Senin, 05 Agustus 2019

Pendekar Remaja Jilid 082

Kim Coa Jin biarpun merasa amat kagum melihat betapa orang muda ini dapat minum racun dari tongkat ularnya tanpa akibat sesuatu, tetap saja ia masih memandang rendah kepada Hong Beng.

Tak mungkin pemuda ini memiliki kepandaian silat yang dapat mengimbangi kepandaiannya sendiri. Dia dan Bhok Coa Jin adalah dua orang diantara tujuh orang Pengemis Tongkat Ular tingkat satu. Kepandaian mereka ini sudah amat tinggi, karena mereka adalah murid-murid yang menerima pelajaran langsung dari Coa Ong Lojin, datuk dari Coa-tung Kai-pang! Mereka telah mewarisi delapan puluh bagian dari ilmu silat dan ilmu tongkat dan telah bertahun-tahun mereka merantau di seluruh permukaan bumi Tiongkok.

Oleh karena memandang rendah dan tidak ingin disebut licik, Kim Coa Jin berkata kepada Bhok Coa Jin

“Sute, harap kau berdiri di pinggir saja dan biar aku sendiri yang mencoba kekuatan pangcu muda ini!”

Ucapannya ini dikeluarkan dengan mulut tersenyum. Bhok Coa Jin juga tersenyum, lalu ia menancapkan tongkat ularnya di atas lantai dan duduk di atas tongkat itu! Demonstrasi kekuatan lwee-kang ini saja sudah hebat sekali, karena lantai itu amat keras namun dapat tertusuk oleh tongkat itu seakan-akan lantai itu terdiri dari tanah lumpur belaka!

“Silakan, Suheng, aku hendak menonton saja,” katanya.

“Nah, Sie-pangcu, marilah kita mulai!” kata Kim Coa Jin menantang.

“Majulah Kim-lokai. Sebagai tamu kau turun tangan lebih dulu,” jawab Hong Beng sambil memegang tongkat hitamnya dengan cara sembarangan saja.

Ia memegang kepala tongkatnya dan tongkat itu tergantung lurus ke bawah, seperti seorang kakek yang meminjam tenaga tongkat untuk membantunya menunjang tubuhnya yang sudah lemah.

Bagi orang yang tidak tahu, tentu mengira bahwa pemuda ini tidak pandai ilmu silat dan bahwa caranya memasang kuda-kuda itu tidak ada artinya sama sekali. Akan tetapi ketika Kim Coa Jin melihat cara Hong Beng memegang tongkat, hatinya tertegun. Itulah kuda-kuda yang disebut Dewa Bumi Menangkap Ular, semacam kuda-kuda yang tidak sembarang orang berani menggunakan untuk memulai sebuah pertempuran, karena kuda-kuda seperti ini amat sukar dibuka dan dikembangkan.

“Awas serangan!” serunya dan Kim Coa Jin cepat menyerang dengan hebat.

Ia sengaja menyerang dengan gerakan yang paling hebat dan lihai, karena ia hendak merobohkan ketua Hek-tung Kaipang ini dengan sekali gerakan saja! Tongkat ularnya dengan cepat bagaikan anak panah terlepas dari busurnya menusuk ke arah dada Hong Beng, sedangkan tangan kirinya tidak tinggal diam, melainkan meluncur pula di belakang tongkatnya untuk mengirim pukulan susulan yang dilakukan dengan tenaga lwee-kang sehingga angin pukulan ini saja sudah cukup untuk merobohkan lawan!

Akan tetapi Hong Beng dengan gerakan Hek-hong-koan-goat (Bianglala Hitam Menutup Bulan) menggerakkan tongkat hitamnya dengan putaran cepat sekali. Ketika tongkatnya bertemu dengan tongkat ular lawannya, kedua tongkat itu menempel dan tongkat ular itu ikut pula terputar karena pemuda yang lihai ini telah menggerakkan khi-kangnya untuk “menyedot” dan menempel senjata lawan.

Karena kedua tongkat itu terputar cepat di depan mereka, otomatis pukulan tangan kiri pengemis tua itu tertolak kembali! Kim Coa Jin mengerahkan tenaganya untuk membetot kembali tongkatnya dari tempelan tongkat hitam lawannya akan tetapi ternyata tongkatnya seakan-akan telah berakar pada tongkat Hong Beng. Ia merasa penasaran sekali dan sambil mengerahkan seluruh tenaganya ia berseru keras sekali dan tiba-tiba tubuhnya terjengkang ke belakang dan hampir saja ia jatuh ketika secara mendadak Hong Beng melepaskan tempelannya!

Bukan main kagetnya Kim Coa Jin merasai kelihaian pangcu muda dari Hek-tung Kai-pang ini. Sambil menggereng bagaikan seekor harimau terluka ia lalu menerjang maju, memutar tongkatnya dengan hebat bagaikan angin puyuh dan kini benar-benar ia mengeluarkan ilmu tongkatnya yang lihai, karena ia sudah maklum sepenuhnya bahwa pemuda itu bukanlah orang sembarangan, melainkan murid orang pandai!

Akan tetapi Hong Beng tetap saja berlaku tenang. Dengan puas dan girang sekali ia mendapat kenyataan bahwa tongkat hitam yang lemas di tangannya itu benar-benar merupakan senjata istimewa. Biarpun tongkat itu lemas, akan tetapi dapat menerima saluran tenaga khi-kang dengan baik sekali, sehingga tidak kalah “enaknya” dipakai daripada sebatang ranting kecil!






Ia lalu mainkan Ngo-heng-tung-hwat dan melayani lawannya dengan gerakan yang membuat lawannya menjadi pening kepala. Ngo-heng-tung-hwat adalah semacam ilmu silat yang mengambil sari dari lima anasir atau lima sifat, bisa sekuat baja, selemah air, sepanas api! Juga gerakan tubuh Hong Beng yang lincah dan gesit membuat tubuhnya lenyap dari pandangan mata, terbungkus oleh gulungan sinar tongkat yang menghitam!

Kim Coa Jin sebagai tokoh tingkat satu dari Coa-tung Kai-pang, tentu saja memiliki ilmu silat yang sudah amat tinggi, akan tetapi harus ia akui bahwa selama hidupnya, baru sekarang ia bertemu dengan tandingan yang demikian tangguhnya.

Ilmu Tongkat Coa-tung-hwat bukantah ilmu silat sembarangan saja, dan mempunyai sifat-sifat tersendiri yang amat kuat dan berbahaya. Gaya Ilmu Tongkat Coa-tung-hwat ini amat ganas dan kejam serta memiliki tipu-tipu yang licik dan berbahaya sekali karena ilmu ini tercipta diantara jalan hitam, diantara orang-orang yang memiliki pikiran dan tabiat yang kurang baik.

Tongkat yang berbentuk ular itu saja memiliki bagian-bagian rahasia sehingga dapat mengeluarkan senjata-senjata rahasia berupa jarum-jarum berbisa. Bahkan dari mulut ular itu, apabila dikehendaki oleh pemakainya, dapat mengeluarkan semacam uap berbisa dan berbahaya sekali.

Hong Beng sengaja tidak mau melukai Kim Coa Jin dan hanya mendesaknya dengan ilmu tongkat yang memang lebih tinggi tingkatnya. Pemuda ini biarpun masih muda dan mempunyai darah panas namun ia memang cerdik sekali, dan ia maklum bahwa kalau ia sampai melukai orang ini, maka permusuhan antara kedua partai pengemis akan menjadi semakin mendalam.

Pihak Coa-tung Kai-pang tentu akan menjadi makin sakit hati dan menaruh dendam hati yang maha berat. Ia ingin menghindarkan hal ini, maka ia hanya mendesak lawannya dengan tongkat hitamnya, berusaha untuk mengalahkan Kim Coa Jin dengan serangan-serangan yang tidak membahayakan jiwanya.

Bhok Coa Jin yang menonton pertandingan itu, menjadi marah dan penasaran sekali. Bhok Coa Jin memiliki watak yang lebih berangasan dan keras daripada suhengnya. Melihat betapa suhengnya tak dapat menangkan pemuda itu bahkan terdesak hebat sekali, tiba-tiba ia berseru keras dan membantu suhengnya menyerang Hong Beng.

“Pengemis curang, perlahan dulu!”

Tiba-tiba terdengar bentakan merdu dan tahu-tahu tongkat yang diputar oleh Bhok Coa Jin itu terpental mundur karena tertangkis oleh sebatang tongkat bambu runcing yang digerakkan secara luar biasa.

Bhok Coa Jin terkejut dan lebih-lebih kagetnya ketika ia melihat bahwa yang menangkis tongkatnya itu adalah nona cantik yang tadi ia lihat duduk di dekat Hong Beng.

“Bocah kurang ajar!” seru pengemis tua ini dengan marah. “Siapakah kau, berani sekali menghalangi Bhok Coa Jin?”

“Hemm, agaknya kau terlalu sombong dan menganggap diri sendiri paling hebat,” Goat Lan menyindir. “Kau mau tahu siapa aku? Namaku Kwee Goat Lan dan kalau lain orang takut mendengar namamu, aku bahkan merasa muak karena nama besarmu itu sama sekali tidak sesuai dengan sifatmu yang pengecut!”

“Kurang ajar!”

Bhok Coa Jin memaki dan tongkatnya meluncur cepat mengarah tenggorokan nona itu, akan tetapi cepat sekali sepasang tongkat bambu runcing di tangan gadis itu bergerak dan menjepit tongkat ular Bhok Coa Jin sehingga tidak dapat dicabut kembali. Betapapun Bhok Coa Jin membetot tongkatnya, tetap saja tongkatnya itu bagaikan terjepit oleh dua potong besi yang kuat sekali. Barulah ia merasa amat terkejut dan heran. Bagaimana gadis muda ini dapat memiliki tenaga yang demikian hebatnya?

Juga Goat Lan merasa gemas sekali terhadap pengemis tua yang berangasan dan kasar ini. Ia sudah menggerakkan sepasang bambu runcingnya yang lihai ketika Hong Beng berkata mencegahnya,

“Lan-moi, jangan layani dia. Biarkan dia mengeroyokku agar mereka tahu kelihaian Hek-tung Kai-pang!”

Biarpun hatinya mendongkol dan tidak puas, Goat Lan maklum akan maksud ucapan tunangannya ini dan ia melompat mundur. Ia tahu kalau ia turun tangan, maka hal ini akan mengurangi keangkeran Hek-tung Kai-pang.

Sebaliknya, diam-diam Bhok Coa Jin merasa lega melihat gadis yang lihai itu melompat mundur. Tak banyak cakap lagi ia lalu menyerbu dan menyerang Hong Beng, membantu suhengnya.

Kalau sekiranya keadaan Hong Beng berbahaya apabila dikeroyok dua, tentu betapapun juga Goat Lan akan memaksa turun tangan. Akan tetapi ia maklum bahwa menghadapi dua orang pengemis Coa-tung Kai-pang itu, tunangannya takkan kalah karena kepandaian Hong Beng masih lebih tinggi tingkatnya. Ia lalu duduk kembali dan menonton dengan sikap tenang.

Sebaliknya, para anggauta Hek-tung Kai-pang merasa kuatir juga melihat betapa ketua mereka dikeroyok dua oleh lawan-lawan yang amat tangguh itu.

Menghadapi keroyokan dua orang lawan yang tak boleh dipandang ringan itu, Hong Beng memperlihatkan kehebatan ilmu tongkatnya. Ia segera merubah gerakan tongkat hitamnya dan kini ia mainkan Ilmu Tongkat Pat-kwa-tung-hwat yang gerakannya jauh lebih cepat daripada Ngo-heng-tung-hwat.

Sebentar saja, seperti halnya lima saudara Hek ketika menghadapi pemuda ini, dua orang pengurus Coa-tung Kai-pang ini menjadi pening dan pandangan mata mereka menjadi kabur. Mereka merasa heran dan juga penasaran sekali karena selama hidup mereka, belum pernah mereka menyaksikan ilmu tongkat seperti itu. Ilmu Tongkat Hek-tung-hwat pernah mereka lihat, akan tetapi ilmu silat tongkat yang dimainkan oleh ketua baru dari Hek-tung Kai-pang ini benar-benar tidak mereka kenal.

Sebaliknya, bagi Hong Beng tidak mudah untuk mengalahkan kedua lawannya tanpa menggunakan serangan kilat yang sedikitnya akan melukai mereka, maka terpaksa, biarpun ia tidak ingin melukai kedua lawan ini, ia harus memperlihatkan kepandaiannya.

Sekali ia mengerahkan tenaga, maka terdengar suara keras sekali dan dua batang tongkat ular itu patah di tengah-tengah. Berbareng dengan patahnya kedua tongkat itu, dari dalam tongkat menyembur keluar banyak sekali jarum hitam ke arah Hong Beng.

Akan tetapi pemuda ini dengan mudah saja lalu memukul semua sinar hitam itu dengan tongkatnya dan sebagai pembalasan, dua kali tongkatnya bergerak ke bawah dan kedua orang lawannya itu terjungkal tanpa dapat mengelak lagi!

Untung bahwa Hong Beng hanya mempergunakan sedikit tenaga, karena kalau pemuda ini berlaku kejam, biarpun kedua orang pengemis tua itu memiliki kekebalan, mereka tentu akan patah-patah tulang kakinya. Kini mereka hanya merasa kedua kaki mereka sakit sekali dan untuk beberapa lama mereka tak dapat berdiri. Mereka hanya duduk memandang dengan mata terbelalak, lebih merasa heran daripada merasa marah.

“Kau… kau siapakah? Dan ilmu sihir apakah yang kau pergunakan untuk merobohkan kami?”

Akhirnya Kim Coa Jin dapat berkata sambil merangkak mencoba bangun. Demikian pula Bhok Coa Jin dengan muka meringis menahan sakit mencoba untuk bangun berdiri.

“Sudah kukatakan bahwa namaku Sie Hong Beng dan aku telah diangkat menjadi pangcu dari Hek-tung Kai-pang!” jawab Hong Beng sederhana. “Kalian datang dan roboh bukan karena kehendak kami, akan tetapi kalian sendiri yang mencari penyakit. Harap jangan kalian persalahkan kami.”

Akan tetapi jawaban ini tidak memuaskan hati mereka, dan Hek Liong yang juga merasa tidak puas mendengar jawaban pangcunya, lalu berdiri dan berkata dengan suara lantang,

“Bukalah matamu baik-baik, kalian orang-orang Coa-tung Kai-pang! Pangcu kami adalah putera dari Pendekar Bodoh dan murid dari Pok Pok Sianjin! Dan pendekar wanita yang kalian pandang rendah ini, dia adalah tunangan pangcu kami yang gagah dan Li-hiap adalah murid dari Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu! Apakah keterangan ini masih belum cukup?”

Pucatlah muka kedua orang pengemis tua itu ketika mendengar nama-nama besar dari para pahlawan dan tokoh dunia persilatan itu. Akhirnya Kim Coa Jin menarik napas panjang dan berkata,

“Dasar nasib kami yang sial, bertemu dengan keturunan Pendekar Bodoh! Buah yang jatuh takkan menggelinding jauh dari pohonnya!”

Setelah berkata demikian, dengan terpincang-pincang Kim Coa Jin dan Bhok Coa Jin meninggalkan tempat itu.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar