apakah Bu Pun Su hidup lagi?” demikian terdengar ia bertanya kepada diri sendiri.

Lie Siong yang mendengar ini menjadi terkejut, akan tetapi ia juga merasa bangga karena agaknya kakek ini mengenal ilmu silatnya dan takut menghadapinya! Maka ia lalu menerjang lagi dengan ilmu pukulan Pek-in-hoatsut.

Akan tetapi alangkah heran dan terkejutnya ketika ia melihat kakek itu pun bergerak dan mengebullah uap putih yang tebal dari kedua lengannya. Lie Siong maklum bahwa kakek ini pun mahir Pek-in-hoatsut, bahkan tenaganya jauh lebih besar daripada tenaganya sendiri.

Akan tetapi ia sudah kepalang dan memang ingin menguji sampai puas betul. Ia menyerang hebat dan begitu kakek itu mengangkat tangannya, Lie Siong berseru keras karena tubuhnya mencelat ke atas sampai tiga tombak lebih! Baiknya kakek itu tidak bermaksud jahat sehingga ia terlempar saja tanpa menderita luka dan dapat turun kembali dengan kedua kaki menginjak tanah.

“Ha-ha, main gundu kalah, main pukulan juga keok!” kakek itu mengejek seperti seorang anak kecil mengejek lawannya.

Kini Lie Siong tidak ragu-ragu lagi dan serta merta ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek aneh itu.

“Suhu yang mulia, mohon Suhu memberi petunjuk kepada teecu yang bodoh!”

Untuk beberapa lama, kakek itu diam saja, kemudian ia terbahak-bahak, seakan-akan merasa amat lucu.

“Kau minta belajar apa dari padaku? Aku hanya pandai bermain gundu. Maukah kau belajar main gundu?”

“Segala nasihat dan pelajaran dari Suhu, tentu akan teecu terima dan perhatikan dengan sungguh-sungguh.”

“Bagus, aku akan mengajarmu bermain gundu sehingga kau akan menjadi jago gundu yang paling istimewa.” kakek yang pikun itu lalu mulai memberi pelajaran bermain gundu atau kelereng kepada Lie Siong!






Tidak ada komentar:

Posting Komentar