*

*

Ads

Senin, 09 September 2019

Pendekar Remaja Jilid 145

“Traaang!” ujung huncwe itu, yakni bagian kepalanya yang mengeluarkan asap hitam, terbabat rompal oleh pedang Liong-cu-kiam sehingga Ban Sai Cinjin melompat ke belakang dengan kaget.

Adapun Hok Ti Hwesio yang mengandalkan ilmu kebalnya yang lihai, hanya miringkan tubuhnya sambil membalas menyerang dengan pukulan tangan kiri. Akan tetapi bukan main kagetnya ketika ia merasa betapa dadanya yang sudah miring itu tetap terdorong oleh tenaga raksasa dari pukulan lawan ini. Ia tak dapat mempertahankan kedua kakinya lagi dan terlemparlah ia ke belakang!

Akan tetapi, dengan heran dan makin marah Ang I Niocu melihat betapa hwesio muda itu sama sekali tidak kelihatan sakit dan sudah berdiri kembali. Akan tetapi Ang I Niocu tidak mau memberi kesempatan lagi kepadanya dan cepat pedangnya digerakkan secara luar biasa sekali ke arah tubuh hwesio itu.

Hok Ti Hwesio masih berusaha mengelak dan melompat, akan tetapi sinar pedang itu mengurungnya dari segenap penjuru sehingga tidak ada jalan keluar lagi baginya. Setelah tiga kali ia berhasil mengelak, ke empat kalinya Liong-cu-kiam menembus pahanya sehingga ia roboh terguling mandi darah dan berkaok-kaok seperti babi disembelih! Akan tetapi sekejap kemudian, mulutnya tak dapat mengeluarkan suara lagi karena pedang Liong-cu-kiam secepat kilat telah menembus jantungnya!

Bukan main marahnya Ban Sai Cinjin melihat muridnya yang tersayang telah binasa di tangan Ang I Niocu, maka sambil berseru seperti guntur, ia menyerang lagi dengan huncwenya yang ujungnya telah gempal. Adapun Wi Kong Siansu juga merasa penasaran melihat sepak terjang Ang I Niocu yang tidak mengenal ampun.

“Ang I Niocu, sepak terjangmu bukan seperti seorang gagah, lebih pantas seperti iblis wanita!” seru Wi Kong Siansu sambil melompat maju karena ia maklum bahwa sutenya, Ban Sai Cinjin, agaknya bukan lawan wanita gagah ini.

“Wi Kongo, tua bangka tak tahu malu! Kau juga telah mengotorkan tanganmu dan membantu sutemu membunuh suamiku. Majulah kau, tua bangka untuk menerima hukuman dari Ang I Niocu!” seru Ang I Niocu dengan marah sekali.

Wi Kong Siansu menjadi merah mukanya dan ia cepat mencabut pedangnya Hek-kwi-kiam (Pedang Setan Hitam) dan sebentar saja Ang I Niocu telah dikeroyok dua oleh Ban Sai Cinjin dan Wi Kong Siansu.

Tingkat kepandaian Wi Kong Siansu memang lebih tinggi daripada Ban Sai Cinjin dan hal ini diketahui dengan cepat oleh Ang I Niocu. Gerakan pedang di tangan Wi Kong Siansu selain amat cepat dan berbahaya, juga tenaga lwee-kang dari tosu ini pun jauh lebih kuat daripada Ban Sai Cinjin.

Akan tetapi, kalau saja Ang I Niocu hanya menghadapi Wi Kong Siansu seorang, ia takkan kalah dan agaknya sukarlah bagi tosu itu untuk dapat mengimbangi permainan pedang yang luar biasa hebatnya dari pendekar wanita baju merah itu. Namun, dengan adanya Ban Sai Cinjin yang mainkan huncwenya secara hebat pula, Ang I Niocu menghadapi lawan yang amat tangguh.

Betapapun juga, Ang I Niocu pun tidak memperlihatkan jerih, bahkan karena ia sedang marah dan sakit hati sekali, maka gerakan pedangnya adalah gerakan dari orang yang nekat dan hendak mengadu jiwa, maka masih kelihatan betapa Wi Kong Siansu dan Ban Sai Cinjin yang masih sayangi jiwa sendiri itu selalu terdesak mundur!

Tentu saja hal ini mengagetkan orang-orang gagah yang berada di situ. Orang yang masih dapat mendesak mundur Wi Kong Siansu dan Ban Sai Cinjin, sukar dicari keduanya di dunia ini! Diam-diam Hailun Thai-lek Sam-kui menjadi amat gembira. Tangan mereka sudah merasa gatal-gatal karena makin tangguh lawan, makin besar keinginan mereka untuk mencoba kepandaiannya.

Akhirnya, tiga orang kakek ini tak dapat menahan keinginannya lagi dan sambil berseru keras mereka lalu menyerbu ke dalam kalangan pertempuran, sehingga kini Ang I Niocu dikeroyok lima!

Melihat hal ini, Lo Sian menjadi bingung sekali. Kalau ia maju membantu Ang I Niocu, hal itu takkan ada artinya sama sekali. Ia maklum bahwa kepandaiannya masih kalah jauh dan bantuannya tidak akan menolong Ang I Niocu, bahkan jangan-jangan malah akan menghancurkan daya tahan dari pendekar wanita baju merah itu.

Akhirnya ia mendapat akal dan larilah Pengemis Sakti ini ke belakang kuil itu. Karena semua orang telah lari ke depan, maka keadaan di belakang kuil sunyi sekali. Dengan enaknya Lo Sian lalu menurunkan lampu dan menggunakah minyak dan api untuk membakar kuil. Ia membakar bagian yang terisi banyak kertas maka sebentar saja kuil itu menjadi lautan api yang mengamuk dari bagian belakang!






Ketika itu, Ang I Niocu sudah mulai terdesak hebat, sungguhpun pedang Liong-cu-kiam telah membabat putus rantai besar dari Lak Mau Couwsu dan telah melukai pundak Bouw Ki sehingga orang ke tiga dan ke dua dari Hailun Thai-lek Sam-kui tak dapat mengeroyok lagi.

Sebagai gantinya, kedua saudara Can kini telah maju mengeroyok. Ang I Niocu mengertak gigi dan memutar pedangnya lebih hebat lagi. Karena ia tidak mudah merobohkan para pengeroyoknya, kini ia mulai mengincar hwesio-hwesio yang menjadi murid Hok Ti Hwesio dan yang masih merubung mayat Hok Ti Hwesio dengan muka pucat.

Begitu ia mendapat kesempatan, Ang I Niocu melompat keluar dari kepungan lima orang pengeroyoknya dan menerjang kawanan hwesio itu yang menjadi geger. Kembali tiga orang hwesio telah roboh mandi darah dalam keadaan mati!

“Ang I Niocu manusia kejam!”

Wi Kong Siansu membentak marah akan tetapi pada saat itu Ang I Niocu telah mengejar dua orang hwesio lain yang dibabatnya sehingga kedua orang ini putus tubuhnya menjadi dua!

Diam-diam kelima orang pengeroyok ini menjadi ngeri juga menyaksikan keganasan Ang I Niocu yang benar-benar seperti telah berubah menjadi kejam itu. Dengan sepenuh tenaga, mereka mengerahkan kepandaian mereka untuk merobohkan Ang I Niocu.

Para Pengeroyok Ang I Niocu adalah tokoh-tokoh dunia persilatan yang menduduki tingkat atas. Wi Kong Siansu mendapat julukan Toat-beng Lo-mo (Iblis Tua Pehcabut Nyawa), seorang tokoh dari Hek-kwi-san yang selain memegang pedang Hek-kwi-kiam, juga mainkan ilmu pedang Hek-kwi-kiam-hoat. Ilmu pedangnya sudah mencapai tingkat yang tidak kalah oleh Ang I Niocu sendiri.

Juga Ban Sai Cinjin tadinya sudah amat lihai, dan akhir-akhir ini ia memperdalam ilmu silatnya sehingga ia memperoleh kemajuan besar. Ilmu tongkatnya yang dimainkan dengan sebatang huncwe itu benar-benar merupakan tangan maut yang menjangkau nyawa lawan.

Pengeroyok ke tiga adalah Thian-he Te-it Siansu, orang pertama dari Tiga Iblis Geledek dari Hailun. Baru julukannya saja sudah Thian-he Te-it Siansu (Manusia Dewa Nomor Satu di Kolong Langit), maka sudah dapat dibayangkan betapa lihainya payung yang dimainkannya!

Pengeroyok ke empat dan ke lima adalah Can Po Gan dan Can Po Tin kakak beradik jago dari Shan-tung yang memiliki kepandaian tinggi pula. Maka tentu saja setelah dapat mempertahankan diri sampai seratus jurus lebih, akhirnya Ang I Niocu menjadi repot dan terdesak hebat sekali.

Beberapa kali ia telah menderita luka-luka hebat, akan tetapi berkat latihan-latihan dan pengalaman-pengalamannya, maka pendekar wanita ini masih dapat mempertahankan diri dan pada saat ia menerima sambaran senjata lawan yang mengenai dekat lehernya, ia telah dapat menancapkan pedangnya di lambung Can Po Tin sehingga orang ini menjerit keras lalu roboh tak bernyawa pula!

Ang I Niocu terhuyung-huyung akan tetapi ia masih dapat melawan dengan nekat. Ketika Can Po Gan yang menjadi marah menerjangnya, pendekar wanita ini kembali menerima pukulan pada pundaknya, akan tetapi sekali tangan kirinya melancarkan pukulan Pek-in-hoat-sut ke arah dada Can Po Gan, orang ini memekik dan terlempar ke belakang dengan dada pecah!

Pada saat itu, nampak cahaya api dan kagetlah para pengeroyok Ang I Niocu ketika melihat betapa kuil itu telah menjadi lautan api! Ban Sai Cinjin adalah orang pertama yang merasa paling kaget dan marah. Ia sudah mendengar betapa rumah gedungnya di Tong-sin-bun telah menjadi abu, dan sekarang kembali kuinya yang indah mentereng ini hendak dimakan api!

Maka ia lalu melompat meniggalkan Ang I Niocu untuk mengusahakan pemadaman api yang membakar kuil. Akan tetapi sia-sia belaka karena api telah menjalar dan nyalanya telah terlampau besar untuk dapat dipadamkan lagi.

Sementara itu, Ang I Niocu yang merasa betapa kepungannya kini agak longgar, lalu melompat ke belakang. Ia sudah terlalu letih dan merasa bahwa ia tidak kuat untuk melawan lagi. Ia melarikan diri ke belakang, dikejar oleh Wi Kong Siansu dan Thian-he Te-it Siansu, dua orang yang memiliki kepandaian paling tinggi. Kedua orang tosu ini hendak menangkap Ang I Niocu yang dianggapnya terlalu ganas dan kejam itu.

Biarpun Ang I Niocu memiliki gin-kang yang luar biasa dan kalau sekiranya ia tidak terluka, kedua orang tokoh besar ini pun belum tentu dapat mengejarnya, akan tetapi pada saat itu pendekar wanita ini telah terluka hebat dan tubuhnya telah mandi darah yang mengucur dari luka-lukanya.

Ia mencoba untuk menguatkan tubuhnya, berdiri menanti kedatangan dua orang pengejarnya untuk dilawan mati-matian, akan tetapi tiba-tiba sepasang matanya menjadi gelap, kepalanya pening dan robohlah ia tak sadarkan diri lagi! Dari balik pohon melompat keluar Lo Sian yang cepat memondong tubuh Ang I Niocu, dibawa lari ke dalam hutan.

Melihat hal ini, Wi Kong Siansu dan Thian-he Te-it Siansu menjadi marah sekali dan mengejar makin cepat. Sin-kai Lo Sian menjadi sibuk sekali karena bagaimana ia dapat melepaskan diri dari kejaran dua orang yang memiliki kepandaian berlari cepat jauh lebih tinggi daripada kepandaiannya? Dalam gugupnya, Lo Sian lalu lari sejadi-jadinya sehingga ia menubruk rumpun berduri dan terus saja jatuh bangun dan bergulingan sambil memondong tubuh Ang I Niocu! Betapapun juga, tetap saja ia mendengar suara dua orang pengejarnya yang lihai.

Ketika Wi Kong Siansu dan Thian-he Te-it Siansu sudah hampir dapat menyusul Lo Siang, tiba-tiba dari sebuah tikungan jalan di dalam hutan itu muncul seorang kakek kate yang memegangi sebuah guci arak dan sebentar-sebentar menenggak ciu-ouw itu sambil melenggang dan kemudian bernyanyi-nyanyi riang!

Kakek kate ini berjalan di tengah lorong menghadang kedua orang tosu yang mengejar Lo Sian dan ketika mereka berhadapan, kakek kate itu dengan suara masih dinyanyikan lalu menegur,

“Dua orang tua bangka mengejar-ngejar orang dengan senjata di tangan dan hawa maut terbayang di mata, sungguh mengerikan!”

Wi Kong Siansu dan Thian-he Te-it Siansu cepat memandang dan bukan main kaget hati mereka ketika melihat bahwa yang menghadang di depan mereka itu adalah Im-yang Giok-cu, tokoh besar di Pegunungan Kun-lun-san yang jarang sekali memperlihatkan diri di dunia ramai!

Sebagaimana pembaca tentu masih ingat Im-yang Giok-cu Si Dewa Arak ini dahulu bersama Sin Kong Tianglo yang berjuluk Yok-ong (Si Raja Obat) pernah menjadi guru dari Goat Lan. Pada waktu itu, Im-yang Giok-cu di dalam perantauannya mendengar bahwa kitab obat Thian-te Ban-yo Pit-kip peninggalan sahabatnya, Sin Kong Tianglo yang dahulu oleh dia sendiri diberikan kepada Goat Lan, telah dicuri oleh Ban Sai Cinjin, maka malam harl ini ia memang sengaja hendak mencari Ban Sai Cinjin untuk urusan itu.

Kebetulan sekali di dalam hutan ini melihat Wi Kong Siansu dan Thian-te Te-it Siansu sedang mengejar-ngejar seorang pengemis yang membawa lari tubuh seorang nenek tua. Ia tidak mengenal Lo Sian, juga tidak tahu bahwa nenek tua yang dibawa lari oleh Lo Sian itu adalah Ang I Niocu, akan tetapi ia cukup tahu akan Wi Kong Siansu dan Thian-he Te-it Siansu yang kabarnya memusuhi muridnya, Goat Lan! Oleh karena inilah maka Im-yang Giok-cu sengaja menghadang mereka untuk menolong orang yang dikejar itu.

Wi Kong Siansu cepat mengangkat dua tangan memberi hormat lalu berkata,
“Kalau tidak salah kami berhadapan dengan sahabat dari Kun-lun-san Im-yang Giok-cu. Tidak tahu malam-malam begini hendak pergi ke manakah, Toyu (sebutan untuk kawan seagama To)?”

Karena Im-yang Giok-cu tidak mengenal Lo Sian dan mengerti bahwa kini yang dikejar itu sudah lari jauh dan di dalam gelap ini tak mungkin dapat disusul lagi, ia pun tidak mau mencampuri urusan orang, hanya berkata,

“Wi Kong Siansu, aku hendak mencari sutemu yang kabarnya telah mencuri kitab Thian-te Ban-yo Pit-kip dari mendiang Sin Kong Tianglo sahabat baikku. Sutemu harus mengembalikan kitab itu dengan baik-baik kepadaku untuk kukembalikan kepada muridku Kwee Goat Lan. Harap sutemu suka memandang mukaku dan jangan main-main dengan seorang anak-anak seperti muridku itu.” Setelah berkata demikian, Si Kate ini lalu menenggak guci araknya.

Thian-he Te-it Siansu yang memang suka sekali berkelahi dan sekarang sedang marah sekali karena dua orang sutenya telah dikalahkan oleh Ang I Niocu. Dengan sikap menantang, kakek yang sama katenya dengan Im-yang Giok-cu ini lalu melompat maju sambil menggerak-gerakkan payungnya dan berkata,

“Im-yang Giok-cu, kau minggirlah dulu agar aku dapat menangkap setan wanita tadi! Ada urusan boleh diurus nanti.”

Akan tetapi Im-yang Giok-cu juga menggerak-gerakkan guci araknya dan berkata,
“Tidak bisa, tidak bisa! Urusanku lebih penting lagi, urusanmu mengejar-ngejar dan mengeroyok orang yang sudah berlari sungguh tidak patut dan dapat dihabiskan saja!”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar