*

*

Ads

Senin, 26 Agustus 2019

Pendekar Remaja Jilid 121

Ang I Niocu memberi tanda ke belakang agar rombongan itu bergerak lagi, tanda bahwa percakapan dengan Lili telah dihabisinya. Kali ini, di sepanjang perjalanan Lili tidak banyak bercakap lagi. Ia merasa kikuk dan malu-malu terhadap Ang I Niocu setelah pendekar wanita itu menyatakan hendak mengambil mantu padanya.

Terbayang berganti-ganti wajah Kam Liong, Song Kam Seng, dan Lie Siong. Kam Liong dan Song Kam Seng tak dapat disangkal lagi tentu mencintainya, jelas nampak dalam sikap mereka. Akan tetapi Lie Siong? Benarkah ucapan Ang I Niocu bahwa perampasan sepatu itu menjadi tanda bahwa pemuda itu suka kepadanya? Apakah bukan sekedar menghinanya belaka?

Ketika rombongan sudah tiba di depan pintu gerbang dusun dimana keluarga Haimi itu ditahan, para penjaga menghardik orang-orang Haimi itu.

“Siapa menyuruh kalian datang pada waktu ini? Belum tiba waktunya kalian diperbolehkan masuk ke sini! Mana Saliban? Panggil ia maju, agar dia yang bicara dengan kami,” kata kepala penjaga, seorang Mongol yang tinggi besar dan berwajah menyeramkan.

“Bangsat Mongol tak usah banyak buka mulut! Lebih baik buka pintu gerbang dan minggatlah kau dan orang-orangmu dari sini!”

Lili melompat maju sambil menudingkan kipasnya. Semenjak tadi gadis ini telah mencabut kipasnya dan mengipasi tubuhnya yang berkeringat karena perjalanan itu. Keadaan gadis ini dan Ang I Niocu memang di sepanjang jalan menimbulkan keheranan para orang Haimi.

Hawa udara amat dinginnya akan tetapi kedua orang wanita itu berpeluh dan nampaknya kepanasan! Mereka tidak tahu bahwa memang Lili dan Ang I Niocu mengerahkan hawa dalam tubuh untuk membikin panas tubuhnya, melawan hawa dingin dan melancarkan peredaran darah, maka mereka merasa kepanasan sampai berkeringat. Adapun kipas Lili, ini dahulu tidak dirampas oleh Saliban karena tidak seorang pun menduga bahwa kipas itu adalah sebuah senjata yang ampuh dari Lili.

Orang Mongol tinggi besar yang mendengar bentakan ini, tertawa bergelak gelak.
“Ha-ha-ha! Mana Saliban? Bagus benar, ia telah membawa seorang tawanan wanita yang sedemikian cantiknya! Sayang otaknya agak miring! Akan tetapi aku suka memberinya sepuluh potong uang emas untukmu! Ha-ha-ha!”

Akan tetapi suara ketawanya segera disusul oleh pekik mengerikan ketika Lili menggerakkan kipasnya yang gagangnya dengan telak menotok leher orang Mongol itu. Pekik mengerikan ini hanya keluar untuk mengantar nyawanya meninggalkan raganya.

Gegerlah seketika karena orang-orang Haimi juga sudah menyerbu dan menyerang para penjaga Mongol itu. Juga Ang I Niocu segera bergerak, pedangnya merupakan halilintar menyambar-nyambar dan dimana sinar pedangnya berkelebat, sebuah kepala orang Mongol terpisah dari lehernya!

Amukan Lili dan Ang I Niocu sedemikian hebatnya sehingga sebentar saja sisa para penjaga Mongol itu melarikan diri sambil berteriak-teriak ketakutan, meninggalkan kawan-kawan mereka yang sudah tewas bertumpuk-tumpuk di luar pintu gerbang.

Pertemuan antara keluarga Haimi dan para perajurit Haimi itu sungguh amat mengharukan. Akan tetapi Ang I Niocu segera memberi perintah agar semua orang segera meninggalkan kampung itu dan beramai-ramai menuju ke timur. Di sebelah timur terdapat sebuah hutan lebat di lereng Bukit Alkata-san dan di sinilah mereka berhenti.

Ang I Niocu tidak takut akan pembalasan orang-orang Mongol, akan tetapi tentu saja sukar baginya untuk melindungi sekian banyaknya orang apabila terjadi pertempuran dengan orang-orang Mongol. Setelah berada di tengah hutan, orang-orang Haimi lalu membuat pagar dan pondok-pondok darurat, kemudian diadakan penjagaan yang kuat.
Setelah itu, orang Haimi yang tua itu lalu memimpin kawan-kawannya untuk berlutut menghaturkan terima kasih kepada Lili dan Ang I Niocu.

“Lili, kau pimpin orang-orang ini. Kasihan mereka. Aku mendengar bahwa bala tentara kerajaan dan orang-orang gagah sedang melakukan penjagaan untuk memukul mundur orang-orang Mongol. Kalau keadaan sudah aman, barulah kau tinggalkan orang-orang ini, atau boleh kau serahkan kepada penjagaan tentara kerajaan.”

“Aku akan memimpin mereka mencari kerajaan dimana terbenteng tentara kerajaan dimana terdapat pula Engko Hong Beng, Enci Goat Lan dan mungkin kedua orang tuaku Ie-ie.”

“Hmm, jadi Cin Hai dan Lin Lin juga sudah turun tangan untuk mengusir orang-orang Mongol? Bagus! Sayang sekali aku tidak ada nafsu untuk mencampuri pertempuran ini. Aku hendak mencari puteraku, dan untuk mencari pembunuh suamiku. Kau bawalah mereka kemana kau suka, Lili, akan tetapi berhati-hatilah. Melihat ilmu silatmu aku percaya sepenuhnya bahwa kau akan dapat melakukan tugas ini.”






Setelah berkata demikian dan memeluk Lili, Ang I Niocu lalu berkelebat pergi. Dalam pandangan mata orang-orang Haimi yang berada disitu, nyonya merah ini sama saja dengan menghilang karena lompatannya demikian cepat sehingga tidak kelihatan lagi. Mereka diam-diam merasa kagum sekali.

“Untuk sementara, dalam beberapa hari ini, biar kita beristirahat dulu disini,” kata Lili kepada orang-orang Haimi itu, “kita mengumpulkan tenaga dan menjaga kalau-kalau ada pasukan Mongol yang menyerang. Kemudian, kita harus pergi ke lereng Alkata-san untuk mencari benteng pertahanan tentara kerajaan.”

“Lihiap, aku tahu dimana adanya benteng itu, hanya kurang lebih seratus li dari sini!” kata orang Haimi tua yang ternyata kemudian bernama Nurhacu itu.

“Bagus sekali, Paman Nurhacu. Baiklah, kelak kau yang menjadi penunjuk jalan. Sekarang perkuatlah penjagaan, aku pun perlu sekali beristirahat. Kita tunggu sampai lima hari, kalau keadaan sudah nampak aman, baru kita membawa keluarga ini menuju ke benteng itu.”

Lili diperlakukan sebagai kepala atau ratu mereka. Semua orang menghormati gadis ini yang dianggap sebagai dewi penolong mereka. Segala macam keperluan gadis ini disediakan dan para wanita juga melayaninya dengan penuh kebaktian sehingga diam-diam Lili merasa terharu. Kalau saja tidak ada orang tuanya dan kawan-kawan lain, agaknya ia akan suka sekali hidup sebagai kepala suku Haimi yang ternyata selain jujur, juga amat manis budi ini.

Tiga hari kemudian, pada siang hari, seorang penjaga dengan wajah khawatir datang melapor kepada Lili.

“Lihiap, dari arah selatan datang tiga orang. Mereka itu adalah seorang wanita dan dua orang laki-laki. Dan yang wanita kami kenal sebagai puteri dari kepala suku bangsa kami yang dulu, yaitu Lilani, puteri Manako dan Meilani! Menanti keputusan Lihiap apakah yang harus kami lakukan karena mereka itu sedang menuju kesini!”

Berdebar hati Lili mendengar laporan ini, Lilani, puteri Manako dan Meilani? Gadis Haimi dan dua orang laki-laki?

“Bagaimana macamnya dua orang laki-laki itu?” tanyanya.

“Yang seorang adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah, agaknya seorang ahli silat karena pedangnya tergantung pada pinggang. Yang ke dua adalah seorang laki-laki tua berpakaian tambal-tambalan.”

Makin berdebar dada Lili mendengar ini. Tak salah lagi, mereka tentulah Lie Siong dan Lo Sian! Jadi wanita yang melakukan perjalanan bersama Lie Siong itu adalah puteri dari Manako dan Mellani? Ah, bagaimana ada hal yang demikian kebetulan?

“Jangan menggunakan kekerasan,” katanya dengan suara tetap setelah berpikir sejenak, “akan tetapi tawan mereka dan bawa menghadap kepadaku!”

“Ditawan…??” penjaga itu ragu-ragu. “Akan tetapi wanita itu adalah Lilani, puteri dari…”

“Cukup! Jangan membantah. Bawa mereka menghadap ke sini! Kalau mereka melakukan perlawanan, datang lapor lagi, aku sendiri yang akan menawan mereka!”

Sementara itu, Nurhacu yang mendengar bahwa Lilani datang, dengan girang ia bersama kawan-kawannya lalu berlari-lari menyambut kedatangan puteri kepala mereka itu.

Yang datang memang benar Lilani, Lie Siong dan Lo Sian. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, mereka ini sengaja melanjutkan perjalanan ke utara untuk mencari suku bangsa Haimi.

Pada hari kemarinnya, tiga orang ini bertemu dengan sepasukan orang Mongol yang terdiri dari belasan orang. Lie Siong segera menyerbu dan menangkap seorang diantara mereka, memaksanya memberi keterangan dimana adanya suku bangsa, Haimi.

Orang Mongol yang tak berdaya lagi itu memberi tahu bahwa bangsa Haimi yang dipimpin oleh Saliban berada di sekitar kaki Bukit Alkata-san di sebelah barat, maka Lie Siong lalu mengajak kawan-kawannya untuk mencari di daerah itu.

Ketika Lilani mendengar suara bersorak dan melihat serombongan orang Haimi berlari-lari menyambutnya, ia lalu berlari maju dengan air mata berlinang.

“Paman Nurhacu…!” serunya penuh keharuan dan kegirangan.

Kakek Haimi itu juga berseru,
“Lilani… ah, Lilani…” Mereka lalu berpelukan sambil bertangis-tangisan.

Ramai mereka bicara dalam bahasa Haimi dan Lie Siong melihat betapa Lilani seakan-akan hidup kembali, seakan-akan menempuh hidup baru. Wajah gadis ini berseri gembira, matanya bergerak-gerak hidup tidak sayu dan muram seperti tadinya. Ia menarik napas lega.

Pada saat Lilani bercakap-cakap menuturkan riwayatnya dengan Nurhacu dan kawan-kawannya, datanglah penjaga yang tadi melapor kepada Lili.

“Menurut keputusan Lihiap, mereka bertiga harus ditangkap dan dibawa menghadap kepadanya,” kata penjaga ini dalam bahasa Han yang kaku, karena maksudnya agar dimengerti oleh dua orang yang mengantar Lilani itu.

Mendengar ucapan ini, Lie Siong menjadi marah. Dicabutnya pedangnya dan ia melompat ke hadapan Lilani, melindunginya sambil membentak,

“Apa? Kalian mau menangkap Lilani, mau menangkap kami? Lilani adalah puteri dari bekas pemimpinmu, sekarang hendak kalian tangkap sendiri? Baik, majulah! Ingin kulihat bagaimana kepalamu yang berkumis itu menggelinding meninggalkan tubuhmu!”

“Jangan, Tai-hiap, jangan! Mereka ini adalah keluargaku sendiri. Kalau mereka sudah mempunyai seorang kepala baru yang menghendaki kita datang menghadap, marilah kita lakukan itu dan kita lihat siapa adanya kepala mereka yang ternyata seorang wanita itu. Menurut penuturan Paman Nurhacu, Paman Saliban yang jahat sudah tewas oleh kepala baru ini. Marilah, Tai-hiap, harap kau jangan mengganggu mereka.”

Juga Lo Sian menyabarkan hati Lie Siong sehingga apa boleh buat pemuda ini menyimpan kembali pedangnya. Mereka bertiga lalu diajak oleh orang-orang Haimi itu, pergi menghadap Lili! Ketika tiga orang “tawanan” ini telah tiba, Nurhacu sendiri memberi laporan kepada Lili.

“Suruh mereka tunggu.” kata Lili dengan angkuh sekali. “Sediakan dulu makanan karena perutku lapar. Setelah makan, barulah aku akan menerima mereka!”

Nurhacu menjadi heran sekali. Belum pernah ia melihat Lili bersikap demikian dingin dan nampaknya marah. Akan tetapi diam-diam ia melakukan perintah ini dan ketika tiba di luar pondok tempat tinggal Lili, ia memberitahukan kepada Lilani bahwa kepala mereka sedang makan serta minta mereka menanti sebentar. Ketika Lilani menyampaikan warta ini kepada Lie Siong, bukan main mendongkol hati pemuda ini.

“Siapa sih dia, begitu sombong?” katanya.

Akan tetapi Lilani menyabarkannya dan sebentar kemudian gadis ini didatangi oleh orang-orang perempuan Haimi. Riuh rendah disitu, terdengar gelak ketawa dan tangis. Pertemuan yang amat mengharukan antara Lilani dan para keluarga Haimi.

Dari orang-orang perempuan ini Lilani mendengar bahwa kepala yang baru ini adalah seorang wanita cantik yang gagah yang telah membebaskan mereka dari tahanan orang-orang Mongol. Diam-diam Lilani merasa heran dan juga kagum sekali.

Tak lama kemudian, seorang penjaga datang dan minta Lo Sian mengikuti.
“Tamu yang tertua dipanggil menghadap lebih dulu,” katanya.

Lo Sian bangkit dan mengikuti penjaga itu masuk ke dalam. Ia diantar sampai di luar pintu dan dipersilakan masuk sendiri. Ketika Lo Sian menolak daun pintu dan melangkah masuk, hampir saja berseru saking kagetnya.

Akan tetapi Lili cepat memberi tanda dengan jari telunjuk di depan mulutnya dan melambaikan tangan minta kepada Lo Sian agar supaya maju dan duduk di bangku depan mejanya.

“Lili, bagaimana kau berada disini dan… apakah artinya tindakanmu yang aneh ini? Mengapa kau menyuruh kami ditangkap”

Lili tersenyum,
“Lo-pek-pek, apakah kau baik-baik saja? Tadinya aku kuatir kau telah menjadi kurban dan binasa di tangan pemuda kurang ajar itu.”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar