Sabtu, 20 Juli 2019

Pendekar Remaja Jilid 048

Demikianlah riwayat Kam Seng yang terlihat oleh Lili. Tentu saja Lili merasa terheran-heran melihat betapa Kam Seng dan orang tua yang berjenggot pendek itu ternyata menuju ke kelenteng dimana dulu Kam Seng akan dibelek perutnya oleh hwesio cilik murid Ban Sai Cinjin!

Sebetulnya, Kam Seng baru saja datang dari dusun Tong-sin-bun, ke rumah Ban Sai Cinjin untuk menjemput orang setengah tua yang menjadi utusan dari Pangeren Ong. Utusan ini adalah seorang guru silat yang dulu pernah pula mengajar Ong Tek di kota raja dan kini ia menerima tugas dari Pangeran Ong untuk menengok puteranya serta membawa segala macam barang kiriman berupa pakaian, uang dan lain-lain.

Kedatangan Kam Seng dan guru silat disambut oleh Ong Tek dengan girang sekali. Anak muda ini berlari menghampiri guru silat itu dan sambil memegang tangannya, ia bertanya,

“Tan-kauwsu, apakah Ayah dan Ibu baik-baik saja?”

“Baik, Kongcu, semua baik. Taijin dan Hujin hanya berpesan agar supaya Kong-cu belajar dengan rajin disini.”

Mereka bertiga lalu masuk ke ruang dalam, dimana terdapat Wi Kong Siansu dan Hok Ti Hwesio. Ban Sai Cinjin tidak berada di situ, karena kakek mewah ini lebih banyak bermalam di dusun Tong-sin-bun. Semenjak Wi Kong Siansu tinggal di kelentengnya itu, Ban Sai Cinjin tidak merasa leluasa kalau tinggal bermalam di situ pula. Ia merasa malu kepada suhengnya karena ia memiliki kesukaan yang meniadi pantangan bagi kakak seperguruannya, yaitu misalnya berminum minuman keras, main judi dengan kawan-kawannya, atau bergurau dengan perempuan-perempuan penyanyi.

Mata Lili yang tajam masih dapat mengenal Hok Ti Hwesio sebagai hwesio kecil yang dulu hampir membelek perut Kam Seng, maka makin heranlah ia melihat betapa kini Kam Seng dapat bersahabat dengan hwesio itu! Juga ia heran sekali ketika mendengar Kam Seng menyebut “Suhu” kepada tosu tua yang duduk di situ! Di manakah adanya suhu Sin-kai Lo Sian dan supek Mo-kai Nyo Tiang Le? Demikian dara perkasa ini bertanya seorang diri dengan penuh rasa bingung.

Lili mendengarkan guru silat she Tan itu bercerita tentang keadaan di kota raja dan hatinya berdebar keras ketika guru silat itu berkata,

“Agaknya keturunan Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya telah mulai datang dan mengacau pula di sekitar kota raja.”

Tidak hanya Lili yang mengintai dari atas genteng yang tertarik oleh penuturan ini, bahkan semua orang di bawah genteng juga tertarik sekali.

“Seorang pemuda keturunan Pendekar Bodoh atau entah kawan-kawannya karena menurut cerita Kam Thai-ciangkun, penjahat itu pandai ilmu-ilmu silat Pendekar Bodoh, telah mengacau di kota Tatung dan membunuh putera Kepala Daerah Tatung, yaitu Gui Kongcu. Bahkan pemuda jahat itu telah melarikan seorang gadis bangsa Haimi yang tadinya hendak menjadi bini muda Gui Kongcu!”

Kam Seng amat tertarik dan bertanya,
“Tan-kauwsu, siapakah namanya? Dan apakah ia benar-benar putera Pendekar Bodoh? Apakah namanya Hong Beng, Sie Hong Beng?”

Guru silat itu menggeleng kepalanya.
“Entahlah, tentang namanya aku tidak tahu. Hanya, menurut penuturan Kam-ciangkun, pemuda jahat itu lihai sekali. Kam-ciangkun sudah terkenal memiliki kepandaian tinggi sekali, akan tetapi ia mengaku bahwa pemuda pengacau itu ilmu silatnya benar-benar tinggi, hampir sama dengan Pendekar Bodoh!”

Tentu saja Lili merasa heran dan juga tertegun mendengar cerita ini. Siapakah pemuda itu? Benarkah Hong Beng kakaknya? Boleh jadi, karena ia mendengar dari ayah ibunya bahwa kakaknya itu pun telah meninggalkan perguruan dan kini menuju pulang setelah merantau dulu untuk meluaskan pengalaman.

Tiba-tiba terdengar suara tertawa dan ketika Lili memandang ke bawah, ia melihat bahwa yang tertawa itu adalah Hok Ti Hwesio, kepala gundul muda itu. Hok Ti Hwesio tertawa menyeringai dengan sikap menghina dan berkata,

“Ha-ha-ha, mengapa orang selalu menyebut-nyebut nama Pendekar Bodoh dan menganggapnya seakan-akan seorang dewata? Mengapa orang agaknya memuji-muji musuh dan memperkecil semangat sendiri? Urusan Pendekar Bodoh, serahkan saja kepadaku, siapa yang takut kepadanya? Tunggulah sampai aku bertemu dengan dia!”

Semua orang tahu bahwa Hok Ti Hwesio ini selain sombong seperti gurunya juga amat lihai. Ia telah mempelajari, tidak saja ilmu silat tinggi, akan tetapi juga ilmu sihir dan ilmu-ilmu yang aneh dan mujijat. Ia memiliki ilmu kebal yang luar biasa, bukan ilmu kebal yang timbul karena tenaga lwee-kang, akan tetapi ilmu kebal yang dipelajari oleh pengaruh sihir. Sebagaimana pernah dituturkan di bagian depan, untuk memperoleh ilmu ini, ia tidak segan-segan untuk makan jantung manusia.






Selain itu, ia amat terkenal dengan kepandaiannya melempar dan mainkan pedang kecil atau pisau belati yang disebutnya sendiri “hui-kiam” (pedang terbang). Pedang kecil ini dapat ia lontarkan dengan cepat dan yang aneh, pedang ini dapat mengejar sasarannya dan dapat terbang kembali seakan-akan bersayap. Tentu saja pedang itu tidak dapat terbang sebagaimana nampaknya, melainkan karena kepandaiannya melempar yang terlatih baik dan karena bentuk pedang itu agak bengkok, ditambah dengan pengerahan tenaga yang tepat maka pedang itu seakan-akan dapat terbang kembali.

Ketika Lili mendengar ucapan hwesio muda ini, timbul kemarahannya. Hampir saja ia melompat turun untuk mengamuk dan menampar mulut hwesio yang menantang-nantang ayahnya itu, akan tetapi ia teringat akan nasihat ayahnya yang berkata,

“Lili, kelemahan yang paling membahayakan diri kita sendiri, adalah rasa takut dan nafsu marah. Kalau kau takut dan marah, maka kau takkan dapat berlaku tenang dan mutu permainan silat akan menjadi turun serta keadaan menjadi lemah sekali. Oleh karena itu, baik dalam keadaan bagaimana juga kau harus dapat menguasai hatimu, dan dapat membebaskan diri dari rasa takut dan nafsu marah.”

Aku tidak boleh marah, pikirnya dan setelah dengan susah ia dapat menekan hawa amarah yang mengalun di dalam dadanya, Lili lalu memandang kembali ke bawah. Ia mendengar Tan-kauwsu masih banyak menceritakan keadaan kota raja dan melihat kepala Hok Ti Hwesio yang gundul plontos dan mengkilap tertimpa sinar tujuh batang lilin yang dipasang di atas meja, timbullah keinginan di hati Lili untuk mempermainkannya. Memang gadis ini mempunyai watak seperti ibunya, jenaka, nakal dan suka mempermainkan orang yang dibencinya.

Di atas genteng itu terdapat banyak tanah lumpur yang terjadi dari debu dan air hujan. Ia lalu menggaruk lumpur ini dari celah-celah genteng dan membuat beberapa butir pel lumpur sebesar kacang.

Lili bekerja dengan hati-hati sekali sehingga tidak menimbulkan suara sama sekali, kemudian ia meletakkan sebutir pel lumpur atau tanah liat itu di atas telapak tangan kiri, lalu menggerakkan jari tengah dan ibu jari kanan untuk menendang atau menyelentik pel itu ke bawah.

Ia tidak berani menggunakan tangan menyambit karena kalau ia lakukan hal ini, tentu angin tenaga sambitannya akan terdengar dari bawah oleh telinga orang-orang yang berkepandaian tinggi itu. Ketika pel tanah liat itu terkena tendangan jari tengah, benda kecil ini meluncur turun dengan amat cepat menuju ke arah kepala Hok Ti Hwesio yang gundul licin dan mengkilap.

“Plok!”

Pel tanah liat itu dengan tepat sekali mengenai kepala Hok Ti Hwesio dan menjadi gepeng serta melengket di kulit kepalanya! Akan tetapi tubuh hwesio muda itu tidak bergerak sedikit pun juga, seakan-akan serangan ini tidak terasa olehnya.

Hal ini amat mengejutkan hati Lili, oleh karena ia maklum bahwa tenaga selentikannya ini cukup untuk membuat tanah liat itu melubangi batang pohon! Demikian keraskah batok kepala hwesio itu?

Sebaliknya, Hok Ti Hwesio juga terkejut sekali. Ia tidak merasa terlalu sakit, akan tetapi cukup merasa pedas kulit kepalanya. Yang membuat ia amat terkejut adalah kelihaian serangan ini. Mengapa ia tidak mendengarnya sama sekali? Bagaimana orang dapat menyambit sesuatu tanpa mengeluarkan suara? Dan lagi, kalau memang betul yang menyambitnya seorang manusia yang berada di atas genteng, mengapa ia dan yang lain-lain tidak mendengarnya? Mungkin pendengaran telinganya kurang tajam, akan tetapi Wi Kong Siansu tentu akan mendengarnya!

Maka ia lalu meraba kepalanya dan mengira bahwa yang jatuh di atas kepalanya itu hanya tai cecak yang kebetulan jatuh di atas kepalanya. Juga Kam Seng dan Wi Kong Siansu mendengar suara “plok” tadi, akan tetapi karena mereka tidak melihat sesuatu hanya mengira bahwa itu adalah suara buah busuk yang jatuh di atas tanah di luar kelenteng.

Benda hitam kecil ke dua meluncur cepat, disusul dengan yang ke tiga dan ke empat. Tiba-tiba Hok Ti Hwesio berseru keras dan mencabut pisau belatinya dengan marah sekali. Kali ini ia merasa sakit sekali pada hidung dan kedua telinganya. Dengan tepat sekali tiga pel tanah liat kecil itu menghantam hidung dan kedua daun telinganya. Tak salah lagi, ini tentu perbuatan seorang manusia. Tak mungkin binatang cecak bisa melempar tai demikian kebetulan!

“Bangsat rendah, kalau kau memang berani, turunlah!” bentaknya sambil mendongakkan kepalanya memandang ke arah genteng.

Akan tetapi malang baginya, karena ia berseru sambil menengadah sebutir pel tanah liat yang tidak kelihatan dan tidak terdengar menyambarnya, tahu-tahu telah memasuki mulutnya dan tak tertahan pula terus masuk ke tenggorokan turun ke perut!

“Kurang ajar! Keparat!!”

Hok Ti Hwesio menggerakkan tubuhnya dan dengan cepat ia telah melompat keluar dan langsung naik ke genteng, sedangkan Wi Kong Siansu, Kam Seng, Tan-kauwsu dan Ong Tek memandang kelakuan hwesio itu dengan heran.

Ketika tiba di atas genteng, Hok Ti Hwesio memandang ke sana ke mari akan tetapi ia tidak melihat bayangan seekor kucing pun di atas genteng. Dengan mendongkol dan juga heran sekali ia melompat turun dan kembali ke dalam ruang itu.

Ia berpikir bahwa kalau memang benar ada orang mengganggunya, tentu orang itu melakukan hal itu karena marah mendengar ia tadi menantang Pendekar Bodoh, maka dengan suara keras ia berkata,

“Kalau yang datang tadi Pendekar Bodoh atau konco-konconya, maka ternyata bahwa Pendekar Bodoh dan konco-konconya hanyalah pengecut-pengecut besar yang berani menyerang dengan sembunyi! Kalau ia berani turun kesini, dalam beberapa jurus saja tentu pisauku ini akan menembus lehernya!”

Baru saja ucapannya habis, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari atas,
“Bangsat gundul bermulut besar!”

Berbareng dengan bentakan itu, berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di ruangan itu telah berdiri seorang gadis yang cantik jelita dan gagah sekali.

Semua orang terkejut melihat gadis ini, karena bagaimanakah seorang dara muda remaja memiliki gin-kang yang sedemikian tingginya sehingga kedatangannya sampai tidak terdengar sama sekali?

Yang lebih terkejut adalah Kam Seng, karena sekali memandang saja ia mengenal gadis ini sebagai Lili!

“Lili…!” ia berseru perlahan dengan mata terbelalak.

Kalau orang melihat sinar matanya, disitu akan terbayang kasih sayang yang besar, tercampur kebencian yang mengejutkan. Memang, semenjak dahulu ketika tertolong oleh Sinkai Lo Sian, Kam Seng merasa kagum dan suka sekali kepada Lili. Ia kagum akan kecantikan dan kejenakaan gadis ini, sehingga dulu seringkali ia diam-diam memandang kepada gadis itu dengan pikiran melamun.

Akan tetapi, di samping rasa kasih sayangnya ini, ia mangandung kebencian hebat sekali mengingat bahwa dara jelita ini adalah puteri dari musuh besarnya, Pendekar Bodoh!

Seruan perlahan ini terdengar juga oleh Lili, maka ia menengok dan tersenyum manis.
“Kukira tadi bukan Kam Seng yang berada disini, akan tetapi ternyata benar-benar kau! Mengapa kau berada disini? Di manakah Suhu dan Supek?” tanyanya sambil memandang tajam.

Sinar matanya berkelebat seakan-akan menembus dada Kam Seng sehingga pemuda itu merasa tak enak hati sekali dan mukanya berubah merah.

Sementara itu, Wi Kong Siansu dan yang lain-lain juga sudah bangkit dari tempat duduknya, dan Hok Ti Hwesio bertanya kepada Kam Seng,

“Sute, siapakah perempuan ini?”

Tiba-tiba timbul sebuah pikiran yang baik dalam otak Kam Seng. Ia memang mempunyai perasaan tidak suka kepada Hok Ti Hwesio yang kini menjadi suhengnya, dan ia ingin mengadu hwesio ini dengan Lili agar dengan demikian ia dapat mengadukan dua orang yang termasuk dalam daftar musuhnya.

“Suheng, kau tadi mencari Pendekar Bodoh. Nah, inilah puterinya yang bernama Sie Hong Li atau Lili!”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar