*

*

Ads

Senin, 09 September 2019

Pendekar Remaja Jilid 142

Setelah Malangi Khan menyatakan damai dengan bala tentara Kaisar, perdagangan di tapal batas utara menjadi ramai lagi, bahkan lebih ramai daripada sebelum terjadi perang.

Kota-kota di utara yang tadinya kosong dan sunyi karena ditinggalkan oleh penduduknya yang pergi mengungsi, kini menjadi penuh lagi, bahkan bertambah pula oleh orang-orang Han dan orang Mongol yang datang, untuk mencari untung dalam perdagangan di tempat itu.

Kota Kun-lip juga menjadi ramai sekali. Kota ini terletak di sebelah selatan tembok besar dan perdagangan di situ ternyata maju sekali. Oleh karena itu, tidak heran apabila kota ini banyak dikunjungi orang dan karenanya, hotel dan restoran menjadi subur dan maju.

Lili setelah mendengar bahwa peperangan telah selesai dan semua orang itu telah kembali ke selatan, tidak segera kembali ke Shaning karena ia masih belum menghabiskan tapa gagunya.

Tidak enak untuk berhadapan dengan orang-orang yang dikenalnya, terutama keluarganya, dalam keadaan bertapa gagu dan tidak boleh bicara ini! Sekarang ia maklum mengapa gurunya yang aneh itu melarangnya bicara selama sebulan dalam waktu ia masih melatih diri dengan Hang-liong-cap-it-ciang-hoat.

Selain tapa gagu ini merupakan ujian yang berat bagi kekerasan hatinya untuk bertekun mempelajari ilmu silat yang aneh dan sulit itu, juga pada waktu melatih ilmu silat ini, tenaga lwee-kang terkumpul selalu di dalam dadanya yang dengan mudah disalurkan ke arah kedua tangannya.

Kalau ia membuka mulut bicara, maka itu berarti perhatiannya akan terpecah dan hawa yang terkumpul itu bisa buyar atau membocor keluar. Untuk berlatih Hang-liong-cap-it-ciang-hoat, dibutuhkan perhatian yang khusus dan pengerahan tenaga dalam yang sepenuhnya.

Pada pagi hari itu, telah genap dua puluh hari ia bertapa gagu. Ilmu Silat Hang-liong-cap-it-ciang-hoat telah hampir dilatih sempurna. Tiga hari lagi ia akan membuka pantangan bicara, dan hari itu ia berjalan-jalan di dalam kota Kun-lip. Ketika ia berjalan sampai di depan sebuah restoran besar, tiba-tiba ada orang memanggilnya,

“Lili…!”

Ia cepat menengok dan melihat Song Kam Seng duduk di belakang sebuah meja di halaman luar restoran itu sambil menghadapi hidangan.

“Nona Hong Li, kau hendak kemanakah? Silakan duduk dan mari kita bercakap-cakap. Sudah amat lama kita tidak bertemu. Bagaimana keadaan kedua orang tuamu?”

Kam Seng bertanya dengan ramah dan nyata sekali kegembiraannya bertemu dengan nona ini. Akan tetapi, biarpun di dalam hatinya Lili tidak marah lagi kepada Kam Seng yang telah memperlihatkan jasa-jasanya dalam keadaan perang yang lalu, namun tentu saja ia tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini karena ia masih sedang berpantang bicara.

Maka ia berpura-pura tidak melihat, membuang muka dan hendak melanjutkan perjalanan meninggalkan pemuda itu. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar bentakan keras,

“Gadis liar, baru sekarang aku mendapat kesempatan melunaskan perhitungan!”

Tiba-tiba dari belakangnya, Lili merasa sambaran angin hebat dan cepat ia lalu miringkan tubuh melompat ke kanan. Ternyata yang menyerangnya itu adalah Ban Sai Cinjin dengan huncwe mautnya! Kakek ini memang sedang berada di kota itu dan tadi ketika Kam Seng duduk seorang diri, sebetulnya kakek itu sedang memesan masakan ke meja pengurus restoran, maka Lili tidak melihatnya.

Ketika kakek ini melihat Lili, timbullah marahnya karena ia teringat betapa gadis ini telah menghina dan mengganggunya, dan betapa ayah gadis ini telah menghinanya secara luar biasa sekali.

Karena Lili tidak bisa membalas dengan kata-kata, gadis ini hanya berdiri dan memandang ke arah Ban Sai Cinjin dengan alis berkerut dan mata bernyala. Ia tidak ada nafsu untuk berkelahi karena ia sedang melatih ilmu silatnya yang sebentar lagi akan sempurna.

Kalau ia pergunakan dalam pertempuran, maka akan banyak hawa dipergunakan dan ini berarti ia menderita rugi sebelum ilmu silatnya tamat. Kalau saja ia sudah tamat, tentu dengan gembira gadis yang suka berkelahi ini akan melayani dan menghajarnya.

“Bocah, bersedialah untuk mati!” kembali Ban Sai Cinjin membentak dan sekaligus ia mengirim dua macam serangan.






Tangan kanannya memukulkan huncwe maut ke arah kepala Lili sedangkan kaki kirinya diangkat untuk mengirim tendangan yang menjaga kalau-kalau gadis itu melompat ke belakang.

Melihat gerakan kakek ini, tahulah Lili bahwa dibandingkan dengan dahulu, kakek ini telah memperoleh kemajuan yang pesat sekali. Memang benar, Ban Sai Cinjin yang telah mengalami kekalahan berkali-kali, dan bahkan pernah dihajar setengah mati oleh Pendekar Bodoh, menjadi sakit hati dan dengan prihatin ia lalu memperdalam ilmu silatnya atas bantuan suhengnya, yaitu Wi Kong Siansu yang lihai, dan yang berjuluk Toat-beng Lomo (Iblis Tua Pencabut Nyawa ).

Menghadapi serangan Ban Sai Cinjin yang hebat ini, Lili lalu merendahkan tubuhnya dan menekuk lutut, mengelak dengan gerakan dari Ilmu Silat Sianli-utauw, karena ia masih belum mau mempergunakan ilmu silatnya yang baru.

“Susiok, jangan ganggu Nona Sie!”

Kam Seng berkali-kali berseru mencegah susioknya, sedangkan orang-orang yang makan di restoran itu terutama yang dekat dengan tempat pertempuran, pada melarikan diri dengan ketakutan.

Delapan jurus telah dimainkan oleh Ban Sai Cinjin untuk merobohkan Lili, akan tetapi gadis ini ternyata setelah melatih Ilmu Silat Hang-liong-cap-it-ciang-hoat, telah memperoleh kemajuan yang amat luar biasa dalam ilmu ginkang sehingga tubuhnya menjadi ringan dan gesit sekali. Sambaran-sambaran huncwe maut dari Ban Sai Cinjin itu seakan-akan menyerang sehelai bulu yang ringan sehingga yang diserang telah melayang pergi sebelum pukulannya tiba.

“Susiok, jangan berlaku kejam!” tiba-tiba Kam Seng yang semenjak tadi memandang dengan penuh kegelisahan, kini tiba-tiba meloncat maju dan terdengar suara “traaang!” ketika huncwe itu tertangkis oleh pedang di tangan Kam Seng!

Lili mempergunakan kesempatan ini untuk melompat jauh dan berdiri memandang kepada kedua orang yang kini saling berhadapan itu. Sepasang mata Ban Sai Cinjin mendelik dan terputar-putar saking marahnya, dan karena pipi kanannya masih ada tanda luka-luka goresan yang dihadiahkan oleh Pendekar Bodoh kepadanya di benteng orang Mongol, maka ia kelihatan menyeramkan sekali. Seakan-akan apilah yang keluar dari mulut dan hidungnya dan ia seolah-olah hendak menelan pemuda yang berdiri di depannya itu.

“Bangsat terkutuk! Jadi kau hendak membalas budi kami dengan pengkhianatan? Kau hendak membela orang yang menjadi musuh kami, menjadi musuhku dan musuh gurumu? Kau berani melawan Susiokmu, anjing tak kenal budi?”

“Susiok, kalau kau menyerang orang lain, aku masih dapat melihatnya, akan tetapi Nona itu… ? Tidak, Susiok, biarpun aku harus mati, aku akan membelanya!”

“Bangsat, kau cinta padanya, ya? Kau jatuh cinta kepada anak musuh besarmu? Benar-benar anjing pengecut, kau harus mampus!”

Dengan kemarahan yang meluap-luap, Ban Sai Cinjin menyerang murid keponakannya sendiri, Song Kam Seng cepat menangkis dengan pedangnya, akan tetapi biarpun ia telah memperoleh warisan ilmu silat yang tinggi dari Wi Kong Siansu, bagaimana ia dapat melawan susioknya (paman gurunya)? Sebentar saja ia telah terdesak hebat sekali dan hanya dapat menangkis sambil mundur.

Sementara itu, Lili berdiri dengan kedua mata menjadi basah. Ia teringat pula akan pengalamannya dahulu ketika ia tertawan oleh Ban Sai Cinjin. Betapa pemuda itu telah menciumnya dan hampir saja mencemarkan namanya. Betapa pemuda itu hampir saja membunuhnya dan semua itu hanya dicegah oleh perasaan cinta kasih dari pemuda itu.

Ia maklum bahwa Kam Seng amat membenci ayahnya dan juga tentu berusaha membencinya karena ayah Kam Seng tewas dalam tangan Pendekar Bodoh, akan tetapi ternyata pemuda itu tetap tidak mampu membencinya, bahkan sampai sekarang cintanya terhadap dirinya masih amat besar sehingga pemuda itu sampai berani melawan paman guru sendiri dan berani pula mengorbankan nyawa.

Mengingat sampai di sini, Lili lalu melompat maju hendak membantu Kam Seng, akan tetapi terlambat! Dengan sebuah serangan kilat, Ban Sai Cinjin telah berhasil mengemplang kepala pemuda itu yang terhuyung-huyung ke belakang dan pedangnya terlepas dari tangannya!

Ban Sai Cinjin memburu maju hendak memberi pukulan maut, akan tetapi tiba-tiba ia merasa iganya disambar oleh angin pukulan yang hebat sekali! Ia cepat memutar tubuhnya dan mengelak dari pukulan Lili ini, kemudian ia mengayun huncwenya ke arah kepala gadis ini. Lili menyambutnya dengan gerakan dari Hang-liong-cap-it-ciang-hoat dan dengan amat mudah huncwe itu terampas olehnya, ditekuk diantara jari tangannya dan “pletak!” patahlah huncwe maut dari Ban Sai Cinjin yang diandal-andalkan itu!

Terbelalak mata Ban Sai Cinjin memandang ke arah Lili karena tak disangkanya sama sekali bahwa gadis ini mampu merampas huncwenya dengan tangan kosong. Ia lalu melompat ke belakang dan melarikan diri!

Lili hendak mengejarnya akan tetapi ia mendengar keluhan perlahan, maka ia teringat kembali kepada Kam Seng. Cepat ia menghampiri pemuda yang merintih-rintih itu. Bukan main mencelos dan terheran hatinya ketika melihat kepala pemuda itu telah retak dan berlumur darah!

Lili berlutut dan mengangkat kepala pemuda itu, dipangkunya dan dengan saputangannya, ia menyusut darah yang mengalir ke arah mata Kam Seng. Pemuda itu membuka matanya dan tersenyum!

“Lili… akhirnya aku dapat menebus dosaku kepadamu… aku telah tersesat… aku salah sangka… ayahmu seorang pendekar besar, seorang budiman, sedangkan ayahku… ayahku… dia… dia seperti aku… tersesat…” sampai disini kedua mata pemuda itu mengalirkan air mata.

Lili tidak dapat menahan keharuan hatinya dan ia mendekap muka Kam Seng dengan kedua tangannya sambil menangis terisak-isak! Biarpun tidak boleh bicara, gadis ini masih boleh menangis atau tertawa, demikian pesan gurunya.

“Lili… kau menangis…? Kau menangisi aku? Terima kasih! Kau memang gadis baik… tak pantas menangisi seorang siauw-jin (orang rendah) seperti Song Kam Seng… Lili, terima kasih… sampaikan hormatku kepada ayah bundamu…, dan salamku kepada… kepada… semua keluargamu juga kepada Kam-ciangkun… tunanganmu…”

Maka habislah napas Kam Seng, pemuda bernasib malang itu yang pada saat terakhir dapat menghembuskan napas penghabisan di dalam pangkuan dara yang dicinta sepenuh hatinya!

Lili menggunakan tulisan untuk menyuruh pengurus restoran membeli peti mati. Gadis ini masih mempunyai banyak potongan uang emas maka segala urusan penguburan jenazah Kam Seng dapat dilakukan dengan baik. Orang-orang yang berada di situ menganggap bahwa dia adalah seorang gadis gagu, maka tak seorang pun merasa heran bahwa ia tidak dapat bicara.

Setelah mengurus beres pemakaman dan bersembahyang di depan makam Song Kam Seng, Lili lalu melanjutkan perjalanannya. Kini kebenciannya terhadap Ban Sai Cinjin bertambah lagi, dan ia berjanji di dalam hati untuk membalaskan sakit hati Song Kam Seng, pemuda yang malang itu.

Hatinya berdebar tidak enak kalau ia teringat akan kata-kata terakhir dari Kam Seng, yang menyebut-nyebut Kam-ciangkun sebagai tunangannya. Sampai dimana kebenaran ucapan ini? Ia tidak merasa bertunangan dengan Kam Liong, sungguhpun paman dari Kam Liong, yaitu Sin-houw-enghiong Kam Wi yang kasar dan sembrono itu pernah membikin dia marah karena hendak menjodohkannya dengan Kam Liong secara begitu saja!

Juga diam-diam ia merasa girang karena didalam usahanya menolong Kam Seng tadi, ia telah mempergunakan sejurus dari Hang-liong-cap-it-ciang-hoat dan yang sejurus itu telah membuat ia berhasil merampas dan mematahkan huncwe maut dari Ban Sai Cinjin!

Ia maklum bahwa sebelum ia memiliki ilmu silat ini dengan sempurna, biarpun ia memegang pedang dan kipas, belum tentu ia akan dapat mengalahkan kakek itu secepat dan semudah tadi! Maka ia lalu melatih diri dengan amat tekun dan rajinnya dan tiga hai kemudian ia telah berani mengakhiri pantangannya bicara.

Dari kota Kun-lip, Lili lalu menuju ke selatan dan di dalam perjalanannya pulang ke Shaning, ia bermaksud untuk singgah dulu di dusun Tong-sin-bun, untuk mencari kalau-kalau Ban Sai Cinjin berada di tempat itu. Juga ia ingat bahwa Ang I Niocu juga menuju ke tempat itu dalam usahanya mencari pembunuh suaminya, maka ia mempercepat perjalanannya karena ia pun merasa kuatir kalau-kalau Ang I Niocu mengalami kecelakaan pula.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar