Senin, 05 Agustus 2019

Pendekar Remaja Jilid 084

Betapapun Lili berusaha untuk membantu ingatan Lo Sian ia tetap gagal, karena Lo Sian benar-benar tidak ingat apa-apa lagi.

“Suhu, kau bernama Lo Sian dan berjuluk Sin-kai (Pengemis Sakti), cobalah kau ingat-ingat lagi, Suhu. Aku bernama Sie Hong Li atau Lili yang dulu pernah kau tolong dari tangan Bouw Hun Ti. Tidak ingatkah kau kepada suhengmu Mo-kai Nyo Tiang Le?”

Untuk kesekian kalinya dalam perjalanannya menuju ke Shaning, Lili berkata kepada bekas suhunya.

Lo Sian hanya menggeleng kepalanya dengan wajah sedih.
“Sesungguhnya, telah hampir setiap malam aku mencoba mengerahkan ingatanku, akan tetapi tidak, ada gunanya. Ingatanku akan hal-hal yang lalu seperti sebuah gua yang hitam pekat. Memang, namamu dan juga namaku sendiri terdengar tidak asing bagi telingaku, akan tetapi aku benar-benar telah lupa. Baiklah, mulai sekarang aku bernama Lo Sian lagi dan kau bernama Lili, akan tetapi jangan kau suruh aku mengingat-ingat akan hal yang lalu. Aku tidak sanggup, anak baik.”

Akan tetapi, jalan pikiran Lo Sian masih biasa dan baik sekali. Pertimbangannya masih sempurna, mencerminkan wataknya yang budiman dan gagah perkasa. Pada suatu hari, ketika mereka sedang melanjutkan perjalanan menuju ke kota Shaning mereka melihat sebuah makam yang dibangun indah sekali di pinggir jalan.

Besarnya makam itu seperti rumah orang, merupakan bangunan gedung yang indah dan mahal. Lo Sian nampaknya amat tertarik dan kagum. Ia berdiri di depan makam itu sambil memandang ke dalam seperti seorang yang terpesona.

“Suhu, coba kau ingat-ingat, makam siapakah ini?”

Bagaikan bicara kepada diri sendiri, Lo Sian berkata perlahan,
“Sudah pasti bukan makam Lie Kong Sian… bukan, bukan makam Lie Kong Sian!”

Lili memandang dengan terharu.
“Suhu, benar-benarkah Lie-supek telah meninggal dunia?”

Lo Sian mengangguk pasti.
“Memang sudah meninggal dunia dan agaknya aku akan mengenal kalau melihat makamnya. Akan tetapi entah dimana, entah bagaimana macamnya, hanya aku merasa yakin akan mengenal makamnya. Dia sudah mati… tak salah lagi…”

Bicara tentang kematian Lie Kong Sian, Lo Sian nampaknya sedih sekali dan Lili lalu terbayang kepada pemuda tampan yang telah merampas sepatunya sehingga mukanya tak terasa pula berubah menjadi merah sekali.

“Sesungguhnya, makam siapakah begini mewah dan mendapat penghormatan sebesar ini dari rakyat?” tanya Lo Sian sambil membaca papan-papan pujian dan kain-kain berisi sajak yang bagus-bagus, juga kepada tempat hio (dupa) yang agaknya dibakari dupa setiap hari.

Lili menarik napas panjang. Kalau suhunya tidak mengenal makam ini, benar-benar ia sudah lupa segala. Siapakah yang tidak mengenal makam Jenderal Ho, pahlawan besar yang gagah perkasa dan yang telah mengorbankan nyawa untuk kejayaan negara dan bangsa?

“Suhu, masa kau tidak ingat kepada makam Jenderal Ho ini?”

Lo Sian menggeleng kepala.
“Tidak, sama sekali tidak ingat lagi. Siapakah Jenderal Ho yang kau sebutkan tadi?”

“Jenderal Ho adalah seorang pahlawan yang gagah perkasa. Dulu ketika bala tentara Mongol menyerang pedalaman Tiongkok dan hampir saja dapat membobolkan pertahanan, Jenderal Ho inilah yang berhasil memukul musuh mundur sampai keluar dari Tembok Besar. Juga ketika terjadi pemberontakan di selatan sehingga kedudukan Kaisar sudah terjepit, kembali Jenderal Ho dan pasukannya yang berjasa besar dan berhasil memukul hancur para pemberontak.”

“Dan bagaimana ia sampai meninggal dunia?”






“Ia gugur dalam peperangan ketika pasukan kerajaan menyerang ke timur. Biarpun ia telah terluka hebat di dalam peperangan itu, ia masih sanggup untuk memimpin pasukannya dan mengatur barisan sambil duduk di atas tandu dan ia menghembuskan napas terakhir di atas tandu itu pula! Karena jasa-jasanya terhadap negara inilah maka namanya terkenal di seluruh negeri dan semua rakyat tidak ada yang tidak mengenal namanya. Inilah makamnya. Suhu, apakah kita akan masuk untuk memberi penghormatan kepada makam Jenderal Ho yang besar? Di dalam terdapat orang yang menyediakan dupa.”

Akan tetapi Lo Sian menggelengkan kepalanya dengan keras dan berkata setelah menghela napas panjang.

“Tidak perlu, aku tidak suka melihat kepalsuan ini!”

Lili memandang suhunya dengan mata terbelalak.
“Apa maksudmu, Suhu? Palsu? Apanya yang palsu?”

“Penghormatan ini, makam ini, semua adalah pemujaan dan pujian palsu belaka. Duduklah, Lili, dan biarlah aku membuka pikiranmu yang masih hijau menghadapi segala kepalsuan dunia.” Mereka lalu duduk di atas bangku batu yang banyak terdapat di depan makam besar itu.

“Sebelum aku membentangkan pendapat dan pandanganku, lebih dulu jawablah, apakah kau pernah melihat makam-makam besar yang dihormati seperti ini untuk para perajurit-perajurit biasa yang gugur dalam peperangan membela negara?”

Lili memandang bodoh dan menggeleng kepalanya.
“Belum pernah Suhu, yang dihormati selalu adalah makam orang-orang besar, menteri-menteri, jenderal-jenderal, dan panglima-panglima besar.”

“Nah, itulah yang kukatakan palsu! Jenderal Ho ini dihormati, dipuji-puji karena katanya ia berjasa terhadap negara, bahwa ia telah mengorbankan nyawanya demi kepentingan negara. Bahkan orang-orang yang katanya besar, biarpun tak usah mengorbankan nyawa dalam peperangan, tetap saja makamnya dipuji-puji, namanya dihormati dan dicatat dalam sejarah sampai ribuan tahun! Apakah jasa perajurit kecil itu kalah besarnya? Bukankah mereka itu pun mengorbankan nyawanya, bahkan maju di garis pertempuran terdepan, gugur lebih dulu daripada para pemimpinnya yang hanya mengatur siasat pertempuran dari belakang? Apakah mereka ini tidak jauh lebih berani, gagah, dan berjasa daripada jenderal-jenderal itu? Namun, bagaimana nasib mereka? Mana makam mereka? Dan bagaimana keadaan keluarga mereka yang ditinggalkan? Tak seorang pun mengingat lagi kepada mereka! Nah, inilah yang kukatakan tidak adil dan palsu! Orang hanya pandai mengingat yang besar-besar selalu melupakan yang kecil. Padahal, tanpa yang kecil-kecil, yang besar tidak ada artinya lagi. Apakah dayanya para pembesar tanpa rakyatnya? Apakah artinya jenderal-jenderal tanpa perajurit-perajuritnya?”

Lili tertegun mendengar ucapan suhunya ini, akan tetapi sebagai anak Pendekar Bodoh yang banyak mendengar tentang filsafat, ia tidak mau menyerah begitu saja dan masih membantah,

“Akan tetapi Suhu, sebaliknya, apakah artinya perajurit-perajurit dalam barisan tanpa pemimpin yang mengatur siasat peperangan? Apakah artinya rakyat tanpa pemimpin yang pandai?”

Lo Sian mengangguk-angguk.
“Memang, ada isinya juga kata-katamu tadi. Memang keduanya perlu sekali, keduanya merupakan dwitunggal yang tak dapat dipisah-pisahkan. Betapapun juga, lebih penting anak buahnya daripada kepalanya. Tanpa jenderal, sepasukan perajurit masih merupakan kekuatan hebat, tanpa pemimpin, rakyat masih merupakan massa yang kuat! Sebaliknya, tanpa pasukan, jenderal hanya seorang yang tak berdaya menghadapi lawan. Tanpa rakyat, pemimpin hilang sifatnya sebagai pemimpin. Oleh karena kukatakan tadi bahwa keduanya merupakan dwitunggal yang tak dapat dipisah-pisahkan, mengapa orang hanya menghormati pemimpinnya saja tanpa mengingat anak buahnya?”

Mendengar ucapan suhunya yang panjang lebar ini, diam-diam Lili merasa girang sekali, oleh karena ia kini merasa yakin bahwa biarpun telah kehilangan ingatannya dan lupa akan peristiwa yang terjadi pada waktu yang lalu, ternyata suhunya ini masih mempunyai pikiran sehat dan pandangan yang mengagumkan.

Setelah bicara panjang lebar kepada Lili, Lo Sian lalu bangkit berdiri dan menghampiri tembok yang mengelilingi makam itu. Ia mengerahkan lwee-kangnya dan dengan jari-jari telunjuknya ia mencoret-coret tembok itu, menulis beberapa buah huruf yang artinya seperti berikut,

Jenderal Ho menerima penghormatan berkat pasukannya yang gagah perkasa. Siapa yang melihat makam ini harus mengingat akan jasa dari setiap orang perajurit tak dikenal dalam pasukannya!

Biarpun ia hanya menggurat-gurat tembok yang keras itu dengan jari telunjuknya saja, namun bagaikan sepotong besi kuat, jari itu menggores tembok sampai dalam dan tulisan itu tidak dapat dihapus lagi!

Orang-orang yang lewat di tempat itu ketika melihat kejadian ini, lalu maju melihat dan mereka mengeluarkan pujian melihat kekuatan jari telunjuk kakek itu. Tiba-tiba terdengar suara amat nyaring dan keras,

“Bagus, tulisan yang gagah sekali!”

Ketika Lili dan Lo Sian menengok, ternyata di antara penonton itu muncullah seorang pemuda berpakaian sebagai seorang panglima. Orangnya masih muda, tubuhnya tegap dan mukanya tampan dan gagah. Dengan matanya yang tajam bersinar menatap Lili dan Lo Sian, orang ini menjura dengan penuh penghormatan kepada Lo Sian dan Lili.

Lili melihat dengan herannya betapa semua orang yang melihat panglima muda ini, lalu mundur sambil membungkuk-bungkuk, tanda bahwa panglima muda ini bukan orang sembarangan dan mempunyai pengaruh yang besar. Ia merasa segan untuk membalas penghormatan itu, akan tetapi melihat suhunya menjura dengan hormat, terpaksa ia mengangkat kedua tangan memberi hormat pula.

“Siauwte adalah Kam Liong, dan sebagai seorang panglima dari kerajaan, siauwte amat tertarik melihat tulisan Lo-enghiong itu. Tidak tahu siapakah gerangan Lo-enghiong yang bersemangat gagah dan berwatak jujur ini? Dan bolehkah kiranya siauwte mengetahui pula siapakah Siocia ini, murid ataukah puterinya?”

Ucapan Kam Liong terdengar jujur dan tegas, seperti biasa ucapan seorang perajurit, dan Lo Sian memandang kepada pemuda ini dengan mata gembira.

Ia dapat menduga bahwa pemuda ini memiliki kegagahan dan kejujuran hati. Sebagaimana para pembaca tentu masih ingat, Kam Liong ini adalah putera tunggal dari panglima besar Kam Hong Sin, dan Kam Liong pernah bertemu dan mengukur kepandaian dengan Lie Siong ketika Lie Siong menolong Lilani dan Kam Liong menjadi tamu dari keluarga bangsawan Gui.

“Terima kasih atas keramahanmu, Kam-ciangkun,” kata Lo Sian, “kami hanyalah orang-orang biasa, namaku Lo Sian dan dia ini adalah muridku bernama Sie Hong Li, puteri dari pendekar Bodoh,”

“Suhu…!”

Lili menegur suhunya karena ia tidak suka dirinya diperkenalkan kepada seorang pemuda asing. Akan tetapi Lo Sian berpemandangan lain. Memang tidak ada gunanya memperkenalkan diri kepada orang yang berwatak buruk, akan tetapi ia melihat pemuda ini biarpun mempunyai kedudukan tinggi, namun peramah dan sopan, maka tiada salahnya memperkenalkan diri mereka.

Mendengar nama Lo Sian, wajah Kam Liong tidak berubah, akan tetapi ketika mendengar bahwa gadis cantik jelita itu adalah puteri Pendekar Bodoh, sikapnya berubah sama sekali. Ia menjadi makin menghormat dan cepat menjura kepada mereka berdua.

“Ah, tidak tahunya siauwte berhadapan dengan puteri dari Sie Tai-hiap yang terkenal! Kalau begitu, kita bukanlah orang luar! Ayahku, Kam Hong Sin sudah kenal baik dengan ayahmu, Nona. Bolehkah aku bertanya, dimana sekarang tempat tinggal ayahmu yang terhormat?”

Terpaksa Lili menjawab,
“Ayah kini tinggal di kota Shaning.”

“Siauwte harap Lo-enghiong dan Nona sudilah mampir di kota raja, siauwte akan merasa gembira dan terhormat sekali dapat menjadi tuan rumah.”

“Terima kasih, Kam-ciangkun. Maafkan kami tidak dapat pergi ke kota raja, karena kami hendak melanjutkan perjalanan menuju ke kota Shaning,” jawab Lo Sian.

“Ah, sayang sekali siauwte tidak dapat mengawal Ji-wi (Anda berdua) ke Shaning, akan tetapi biarlah lain kali siauwte mengunjungi Sie Tai-hiap untuk menghaturkan hormat.”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar