*

*

Ads

Rabu, 11 September 2019

Pendekar Remaja Jilid 146

Thian-he Te-it Siansu marah sekali dan cepat payungnya bergerak menyambar dada Im-yang Giok-cu, akan tetapi Si Dewa Arak ini menggerakkan guci araknya menangkis. Terdengar suara “krak!” dan patahlah ujung payung orang pertama dari Hailun Thai-lek Sam-kui, sedangkan beberapa tetes arak melompat keluar dari guci itu dan tepat sekali dua tetes diantaranya menyambar ke arah kedua mata Thian-he Te-it Siansu! Terkejut sekali orang cebol ini dan cepat ia melompat mundur.

Wi Kong Siansu yang cerdik segera melerai. Ia lebih maklum bahwa tokoh besar dari Pegunungan Kun-lun ini adalah suhu dari Kwee Goat Lan dan tentu saja boleh disebut berpihak kepada Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya, dan ia maklum pula akan kelihaian kakek ini, maka ia lalu berkata,

“Im-yang Giok-cu, kau tidak tahu bahwa kuil suteku telah terbakar, maka marilah kita bersama kesana dan tentang kitab obat itu boleh kau tanyakan kepada suteku. Di antara kita sendiri, mengapa saling serang?”

Im-yang Giok-cu tertawa bergelak, lalu menjawab,
“Bagus, inilah baru ucapan seorang cerdik! Urusan harus diselesaikan dulu, untuk pibu…” ia melirik Thian-he Te-it Siansu, “puncak Thai-san masih cukup luas dan musim chun memang menimbulkan kegembiraan pada semua orang untuk main-main!”

Mendengar sindiran ini, Wi Kong Siansu maklumlah sudah bahwa kakek kate yang lihai ini sudah mendengar pula tentang tantangan pibu antara dia melawan Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya, maka diam-diam ia mengeluh.

Akan tetapi ketika mereka bertiga mendapatkan Ban Sai Cinjin di depan kuil, ternyata bahwa kuil itu semua telah dimakan api. Tak sepotong pun barang dapat diselamatkan, termasuk kitab Thian-te Ban-yo Pit-kip juga ikut musnah terbakar.

Untuk membuktikan bahwa kitab itu betul-betul terbakar, Ban Sai Cinjin lalu minta kepada Im-yang Giok-cu untuk menanti sampai api padam betul, kemudian ia membongkar tempat dimana kitab itu tadinya disimpang yaitu dalam sebuah peti.

Peti itu telah menjadi abu dan ketika dibongkar, benar saja didalamnya terdapat abu sebuah kitab yang samar-samar masih dapat dilihat tulisannya! Im-yang Giok-cu menarik napas panjang dan berkata,

“Kitab ini telah menyusul pemilik dan penulisnya. Sudahlah, aku tak dapat berkata apa-apa lagi!”

Ia lalu melenggang pergi sambil menenggak araknya, tak seorang pun berani mencegah atau mengganggunya.

Adapun Lo Sian yang dapat melarikan diri sambil memondong tubuh Ang I Niocu yang berlumur darah, tanpa disengaja telah lari ke atas bukit di tengah hutan dimana dahulu ia mengubur jenazah Lie Kong Sian!

Bagaikan ada dewa yang menuntunnya, di dalam kebingungannya melarikan diri dari kedua orang pengejarnya, Lo Sian naik terus dan diantara pohon-pohon pek itu ia melihat serumpun bunga mawar hutan yang sedang berkembang. Maka saking lelahnya, ia lalu meletakkan tubuh Ang I Niocu di atas rumput.

Kemudian, pemandangan di sekitarnya dan keharuan hatinya melihat keadaan Ang I Niocu yang sudah tak mungkin dapat ditolong lagi itu, membuka matanya dan teringatlah ia akan pengalamannya dahulu.

Melihat rumpun bunga mawar hutan itu, Lo Sian tiba-tiba lalu menubruk ke arah rumpun itu dan dibuka-bukanya rumpun itu seperti orang mencari sesuatu, dan nampaklah olehnya gundukan tanah di bawah rumpun itu. Lo Sian mengeluh dan menangis karena sekarang ia teringat bahwa inilah kuburan Lie Kong Sian! Teringat pula ia ketika dahulu ia melarikan diri membawa jenazah Lie Kong Sian seperti yang dilakukannya dengan membawa tubuh Ang I Niocu tadi, dan betapa ia mengubur jenazah Lie Kong Sian di tempat itu.

Dan pada saat Lo Sian menangisi nasib Ang I Niocu dan suaminya itulah, Lili mendengar suaranya dan datang di tempat itu. Dan sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Lo Sian dan Lili akhirnya mengubur jenazah Ang I Niocu, pendekar wanita yang gagah itu, di sebelah makam suaminya yang telah meninggal dunia lebih dulu beberapa tahun yang lalu.

**** 146 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar