*

*

Ads

Kamis, 18 Juli 2019

Pendekar Remaja Jilid 044

Bagaimanakah Kam Seng dapat berada di tempat itu dan keluar dari gedung Ban Sai Cinjin dengan enaknya? Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, ketika Pendekar Bodoh dan isterinya naik ke Gunung Beng-san dan bertemu kembali dengan Lili, pemuda ini dibawa pergi oleh Mo-kai Nyo Tiang Le.

Sesungguhnya, Thio Kam Seng tidak mempunyai riwayat hidup yang baik. Dulu ketika ditolong oleh Sin-kai Lo Sian, ia memang menceritakan riwayatnya bahwa kedua orang tuanya telah meninggal dunia karena kemiskinan dan kelaparan, akan tetapi sesungguhnya tidak demikian halnya.

Thio Kam Seng ini adalah anak tunggal dari seorang tokoh persilatan tinggi yang bernama Song Kun. Para pembaca dari cerita Pendekar Bodoh tentu masih ingat bahwa Song Kun adalah sute (adik seperguruan) dari Lie Kong Sian, dan bahwa karena kejahatannya hendak mengganggu Lin Lin akhirnya Song Kun tewas dalam tangan Cin Hai, Si Pendekar Bodoh.

Pada waktu hal ini terjadi, Cin Hai belum menikah dengan Lin Lin, akan tetapi Song Kun telah meninggalkan seorang gadis yang dipeliharanya sebagai isteri tidak sah, dan isterinya ini telah mengandung tiga bulan. Karena Song Kun terkenal sebagai seorang pemuda mata keranjang yang jahat sekali, maka ia mempunyai banyak bini peliharaan dimana-mana, baik yang ia dapatkan karena ketampanannya maupun yang ia ambil secara paksa, bahkan yang diculiknya dari rumah orang tua gadis itu!

Setelah Song Kun tewas dalam tangan Pendekar Bodoh, Thio Kui Lin hidup terlunta-lunta. Untuk kembali ke rumah orang tuanya ia merasa malu, dan hanya untuk kepentingan anak dalam kandungannya belaka ia masih mempertahankan hidupnya.

Beberapa bulan kemudian, dalam keadaan yang amat sengsara, terlahirlah seorang anak laki-laki yang ia beri nama Kam Seng. Karena Thio Kui Lin sesungguhnya amat benci kepada suaminya yang mengambilnya secara paksa maka ia memberi nama keturunan Thio kepada puteranya ini.

Betapapun juga, setelah Kam Seng berusia lima tahun dan sudah pandai berpikir, ketika Kam Seng bertanyakan ayahnya, Kui Lin lalu menceritakan bahwa ayahnya telah tewas dalam tangan seorang pendekar besar bernama Pendekar Bodoh!

Dalam keadaan yang amat miskin, Kui Lin hidup berdua dengan puteranya. Mereka terlunta-lunta dan hidup serba kekurangan, dan akhirnya Kui Lin jatuh sakit yang membawanya kembali ke alam baka.

Semenjak itu Kam Seng menjadi yatim piatu, hidup merantau terlunta-lunta sebagai seorang pengemis cilik. Ternyata ia mempunyai otak yang cerdik sekali, dan agaknya kecerdikan ayahnya menurun kepadanya. Ia dapat berpura-pura bodoh dan jarang bicara, padahal segala sesuatu ia perhatikan betul-betul. Cerita ibunya tentang ayahnya yang terbunuh oleh Pendekar Bodoh, berkesan di dalam lubuk hatinya, dan ia tak dapat melupakan nama Pendekar Bodoh ini dari ingatannya.

Demikianlah, sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, ia tertolong oleh Sin-kai Lo Sian, diangkat menjadi muridnya dan akhirnya ia diajak pergi oleh Mo-kai Nyo Tiang Le Si Pengemis Iblis yang lihai.

“Kita harus mencari suhumu,” kata Mo-kai Nyo Tiang Le. “Sebelum kita bertemu dengan gurumu, kau harus melatih diri baik-baik, akan kuajarkan ilmu silat-ilmu silat tinggi kepadamu agar kelak kau tak usah kalah oleh murid Pok Pok Sianjin atau puteri Pendekar Bodoh sekalipun!”

Diam-diam Kam Seng merasa girang sekali, telah lama ia menahan-nahan dendamnya ketika ia mengetahui bahwa musuh besarnya, yaitu pembunuh ayahnya, adalah ayah Lili yang menjadi sumoinya. Dapat dibayangkan betapa menggeloranya hatinya ketika dulu ia melihat Pendekar Bodoh di puncak Gunung Beng-san.

Saking terharu dan sedihnya tak berdaya membalas dendam, dulu ia telah menangis sedih. Tak seorang pun mengetahui apa yang menyebabkannya menangis. Kini mendengar ucapan Mo-kai Nyo Tiang Le supeknya, ia menjadi girang sekali dan mulai hari itu ia belajar dengan tekun dan rajinnya, membuat girang hati Mo-kai Nyo Tiang Le.

Bertahun-tahun Kam Seng pergi merantau dengan Mo-kai Nyo Tiang Le, menjelajah seluruh propinsi di daerah Tiongkok, akan tetapi mereka tak bertemu dengan Sin-kai Lo Sian, bahkan mendengar beritanya pun tidak. Orang-orang kang-ouw yang mereka tanyai, tak seorang pun pernah bertemu dengan Sinkai Lo Sian yang telah menghilang untuk bertahun-tahun lamanya.

Terpaksa Mo-kai Nyo Tiang Le mewakili sutenya mendidik Kam Seng yang sesungguhnya menguntungkan pemuda itu, karena kepandaian Pengemis Iblis ini jauh lebih tinggi daripada kepandaian Pengemis Sakti.






Sembilan tahun lamanya Mo-kai Nyo Tiang Le mengajak Kam Seng merantau, berpindah-pindah dari barat ke timur, dari utara ke selatan dan sementara itu, kepandaian Kam Seng telah maju dengan cepat sekali. Ia telah mewarisi kepandaian Mo-kai Nyo Tiang Le, terutama sekali permainan Ilmu Silat Soan-hong-kun-hwat (Ilmu Silat Kitiran Angin) dan ilmu melepas senjata rahasia yang disebut Thio-tho-ci (biji buah Tho besi). Ilmu permainan tongkat dari Pengemis Iblis ini pun telah ia warisi dengan baik sekali.

“Supek,” kata Kam Seng pada suatu hari setelah supeknya itu menyatakan kekesalan hatinya karena belum juga dapat bertemu dengan Sin-kai Lo Sian, “apakah tidak bisa jadi Suhu terkena celaka di tangan Bouw Hun Ti dan Ban Sai Cinjin? Bagaimana kalau kita mencari disana?”

Supeknya mengangguk-angguk.
“Mungkin dugaanmu ini benar juga. Aku pun telah mempunyai dugaan demikian.” Ia menghela napas. “Memang Ban Sai Cinjin jahat dan kejam, akan tetapi ilmu kepandaiannya amat tinggi. Jangankan Sute, aku sendiri belum tentu dapat melawannya. Akan tetapi, kita harus dapat mengetahui bagaimana dengan nasib Sute. Kita berangkat ke dusun Tong-sin-bun.”

Mereka lalu menuju kembali ke barat dan tiba di dusun itu di waktu malam.
“Supek, biarlah teecu menyelidiki ke kuil itu.”

“Kau hati-hatilah, Kam Seng. Disana terdapat banyak orang pandai,” kata Mo-kai Nyo Tiang Le yang duduk di bawah pohon sambil minum arak yang dibelinya di warung arak.

“Jangan kuatir, Supek. Tak percuma selama ini teecu mempelajari ilmu kepandaian dari Supek.”

Pemuda ini lalu mempergunakan ilmunya berlari cepat menuju ke hutan itu. Ia melihat kelenteng itu terang sekali, penuh dengan lampu-lampu penerangan yang besar dan mewah.

Melihat keadaan kelenteng itu dan melihat betapa kain-kain sutera yang halus tergantung dijadikan tirai penutup pintu, ia menghela napas dan melirik ke arah pakaiannya sendiri. Semenjak ia pergi ikut dengan supeknya belum pernah ia berpakaian baik. Pakaiannya tambal-tambalan dan kotor sekali.

Sesungguhnya tidak sukar baginya kalau ia mau mengambil pakaian dari para hartawan, akan tetapi supeknya tentu melarangnya, dan ia merasa malu untuk berpakaian bagus sedangkan supeknya berpakaian kotor penuh tambalan. Keadaannya sama seperti seorang pengemis muda!

Kam Seng menanti sampai beberapa lama, akan tetapi oleh karena ia tidak melihat seorang pun keluar dari kelenteng itu, ia lalu memberanikan diri dan menghampiri kelenteng itu.

Dengan ginkangnya yang sudah terlatih baik dengan mudah ia lalu melompat ke atas genteng. Dari atas genteng ia melihat bahwa penerangan yang paling besar keluar dari ruangan belakang, maka dengan amat hati-hati ia lalu menuju ke ruang itu, mengerahkan gin-kangnya agar genteng yang diinjaknya tidak menerbitkan suara berisik.

Ketika ia mengintai ke bawah, ia melihat tiga orang sedang bercakap-cakap di dalam ruangan itu. Ia mengenal dua orang diantara mereka yaitu Bouw Hun Ti dan Ban Sai Cinjin. Yang seorang lagi adalah seorang tosu tua yang rambutnya masih nampak hitam, demikianpun jenggotnya.

Kam Seng merasa heran mendengar bahwa Ban Sai Cinjin yang berambut putih dan tua itu menyebut suheng (kakak seperguruan) kepada tosu ini. Sungguh mengherankan bahwa seorang yang usianya lebih tua daripada Ban Sai Cinjin masih nampak segar dan rambutnya masih hitam. Akan tetapi pada saat itu, percakapan mereka lebih menarik hati Kam Seng, karena ia mendengar nama Pendekar Bodoh’ disebut-sebut.

“Memang Pendekar Bodoh lihai sekali,” ia mendengar tosu itu berkata sambil menganggukkan kepalanya. “Ia telah mewarisi kepandaian Bu Pun Su. Akan tetapi pinto (aku) tahu bagaimana harus menghadapi dan melawannya. Ia mengandalkan pengertiannya tentang pokok dan dasar gerakan ilmu silat sehingga kalau ia dilawan dengan ilmu silat biasa, ia akan menang di atas angin. Akan tetapi pinto telah mempelajari ilmu silat dunia barat yang mempunyai gerakan berlainan dan dasarnya pun berbeda sehingga kalau menghadapi Pendekar Bodoh, belum tentu pinto takkan dapat merobohkannya!”

“Supek berkata benar,” Bouw Hun Ti tiba-tiba berkata, “bagaimanapun juga, Pendekar Bodoh bukan tidak dapat dilawan! Pernah teecu mendengar bahwa Pendekar Bodoh masih belum selihai Hek Pek Mo-ko (Iblis Hitam dan Iblis Putih, tokoh kang-ouw yang muncul dalam cerita Pendekar Bodoh). Pernah dia terluka oleh kedua saudara itu. Kalau kepandaian Suhu saja sudah setingkat dengan kepandaian Hek Pek Mo-ko karena dari satu cabang persilatan, mustahil kalau Supek tidak dapat menundukkan Pendekar Bodoh!”

Ketika Ban Sai Cinjin menyedot huncwenya dan hendak menjawab tiba-tiba tosu itu menengok ke arah genteng dimana Kam Seng mengadakan pengintaian dan berkata halus,

“Sahabat muda yang mengintai di atas genteng, kau turunlah saja!”

Bukan main kagetnya Kam Seng mendengar ucapan ini. Semenjak tadi ia mendengarkan dengan penuh perhatian dan hatinya tertarik sekali. Kalau orang-orang di bawah ini yang demikian lihai ternyata memusuhi Pendekar Bodoh, maka ia tidak sekali-kali boleh memusuhi mereka. Alangkah baiknya kalau ia bisa berkawan dengan mereka untuk membalas dendamnya kepada Pendekar Bodoh!

Telah berkali-kali supeknya, Mo-kai Nyo Tiang Le menyatakan bahwa kepandaian Pendekar Bodoh amat tinggi, masih lebih tinggi daripada kepandaian Pengemis Iblis itu, maka sudah menipislah harapan di dalam hati Kam Seng mendengar pernyataan ini. Kini mendengar betapa ilmu kepandaian Ban Sai Cinjin dan tosu yang menjadi suheng kakek berhuncwe itu demikian tingginya, ia mendapat sebuah pikiran baik sekali.

Mendengar ucapan tosu itu, makin yakinlah ia bahwa tosu itu benar-benar lihai sekali, maka ia lalu menjawab,

“Maafkan teecu yang muda berlaku lancang!”

Setelah berkata demikian, ia lalu meloncat ke bawah, melayang sambil menggunakan gerakan In-liong-san-hian (Naga Awan Perlihatkan Diri). Gerakan ini cukup indah dan ilmu lompatnya cukup hebat sehingga tiga orang yang berada di ruang itu memandang dengan kagum. Melihat seorang pemuda cakap berbaju tambal-tambalan dan kotor sekali, Ban Sai Cinjin lalu melangkah maju, dan bertanya,

“Orang muda, siapakah kau dan mengapa kau melakukan pengintaian di kelentengku?”

Kam Seng menjura memberi hormat dan otaknya yang cerdik diputar-putar, kemudian ia berkata dengan sikap gagah dan suara tenang,

“Tadi teecu mendengar tentang totiang ini yang hendak melawan Pendekar Bodoh. Oleh karena ada permusuhan pribadi antara teecu dan Pendekar Bodoh, maka hati teecu tertarik sekali dan ingin teecu mencoba kepandaian Totiang yang lihai. Teecu maklum bahwa teecu bukanlah lawan Totiang ini, akan tetapi kalau Totiang dapat mengalahkan teecu dalam sepuluh jurus, teecu akan menghambakan diri menjadi murid dan akan menceritakan sesuatu bahaya yang mengancam ketenteraman disini. Kalau Totiang tidak dapat mengalahkan teecu dalam sepuluh jurus, jangan harapkan akan dapat menangkan Pendekar Bodoh!”

Kata-kata ini membuat Bouw Hun Ti menjadi marah sekali dan ia melompat ke depan, cepat mengirim pukulan keras ke arah kepala Kam Seng sambil berseru,

“Macammu hendak menantang Supek?”

Pukulan tangan kanan Bouw Hun Ti ini keras sekali dan tenaga yang terkandung dalam pukulan itu cukup untuk menghancurkan batu karang. Sudah diketahui bahwa ilmu kepandaian Bouw Hun Ti sudah mencapai tingkat tinggi, lebih tinggi dari Sin-kai Lo Sian maka dapat diduga betapa lihai dan berbahayanya pukulan ini.

Akan tetapi, Kam Seng bukanlah seorang pemuda yang bodoh. Ia telah mewarisi kepandaian Mo-kai Nyo Tiang Le dan kepandaiannya sekarang mungkin sudah lebih tinggi daripada Sin-kai Lo Sian! Ia maklum bahwa dalam hal tenaga lwee-kang tak mungkin ia dapat melawan orang kuat ini, maka ia lalu mempergunakan kecerdikannya. Dengan lengan kanan, ia mengerahkan tenaga halus untuk menangkis pukulan lawan, sedangkan tangan kirinya tidak tinggal diam, akan tetapi digerakkan memukul ke depan dengan ilmu silat Soan-hong-jiu (Kepalan Kitiran Angin).

Bouw Hun Ti merasa terkejut sekali karena sebelum pukulannya mengenai sasaran, lebih dulu pukulan lawan itu mendatangkan angin yang hebat dan berbahaya sehingga terpaksa ia miringkan tubuhnya dan pukulannya tidak keras lagi. Ketika pukulannya tertangkis oleh lengan kiri Kam Seng, keduanya terpental ke belakang!

“Bagus…!” kata tosu itu yang sesungguhnya adalah suheng dari Ban Sai Cinjin yang bernama Wi Kong Siansu.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar