*

*

Ads

Jumat, 13 September 2019

Pendekar Remaja Jilid 151

Lie Siong melarikan diri dengan hati gelisah sekali. Rasa sakit yang hebat pada kakinya tidak melebihi sakit hatinya, karena ia selalu berkuatir memikirkan nasib Lili. Kalau saja ia tidak memikirkan Lili, tadipun ia tentu akan menerjang mati-matian dan biarpun sudah terluka hebat, ia lebih baik mati daripada melarikan diri. Akan tetapi ia harus menolong Lili, oleh karena itu ia harus hidup untuk dapat menyusul dan menolong Lili.

Ia telah berlari jauh sekali dan perbuatannya ini menghebatkan pengaruh bisa di luka itu. Ia kini merasa seluruh tubuhnya panas dan pandang matanya berkunang-kunang. Ia memang hendak mempertahankan diri, akan tetapi pandangan matanya makin gelap dan akhirnya ia terhuyung-huyung dan roboh di atas rumput tak sadarkan diri lagi.

Ban Sai Cinjin tidak akan demikian tersohor namanya kalau tidak amat lihai dalam menggunakan huncwe maut dan kalau saja senjata rahasianya tidak amat ganas. Kakek ini memang seorang ahli dalam penggunaan racun yang amat ganas dan jahat, maka ia merasa pasti bahwa pemuda putera Ang I Niocu yang terkena racun pada panah hitamnya tentu akan mati dalam waktu tiga hari.

Memang keadaan Lie Siong mengerikan sekali. Kaki kirinya dari batas paha ke bawah telah berwarna kehitam-hitaman dan tubuhnya panas luar biasa. Ia pingsan dan menggeletak di atas rumput sampai fajar mendatang.

Akan tetapi Ban Sai Cinjin agaknya lupa bahwa mati hidup seseorang tak dapat ditentukan oleh manusia yang manapun juga. Apabila Thian (Tuhan) menghendaki, seseorang boleh hidup walaupun nampaknya tak mungkin bagi pendapat seorang manusia, sebaliknya seseorang yang nampak sehat segar boleh mati di saat itu juga apabila telah dikehendaki oleh Thian.

Demikianlah pada saat Lie Siong rebah seperti mati di atas rumput dan tubuhnya diselimuti embun pagi, datanglah dua sosok bayangan orang melalui tempat itu. Dua orang ini gerakannya cepat sekali dan ketika melihat seorang pemuda menggeletak di tempat itu, mereka lalu mendekati dan memeriksa.

“Dia adalah putera Ang I Niocu…!” seru suara seorang laki-laki.

“Betul, Koko, dia adalah Lie Siong penolong dari Adik Cin!” seru yang wanita, seorang gadis yang cantik jelita.

Mereka ini bukan lain adalah Goat Lan dan Hong Beng yang kebetulan sekali lewat di tempat itu dan mendapatkan Lie Siong menggeletak di jalan.

“Aduh, panas sekali tubuhnya!” Hong Beng berseru ketika ia meraba jidat Lie Siong.

“Lihat, Koko, pahanya terluka dan tentu terkena serangan senjata beracun. Mari, angkat dia ke tempat yang lebih baik, Koko. Aku harus mencoba menolongnya cepat-cepat!” kata Goat Lan, murid dari mendiang Yok-ong Sin Kong Tianglo Raja Tabib!

Hong Beng lalu memondong tubuh Lie Siong yang panas sekali itu dan mereka membawanya masuk ke dalam sebuah hutan kecil dan meletakkan pemuda itu di bawah pohon besar, di atas tanah yang bersih dan kering.

Goat Lan telah menurunkan buntalan pakaiannya, menggulung lengan bajunya dan mengeluarkan obat-obat penolak racun yang selalu dibekalnya. Kemudian tanpa sungkan-sungkan lagi dan amat cekatan, menjadikan kekaguman Hong Beng yang membantunya, Goat Lan lalu menyingsingkan pakaian Lie Siong dari bawah sehingga nampak paha yang terluka oleh panah tangan itu.

Tanpa ragu-ragu lagi gadis ini lalu menggunakan bambu runcing itu untuk ditusukkan ke arah luka yang telah membengkak dan berwarna merah kehitaman itu.

Darah hitam mengalir keluar dari luka tusukan bambu runcing ini dan Goat Lan lalu menggunakan telunjuknya untuk menotok pangkal paha dan beberapa bagian jalan darah di kaki kiri Lie Siong. Kemudian ia mengurut kaki itu, menghalau darah yang sudah terkena racun supaya keluar dari paha itu sehingga Hong Beng sendiri diam-diam merasa ngeri dan mengutuk orang yang menggunakan panah tangan.

Kemudian Goat Lan lalu menempelkan obat pada luka di paha itu, minta supaya Hong Beng membereskan pakaian Lie Siong. Setelah kepala Lie Siong dibasahi air dan sedikit arak dimasukkan ke dalam mulutnya, pemuda ini siuman kembali. Akan tetapi ia masih menutup kedua matanya dan bibirnya bergerak,

“Lili… Lili…!”






Goat Lan dan Hong Beng saling pandang penuh arti dan keduanya tersenyum kecil. Goat Lan lalu mencairkan tiga butir pel merah ke dalam arak dan menyuruh tunangannya meminumkannya.kepada Lie Siong.

Barulah Lie Siong membuka matanya dan ia memandang kepada mereka dengan mata mengandung keheranan. Akan tetapi ia segera meramkan kedua matanya lagi dan mengeluh. Kakinya terasa sakit bukan main.

“Jangan bergerak dulu, Saudara Lie Siong dan minumlah obat ini segera,” kata Hong Beng dengan ramah.

Lie Siong kembali membuka mata dan sambil menatap wajah Hong Beng, ia lalu minum obat itu yang terasa pahit akan tetapi berbau harum itu. Setelah obat itu memasuki perutnya, ia merasa betapa panas di dalam dada dan perutnya berangsur-angsur menghilang. Kemudian, tiba-tiba ia tak dapat lagi menahan rasa kantuknya dan tubuhnya menjadi lemas, terus ia tertidur nyenyak. Memang ini adalah khasiat dari obat yang diberikan oleh Goat Lan itu.

“Tak lama lagi dia akan sembuh,” kata Goat Lan kepada Hong Beng. “Kalau ia terus pulas itu berarti bahwa racun di dalam tubuhnya telah bersih, kalau ia tidak dapat pulas, agaknya terpaksa aku harus mengeluarkan banyak darahnya pula. Sekarang ia hanya memerlukan obat penambah darah saja.”

Hong Beng mengangguk-angguk dan kembali ia memandang kepada tunangannya dengan penuh kekaguman sehingga Goat Lan menjadi merah mukanya.

“Mengapa kau memandangku seperti itu?” tegurnya.

“Lan-moi, kau… hebat sekali!”

“Hush, aku hanya murid yang bodoh dari Yok-ong guruku,” kata gadis ini yang seakan-akan hendak mengingatkan kepada Hong Beng bahwa yang patut mendapat pujian adalah mendiang gurunya.

Memang demikianlah watak yang amat baik dari Goat Lan. Tidak suka sombong dan selalu merendahkan diri, biar terhadap tunangan sendiri sekalipun.

Mereka tidak merasa heran ketika tadi Lie Siong menyebut-nyebut nama Lili dalam igauannya, karena kedua orang muda ini belum lama yang lalu telah berjumpa derigan Lo Sian. Dari Sin-kai Lo Sian mereka telah mendengar tentang kematian Ang I Niocu dan mendengar akan pesan Ang I Niocu untuk menjodohkan Lie Siong dengan Lili.

Kemudian Sin-kai Lo Sian melanjutkan perjalanan menuju ke rumah Pendekar Bodoh, adapun Goat Lan dan Hong Beng melanjutkan perjalanan untuk mencari Ban Sai Cinjin. Memang, kedua orang muda ini meninggalkan tempat tinggal mereka dengan dua tujuan. Pertama-tama untuk mencari Lili yang belum juga pulang, kedua kalinya untuk mencari Ban Sai Cinjin, karena Goat Lan ingin minta kembali Thian-te Ban-yo Pit-kip yang telah dicuri oleh Ban Sai Cinjin.

Orang tua mereka berhati-hati, kemudian Pendekar Bodoh bahkan berpesan agar supaya mereka terus saja menuju ke Thian-san, karena tak lama lagi Pendekar Bodoh sendiri pun akan menuju ke sana untuk menyambut tantangan pibu dari Wi Kong Siansu dan kawan-kawannya. Oleh karena itulah, maka Goat Lan dan Hong Beng mengambil jalan ini dan bertemu dengan Lie Siong.

Setelah hari menjadi senja, barulah Lie Siong bangun dari tidurnya. Begitu bangun ia segera bertanya kepada Hong Beng,

“Siapakah Ji-wi (Saudara berdua) yang telah menolong siauwte yang bodoh?”

Hong Beng dan Goat Lan tersenyum.
“Saudara Lie Siong,” kata Hong Beng, “kami bukanlah orang-orang lain, aku adalah Sie Hong Beng dan dia ini adalah Kwee Goat Lan.”

Lie Siong benar-benar terkejut. Ketika ia dan gurunya mengirim kembali Kwee Cin ke benteng Alkata-san, ia tidak memperhatikan semua orang maka ia tidak melihat mereka ini.

“Ah…” katanya dengan tercengang, kemudian wajahnya yang tampan nampak gembira, akan tetapi segera ia meniadi pucat ketika teringat kepada Lili, maka ia lalu melompat berdiri. “Celaka… kita harus cepat kejar mereka!”

“Saudara Lie Siong, tenanglah. Biarpun lukamu sudah sembuh, akan tetapi lukamu masih lemah dan kegugupanmu itu amat tidak bagi kesehatanmu,” kata Goat Lan sambil memandang tajam penuh perhatian seperti layaknya seorang tabib memandang kepada pasiennya.

Mendengar omongan ini, Lie Siong baru sadar. Ia pun sudah mendengar bahwa Kwee Goat Lan adalah tunangan Sie Hong Beng dan adalah seorang gadis ahli pengobatan, maka ia lalu menjura memberi hormat sambil berkata,

“Siauwte memang seorang bodoh dan kasar, sampai-sampai lupa untuk menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Li-hiap. Tanpa pertolonganmu, agaknya nyawaku sudah lenyap dalam tangan Ban Sai Cinjin.”

“Lie Siong, jangan main sandiwara! Namaku Goat Lan, panggil saja namaku karena Lili biasanya juga memanggil namaku begitu saja!”

Kegembiraan Goat Lan timbul kembali, akan tetapi segera disusulnya kelakarnya ini dengan kata-kata sengit,

“Dimana Ban Sai Cinjin si keparat? Apakah dia pula yang melukai pahamu?”

Lie Siong senang sekali melihat sikap Goat Lan ini, seorang gadis yang lincah dan yang mengingatkan dia akan kejenakaan dan kegalakan Lili, akan tetapi pada saat itu hatinya penuh oleh kekuatiran, terhadap nasib Lili, maka ia lalu berkata,

“Celaka sekali. Ban Sai Cinjin dan kawan-kawannya yang amat lihai telah menculik Lili! Ketika aku hendak menolong, mereka mengeroyok dan secara curang sekali Ban Sai Cinjin telah melukaiku dengan panah beracun.”

Ia lalu menuturkan dengan singkat tentang peristiwa itu. Goat Lan dan Hong Beng menjadi marah sekali.

“Ban Sai Cinjin manusia curang dan pengecut!” Hong Beng menggeram. “Awas saja kepalamu, kakek jahanam, akan kuhancurkan kepalamu kalau sampai kau berani mengganggu adikku.”

“Kau baru sehari semalam meninggalkan mereka. Mereka itu tentu takkan lari jauh. Mari kita mengejar mereka,” kata Goat Lan.

Maka berangkatlah tiga orang muda yang perkasa ini menuju ke Thian-san sambil mencari keterangan di jalan tentang Ban Sai Cinjin dan rombongannya. Memang tidak salah, menurut petunjuk dari penduduk kampung yang mereka lalui, Ban Sai Cinjin mengambil jalan ini dan agaknya rombongan itupun menuju ke Thian-san pula.

Sayangnya bahwa Lie Siong belum boleh mempergunakan terlalu banyak tenaga sehingga pengejaran itu tidak dapat dilakukan dengan cepat-cepat. Sedikitnya lima hari Lie Siong harus memulihkan tenaganya kembali, kata Goat Lan dan pemuda itu tentu saja menurut nasihat nona penolongnya.

**** 151 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar