Dalam perkelahian menghadapi lawan, baru kali ini ia mempergunakan kipas ini, maka ia berlaku amat hati-hati agar jangan sampai lukisan pada kipas itu menjadi rusak. Maka ia lalu menutup kipasnya, dan hanya menggunakan gagangnya saja untuk menghadapi Kam Seng.
Hal ini tidak saja memperlambat kemenangannya, bahkan membuat ia sukar sekali menjatuhkan lawannya. Kalau kipas itu dibuka, maka senjata istimewa ini menjadi tiga kali lipat lebih berbahaya, karena gagangnya berubah menjadi dua di kanan kiri yang keduanya dapat dipergunakan untuk menotok.
Permukaan kipas dapat dipergunakan untuk mengacaukan pandangan mata musuh, bahkan angin kipasannya saja dapat membingungkan lawan. Dengan menutup kipas itu, maka senjata ini hanya merupakan sebuah gagang yang digerakkan untuk menangkis atau mengirim serangan totokan.
Sebelum berguru kepada Wi Kong Siansu, terlebih dulu Kam Seng telah mendapatkan gemblengan dari Mo-kai Nyo Tiang Le dan ia telah banyak menderita sehingga ia menjadi tekun sekali melatih lwee-kang, maka ilmu pedangnya kini sama sekali tak dapat dibilang rendah tingkatnya.
Kalau saja Lili tidak sayang kepada kipasnya dan melayaninya dengan kipas terbuka, dapat dipastikan bahwa kurang dari dua puluh jurus saja Kam Seng akan dapat dirobohkan.
Akan tetapi, karena Lili menghadapinya dengan kipas tertutup, maka pertempuran berjalan sengit dan ramai sekali. Namun masih saja Lili selalu berada di pihak penyerang, karena dengan pengertiannya akan dasar dan pokok pergerakan ilmu silat, gadis ini dapat menduga gerakan-gerakan dan perkembangan serangan lawan dan dapat mendahuluinya.
Berbeda dengan ketika melawan Hok Ti Hwesio, Lili tidak mau mengejeknya dan tidak mau mempermainkannya pula, karena tidak terkandung kebencian di dalam hatinya terhadap Kam Seng, hanya penyesalan dan kekecewaan besar melihat pemuda itu tersesat.
Setelah bertempur hampir lima puluh jurus, perlahan akan tetapi pasti Lili mulai mendesak Kam Seng. Pemuda ini merasa penasaran sekali, karena bagaimanakah Lili dapat berkelahi demikian kuatnya dengan hanya bersenjata sebuah kipas kecil? Ia mengerahkan ilmu silat yang ia pelajari dari Mo-kai Nyo Tiang Le, akan tetapi sia-sia belaka. Kipas Lili benar-benar hebat sekali dan selalu ujung gagang gading itu mengancam jalan darahnya.
Pada saat pedangnya berkelebat membabat pinggang Lili dan dapat ditangkis oleh Lili yang mementalkan gagang gadingnya dan membalas dengan totokan ke arah iga, terpaksa Kam Seng menjatuhkan diri ke bawah dengan gerak tipu Harimau Lapar Mengintai Korban. Dengan amat cepatnya, ia lalu menggerakkan pedang menyapu pergelangan kaki gadis itu.
Menghadapi serangan ini, Lili memperlihatkan kepandaiannya yang mengagumkan. Ia tidak melompat ke atas untuk menyelamatkan kakinya, bahkan ia lalu memapaki datangnya pedang ini dengan gerakan kaki yang disebut gerak tipu Dewa Bumi Menginjak Ular.
Kaki kanannya dengan kecepatan luar biasa dan dari arah atas menyerong ke bawah dapat menyambut permukaan pedang dan sambil meminjam tenaga serangan lawan, ia menekan dan menggerakkan tenaga lwee-kang pada kakinya yang terus menindih dan menginjak pedang itu di atas tanah!
Kam Seng terkejut sekali. Ia cepat mengerahkan tenaga untuk membetot pedangnya, akan tetapi sia-sia belaka. Pedangnya itu seakan-akan terjepit dan tertindih oleh batu karang yang berat sekali sehingga tak dapat terlepas dari tindihan kaki Lili yang memandangnya sambil tersenyum!
Kemudian, gagang kipas gading di tangan Lili menyambar turun, menotok ke arah pundak kanan Kam Seng. Melihat datangnya totokan yang amat berbahaya ini, terpaksa pemuda itu melakukan hal yang membuatnya mendapat malu dan yang sekaligus menyatakan kekalahannya. Yaitu ia melepaskan gagang pedangnya dan menggulingkan tubuhnya ke belakang dengan gerakan Trenggiling Turun dari Lereng! Ia dapat menghindarkan diri dari totokan, akan tetapi ia harus melepaskan pedangnya yang berarti bahwa ia telah kalah!
Dengan muka merah ia melompat bangun dan berdiri menundukkan muka akan tetapi diam-diam ia amat mengagumi gadis puteri musuh besarnya itu.
“Hebat…, hebat…!” kata Wi Kong Siansu sambil melangkah maju menghadapi Lili yang masih menginjak pedang.
Sekali tosu tua ini mengebutkan ujung lengan bajunya, maka tubuhnya merendah dan ujung lengan baju melibat gagang pedang itu bagaikan seekor ular. Lalu ia membetot keras akan tetapi mukanya tiba-tiba menjadi merah ketika merasa bahwa pedang itu tak dapat terbetot dari injakan kaki Lili!
Ia terkejut dan diam-diam ia kagum sekali karena ternyata bahwa tenaga injakan itu benar-benar hebat. Ia dapat menduga bahwa gadis ini tentu menggunakan tenaga Thai-san-cui, karena hanya dengan ilmu pengerahan tenaga ini sajalah betotannya dapat tertahan. Kakek ini tersenyum-senyum, kemudian sambil berseru,
“Lepas!” ia lalu mengerahkan tenaga Im-yang-cui.
Tenaga betotannya kali ini bukanlah tenaga membetot semata, karena ujung bajunya itu membetot dengan terbalik, yaitu bahkan mendorong pedang itu ke depan, kemudian ditengah-tengah dorongannya ini, ia lalu menarik keras. Inilah tenaga Im-yang-cui yang sifatnya bertentangan, akan tetapi dapat dipergunakan dengan berbareng maka kehebatannya pun luar biasa sekali.
Lili maklum bahwa ia tidak dapat mempertahankan injakannya lagi, maka ia tiba-tiba melepaskan tenaga injakannya sambil berbareng menekuk jari kakinya, yaitu ibu jari dan jari kedua, lalu jari-jari kakinya itu menggunakan gerakan menyentik pedang itu!
Memang gadis ini selain nakal, juga banyak akal dan lihai sekali. Sungguhpun jari kakinya tersembunyi di dalam sepatu kain, namun tenaganya dapat berkurang karenanya, dan masih dapat melakukan gerakan yang lihai ini.
Pedang itu yang terbetot oleh ujung lengan baju Wi Kong Siansu, ditambah dengan tenaga menyentik dari jari kaki Lili, tiba-tiba bergerak membalik dan seakan-akan terbang menuju ke arah leher tosu itu!
Kini Wi Kong Siansu yang maklum akan demonstrasi yang diperlihatkan oleh gadis itu, tidak mau “kalah muka”! Melihat datangnya pedang yang melayang ke arah lehernya, ia lalu merendahkan tubuh dan membuka mulutnya. Pedang itu, dengan tepat sekali memasuki mulutnya dan tergigitlah ujung pedang itu oleh gigi si kakek yang lihai!
Semua orang memandang dengan melongo melihat betapa gagang pedang itu bergoyang-goyang seakan-akan pedang itu telah menancap di batang pohon! Lili sendiri pun merasa kagum dan terkejut karena makin maklum bahwa ia kini menghadapi seorang tosu yang berilmu tinggi sekali. Dengan tenang Wi Kong Siansu mengambil pedang itu dari mulutnya, kemudian tersenyum-senyum kepada Lili lalu berkata,
“Siancai… Sungguh seorang gadis yang lihai, cerdik, nakal dan tabah sekali! Nona, kau masih begini muda, akan tetapi telah mewarisi kepandaian Pendekar Bodoh, bahkan telah mewarisi kepandaian Swie Kiat Siansu! Tidak percuma kau menjadi puteri Pendekar Bodoh! Akan tetapi pinto (aku) tidak ingin bertanding melawan seorang kanak-kanak seperti kau. Lebih baik kau pulang saja dan kalau memang kau ingin mengacau rumah tangga kawan-kawanku, suruhlah ayahmu yang datang kesini.”
“Totiang, kau tidak ingin bertanding melawan aku, sebaliknya siapakah yang ingin bertempur dengan kau? Sudah kukatakan bahwa kedatanganku bukan hendak berurusan dengan kau, dan juga aku tidak butuh sesuatu dari Kam Seng atau kepala gundul itu! Aku hanya perlu mencari manusia busuk bernama Bouw Hun Ti untuk kupenggal lehernya dan kubawa pulang kepalanya!”
Pada waktu itu, Bouw Hun Ti tidak berada di kelenteng itu, bahkan tidak ada pula di dusun Tong-sin-bun, oleh karena orang she Bouw ini semenjak beberapa hari yang lalu telah pergi jauh ke utara. Bouw Hun Ti memang seorang yang amat cerdik dan hati-hati. Biarpun ia telah berhasil mengundang datang Wi Kong Siansu untuk memperkuat kedudukannya namun ia masih berkhawatir juga. Setelah berunding dengan suhu dan supeknya itu dan mendapat persetujuan, ia lalu berangkat ke utara untuk mengunjungi tiga orang sahabat baiknya yang berilmu tinggi yaitu yang disebut Hailun Thai-lek Sam-kui (Tiga Iblis Geledek dari Hailun).
Ketiga orang ini adalah orang-orang yang aneh dan sakti dan yang tinggal di Hailun, yaitu sebuah kota di daerah Mancuria. Bouw Hun Ti mengunjungi mereka untuk membujuk mereka datang dan bersama-sama menghancurkan Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya. Ia mempunyai harapan besar untuk mendapat bantuan ketiga orang ini yang masih terhitung keluarga dari Panglima Mongol yang bernama Balaki dan yang dulu tewas dalam perang ketika orang Mongol menyerbu ke selatan (baca cerita Pendekar Bodoh).
Mendengar ucapan Lili yang menyatakan hendak memenggal leher Bouw Hun Ti, Wi Kong Siansu tertawa.
“Ah, sungguh kau sombong sekali, Nona. Belum tentu Bouw Hun Ti akan demikian mudahnya menyerahkan lehernya untuk kau sembelih! Pula, pada saat ini, murid keponakanku itu tidak berada disini.”
“Bohong!” seru Lili marah. “Totiang, kau ingatlah. Sungguhpun aku tidak ingin bermusuhan dengan kau orang tua, akan tetapi kalau kau menyembunyikan dan membela keparat Bouw Hun Ti, terpaksa aku berlaku kurang ajar!”
Tiba-tiba terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh dari kelenteng disusul dengan mengebulnya asap hitam dan berkelebatnya tubuh seorang tua pendek gemuk yang berpakaian mewah. Ban Sai Cinjin telah datang sambil membawa huncwenya yang mengebulkan asap hitam, tanda bahwa ia telah siap untuk bertempur! Bagaimanakah orang ini bisa datang ke kelenteng itu pada waktu malam gelap?
Sebagaimana telah diceritakan di bagian depan, hampir semua rumah penginapan dan toko-toko besar di dusun Tong-sin-bun adalah milik dari Ban Sai Cinjin. Demikian pula rumah penginapan dimana Lili bermalam, adalah rumah penginapan orang tua ini pula.
Para pengurus hotel ketika menyaksikan kecantikan Lili, segera memberi laporan kepada Ban Sai Cinjin yang mata keranjang dan rnemang berwatak sebagai bandot tua. Ia amat girang mendengar bahwa di hotel itu bermalam seorang gadis cantik jelita, dan penuturan pengurus rumah itu bahwa gadis ini nampaknya berkepandaian tinggi, bahkan makin menggembirakan hatinya.
“Ha-ha-hi-hi! Itulah yang selama ini kucari-cari,” katanya. “Aku sudah bosan dengan gadis-gadis yang lemah. Aku sudah bosan dengan bunga-bunga harum yang mudah layu dan rontok. Aku menghendaki bunga hutan, bunga liar. Ha-ha-ha!”
Akan tetapi ketika ia mendengar bahwa gadis itu keluar dari kamar tanpa diketahui ke mana perginya, dan ditunggu-tunggu belum juga kembali mulai curigalah hati Ban Sai Cinjin. Di dusun sekecil Tong-sin-bun, orang dapat melancong ke manakah? Apalagi seorang gadis muda!
Ia teringat akan penuturan pengurus hotel bahwa gadis itu berkepandaian silat, dan karena Ban Sai Cinjin merasa bahwa ia mempunyai banyak musuh yang mendendam sakit hati kepadanyaa maka ia lalu berlaku waspada. Digantinya tembakau pada huncwenya dan ia lalu berlari cepat menuju ke kelenteng di tengah hutan itu, benar saja, ia melihat gadis cantik jelita itu berada di dalam kelentengnya dan mengucapkan ancaman terhadap muridnya Bouw Hun Ti.
Ia lalu tertawa dan melompat masuk, dan sambil menyembunyikan rasa kagumnya menyaksikan kecantikan yang luar biasa dari gadis itu ia berkata,
“Nona, kau mencari Bouw Hun Ti? Ha-ha, muridku ini sedang pergi jauh. Biarlah aku mewakilinya menyambutmu yang sudah datang dari tempat jauh. Kalau aku tahu, tentu kau tak kuperbolehkan mendiami kamar hotelku yang kecil itu, akan kusediakan kamar besar dan mewah di rumahku. Ha-ha-ha!”
Melihat munculnya orang tua itu, maklumlah Lili bahwa ia harus melawan mati-matian, karena ia tahu akan kelihaian dan kejahatan Ban Sai Cinjin.
“Hemm, aku tahu siapa kau ini. Ban Sai Cinjin, aku memang datang untuk memenggal leher muridmu Bouw Hun Ti, untuk membalas dendamku ketika aku terculik olehnya di waktu aku masih kecil dan terutama sekali untuk membalasnya karena ia telah membunuh kakekku, yaitu Yo Se Fu!”
“Mudah saja, mudah. Marilah kau ikut aku ke rumah, dan sementara menanti datangnya Bouw Hun Ti, kita makan minum untuk menghormat kedatanganmu!”
Lili maklum bahwa orang tua ini mencari perkara. Menghadapi Ban Sai Cinjin tak boleh gegabah, apalagi disitu terdapat Wi Kong Siansu yang menjadi suheng dari orang tua mewah ini, maka kalau tidak diserang, lebih baik jangan mencari penyakit sendiri.
“Ban Sai Cinjin, kata-katamu sama hitamnya dengan tembakaumu yang berbau busuk! Siapa mau meladeni orang seperti kau? Kalau Bouw Hun Ti si jahanam itu tidak berada disini, sudahlah!”
Ia lalu menggerakkan kakinya hendak pergi dari situ, akan tetapi tiba-tiba Ban Sai Cinjin bergerak maju menghadang di tengah jalan.
“Ha-ha-hi-hi, enak saja kau mau pergi dari sini! Kau datang ke kelentengku tanpa kupanggil, dan kau datang dengan maksud jahat, apakah aku harus membiarkan kau berlaku sesuka hatimu? Hendak kulihat sampai dimana kelihaianmu maka kau berani membuka mulut besar hendak membunuh muridku. Siapakah adanya kau yang sombong ini?”
Hal ini tidak saja memperlambat kemenangannya, bahkan membuat ia sukar sekali menjatuhkan lawannya. Kalau kipas itu dibuka, maka senjata istimewa ini menjadi tiga kali lipat lebih berbahaya, karena gagangnya berubah menjadi dua di kanan kiri yang keduanya dapat dipergunakan untuk menotok.
Permukaan kipas dapat dipergunakan untuk mengacaukan pandangan mata musuh, bahkan angin kipasannya saja dapat membingungkan lawan. Dengan menutup kipas itu, maka senjata ini hanya merupakan sebuah gagang yang digerakkan untuk menangkis atau mengirim serangan totokan.
Sebelum berguru kepada Wi Kong Siansu, terlebih dulu Kam Seng telah mendapatkan gemblengan dari Mo-kai Nyo Tiang Le dan ia telah banyak menderita sehingga ia menjadi tekun sekali melatih lwee-kang, maka ilmu pedangnya kini sama sekali tak dapat dibilang rendah tingkatnya.
Kalau saja Lili tidak sayang kepada kipasnya dan melayaninya dengan kipas terbuka, dapat dipastikan bahwa kurang dari dua puluh jurus saja Kam Seng akan dapat dirobohkan.
Akan tetapi, karena Lili menghadapinya dengan kipas tertutup, maka pertempuran berjalan sengit dan ramai sekali. Namun masih saja Lili selalu berada di pihak penyerang, karena dengan pengertiannya akan dasar dan pokok pergerakan ilmu silat, gadis ini dapat menduga gerakan-gerakan dan perkembangan serangan lawan dan dapat mendahuluinya.
Berbeda dengan ketika melawan Hok Ti Hwesio, Lili tidak mau mengejeknya dan tidak mau mempermainkannya pula, karena tidak terkandung kebencian di dalam hatinya terhadap Kam Seng, hanya penyesalan dan kekecewaan besar melihat pemuda itu tersesat.
Setelah bertempur hampir lima puluh jurus, perlahan akan tetapi pasti Lili mulai mendesak Kam Seng. Pemuda ini merasa penasaran sekali, karena bagaimanakah Lili dapat berkelahi demikian kuatnya dengan hanya bersenjata sebuah kipas kecil? Ia mengerahkan ilmu silat yang ia pelajari dari Mo-kai Nyo Tiang Le, akan tetapi sia-sia belaka. Kipas Lili benar-benar hebat sekali dan selalu ujung gagang gading itu mengancam jalan darahnya.
Pada saat pedangnya berkelebat membabat pinggang Lili dan dapat ditangkis oleh Lili yang mementalkan gagang gadingnya dan membalas dengan totokan ke arah iga, terpaksa Kam Seng menjatuhkan diri ke bawah dengan gerak tipu Harimau Lapar Mengintai Korban. Dengan amat cepatnya, ia lalu menggerakkan pedang menyapu pergelangan kaki gadis itu.
Menghadapi serangan ini, Lili memperlihatkan kepandaiannya yang mengagumkan. Ia tidak melompat ke atas untuk menyelamatkan kakinya, bahkan ia lalu memapaki datangnya pedang ini dengan gerakan kaki yang disebut gerak tipu Dewa Bumi Menginjak Ular.
Kaki kanannya dengan kecepatan luar biasa dan dari arah atas menyerong ke bawah dapat menyambut permukaan pedang dan sambil meminjam tenaga serangan lawan, ia menekan dan menggerakkan tenaga lwee-kang pada kakinya yang terus menindih dan menginjak pedang itu di atas tanah!
Kam Seng terkejut sekali. Ia cepat mengerahkan tenaga untuk membetot pedangnya, akan tetapi sia-sia belaka. Pedangnya itu seakan-akan terjepit dan tertindih oleh batu karang yang berat sekali sehingga tak dapat terlepas dari tindihan kaki Lili yang memandangnya sambil tersenyum!
Kemudian, gagang kipas gading di tangan Lili menyambar turun, menotok ke arah pundak kanan Kam Seng. Melihat datangnya totokan yang amat berbahaya ini, terpaksa pemuda itu melakukan hal yang membuatnya mendapat malu dan yang sekaligus menyatakan kekalahannya. Yaitu ia melepaskan gagang pedangnya dan menggulingkan tubuhnya ke belakang dengan gerakan Trenggiling Turun dari Lereng! Ia dapat menghindarkan diri dari totokan, akan tetapi ia harus melepaskan pedangnya yang berarti bahwa ia telah kalah!
Dengan muka merah ia melompat bangun dan berdiri menundukkan muka akan tetapi diam-diam ia amat mengagumi gadis puteri musuh besarnya itu.
“Hebat…, hebat…!” kata Wi Kong Siansu sambil melangkah maju menghadapi Lili yang masih menginjak pedang.
Sekali tosu tua ini mengebutkan ujung lengan bajunya, maka tubuhnya merendah dan ujung lengan baju melibat gagang pedang itu bagaikan seekor ular. Lalu ia membetot keras akan tetapi mukanya tiba-tiba menjadi merah ketika merasa bahwa pedang itu tak dapat terbetot dari injakan kaki Lili!
Ia terkejut dan diam-diam ia kagum sekali karena ternyata bahwa tenaga injakan itu benar-benar hebat. Ia dapat menduga bahwa gadis ini tentu menggunakan tenaga Thai-san-cui, karena hanya dengan ilmu pengerahan tenaga ini sajalah betotannya dapat tertahan. Kakek ini tersenyum-senyum, kemudian sambil berseru,
“Lepas!” ia lalu mengerahkan tenaga Im-yang-cui.
Tenaga betotannya kali ini bukanlah tenaga membetot semata, karena ujung bajunya itu membetot dengan terbalik, yaitu bahkan mendorong pedang itu ke depan, kemudian ditengah-tengah dorongannya ini, ia lalu menarik keras. Inilah tenaga Im-yang-cui yang sifatnya bertentangan, akan tetapi dapat dipergunakan dengan berbareng maka kehebatannya pun luar biasa sekali.
Lili maklum bahwa ia tidak dapat mempertahankan injakannya lagi, maka ia tiba-tiba melepaskan tenaga injakannya sambil berbareng menekuk jari kakinya, yaitu ibu jari dan jari kedua, lalu jari-jari kakinya itu menggunakan gerakan menyentik pedang itu!
Memang gadis ini selain nakal, juga banyak akal dan lihai sekali. Sungguhpun jari kakinya tersembunyi di dalam sepatu kain, namun tenaganya dapat berkurang karenanya, dan masih dapat melakukan gerakan yang lihai ini.
Pedang itu yang terbetot oleh ujung lengan baju Wi Kong Siansu, ditambah dengan tenaga menyentik dari jari kaki Lili, tiba-tiba bergerak membalik dan seakan-akan terbang menuju ke arah leher tosu itu!
Kini Wi Kong Siansu yang maklum akan demonstrasi yang diperlihatkan oleh gadis itu, tidak mau “kalah muka”! Melihat datangnya pedang yang melayang ke arah lehernya, ia lalu merendahkan tubuh dan membuka mulutnya. Pedang itu, dengan tepat sekali memasuki mulutnya dan tergigitlah ujung pedang itu oleh gigi si kakek yang lihai!
Semua orang memandang dengan melongo melihat betapa gagang pedang itu bergoyang-goyang seakan-akan pedang itu telah menancap di batang pohon! Lili sendiri pun merasa kagum dan terkejut karena makin maklum bahwa ia kini menghadapi seorang tosu yang berilmu tinggi sekali. Dengan tenang Wi Kong Siansu mengambil pedang itu dari mulutnya, kemudian tersenyum-senyum kepada Lili lalu berkata,
“Siancai… Sungguh seorang gadis yang lihai, cerdik, nakal dan tabah sekali! Nona, kau masih begini muda, akan tetapi telah mewarisi kepandaian Pendekar Bodoh, bahkan telah mewarisi kepandaian Swie Kiat Siansu! Tidak percuma kau menjadi puteri Pendekar Bodoh! Akan tetapi pinto (aku) tidak ingin bertanding melawan seorang kanak-kanak seperti kau. Lebih baik kau pulang saja dan kalau memang kau ingin mengacau rumah tangga kawan-kawanku, suruhlah ayahmu yang datang kesini.”
“Totiang, kau tidak ingin bertanding melawan aku, sebaliknya siapakah yang ingin bertempur dengan kau? Sudah kukatakan bahwa kedatanganku bukan hendak berurusan dengan kau, dan juga aku tidak butuh sesuatu dari Kam Seng atau kepala gundul itu! Aku hanya perlu mencari manusia busuk bernama Bouw Hun Ti untuk kupenggal lehernya dan kubawa pulang kepalanya!”
Pada waktu itu, Bouw Hun Ti tidak berada di kelenteng itu, bahkan tidak ada pula di dusun Tong-sin-bun, oleh karena orang she Bouw ini semenjak beberapa hari yang lalu telah pergi jauh ke utara. Bouw Hun Ti memang seorang yang amat cerdik dan hati-hati. Biarpun ia telah berhasil mengundang datang Wi Kong Siansu untuk memperkuat kedudukannya namun ia masih berkhawatir juga. Setelah berunding dengan suhu dan supeknya itu dan mendapat persetujuan, ia lalu berangkat ke utara untuk mengunjungi tiga orang sahabat baiknya yang berilmu tinggi yaitu yang disebut Hailun Thai-lek Sam-kui (Tiga Iblis Geledek dari Hailun).
Ketiga orang ini adalah orang-orang yang aneh dan sakti dan yang tinggal di Hailun, yaitu sebuah kota di daerah Mancuria. Bouw Hun Ti mengunjungi mereka untuk membujuk mereka datang dan bersama-sama menghancurkan Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya. Ia mempunyai harapan besar untuk mendapat bantuan ketiga orang ini yang masih terhitung keluarga dari Panglima Mongol yang bernama Balaki dan yang dulu tewas dalam perang ketika orang Mongol menyerbu ke selatan (baca cerita Pendekar Bodoh).
Mendengar ucapan Lili yang menyatakan hendak memenggal leher Bouw Hun Ti, Wi Kong Siansu tertawa.
“Ah, sungguh kau sombong sekali, Nona. Belum tentu Bouw Hun Ti akan demikian mudahnya menyerahkan lehernya untuk kau sembelih! Pula, pada saat ini, murid keponakanku itu tidak berada disini.”
“Bohong!” seru Lili marah. “Totiang, kau ingatlah. Sungguhpun aku tidak ingin bermusuhan dengan kau orang tua, akan tetapi kalau kau menyembunyikan dan membela keparat Bouw Hun Ti, terpaksa aku berlaku kurang ajar!”
Tiba-tiba terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh dari kelenteng disusul dengan mengebulnya asap hitam dan berkelebatnya tubuh seorang tua pendek gemuk yang berpakaian mewah. Ban Sai Cinjin telah datang sambil membawa huncwenya yang mengebulkan asap hitam, tanda bahwa ia telah siap untuk bertempur! Bagaimanakah orang ini bisa datang ke kelenteng itu pada waktu malam gelap?
Sebagaimana telah diceritakan di bagian depan, hampir semua rumah penginapan dan toko-toko besar di dusun Tong-sin-bun adalah milik dari Ban Sai Cinjin. Demikian pula rumah penginapan dimana Lili bermalam, adalah rumah penginapan orang tua ini pula.
Para pengurus hotel ketika menyaksikan kecantikan Lili, segera memberi laporan kepada Ban Sai Cinjin yang mata keranjang dan rnemang berwatak sebagai bandot tua. Ia amat girang mendengar bahwa di hotel itu bermalam seorang gadis cantik jelita, dan penuturan pengurus rumah itu bahwa gadis ini nampaknya berkepandaian tinggi, bahkan makin menggembirakan hatinya.
“Ha-ha-hi-hi! Itulah yang selama ini kucari-cari,” katanya. “Aku sudah bosan dengan gadis-gadis yang lemah. Aku sudah bosan dengan bunga-bunga harum yang mudah layu dan rontok. Aku menghendaki bunga hutan, bunga liar. Ha-ha-ha!”
Akan tetapi ketika ia mendengar bahwa gadis itu keluar dari kamar tanpa diketahui ke mana perginya, dan ditunggu-tunggu belum juga kembali mulai curigalah hati Ban Sai Cinjin. Di dusun sekecil Tong-sin-bun, orang dapat melancong ke manakah? Apalagi seorang gadis muda!
Ia teringat akan penuturan pengurus hotel bahwa gadis itu berkepandaian silat, dan karena Ban Sai Cinjin merasa bahwa ia mempunyai banyak musuh yang mendendam sakit hati kepadanyaa maka ia lalu berlaku waspada. Digantinya tembakau pada huncwenya dan ia lalu berlari cepat menuju ke kelenteng di tengah hutan itu, benar saja, ia melihat gadis cantik jelita itu berada di dalam kelentengnya dan mengucapkan ancaman terhadap muridnya Bouw Hun Ti.
Ia lalu tertawa dan melompat masuk, dan sambil menyembunyikan rasa kagumnya menyaksikan kecantikan yang luar biasa dari gadis itu ia berkata,
“Nona, kau mencari Bouw Hun Ti? Ha-ha, muridku ini sedang pergi jauh. Biarlah aku mewakilinya menyambutmu yang sudah datang dari tempat jauh. Kalau aku tahu, tentu kau tak kuperbolehkan mendiami kamar hotelku yang kecil itu, akan kusediakan kamar besar dan mewah di rumahku. Ha-ha-ha!”
Melihat munculnya orang tua itu, maklumlah Lili bahwa ia harus melawan mati-matian, karena ia tahu akan kelihaian dan kejahatan Ban Sai Cinjin.
“Hemm, aku tahu siapa kau ini. Ban Sai Cinjin, aku memang datang untuk memenggal leher muridmu Bouw Hun Ti, untuk membalas dendamku ketika aku terculik olehnya di waktu aku masih kecil dan terutama sekali untuk membalasnya karena ia telah membunuh kakekku, yaitu Yo Se Fu!”
“Mudah saja, mudah. Marilah kau ikut aku ke rumah, dan sementara menanti datangnya Bouw Hun Ti, kita makan minum untuk menghormat kedatanganmu!”
Lili maklum bahwa orang tua ini mencari perkara. Menghadapi Ban Sai Cinjin tak boleh gegabah, apalagi disitu terdapat Wi Kong Siansu yang menjadi suheng dari orang tua mewah ini, maka kalau tidak diserang, lebih baik jangan mencari penyakit sendiri.
“Ban Sai Cinjin, kata-katamu sama hitamnya dengan tembakaumu yang berbau busuk! Siapa mau meladeni orang seperti kau? Kalau Bouw Hun Ti si jahanam itu tidak berada disini, sudahlah!”
Ia lalu menggerakkan kakinya hendak pergi dari situ, akan tetapi tiba-tiba Ban Sai Cinjin bergerak maju menghadang di tengah jalan.
“Ha-ha-hi-hi, enak saja kau mau pergi dari sini! Kau datang ke kelentengku tanpa kupanggil, dan kau datang dengan maksud jahat, apakah aku harus membiarkan kau berlaku sesuka hatimu? Hendak kulihat sampai dimana kelihaianmu maka kau berani membuka mulut besar hendak membunuh muridku. Siapakah adanya kau yang sombong ini?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar