*

*

Ads

Kamis, 18 Juli 2019

Pendekar Remaja Jilid 042

Keadaan Lili yang demikian mewah pakaiannya, cantik jelita, gadis muda yang melakukan perjalanan seorang diri, tentu saja menarik perhatian banyak orang. Akan tetapi melihat cara ia naik kuda dan melihat gagang pedangnya yang tergantung pada pinggangnya, membuat orang-orang maklum bahwa nona cantik ini tentulah seorang perantau yang pandai ilmu silat dan tak seorang pun berani mencoba-coba untuk mengganggunya.

Hanya satu kali terjadi gangguan ketika ia masuk ke kota Lok-yang. Di kota ini terdapat seorang jagoan muda bermuka kuning yang berjuluk Oei-bin-liong (Naga Muka Kuning) bernama Lok Ceng.

Ia adalah seorang ahli silat dari cabang Bu-tong-pai, berwatak sombong dan berlagak tinggi. Kebetulan sekali Lok Ceng sedang duduk di depan restoran terbesar di Lok-yang, ketika Lili menghentikan kudanya di depan restoran itu, melompat turun dan memanggil seorang pelayan.

Seorang pelayan berlari menghampiri. Lili menyerahkan kendali kudanya sambil berkata,

“Kau urus baik-baik kudaku sewaktu aku makan. Berilah dia makan dan sikat bulunya sampai bersih. Hati-hati jangan sampai ada orang jahat mengganggu buntalanku di atas kuda itu dan jangan khawatir, hadiahnya akan besar!”

Pelayan itu tersenyum dan mengangguk dengan hormat.
“Tentu saja, Siocia. Akan kulakukan pesanmu baik-baik.” Ia lalu menuntun kuda itu ke pinggir restoran.

“Kuda yang bagus!” tiba-tiba terdengar suara parau dan keras sehingga Lili menengok ke arah orang yang memuji kudanya.

Orang ini bukan lain adalah Lok Ceng sendiri. Melihat seorang laki-laki muda yang bertubuh tinggi besar, bermuka kuning dan bermata kurang ajar itu, Lili berlaku hati-hati dan segera membuang pandangan matanya.

Tanpa mempedulikan orang itu, Lili terus saja memasuki restoran itu dan memesan makanan kepada pelayan yang cepat datang menghampirinya. Restoran itu besar sekali dan para tamu yang makan di situ tidak kurang dari duapuluh orang banyaknya. Mereka makan sambil bercakap-cakap gembira.

Ketika Lili memasuki restoran itu, hampir semua mata menengok memandang kagum. Akan tetapi Lili tidak mempedulikan semua ini karena semenjak keluar dari rumah, ia telah menjadi biasa dengan pandangan kagum dari mata laki-laki. Ia telah menganggap hal ini biasa saja. Ibunya telah menasihatinya untuk bersikap dingin dan jangan mempedulikan hal ini.

“Lili, kau seorang gadis muda yang cantik manis,” kata ibunya memberi nasihat, “akan banyak sekali gangguan kau hadapi di perjalanan. Laki-laki memang bermata minyak, selalu tidak dapat menjaga mata mereka kalau melihat seorang gadis cantik. Akan tetapi, kalau mereka itu memandangmu dengan mata kagum dan kurang ajar, janganlah kau hiraukan mereka. Asal mereka tidak mengganggumu dengan ucapan atau perbuatan kurang ajar, anggap saja mereka itu sebagai patung-patung hidup yang tak perlu dilayani.”

Oleh karena itu, maka Lili selalu menganggap sepi mata laki-laki yang memandangnya dengan kagum bahkan orang-orang yang tersenyum-senyum dengan penuh arti kepadanya, dianggapnya sebagai lalat saja!

Akan tetapi, pada saat ia sedang menikmati hidangan yang telah dikeluarkan oleh pelayan, tiba-tiba telinganya yang tajam dapat menangkap perubahan yang terjadi di dalam warung itu.

Suara yang tadinya riuh gembira, tiba-tiba terhenti dan ketika ia mengerling, ternyata orang muda bermuka kuning yang tadi memuji kudanya, telah memasuki ruang itu dengan langkah dibuat-buat dan dada diangkat!

Diam-diam Lili merasa heran mengapa semua orang agaknya takut kepada pemuda ini, apalagi ketika ia mendengar betapa setiap meja yang dilalui oleh pemuda itu, selalu ada orang yang menawarkan makan dengan sikap menghormat sekali.

Akan tetapi pemuda tinggi besar muka kuning itu menolak semua penawaran dengan gerakan tangan, lalu ia tersenyum-senyum menghampiri meja dekat meja dimana Lili sedang makan! Ia lalu mengambil tempat duduk dan memandang kepada Lili dengan cara yang amat menjemukan. Mulutnya menyeringai bagaikan seekor kuda kelaparan dan terdengarlah ia berkata keras,

“Kudanya besar dan bagus, pemiliknya lebih bagus lagi!”

Semua orang yang duduk di situ maklum siapakah yang dimaksudkan oleh Lok Ceng ini. Lili juga maklum bahwa pemuda itu sedang berusaha mengganggunya, akan tetapi oleh karena ucapannya itu masih belum bersifat kurang ajar, ia pura-pura tidak mengerti dan melanjutkan makannya.

Melihat betapa gadis manis itu tidak menengok dan tidak mempedulikan pujiannya, Lok Ceng menjadi makin berani. Dengan sikap kurang ajar sekali dan tertawa haha-hihi ia lalu menggeser kursinya dan duduk di dekat meja Lili, menghadapi gadis itu dan memandang dengan mata kurang ajar dan mulut menyeringai.






Semua orang diam-diam tersenyum, ada yang merasa geli, ada yang merasa gembira, akan tetapi ada pula yang diam-diam merasa kuatir akan nasib gadis cantik jelita itu.

Semenjak tadi Lili menahan sabarnya, karena ia selalu masih teringat akan nasihat ibunya agar menjauhkan diri dari setiap permusuhan. Akan tetapi karena orang itu kini duduk dekat di depannya tentu saja ia merasa amat terganggu dan masakan yang tadinya nikmat itu, kini tidak enak lagi rasanya.

“Lalat kuning sungguh menjemukan!”

Ia lalu menunda makanannya dan dengan perlahan Lili menggebrak mejanya sambil mengerahkan tenaga khi-kang ke arah mangkok masakan yang banyak kuahnya. Air kuah di dalam mangkok itu tiba-tiba memercik ke arah Lok Ceng dan tak dapat teelakkan lagi mengenai bajunya!

Semua orang terkejut mendengar gadis itu berkata demikian, karena siapa pun tentu akan maklum bahwa dengan sebutan lalat kuning, gadis itu telah memaki Lok Ceng! Mana ada lalat yang berwarna kuning? Yang kuning ialah muka dari Lok Ceng!

Akan tetapi, tidak seorang pun tahu bahwa air kuah yang memercik ke atas dan membasahi baju Lok Ceng itu adalah perbuatan yang disengaja oleh Lili. Mereka mengira bahwa hal itu kebetulan saja. Bahkan Lok Ceng sendiri pun tidak menyangka bahwa gadis itu memiliki kepandaian tinggi sehingga dapat menggerakkan tenaga khi-kang untuk membuat air kuah itu muncrat ke arahnya.

Oleh karena itu, pemuda ini hanya tersenyum-senyum saja dan biarpun ia tahu bahwa dirinya dimaki “lalat kuning”, ia tidak menjadi marah. Ia lebih suka melihat seorang gadis yang melawan apabila diganggunya, daripada seorang gadis yang akan tersenyum-senyum melayani gangguannya.

“Aku ingin sekali menjadi potongan-potongan daging itu, untuk berkenalan dengan bibir dan mulut yang manis!” katanya lagi tak kenal malu dan orang-orang yang mendengar ucapannya ini lalu tertawa untuk mengambil hati jagoan muda yang disegani ini.

Mendengar ucapan dan melihat sikap orang muka kuning itu, Lili maklum bahwa kegagahan orang itu hanya pada lagaknya saja, akan tetapi sebetulnya tidak memiliki kepandaian tinggi. Hal ini mudah saja diduga. Seorang yang berkepandaian tinggi, tentu akan tahu akan demonstrasi tenaga khikang yang diperlihatkannya tadi. Akan tetapi, Si Muka Kuning ini agaknya tidak tahu akan hal ini, bahkan mengeluarkan ucapan yang demikian kurang ajar.

Lili sudah kehabisan kesabarannya.
“Lalat kuning, kau lapar dan ingin makan daging? Nah, ini makanlah!”

Secepat kilat tangannya menyambar mangkok yang berisi masakan penuh kuah dan sebelum Si Muka Kuning sempat mengelak, isi mangkok itu telah menyiram mukanya, bahkan sepotong daging mengenai mulutnya demikian keras sehingga ia merasa sakit!

Suara tertawa dari para tamu tadi tiba-tiba tak terdengar lagi dan mereka kini memandang dengan muka pucat. Belum pernah ada orang yang berani menghina Oei-bin-liong Lok Ceng sedemikian hebatnya!

Sementara itu, untuk sesaat Lok Ceng merasa kedua matanya pedas dan tak dapat dibuka sehingga ia menjadi gelagapan dan mempergunakan kedua tangannya untuk membersihkan mukanya. Keadaannya amat lucu dan para penonton menahan suara ketawa mereka karena sungguhpun mereka merasa geli melihat orang yang ditakuti itu berada dalam keadaan demikian lucunya, akan tetapi mereka tidak berani memperdengarkan suara ketawa.

Kini kegembiraan Lok Ceng lenyap sama sekali. Mukanya yang berwarna kuning menjadi kemerah-merahan karena marah dan berminyak karena siraman kuah tadi. Matanya yang sudah bebas dari kepedasan kuah kini memandang dengan melotot.

“Gadis liar, apakah kau sudah bosan hidup berani menghina Oei-bin-liong Lok Ceng?” Ia membentak dan melangkah maju.

“Eh, eh, cacing muka kuning!” Lili mengejek dan sengaja mengganti sebutan naga menjadi cacing. “Apakah kau masih belum kenyang?”

Sambil berkata demikian, kembali tangannya bergerak dan kini lain masakan penuh kecap berwarna merah yang masih ada setengah mangkok melayang cepat ke arah muka Lok Ceng.

Si Naga Muka Kuning cepat mengelak akan tetapi kurang cepat dan tahu-tahu mukanya telah tersiram oleh masakan kecap ini! Untung baginya ia cepat-cepat meramkan kedua matanya yang tadi melotot sehingga kecap itu tidak memasuki kedua matanya.

Akan tetapi celaka sekali, ia tidak dapat menutup kedua lubang hidungnya sehingga kedua lubang hidungnya yang lebar itu diserbu oleh kecap membuat ia tersedak dan berbangkis-bangkis beberapa kali seakan-akan hendak copot!

Kini para tamu di restoran itu terpaksa mendekap mulut masing-masing untuk menahan ketawa, karena melihat Lok Ceng berbangkis-bangkis, sambil mencak-mencak sungguh merupakan pemandangan yang amat lucu dan menggelikan.

Lok Ceng memaki-maki dan kemarahannya memuncak. Ia mencabut golok yang terselip pada pinggangnya dan kini mengamuk hebat. Beberapa kali ia membacok ke kanan kiri dan meja kursi yang terkena bacokan golok itu menjadi terbelah. Ia masih menggerakkan kedua kakinya menendang kesana kemari sehingga meja kursi beterbangan kemana-mana.

Para tamu yang tadinya menahan ketawa, menjadi ketakutan dan segera mereka menyingkirkan diri ke tempat jauh, mepet pada dinding, berjajar merupakan pagar. Muka mereka menjadi pucat karena sekarang keadaan bukan main-main lagi. Gadis itu pasti akan menjadi korban golok Lok Ceng yang amat tajam.

Akan tetapi, Lili tidak mau membuang banyak waktu untuk melayani Si Muka Kuning yang sombong itu. Biarpun Lok Ceng mengobat-abitkan golok dengan ganas sekali, ia tidak menjadi gentar dan dengan senyum mengejek tubuhnya bergerak dan tahu-tahu ia telah berada di depan si pengamuk itu.

“Gadis liar, kupenggal lehermu!” teriak Lok Ceng.

“Manusia tak tahu diri, kau harus diberi rasa sedikit!”

Lili balas membentak dan dengan gerak tipu Sianli-jip-pek-to (Bidadari Memasuki Ratusan Golok) sebuah gerakan dari Ilmu Silat Sianli-utauw, ia melompat maju dan dengan tubuh lincah sekali ia dapat masuk diantara gotok itu dan langsung menggerakkan tangan kanan ke arah iga lawannya.

“Duk!” dengan tepat sekali jari tangannya mengirim tiam-hwat (totokan) yang mengenai jalan darah hong-twi-hiat dengan jitu sekali.

Terdengar Lok Ceng memekik keras dan aneh…! Orang muka kuning yang tinggi besar ini tak dapat bergerak lagi. Tubuhnya menjadi kaku dan dalam keadaan masih berdiri dengan golok terpegang erat-erat di tangan kanannya!

Semua orang memandang dengan mata terbelalak. Mereka masih tidak mengerti mengapa Lok Ceng berdiri kaku seperti patung. Lili yang semenjak kecil memang telah mempunyai kesukaan berkelahi dan memang wataknya nakal dan jenaka itu, tersenyum-senyum dan dengan mata berseri-seri ia lalu mengambil semua mangkok di atas meja yang masih terisi masakan, lalu ia membalikkan mangkok itu ke atas kepala Lok Ceng, sehingga Lok Ceng kini memakai topi mangkok yang isinya tumpah dan mengalir di sepanjang hidungnya!

Semua orang yang merasa lebih heran daripada lucu itu, tak dapat tertawa dan masih memandang dengan bengong, bahkan pelayan yang dipanggil oleh Lili seakan-akan tak mendengar panggilan gadis itu dan masih berdiri bengong sambil memandang ke arah Lok Ceng.

“He, aku mau membayar! Mana pelayan?” teriak Lili.

Barulah pelayan itu berlari menghampiri sambil membungkuk-bungkuk.
“Nah, ini untuk membayar masakan yang telah kumakan. Lebihnya untuk mengganti kerugian rumah makan ini karena barang-barang yang dirusak oleh lalat kuning ini!”

Ia melemparkan sepotong uang perak yang berat ke atas meja, lalu keluar dari restoran itu, sama sekali tidak mempedulikan Lok Ceng yang masih berdiri seperti patung batu.

Pelayan yang mengurus kudanya mendapat hadiah yang lumayan pula.
“Eh, Siocia…” kata pelayan ini, “bagaimana dengan Oei-bin-liong? Tubuhnya kaku dan ia tidak dapat menggerakkan kaki pergi dari rumah makan kami.”

Lili tertawa geli.
“Biarlah, bukankah ia menjadi sebuah patung yang baik sekali untuk menarik perhatian langganan sehingga restoran selalu akan penuh dengan tamu?”

“Akan tetapi… tentu ia akan marah dan… bagaimana kalau ia mati?”

Lili berkata dengan sungguh-sungguh,
“Jangan kuatir. Aku sengaja memberi hukuman kepadanya. Dalam waktu pendek ia akan dalam keadaan demikian, nanti kesehatannya akan pulih kembali.”

Setelah berkata demikian, Lili lalu melompat ke atas kudanya dan melarikan kudanya itu cepat-cepat meninggalkan Lok-yang.

**** 042 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar