Sabtu, 20 Juli 2019

Pendekar Remaja Jilid 049

Lili makin terheran mendengar ucapan Kam Seng ini.
“Dan Si Gundul ini kalau tidak salah tentulah si tukang membelek perut, bukan? Apakah dia sekarang menjadi suhengmu, Kam Seng?"

Makin merahlah muka Kam Seng mendengar hal ini.
“Lili…” katanya perlahan. “Sekarang tidak ada hubungan antara kau dan aku lagi, aku… aku sudah menjadi murid Wi Kong Siansu, yaitu suhuku yang baru ini!”

Lili tersenyum mengejek.
“Siapa bilang bahwa kau dan aku pernah ada hubungan? Dari dulu pun kita tidak mempunyai hubungan sesuatu!”

Sementara itu, Hok Ti Hwesio tak dapat menahan kemarahannya lagi.
“Bagus, hendak kulihat sampai dimana kelihaian anak dari Pendekar Bodoh!”

Sambil berkata demikian, ia lalu menyerang dengan pisau belatinya, menusuk ke arah dada Lili yang berdiri dengan tenang. Melihat tusukan ini, Lili tertawa mengejek dan sambil mengelak gesit ia mentertawakan hwesio itu.

“Tukang sembelih babi! Bagaimana kau berani berlagak di depan nonamu?? Apakah kau masih ingin merasai pel tanah liat lagi? Masih kurang kenyangkah yang tadi itu?”

Sambil berkata demikian, tangan Lili terayun dan ia melemparkan dua butir pel lagi yang masih dipegangnya. Dengan cepat sekali dua butir pel itu menyambar ke arah sepasang mata Hok Ti Hwesio!

Bukan main kagetnya Si Kepala Gundul ini, ketika melihat dua titik hitam berkelebat menyambar matanya. Ia cepat menundukkan mukanya, akan tetapi serangan dua butir pel tanah liat itu benar-benar cepat sekali.

“Tak! Tak!”

Bagaikan dua buah pelor besi, dua butir pel tanah liat itu melesat di atas kepalanya yang gundul, sungguhpun tak dapat melukai kulitnya yang kebal, namun cukup mendatangkan rasa sakit!

“Perempuan liar, kau harus mampus!” serunya marah dan ia lalu maju lagi menyerang dengan cepat, menggunakan gerak tipu yang disebut Coan-jiu-ciongkiam (Lonjorkan Lengan Sembunyikan Pedang).

Gerakan ini merupakan serangan yang berbahaya sekali, karena ia melakukan serangan dengan pukulan tangan kanan sambil menyembunyikan pedang kecil itu di bawah lengannya. Pedang kecil ini siap untuk diputar dan ditusukkan apabila pukulan itu dapat dielakkan lawan.

Akan tetapi, Lili yang sudah menerima latihan-latihan ilmu silat tinggi dari ayah ibunya, bahkan sudah menerima ilmu silat warisan dari Swie Kiat Siansu yang diturunkan melalui ayahnya, tentu saja hanya mentertawakan serangan ini.

Ia maklum bahwa pedang kecil yang tersembunyi di bawah lengan itu akan melakukan serangan lanjutan, maka ia lalu memutar kedudukan kakinya, mengelak sambil mainkan Ilmu Silat Sianli Utauw (Tari Bidadari) yang indah sehingga tubuhnya seakan-akan sedang menari-nari menghadapi serangan lawannya. Mulutnya yang kecil manis itu tiada hentinya tersenyum dan sambil menggerakkan tubuh mengerling tajam ke arah lawannya, ia menyindir,

“Tikus gundul! Tiada guna kau maju memperlihatkan kebodohanmu! Suruhlah Bouw Hun Ti si keparat itu keluar untuk kuambil kepalanya!”

Hok Ti Hwesio makin marah, apalagi ketika ia mendengar Wi Kong Siansu berkata sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah gadis itu,

“Itulah Ilmu Silat Sianli Utauw yang lihai dari Ang I Niocu! Hok Ti, kau mundurlah karena kau takkan menang menghadapi Nona ini!”

Hanya seorang saja di dunia ini yang ditakuti dan ditaati oleh Hok Ti Hwesio, yaitu gurunya, Ban Sai Cinjin. Biarpun ia menghormati supeknya ini, namun di dalam kemarahan dan rasa penasarannya terhadap Lili ucapan supeknya itu bahkan menambah kemarahannya.

“Biarlah, Supek. Masa teecu tidak dapat mengalahkan perempuan liar ini?”

Ia lalu maju lagi dan kini mengirim serangan maut bertubi-tubi. Pisau belati di tangannya menyambar-nyambar cepat sekali dan karena gin-kangnya memang sudah tinggi, sedangkan pisau itu kecil dan ringan, ditambah tenaga lwee-kangnya yang sudah baik, maka tubuhnya lenyap berubah menjadi segunduk bayangan yang mengurung tubuh Lili dari segenap jurusan.






Lili sudah mempelajari ilmu silat tinggi dari ayahnya, bahkan biarpun belum sempurna seperti ayahnya, namun dara jelita yang gagah perkasa ini sudah mengerti pula tentang dasar dan pokok pergerakan ilmu silat, maka dengan enaknya ia menghadapi serangan-serangan Hok Ti Hwesio.

Ia melihat hwesio itu menyerangnya dengan gerak tipu Tiang-ging-king-thian (Pelangi Panjang Melengkung di Langit) dan pedang kecil itu menyambar di atas kepalanya, sedangkan kaki kanan hwesio itu menendang dengan cepatnya sambil mengerahkan tenaga Kim-kong-twi (Tendangan Sinar Emas).

Melihat gerakan pedang dan kaki yang menendang, Lili dapat menduga bahwa lawannya tentu memancingnya untuk mengetakkan tendangan itu dengan gerak lompat Kim-le-coan-po (Ikan Gabus Terjang Ombak) atau Cian-liong-seng-thian (Naga Sakti Naik ke Langit) agar tubuhnya naik ke atas sehingga pedang kecil yang berkelebat di atas kepalanya itu dapat menyerangnya dengan gerak tipu Liong-ting-thi-cu (Ambil Mutiara di Kepala Naga).

Ia maklum pula akan berbahayanya serangan beruntun ini, akan tetapi dasar Lili memang berhati tabah, berwatak nakal jenaka, dan sudah memiliki perhitungan yang tepat maka dengan sengaja seakan-akan tidak tahu bahaya, ia segera melompat ke atas mengelakkan serangan tendangan lawan dengan Ilmu Lompat Cian-liong-seng-thian!

Hok Ti Hwesio menjadi girang sekali melihat pancingannya berhasil dan benar saja, seperti yang sudah diduga oleh Lili, pedang kecil di tangannya lalu menyambar dari atas, memapaki kepala Lili dengan gerakan Liong-ting-thi-cu (Ambil Mutiara di Kepala Naga)!

Satu hal yang tidak terduga oleh Lili, yaitu sambil melakukan serangan berbahaya ini, tangan kiri Hok Ti Hwesio tidak tinggal diam dan maju memukul ke arah dada gadis itu dengan pukulan yang mengandung tenaga Thiat-ciang-kang (Pukulan Tangan Besi)!

Kam Seng yang melihat bahaya mengancam gadis cantik yang diam-diam menjatuhkan cinta kasihnya itu, hampir saja berseru ngeri karena bagaimanakah orang dapat menghindarkan diri dari bahaya serangan sehebat itu?

Akan tetapi Lili berlaku tenang. Ia mengangkat tangan kirinya ke atas dan menggerakkan tangannya itu secara luar biasa sekali ke arah pedang lawan sehingga terdengar suara “cring…!!” dan ternyata ia telah berhasil menangkis pedang lawannya itu dengan gelang emas yang melingkar di pergelangan tangan kirinya! Adapun pukulan ke arah dadanya itu ia sambut dengan tangan kanannya, dengan telapak tangan dari jari-jari yang dikembangkan!

“Ah… tangan kanan itu sudah terang mainkan Pek-in-hoatsut akan tetapi tangan kiri itu… apakah itu yang disebut Kong-ciak Sinna, ilmu-ilmu lihai dari Bu Pun Su?” terdengar Wi Kong Siansu berseru kagum.

Akan tetapi, orang lain tidak memperhatikan ucapan ini karena memang lebih tertarik melihat akibat dari dua gerakan gadis yang lihai itu. Hok Ti Hwesio tadi merasa kaget setengah mati ketika menyaksikan betapa gadis muda itu dapat menangkis pedangnya hanya dengan gelang di tangannya!

Akan tetapi kekagetannya itu tidak berarti apabila dibandingkan dengan kenyataan yang ia hadapi ketika pukulan tangan kirinya bertumbuk dengan telapak tangan gadis itu! Ia tidak merasa bahwa kepalan tangannya sudah bertemu dengan telapak tangan kanan lawannya, akan tetapi dari telapak tangan itu mengebul uap putih dan ia merasa lengan kirinya seakan-akan hendak patah! Rasa sakit menusuk-nusuk tulang lengannya yang kiri, dan ia tahu bahwa itu adalah akibat membaliknya tenaga pukulannya sendiri!

Sambil berseru keras hwesio ini melompat ke belakang dan cepat menggunakan gagang pedangnya untuk menotok urat lengan kirinya dan dengan cara demikian ia membuyarkan tenaga sendiri yang membalik karena tangkisan gadis secara istimewa tadi!

“Perempuan liar! Jangan lari!” teriak Hok Ti Hwesio dengan keras dan marah, suatu sikap untuk menutup rasa malunya dan untuk memperbesar semangatnya.

Ia menubruk maju lagi dan kini ia bersilat lebih hati-hati. Diam-diam ia merasa penasaran dan sedih sekali sehingga ingin sekali ia menangis berkaok-kaok saking jengkelnya. Bagaimanakah dia, Hok Ti Hwesio, murid Ban Sai Cinjin, yang semenjak masih kecil dengan rajin dan tekunnya mempelajari banyak macam ilmu silat tinggi, bahkan telah memiliki kekebalan dan ilmu kesaktian yang berdasarkan ilmu hitam, sudah “bertapa” mencari kesaktian dari mahluk halus, bermalam di tanah pekuburan, kini dengan pedang di tangan tidak berdaya menghadapi seorang gadis yang bertangan kosong?

Saking jengkelnya, ia tidak ingat lagi akan pengalamannya yang tadi. Kalau Hok Ti Hwesio tidak begitu jengkel dan penasaran, tentu telah terbuka matanya bahwa ia menghadapi seorang lawan yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi daripadanya.

“Hemm, tikus gundul! Binatang rendah macam kau inikah yang hendak melawan ayah? Ha, kau perlu diberi rasa sedikit!”

Setelah berkata demikian, Lili mengubah caranya bersilat dan kini ia mainkan Sianli Utauw bagian yang paling cepat. Tubuhnya seakan-akan lenyap berubah menjadi sinar kemerahan dari bajunya yang berkembang merah itu, dan pandangan mata Hok Ti Hwesio menjadi pening.

Seringkali ia menyaksikan gurunya atau supeknya bersilat dengan hebat, akan tetapi belum pernah melihat yang secepat ini. Ia lalu mengamuk dan menggunakan pedang kecilnya menyambar ke arah bayangan tubuh lawannya, akan tetapi tiap kali pedangnya menyerang, ia merasa hanya mengenai angin saja karena lawannya sudah dapat mengelak lebih dulu. Dan sebagai imbangannya, terdengar suara “tok!” karena kepalanya telah kena diketok oleh jari tangan Lili.

Beberapa puluh jurus mereka bertempur dan entah sudah beberapa belas kali terdengar suara “tak-tok! tak-tok!” karena selalu tangan atau kaki Lili berkenalan dengan kepala yang gundul klimis itu.

Gadis ini benar-benar merasa kagum dan heran. Ketokan, pukulan, dan tendangannya itu dilakukan dengan tenaga lwee-kang yang penuh dan kuat sekali, jangankan baru kepala orang, biarpun kepala patung batu akan pecah atau retak terkena serangan ini. Bagaimanakah hwesio ini dapat menerima semua pukulan itu dengan adem saja, seakan-akan yang hinggap di kepalanya hanyalah lalat-lalat belaka?

Sebaliknya, Hok Ti Hwesio menjadi demikian mendongkol, malu, penasaran dan marah sehingga tak terasa lagi dari kedua matanya keluar dua titik air mata yang besar-besar! Bukan main gemasnya karena kepalanya dibuat main bola oleh gadis ini, dan biarpun ia dapat menahan pukulan itu, namun tetap saja ia merasa sedikit puyeng!

Wi Kong Siansu khawatir kalau-kalau murid keponakan ini akan mendapat luka di dalam otaknya akibat pukulan-pukulan lihai itu, maka ia segera membentak,

“Hok Ti! Mundur kau…!”

Kali ini Hok Ti Hwesio tidak membangkang, karena di dalam suara supeknya terdengar perintah yang amat keras. Pula, tadinya ia ingin mengadu nyawa karena merasa malu mengundurkan diri mengaku kalah setelah ia tadi bersumbar, kini ia melihat kesempatan baik karena supeknya yang memerintahnya mundur!

Dengan gerak lompatan Naga Hitam Berjungkir Balik ia melompat ke belakang, membuat poksai (salto) tiga kali dan tiba-tiba ketika tubuhnya masih berjumpalitan itu, pisau belati yang berada di tangannya telah ia lontarkan ke arah Lili!

Inilah keistimewaan Hok Ti Hwesio. Pedang kecil atau pisau belati itu menyambar dengan cepatnya, merupakan sinar putih yang mengkilap menuju ke arah leher Lili yang sama sekali tidak menyangkanya.

Akan tetapi, dengan tenang sekali dan masih tersenyum, Lili mengangkat tangan kiri ke depan leher dan dengan gerak tipu Kwan-im-siu-koai-to (Dewi Kwan Im Menyambut Golok Siluman) ia telah dapat menangkap hui-kiam (pedang terbang) itu dan berbareng pada saat itu juga, ia mengirim pulang pedang itu dengan melontarkannya ke arah perut Hok Ti Hwesio disusul suara ejekannya,

“Nah, makanlah pisau penyembelih babimu ini!”

Baru saja tubuh Hok Ti Hwesio melompat turun, pisaunya telah terbang menyambar perutnya yang kecil karena jarang makan itu. Ia terkejut sekali dan tidak sempat mengelak atau menangkis, maka ia lalu mengerahkan kekebalannya ke tempat yang terserang itu dan “bret!” hanya pakaiannya sajalah yang terobek oleh pisau itu, akan tetapi kulitnya lecet pun tidak!

“Terlalu enak bagimu!”

Lili berseru penasaran dan sambil melangkah maju dua tindak, ia melancarkan pukulan Pek-in-hoatsut ke arah hwesio itu dengan kedua lengannya!






Tidak ada komentar:

Posting Komentar