Sabtu, 26 Mei 2012

Pendekar Remaja Jilid 022

Mengapa sampai demikian lama Cin Hai dan Lin Lin tidak menyusul anaknya di Beng-san, padahal sebagaimana telah diceritakan di bagian depan, sepasang suami isteri pendekar ini dalam perjalanannya kembali dari Kansu, hendak mampir dan menengok putera mereka di puncak bukit itu?

Sesungguhnya, Pendekar Bodoh dan isterinya menemui peristiwa yang hebat dan yang membuat mereka belum juga tiba di Beng-san!

Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Cin Hai dan Lin Lin telah mendapat keterangan dari orang-orang Turki kawan-kawan mendiang Yousuf, bahwa menurut dugaan mereka, tak salah lagi pembunuh Yousuf dan penculik Lili adalah seorang peranakan Tionghoa Turki yang bernama Bouw Hun Ti. Maka mereka lalu kembali ke timur, mengambil jalan sebelah utara di sepanjang tapal batas Propinsi Kansu dan Mongolia dalam. Mereka mengambil keputusan untuk sekalian mampir di Beng-san dan menengok putera mereka yang berlatih silat dibawah pimpinan Pok Pok Sianjin.

Puncak Beng-san terletak di Pegunungan Lu-liang-san yang panjang maka kalau mereka mengambil jalan di utara, mereka akan melewati Lu-tiang-san.

Pada suatu hari mereka tiba di sebuah kota yang bernama Po-kwan, dan kota ini berada di tapal batas Mongolia dalam, di lembah Sungai Huang-ho yang belum begitu besar airnya. Kota Po-kwan cukup ramai dan suami isteri ini selain melihat-lihat kota yang belum pernah dikunjunginya ini, juga mereka bertanya-tanya kalau-kalau ada Bouw Hun Ti di daerah itu.

Akan tetapi, tak seorang pun melihat orang she Bouw yang dicari-carinya itu, maka dua hari kemudian, Cin Hai dan Lin Lin keluar dari kota Po-kwan dan hendak melanjutkan perjalanan melalui Sungai Huang-ho menuju ke Pegunungan Lu-liang-san. Akan tetapi, baru saja mereka keluar dari kota Po-kwan, mereka bertemu dengan orang-orang yang tak pernah mereka sangka-sangka akan bertemu disitu.

Mereka sedang berjalan keluar dari kota untuk menuju ke sungai yang berada di sebelah timur kota, dan tiba-tiba dari sebuah tikungan mereka melihat seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun berjalan cepat sekali di depan mereka.

Lin Lin memandang tajam, karena dari belakang ia serasa sudah mengenal orang itu, akan tetapi baru saja ia hendak bertanya kepada suaminya, Cin Hai telah mendahuluinya dan berseru girang,

“Lie-suheng!”

Laki-laki itu terkejut mendengar seruan ini dan segera menghentikan tindakan kakinya dan cepat membalikkan tubuh. Wajahnya nampak tua dan muram sekali, sungguhpun ia masih kelihatan tampan dan gagah. Kumisnya sudah mulai putih tak terurus dan jenggotnya juga panjang tak terpelihara. Pakaiannya tidak karuan, bahkan ada beberapa bagian yang sudah robek-robek didiamkannya saja.

Akan tetapi ketika melihat Cin Hai dan Lin Lin, untuk sekejap matanya bersinar-sinar, dan Cin Hai bersama isterinya yang berlari menghampiri orang itu hanya melihat betapa kegembiraan itu berlangsung sebentar saja. Orang itu segera menundukkan muka dan menjadi muram kembali, seakan-akan merasakan kesedihan yang luar biasa besarnya.

“Sie-sute, kau kah? Dari manakah kau dan Sumoi, kau juga baik-baik saja, bukan?”

Suaranya rata dan tak berirama, tanda bahwa ia sedang menderita kesedihan besar sekali. Cin Hai segera memegang tangan orang itu setelah memberi hormat.

“Lie-suheng, kau kenapakah?”

“Lie-suheng, agaknya kau amat bersedih? Dimanakah Enci Im Giok?” tanya pula Lin Lin.

Orang itu memandang kepada mereka ganti berganti kemudian tiba-tiba dari sepasang matanya keluarlah air mata yang membanjir turun membasahi kedua pipinya. Bukan main kagetnya Cin Hai dan Lin Lin melihat keadaan orang itu. Cin Hai segera menariknya dan mengajaknya duduk di bawah pohon di pinggir jalan dan segera mendesak kepada orang itu untuk menceritakan apakah sebenarnya yang menyusahkan hatinya.

Siapakah orang ini? Para pembaca yang sudah membaca cerita Pendekar Bodoh, tentu masih ingat bahwa orang ini bukan lain adalah Lie Kong Sian, murid mendiang Bu Pun Su, guru Cin Hai dan Lin Lin. Karena ada hubungan perguruan ini, maka Lie Kong Sian masih terhitung suheng (kakak seperguruan) dari Cin Hai dan Lin Lin.

Di dalam cerita Pendekar Bodoh diceritakan bahwa Lie Kong Sian ini telah berjodoh dengan seorang pendekar wanita baju merah yang amat lihai dan yang bernama Kiang Im Giok atau lebih terkenal lagi dengan nama julukannya Ang I Niocu (Nona Baju Merah).

Lie Kong Sian tinggal bersama isterinya di sebuah pulau, yaitu Pulau Pek-lek-to yang terletak di dekat pantai laut Tiongkok sebelah timur. Semenjak Lie Kong Sian dan isterinya mengunjungi Cin Hai dan Lin Lin untuk menyaksikan upacara pernikahan kedua adik seperguruannya itu, sehingga kini baru sekali mereka saling bertemu. Hal itu terjadi kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, yaitu baru saja setahun mereka saling berpisah.






Akan tetapi semenjak itu, mereka tak pernah saling bertemu kembali. Bahkan ketika Cin Hai dan Lin Lin mengunjungi Pulau Pek-le-to pada lima tahun yang lalu sambil mengajak kedua anak mereka, pulau itu ternyata kosong dan tidak diketahui kemana perginya Lie Kong Sian dan isterinya.

Agar lebih jelas bagi para pembaca yang belum membaca buku Pendekar Bodoh, baiknya diterangkan kembali bahwa Ang I Niocu adalah seorang wanita yang luar biasa cantiknya, dan boleh disamakan dengan kecantikan seorang bidadari dari kahyangan. Dalam usia tiga puluh tahun lebih, yaitu pada saat ia menikah dengan Lie Kong Sian, ia masih nampak cantik jelita dan muda seperti seorang dara berusia tujuh belas tahun saja.

Hal ini bukan saja memang pada dasarnya ia cantik jelita, akan tetapi sebagian besar adalah pengaruh semacam telur mujijat, yakni telur Pek-tiauw (Rajawali Putih). Nona Baju Merah ini amat sayang akan kecantikannya dan untuk menjaga ini ia tidak segan-segan untuk mencari telur burung rajawali putih yang amat sukar didapatkannya. Karena khasiat telur inilah, maka ia selalu nampak cantik dan muda selalu. Kecantikannya ini ditambah lagi dengan keahliannya bermain silat yang luar biasa, yaitu ilmu sliat yang disebut juga Ilmu Silat Tari Bidadari, sehingga kalau ia sudah mainkan ilmu pedangnya dengan ilmu silat ini, maka ia benar-benar merupakan seorang bidadari yang sedang menari dengan indahnya!

Tidak heran bahwa banyak sekali hati pemuda-pemuda runtuh karena kecantikannya ini bahkan Cin Hai sendiri pernah tergila-gila kepada Ang I Niocu (dituturkan dengan menarik sekali dalam cerita Pendekar Bodoh ). Akan tetapi Ang I Niocu mempunyai watak yang amat keras dan angkuh. Semua pinangan pemuda-pemuda yang gagah dan tampan ditolaknya belaka bahkan diejeknya pemuda-pemuda itu sehingga banyak yang patah hati.

Kemudian ia bertemu dengan Lie Kong Sian yang menjatuhkan hatinya karena budi kebaikan pemuda ini dan pula karena pemuda ini memiliki ilmu silat tinggi yang sanggup mengalahkannya. Akhirnya mereka menikah dan hidup penuh kebahagiaan di atas Pulau Pek-lek-to yang merupakan sorga bagi mereka.

Pulau ini amat subur dan juga indah sekali pemandangannya. Dua tahun setelah mereka menikah, Ang I Niocu mengandung. Semenjak mengandung, pendekar wanita ini merasa tak enak sekali tubuhnya dan sifatnya yang keras itu kini timbul kembali, bahkan makin menghebat. Seringkali ia marah-marah besar kepada suaminya hanya karena urusan kecil saja. Akan tetapi Lie Kong Sian yang amat mencinta isterinya dan amat sabar itu, dapat menghiburnya dan selalu mengalah dalam segala hal.

Akhirnya terlahirlah seorang bayi laki-laki dan keduanya merasa amat berbahagia kembali. Bersama dengan kelahiran itu lenyaplah semua sifat pemarah, akan tetapi tubuh pendekar wanita itu masih saja seringkali merasa tidak enak sekali dan kepalanya pening.

Perubahan besar nampak terjadi pada dirinya, sungguhpun terjadi amat lambat dan perlahan, akan tetapi tiga tahun kemudian, perubahan ini sudah menjadi sedemikian hebatnya. Rambut Ang I Niocu yang tadinya hitam dan panjang berombak itu lambat laun menjadi putih dan penuh uban! Kulit mukanya yang tadinya halus dan kemerah-merahan itu lambat laun menjadi keriputan dan menghitam!

Bukan main penderitaan batin yang dirasakannya, kini melihat kecantikannva melenyap dengan perlahan akan tetapi tentu, bagaikan penyakit yang memakan habis kecantikannya itu sekerat demi sekerat, hampir tak tertahankan olehnya. Tiap kali ia melihat wajahnya pada bayangannya di dalam air, ia menangis tersedu-sedu dengan hati hancur.

Lie Kong Sian berdaya upaya menghiburnya, juga mengobatinya, akan tetapi percuma belaka.

“Isteriku,” katanya menghibur ketika isterinya menangis tersedu-sedu sambil menarik-narik rambutnya yang telah menjadi putih dan banyak yang terlepas dari kulit kepalanya, “betapapun juga, dan apa pun yang akan terjadi dengan kau, aku tetap mencintamu dengan tulus ikhlas dan suci. Jangan kau bersedih, isteriku…”

Akan tetapi kata-kata ini bahkan menghancurkan hati Ang I Niocu. Dengan suara terputus-putus ia berkata,

“Ah… bagaimanakah ini…? Mengapa Thian mengutuk diriku begini hebat…? Aku baru berusia hampir empat puluh, mengapa rambutku telah putih semua, kulitku menjadi rusak seperti ini? Mana kecantikanku yang dulu…? Ah, aku malu, aku malu…!” Ia lalu menangis dengan amat sedihnya.

“Im Giok, jangan kau berkata demikian. Kecantikan hanya keindahan lahir belaka dan kau tahu bahwa cintaku kepadamu bukan hanya berdasarkan kecantikanmu.”

Akan tetapi segala macam hiburan tak dapat memuaskan hati Ang I Niocu. Ia dan suaminya maklum bahwa kecantikannya yang dipengaruhi oleh obat telur rajawali putih itu memang mempunyai batas dan syarat yang berat. Syarat itu ialah apabila seorang yang menjadi cantik karena telur itu melahirkan seorang anak, maka kecantikannya tidak saja akan lenyap, bahkan usianya akan bertambah dengan cepat dan lipat ganda, sehingga dalam usia empat puluh tahun, ia menjadi seorang yang usianya hampir delapan puluh tahun!

Akhirnya, setelah tersiksa oleh kesedihan sendiri sampai hampir gila, pada suatu pagi Lie Kong Sian mendapatkan isterinya telah minggat dari pulau itu menggunakan sebuah sampan dan membawa serta anaknya!

“Suamiku yang baik,” demikian bunyi surat yang ditinggalkan oleh Ang I Niocu untuk Lie Kong Siang “ampunilah dosaku yang amat besar kepadamu. Aku tidak kuat lagi menahan derita sehebat ini, maka lebih baik aku keluar dari kehidupanmu, agar aku tidak menyeret kau yang berbudi ke dalam jurang kehinaan. Biarlah aku pergi mengasingkan diri. Anak kita kubawa dan sisa hidupku akan kugunakan untuk mendidik dan menurunkan ilmu silat kepadanya agar ia menjadi seorang yang berbudi dan gagah. Selamat tinggal suamiku! Kalau aku sudah mati, anak kita tentu akan mencari ayahnya untuk berbakti!”

Bukan main kagetnya hati Lie Kong Sian membaca surat peninggalan isterinya yang tercinta itu. Ia cepat menyusul dan mengejar akan tetapi karena air tak meninggalkan bekas isterinya, ia mengejar ke lain jurusan dan tidak dapat menemukan isteri dan anaknya.

Ketika itu anaknya baru berusia tiga tahun lebih. Hancurlah penghidupan Lie Kong Sian. Dunia terasa kosong dan hidup terasa merupakan penderitaan dalam neraka. Ia lalu merantau dan mencari-cari jejak isterinya sampai bertahun-tahun. Kalau dulu ia merupakan seorang yang amat tampan dan biarpun sederhana akan tetapi selalu berpakaian pantas, sekarang ia telah berubah sama sekali. Ia menjadi seorang pendiam, kadang-kadang seperti orang gila.

Demikianlah keadaan Lie Kong Sian yang secara kebetulan berjumpa dengan Cin Hai dan Lin Lin. Tadinya Lie Kong Sian merasa segan untuk menceritakan penderitaannya, akan tetapi karena tidak ada orang lain di dunia ini yang lebih pantas mendengar tentang penderitaannya itu kecuali Cin Hai, ia lalu menceritakan semua itu sambil bercucuran air mata.

Cin Hai dan Lin Lin merasa terharu sekali mendengar hal ini. Dengan air mata berlinang Cin Hai menegur suhengnya,

“Suheng, ada terjadi hal seperti itu, mengapa Suheng tidak cepat-cepat datang ke Shaning dan memberi tahu kepada kami agar kami dapat ikut mencari kemana perginya Ang I Niocu?”

Di dalam lubuk hatinya, Cin Hai merasa amat sayang dan mencinta Ang I Niocu, sungguhpun cintanya itu telah berubah menjadi cinta seorang adik kepada kakaknya, atau lebih dari itu hampir seperti cinta seorang anak kepada ibunya.

Lin Lin merasa lebih terharu lagi. Ia amat mencinta Ang I Niocu yang pernah membelanya tanpa mempedulikan keselamatan jiwa sendiri (baca Pendekar Bodoh), maka kini mendengar malapetaka yang menimpa diri Ang I Niocu ia menangis terisak-isak tanpa dapat mengeluarkan kata-kata sedikit pun!

Setelah puas menangis dan menumpahkan rasa sedih di dalam dada di tempat pertemuan itu, Lie Kong Sian lalu bertanya mengapa kedua suami isteri itu berada di tempat itu.

Cin Hai lalu menuturkan tentang penculikan atas diri Lili puteri mereka dan pembunuhan yang dilakukan oleh Bouw Hun Ti kepada Yousuf.

Mendengar ini, bukan main marahnya Lie Kong Sian dan sambil menghela napas berat ia berkata,

“Ah, mengapa selalu orang-orang yang tak berdosa menerima siksaan hidup? Mengapa bahkan orang-orang yang selalu menjunjung kebaikan dan keadilan yang harus menderita banyak susah?”

“Suheng, biarlah aku dan isteriku membantu usahamu mencari tempat sembunyinya Niocu dan anakmu, dan aku akan membujuknya agar suka kembali kepadamu.”

Lie Kong Sian menghela napas.
“Agaknya sukar sekali. Selain ia pandai menyembunyikan diri, juga hatinya amat keras dan sekali ia telah mengambil keputusan, sukarlah untuk mengubahnya. Akan tetapi, biarlah kita mengambil jalan masing-masing, Sute. Kau membantuku mencari isteriku, dan kau percayalah, kalau sampai aku bertemu dengan orang she Bouw itu, pasti kubalaskan sakit hati Yo-pekhu dan kurampas kembali puterimu.”

Cin Hai yang maklum akan adat dan sifat Ang I Niocu yang keras, diam-diam merasa bahwa apabila dia yang membujuk, agaknya masih ada harapan, akan tetapi terhadap Lie Kong Sian ia diam saja.

Mereka lalu berpisah dan suami isteri itu memandang Lie Kong Sian yang berjalan pergi dengan muka tunduk itu. Bukan main terharu hati mereka dan Lin Lin menggunakan saputangan untuk menahan isaknya ketika ia melihat suhengnya itu berjalan bagaikan mayat hidup, lemah tak bertenaga dan limbung.

“Kasihan sekali Suheng…” kata Cin Hai sambil menghapus air mata yang berlinang di pelupuk matanya.

Karena Cin Hai pernah mengadakan perjalanan di daerah utara bersama Ang I Niocu, yaitu pada waktu terjadi perebutan Pulau Emas antara kerajaan pihak Turki dan pihak Mongol (baca Pendekar Bodoh), maka Cin Hai mendapat dugaan bahwa Ang I Niocu tentu menyembunyikan diri di Pegunungan Im-san atau Go-bi-san di utara.

Oleh karena itu, ia menunda maksudnya menuju ke Beng-san menengok puterinya dan sebaliknya ia bersama isterinya lalu membelok ke utara dan mencari Ang I Niocu di daerah Mongol!

Inilah sebabnya maka sampai berbulan-bulan ia dan isterinya belum juga tiba di Beng-san dimana Lili dengan aman telah belajar silat di bawah asuhan Mo-kai Nyo Tiang Le si Pengemis Setan yang lihai!

**** 022 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar