*

*

Ads

Senin, 09 September 2019

Pendekar Remaja Jilid 143

Menghadapi orang-orang seperti Ban Sai Cinjin dan kawan-kawannya yang selain lihai juga amat curang dan licik, sungguh merupakan hal yang amat berbahaya, biar yang menghadapi mereka itu seorang pendekar wanita hebat seperti Ang I Niocu sekalipun!

Ketika ia tiba di dusun Tong-sin-bun menuju ke rumah Ban Sai Cinjin, sebuah gedung besar dan mewah, ia terkejut sekali karena gedung itu kini telah lenyap, rata dengan bumi dan menjadi abu! Ia pernah mendengar bahwa Lie Siong dahulu pernah membakar bagian dari rumah ini, akan tetapi sekarang rumah ini betul-betul telah habis dan menjadi abu. Perbuatan siapakah ini?

Agar jangan menarik perhatian orang dan membuat pihak Ban Sai Cinjin bersiap-siap, ia diam-diam lalu meninggalkan Tong-sin-bun dan masuk ke dalam hutan dimana terdapat kelenteng tempat Ban Sai Cinjin dan kawan-kawannya bersembunyi itu. Ia sengaja menunggu sampai hari menjadi gelap, baru ia mempergunakan kepandaiannya jalan malam dan masuk ke dalam hutan dengan cepat.

Ketika ia tiba di sebuah hutan pohon pek dimana terdapat sebuah bukit kecil di tengahnya, tiba-tiba ia menahan langkah kakinya. Ia mendengar suara orang menangis di atas bukit kecil itu! Kalau Lili bukan seorang yang berhati tabah, tentu ia akan merasa ngeri dan seram mendengar suara orang menangis di dalam hutan yang gelap, liar, dan sunyi itu.

Akan tetapi, puteri Pendekar Bodoh ini tidak menjadi takut, bahkan lalu menghampiri tempat itu! Malam hari itu bulan muncul setelah hampir tengah malam, akan tetapi cahayanya masih terang dan permukaannya masih lebih dari setengahnya. Oleh karena cahaya bulan memang mengandung sesuatu yang romantis akan tetapi juga menyeramkan, tergantung dari tempat dimana bulan memantulkan cahayanya, maka di dalam hutan itu nampak benar-benar mengerikan.

Pohon-pohon pek yang besar itu kini di bawah sinar bulan nampak seperti setan-setan raksasa yang menjulurkan lengannya yang panjang hendak menangkap orang. Setiap rumpun merupakan binatang berbentuk aneh yang hitam dan yang bersiap untuk menyeruduk siapa saja yang lewat di hutan itu. Semua keseraman ini ditambah lagi oleh suara binatang hutan.

Sudah sepatutnya kalau orang akan merasa lebih ketakutan dan bulu tengkuknya berdiri apabila pada saat dan di tempat seperti itu, tiba-tiba mendengar pula suara tangis orang!

Akan tetapil Lili yang amat tabah hatinya, bahkan menjadi penasaran dan ingin sekali tahu siapa orangnya yang menangis di dalam hutan itu dan mengapa pula ia menangis. Ketika ia menyusup-nyusup diantara pohon-pohon pek dan tiba di bukit kecil itu, tiba-tiba ia terkejut sekali oleh karena kini orang yang menangis itu mengeluarkan kata-kata yang jelas terdengar dan yang membuat wajahnya menjadi pucat sekali. Ia masih belum percaya dan memperhatikan baik-baik suara itu sambil menahan tindakan kakinya.

“Ang I Niocu… tak kusangka akan begini jadinya nasibmu dan nasib suamimu yang gagah perkasa. Ah, kini aku teringat… aku teringat akan semua hal yang mengerikan itu…”

“Suhu…!”

Lili berteriak ketika mengenal suara Sin-kai Lo Sian, Pengemis Sakti yang tadinya berada di benteng Alkata-san ketika ia meninggalkan benteng itu dahulu. Gadis ini melompat dan setelah tiba di puncak bukit kecil dimana terdapat tanaman bunga mawar hutan yang amat lebat, ia melihat Sin-kai Lo Sian itu sedang berlutut dan di depannya menggeletak tubuh Ang I Niocu yang berlumur darah dan tubuhnya penuh luka-luka!

“Ie-ie, Im Giok…!” jeritan Lili ini terdengar amat nyaring dan sambil tersedu-sedu gadis ini menubruk Ang I Niotu dan mengangkat kepala wanita itu yang terus dipangkunya.

Ang I Niocu ternyata masih belum mati dan ketika ia memandang kepada Lili, ia tersenyum! Karena cahaya bulan hanya suram-suram, maka kini wajah Ang I Niocu nampak cantik luar biasa dan senyumnya manis sekali, membuat hati Lili menjadi makin terharu.

“Ie-ie Im Giok, mengapa kau sampai menjadi begini? Suhu, apakah yang terjadi dengan Ie-ie Im Giok??” tanyanya kepada Ang I Niocu dan juga kepada Sin-kai Lo Sian.






“Lili anak manis… tenanglah dan biarkan Sin-kai menceritakan tentang… suamiku…”

Ang I Niocu sukar sekali mengeluarkan kata-kata karena lehernya telah mendapat luka hebat pula. Kemudian wanita itu memandang kepada Lo Sian memberi tanda supaya Lo Sian menceritakan pengalamannya dahulu.

Karena maklum bahwa nyawa Ang I Niocu takkan tertolong lagi, maka Lo Sian lalu menuturkan dengan singkat pengalamannya dahulu di tempat ini bersama Lie Kong Sian, peristiwa yang telah lama dilupakannya akan tetapi yang sekarang tiba-tiba saja telah kembali dalam ingatannya.

“Aku ingat betul…” ia mulai dengan wajah pucat. “Lie Kong Sian Tai-hiap mengejar Bouw Hun Ti murid Ban Sai Cinjin di kuil itu karena Lie Kong Sian Tai-hiap hendak membalas dendam kepada Bouw Hun Ti yang telah menculik Lili dan telah membunuh Yo-lo-enghiong (Yousuf). Akan tetapi di kuil, ia dihadapi oleh Wi Kong Siansu. Pertempuran itu hebat sekali dan agaknya Lie Kong Sian Tai-hiap tidak akan kalah kalau saja pada saat itu Ban Sai Cinjin tidak berlaku curang. Dengan amat licik kakek mewah itu menyerang dengan huncwe mautnya, dan Bouw Hun Ti menyerang pula dengan tiga batang panah tangan beracun. Akhirnya Lie Kong Sian Tai-hiap terkena pukulan huncwe maut dari Ban Sai Cinjin dan tewaslah dia!”

Lo Sian berhenti sebentar dan Ang I Niocu yang mendengarkan nampak gemas sekali dan mengerutkan giginya sehingga berbunyi.

“Kemudian dengan sedikit akal, yaitu menakut-nakuti murid Ban Sai Cinjin si hwesio kecil kepala gundul Hok Ti Hwesio yang hendak membelek dada Lie-taihiap dan hendak mengambil jantungnya, aku dapat merampas jenazahnya dan menguburkannya di tempat ini.”

Demikianlah, Lo Sian lalu menuturkan pengalamannya sebagaimana telah dituturkan dengan jelas di dalam buku terdahulu dari cerita ini.

Berkali-kali Ang I Niocu mengertak gigi saking gemasnya, kemudian ia berkata,
“Bangsat terkutuk Ban Sai Cinjin! Sayang aku tidak mendapat kesempatan lagi untuk menghancurkan batok kepalanya! Akan tetapi, sedikitnya aku telah membalaskan dendam suamiku dan aku puas telah dapat membunuh Hok Ti Hwesio dan menghancurkan kuil itu.”

Setelah mengeluarkan ucapan ini dengan penuh kegemasan, kembali napasnya menjadi berat dan keadaannya payah sekali.

“Suhu, mengapa tidak merawat Ie-ie lebih dulu? Keadaannya demikian hebat….”

Lo Sian menggeleng kepalanya, dan terdengar Ang I Niocu berkata lagi dengan kepala masih di pangkuan Lili,

“Percuma, Lili… percuma… luka-lukaku amat berat… aku tak kuat lagi…!”

“Ie-ie Im Giok! Jangan berkata begitu, Ie-ie!” Lili menangis!

“Anak baik, setelah suamiku meninggal dan aku… aku telah mendapatkan makamnya… apakah yang lebih baik selain… menyusulnya? Kuburkanlah jenazahku nanti di dekatnya, Hong Li, dan kau… sekali lagi kutanya… apakah kau membenci Siong-ji…?”

Bukan main terharunya hati Lili. Ia tidak kuasa menjawab dengan mulut, hanya menggelengkan kepalanya saja. Ia sendirl tak pernah dapat menjawab pertanyaan dalam hatinya sendiri apakah ia sesungguhnya membenci Lie Siong. Memang kadang-kadang timbul rasa gemasnya terhadap pemuda itu, akan tetapi kegemasan ini adalah karena ia teringat akan hubungan pemuda itu dengan… Lilani! Lebih tepat disebut cemburu daripada gemas.

“Kalau begitu… Hong Li, berjanjilah bahwa kau… kau akan suka menjadi isterinya! Aku… aku akan merasa girang sekali, dan juga ayahnya akan… puas melihat kau sebagai… mantunya! Sukakah kau, Hong Li…!”

Lili tentu saja tidak dapat menjawab pertanyaan ini, sungguhpun ia dapat menjawab pertanyaan ini, sungguhpun ia dapat mengerti bahwa pertanyaan ini keluar dari mulut seorang yang sudah mendekati maut dan yang harus dijawab.

“Ie-ie Im Giok, mengapa kau tanyakan hal ini kepadaku? Bagaimana aku harus menjawab, Ie-ie? Urusan pernikahan tentu saja aku hanya menurut kehendak orang tuaku.”

“Cin Hai dan Lin Lin tentu akan setuju…” kemudian dengan napas makin berat, Ang I Niocu berkata kepada Lo Sian, “Lo-enghiong, kau… kuserahi kekuasaan untuk… menjadi wakilku… untuk menjadi wali dari Siong-ji… kaulah yang akan mengajukan lamaran kepada Pendekar Bodoh…”

“Tentu, Ang I Niocu, tentu aku suka sekali. Aku merasa amat terhormat untuk mewakilimu dalam hal ini,” jawab Lo Sian dengan terharu.

Keadaan Ang I Niocu makin lemah dan setelah memanggil-manggil nama Lie Kong Sian dan menyebut nama Lie Siong, akhirnya wanita pendekar yang gagah perkasa, yang namanya pernah menggemparkan dunia persilatan ini, menghembuskan napas terakhir di dalam pangkuan Lili, diantar oleh tangis dara itu.

Setelah menangisi kematian Ang I Niocu sampai malam terganti pagi, Lili dan Lo Sian lalu menguburkan jenazah Ang I Niocu di sebelah kiri makam Lie Kong Sian. Kemudian mereka duduk menghadapi makam dan dalam kesempatan ini, Lo Sian lalu menuturkan keadaan dan pengalaman Ang I Niocu seperti yang ia dengar dari penuturan Ang I Niocu sendiri sebelum Lili datang.

**** 143 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar