Im-yang Giok-cu menjemput cawan arak di atas meja yang masih penuh lalu menenggaknya. Akan tetapi ia lalu menyemburkan arak itu ke arah Ban Sai Cinjin yang biarpun sudah cepat mengelak, masih saja ujung bajunya terkena arak dan baju itu menjadi bolong-bolong! Ia kaget sekali dan pucatlah mukanya.
“Arak busuk, seperti orangnya!” Im-yang Giok-cu memaki. “Ban Sai Cinjin, kejahatanmu sudah bertumpuk-tumpuk. Kau kira aku tidak melihat bahwa nona ini terpengaruh oleh obatmu yang jahat? Hayo kau lekas memberi obat penawarnya, kalau tidak, jangan bilang Im-yang Giok-cu keterlaluan kalau aku membunuh muridmu dan juga kau dan kawan-kawanmu di tempat ini juga tanpa menanti sampai di puncak Thian-san!”
Wi Kong Siansu bangun berdiri dengan marah mendengar ucapan sombong ini, akan tetapi Ban Sai Cinjin cepat melangkah maju dan berkata dengan hormatnya,
“Totiang, ternyata matamu tajam sekali. Akan tetapi sayang, aku tidak mempunyai obat penawarnya! Biarlah kau boleh mengamuk belum tentu kami kalah, akan tetapi Nona ini selamanya akan menjadi seorang boneka hidup!”
Ban Sai Cinjin yang cerdik ini hendak menggunakan keadaan Lili sebagai kunci kemenangan! Im-yang Giok-cu menjadi ragu-ragu, kemudian ia berkata,
“Ban Sai Cinjin, buku Thian-te Ban-yo Pit-kip berada bersamamu, bukalah lembarannya dan carilah di dalamnya, tentu ada obat penawar untuk racunmu yang keji ini.”
Ban Sai Cinjin menjadi pucat dan melangkah mundur dua tindak.
“Bagaimana kau bisa tahu?” tanyanya. “Kitab itu sudah terbakar…”
“Sudahlah, jangan seperti anak kecil! Dahulu Sin Kong Tianglo pernah memperlihatkan kepadaku bahwa kitab itu terbuat dari kertas yang tak dapat terbakar karena sudah direndam obat. Jangan kau bermain gila di hadapanku. Sekarang begini sajalah, kau kembalikan kitab itu kepadaku agar Nona ini dapat ditolong, dan aku melepaskan muridmu dan takkan turun tangan, baik disini maupun di Thian-san. Nah, bagaimana? Apakah kau memilih kekerasan?”
Setelah berpikir-pikir sejenak, Ban Sai Cinjin akhirnya mengalah. Dikeluarkan kitab Thian-te Ban-yo Pit-kip yang memang disimpannya dan dahulu yang terbakar adalah kitab tiruannya saja. Bersama-sama mereka lalu mencari obat penawar untuk Lili dan ternyata obat itu mudah saja. Ban Sai Cinjin lalu menyediakan obat itu dan setelah Lili disuruh meminumnya yang dilakukan dengan taat, gadis itu lalu jatuh pulas.
Setengah hari Lili tidur, ditunggui oleh Im-yang Giok-cu dan semua orang tidak ada yang berani turun tangan. Kemudian, menjelang senja Lili sadar dan ternyata ia telah sembuh kembali! Ia hendak mengamuk, akan tetapi Im-yang Giok-cu mencegahnya dan memperkenalkan diri sebagai guru Goat Lan.
“Kau pergilah dan bawalah kitab ini, kembalikan kepada Goat Lan.”
Lili tidak membantah, setelah menghaturkan terima kasihnya lalu melompat dan menghilang di dalam gelap. Tentu saja Ban Sai Cinjin menjadi marah sekali ketika melihat Lili melarikan diri dan membawa kitab itu. Ia hendak mengejar, akan tetapi Im-yang Giok-cu menghadangnya,
“Kitab itu adalah milik Yok-ong, harus dikembalikan kepada muridnya.”
“Im-yang Giok-cu, kau terlalu sekali! Kau sudah berjanji takkan menggunakan kekerasan, akan tetapi tidak saja kau menghina kami, bahkan kitab itu pun kau suruh bawa pergi.”
“Tenang, Ban Sai Cinjin. Aku hanya berjanji bahwa aku tidak akan menggunakan kekerasan dan tidak ikut bertempur di sini maupun di Thian-san. Aku tidak berjanji apa-apa tentang kitab itu, dan tentang gadis itu… dia puteri Pendekar Bodoh, harus dihormati dan ditolong.”
“Keparat!” seru Ban Sai Cinjin dan dengan gemas ia lalu memberi isyarat kawan-kawannya untuk mengeroyok.
Im-yang Giok-cu tertawa bergelak-gelak lalu memutar guci araknya menghadapi keroyokan banyak orang. Hebat sekali sepak terjang kakek kate ini, akan tetapi pengeroyoknya terlalu banyak. Ia dikepung oleh orang-orang yang berkepandaian tinggi, yaitu oleh Ban Sai Cinjin, Wi Kong Siansu, tiga kakek Hailun Thai-lek Sam-kui, Sin Eng Tosu, Kim Eng Tosu dan juga Bouw Hun Ti!
Betapapun lihainya Im-yang Giok-cu, tentu saja ia tidak tahan menghadapi lawan yang tidak seimbang ini. Kepandaiannya hanya setingkat lebih tinggi daripada Wi Kong Siansu, sedangkan para pengeroyoknya, kecuali Bouw Hun Ti dan Ban Sai Cinjin, memiliki kepandaian setingkat dengan Wi Kong Siansu.
Beberapa kali kakek kate ini telah menerima pukulan senjata lawan dan biarpun tidak mendatangkan luka hebat, tetap saja makin melemahkan tenaganya. Akhirnya, ujung payung yang lihai dari Thian-te Te-it Siansu telah berhasil menotok iganya dengan telak dan keras sehingga kakek kate ini terhuyung-huyung sambil tertawa bergelak.
Ia lalu melontarkan guci araknya sedemikian kerasnya dan orang yang sial menerima hantaman guci arak ini adalah Bouw Hun Ti sendiri! Guci arak yang melayang dengan kecepatan yang tak dapat dielakkan lagi dan dengan mengeluarkan suara keras, guci arak dan kepala Bouw Hun Ti menjadi remuk dan orang jahat itu telah menghembuskan napas terakhir sebelum tubuhnya roboh ke lantai! Ternyata bahwa maut telah meminjamkan tangan Im-yang Giok-cu untuk membalaskan dendam orang-orang yang dibikin sakit hati oleh Bouw Hun Ti.
Melihat muridnya binasa, Ban Sai Cinjin memekik marah dan ia lalu melompat mendekati Im-yang Giok-cu yang terluka hebat. Sekali huncwenya terayun, terdengar suara pletak, dan retaklah kepala Im-yang Giok-cu yang membuat nyawanya melayang meninggalkan raganya.
Ban Sai Cinjin merasa menyesal sekali. Tidak saja ia kehilangan Lili, bahkan juga kehilangan kitab obat itu. Hanya sedikit keuntungannya, di samping kerugian kehilangan murid, mereka telah berhasil membunuh Im-yang Giok-cu, karena kalau kakek kate ini ikut membantu Pendekar Bodoh, ia merupakan tenaga yang amat menguatirkan.
Ketika Goat Lan mendengar berita tentang kematian Im-yang Giok-cu, ia menangis sedih sekali dan mengajak Lie Siong serta Hong Beng untuk mengunjungi kuburan Im-yang Giok-cu di belakang kelenteng. Jenazah kakek kate ini telah diurus oleh hwesio-hwesio dan dimakamkan di belakang kelenteng, bersama dengan jenazah Bouw Hun Ti yang juga dimakamkan di bagian lain di belakang kelenteng.
Goat Lan menangis dan bersembahyang di kuburan gurunya, bersumpah untuk membalaskan dendam kepada Ban Sai Cinjin dan kawan-kawannya. Malam harinya mereka bertiga bermalam di kelenteng itu dan alangkah girang hati mereka ketika tiba tiba Lili muncul dari dalam gelap!
Goat Lan menubruk dan memeluk Lilit lalu beramai-ramai empat orang muda itu saling menuturkan pengalaman mereka. Ternyata setelah ditolong oleh Im-yang Giok-cu, Lili bersembunyi di dalam sebuah hutan di dekat kota itu. Kemudian, pada keesokan harinya ia mendengar tentang kematian Im-yang Giok-cu, maka menyesallah dia mengapa ia tidak dapat membantu kakek penolongnya itu. Ia pikir bahwa masanya untuk mengadu kepandaian di Thai-san sudah tiba, maka lebih baik ia menanti di situ untuk mencari kawan-kawan guna menghadapi Ban Sai Cinjin yang benar-benar amat curang dan lihai.
“Dan bagaimana kalian bertiga bisa bersama-sama?” tanya Lili sambil mengerling ke arah Lie Siong yang semenjak tadi diam saja, hanya kadang-kadang memandang kepada Lili dengan hati bersyukur bahwa gadis yang dicintainya itu telah terhindar dari bahaya hebat.
Ketika Lie Siong menceritakan pengalamannya dan betapa ia terluka ketika hendak menolong Lili, gadis ini melirik dan dengan cemberut ia berkata,
“Selama itu kau melakukan perjalanan mengikuti dan tidak memperlihatkan diri? Mengapa begitu?”
Merahlah wajah Lie Siong dan sambil menundukkan muka ia berkata,
“Aku takut kalau-kalau kau… kau tidak suka berjalan bersamaku.”
“Apa-apaan pula ini, Song-ko?” tegur Lili dengan sepasang mata terbelalak. “Kau sendiri yang tidak mau melakukan perjalanan bersamaku, dan tahu-tahu kau mengikutiku tanpa memperlihatkan diri… aneh… aneh…!”
Lie Siong makin merah mukanya dan terdengar Goat Lan tertawa geli.
“Sekarang kita berempat sudah bertemu dan berkumpul, maka yang sudah biarlah lalu, sekarang kita melakukan perjalanan bersama menuju ke Thian-an. Dengan berempat kita akan lebih kuat menghadapi mereka,” kata Hong Beng.
“Enci Lan,” kata Lili tiba-tiba, “kitabmu masih kusimpan, takkan kuberikan sekarang. Nanti saja kalau kau dan Beng-ko kawin, akan kuberikan sebagai… hadiah perkawinan!”
Timbul kembali kenakalan Lili, maka Goat Lan juga menjadi gembira, terhibur dari kesedihan hatinya mendengar tentang kematian gurunya.
“Eh, katamu betul, Lili. Aku jadi teringat akan Sin-kai Lo Sian yang bertemu dengan kami di jalan. Katanya ia akan mengajukan pinangan kepada orang tuamu, meminang engkau untuk… untuk siapa, ya?”
Sambil berkata demikian, dengan penuh arti Goat Lan mengerling ke arah Lie Siong. Lili menjadi jengah dan merah sekali mukanya. Ia mengulur tangan hendak mencubit Goat Lan, akan tetapi Goat Lan cepat mengelak, dan Hong Beng lalu menyela,
“Sudahlah, kalian ini bersendau gurau saja. Urusan itu sudah bukan rahasia lagi bagi kita semua, dan urusan itu akan dapat terjadi dengan lancar tanpa ada halangan apa-apa lagi.”
Maka berangkatlah dua pasang muda yang gagah perkasa ini. Di sepanjang jalan, Lili dan Goat Lan bersendau gurau sehingga Hong Beng dan Lie Siong ikut pula menjadi gembira.
Empat orang pendekar remaja ini menuju ke Thian-san dimana mereka hendak mengukur kepandaian dengan tokoh-tokoh besar dunia persilatan. Sedikit pun mereka tidak merasa gentar dan takut setelah mereka berkumpul menjadi satu. Dengan seorang yang dicinta di sebelahnya siapakah yang akan merasa takut?
“Arak busuk, seperti orangnya!” Im-yang Giok-cu memaki. “Ban Sai Cinjin, kejahatanmu sudah bertumpuk-tumpuk. Kau kira aku tidak melihat bahwa nona ini terpengaruh oleh obatmu yang jahat? Hayo kau lekas memberi obat penawarnya, kalau tidak, jangan bilang Im-yang Giok-cu keterlaluan kalau aku membunuh muridmu dan juga kau dan kawan-kawanmu di tempat ini juga tanpa menanti sampai di puncak Thian-san!”
Wi Kong Siansu bangun berdiri dengan marah mendengar ucapan sombong ini, akan tetapi Ban Sai Cinjin cepat melangkah maju dan berkata dengan hormatnya,
“Totiang, ternyata matamu tajam sekali. Akan tetapi sayang, aku tidak mempunyai obat penawarnya! Biarlah kau boleh mengamuk belum tentu kami kalah, akan tetapi Nona ini selamanya akan menjadi seorang boneka hidup!”
Ban Sai Cinjin yang cerdik ini hendak menggunakan keadaan Lili sebagai kunci kemenangan! Im-yang Giok-cu menjadi ragu-ragu, kemudian ia berkata,
“Ban Sai Cinjin, buku Thian-te Ban-yo Pit-kip berada bersamamu, bukalah lembarannya dan carilah di dalamnya, tentu ada obat penawar untuk racunmu yang keji ini.”
Ban Sai Cinjin menjadi pucat dan melangkah mundur dua tindak.
“Bagaimana kau bisa tahu?” tanyanya. “Kitab itu sudah terbakar…”
“Sudahlah, jangan seperti anak kecil! Dahulu Sin Kong Tianglo pernah memperlihatkan kepadaku bahwa kitab itu terbuat dari kertas yang tak dapat terbakar karena sudah direndam obat. Jangan kau bermain gila di hadapanku. Sekarang begini sajalah, kau kembalikan kitab itu kepadaku agar Nona ini dapat ditolong, dan aku melepaskan muridmu dan takkan turun tangan, baik disini maupun di Thian-san. Nah, bagaimana? Apakah kau memilih kekerasan?”
Setelah berpikir-pikir sejenak, Ban Sai Cinjin akhirnya mengalah. Dikeluarkan kitab Thian-te Ban-yo Pit-kip yang memang disimpannya dan dahulu yang terbakar adalah kitab tiruannya saja. Bersama-sama mereka lalu mencari obat penawar untuk Lili dan ternyata obat itu mudah saja. Ban Sai Cinjin lalu menyediakan obat itu dan setelah Lili disuruh meminumnya yang dilakukan dengan taat, gadis itu lalu jatuh pulas.
Setengah hari Lili tidur, ditunggui oleh Im-yang Giok-cu dan semua orang tidak ada yang berani turun tangan. Kemudian, menjelang senja Lili sadar dan ternyata ia telah sembuh kembali! Ia hendak mengamuk, akan tetapi Im-yang Giok-cu mencegahnya dan memperkenalkan diri sebagai guru Goat Lan.
“Kau pergilah dan bawalah kitab ini, kembalikan kepada Goat Lan.”
Lili tidak membantah, setelah menghaturkan terima kasihnya lalu melompat dan menghilang di dalam gelap. Tentu saja Ban Sai Cinjin menjadi marah sekali ketika melihat Lili melarikan diri dan membawa kitab itu. Ia hendak mengejar, akan tetapi Im-yang Giok-cu menghadangnya,
“Kitab itu adalah milik Yok-ong, harus dikembalikan kepada muridnya.”
“Im-yang Giok-cu, kau terlalu sekali! Kau sudah berjanji takkan menggunakan kekerasan, akan tetapi tidak saja kau menghina kami, bahkan kitab itu pun kau suruh bawa pergi.”
“Tenang, Ban Sai Cinjin. Aku hanya berjanji bahwa aku tidak akan menggunakan kekerasan dan tidak ikut bertempur di sini maupun di Thian-san. Aku tidak berjanji apa-apa tentang kitab itu, dan tentang gadis itu… dia puteri Pendekar Bodoh, harus dihormati dan ditolong.”
“Keparat!” seru Ban Sai Cinjin dan dengan gemas ia lalu memberi isyarat kawan-kawannya untuk mengeroyok.
Im-yang Giok-cu tertawa bergelak-gelak lalu memutar guci araknya menghadapi keroyokan banyak orang. Hebat sekali sepak terjang kakek kate ini, akan tetapi pengeroyoknya terlalu banyak. Ia dikepung oleh orang-orang yang berkepandaian tinggi, yaitu oleh Ban Sai Cinjin, Wi Kong Siansu, tiga kakek Hailun Thai-lek Sam-kui, Sin Eng Tosu, Kim Eng Tosu dan juga Bouw Hun Ti!
Betapapun lihainya Im-yang Giok-cu, tentu saja ia tidak tahan menghadapi lawan yang tidak seimbang ini. Kepandaiannya hanya setingkat lebih tinggi daripada Wi Kong Siansu, sedangkan para pengeroyoknya, kecuali Bouw Hun Ti dan Ban Sai Cinjin, memiliki kepandaian setingkat dengan Wi Kong Siansu.
Beberapa kali kakek kate ini telah menerima pukulan senjata lawan dan biarpun tidak mendatangkan luka hebat, tetap saja makin melemahkan tenaganya. Akhirnya, ujung payung yang lihai dari Thian-te Te-it Siansu telah berhasil menotok iganya dengan telak dan keras sehingga kakek kate ini terhuyung-huyung sambil tertawa bergelak.
Ia lalu melontarkan guci araknya sedemikian kerasnya dan orang yang sial menerima hantaman guci arak ini adalah Bouw Hun Ti sendiri! Guci arak yang melayang dengan kecepatan yang tak dapat dielakkan lagi dan dengan mengeluarkan suara keras, guci arak dan kepala Bouw Hun Ti menjadi remuk dan orang jahat itu telah menghembuskan napas terakhir sebelum tubuhnya roboh ke lantai! Ternyata bahwa maut telah meminjamkan tangan Im-yang Giok-cu untuk membalaskan dendam orang-orang yang dibikin sakit hati oleh Bouw Hun Ti.
Melihat muridnya binasa, Ban Sai Cinjin memekik marah dan ia lalu melompat mendekati Im-yang Giok-cu yang terluka hebat. Sekali huncwenya terayun, terdengar suara pletak, dan retaklah kepala Im-yang Giok-cu yang membuat nyawanya melayang meninggalkan raganya.
Ban Sai Cinjin merasa menyesal sekali. Tidak saja ia kehilangan Lili, bahkan juga kehilangan kitab obat itu. Hanya sedikit keuntungannya, di samping kerugian kehilangan murid, mereka telah berhasil membunuh Im-yang Giok-cu, karena kalau kakek kate ini ikut membantu Pendekar Bodoh, ia merupakan tenaga yang amat menguatirkan.
Ketika Goat Lan mendengar berita tentang kematian Im-yang Giok-cu, ia menangis sedih sekali dan mengajak Lie Siong serta Hong Beng untuk mengunjungi kuburan Im-yang Giok-cu di belakang kelenteng. Jenazah kakek kate ini telah diurus oleh hwesio-hwesio dan dimakamkan di belakang kelenteng, bersama dengan jenazah Bouw Hun Ti yang juga dimakamkan di bagian lain di belakang kelenteng.
Goat Lan menangis dan bersembahyang di kuburan gurunya, bersumpah untuk membalaskan dendam kepada Ban Sai Cinjin dan kawan-kawannya. Malam harinya mereka bertiga bermalam di kelenteng itu dan alangkah girang hati mereka ketika tiba tiba Lili muncul dari dalam gelap!
Goat Lan menubruk dan memeluk Lilit lalu beramai-ramai empat orang muda itu saling menuturkan pengalaman mereka. Ternyata setelah ditolong oleh Im-yang Giok-cu, Lili bersembunyi di dalam sebuah hutan di dekat kota itu. Kemudian, pada keesokan harinya ia mendengar tentang kematian Im-yang Giok-cu, maka menyesallah dia mengapa ia tidak dapat membantu kakek penolongnya itu. Ia pikir bahwa masanya untuk mengadu kepandaian di Thai-san sudah tiba, maka lebih baik ia menanti di situ untuk mencari kawan-kawan guna menghadapi Ban Sai Cinjin yang benar-benar amat curang dan lihai.
“Dan bagaimana kalian bertiga bisa bersama-sama?” tanya Lili sambil mengerling ke arah Lie Siong yang semenjak tadi diam saja, hanya kadang-kadang memandang kepada Lili dengan hati bersyukur bahwa gadis yang dicintainya itu telah terhindar dari bahaya hebat.
Ketika Lie Siong menceritakan pengalamannya dan betapa ia terluka ketika hendak menolong Lili, gadis ini melirik dan dengan cemberut ia berkata,
“Selama itu kau melakukan perjalanan mengikuti dan tidak memperlihatkan diri? Mengapa begitu?”
Merahlah wajah Lie Siong dan sambil menundukkan muka ia berkata,
“Aku takut kalau-kalau kau… kau tidak suka berjalan bersamaku.”
“Apa-apaan pula ini, Song-ko?” tegur Lili dengan sepasang mata terbelalak. “Kau sendiri yang tidak mau melakukan perjalanan bersamaku, dan tahu-tahu kau mengikutiku tanpa memperlihatkan diri… aneh… aneh…!”
Lie Siong makin merah mukanya dan terdengar Goat Lan tertawa geli.
“Sekarang kita berempat sudah bertemu dan berkumpul, maka yang sudah biarlah lalu, sekarang kita melakukan perjalanan bersama menuju ke Thian-an. Dengan berempat kita akan lebih kuat menghadapi mereka,” kata Hong Beng.
“Enci Lan,” kata Lili tiba-tiba, “kitabmu masih kusimpan, takkan kuberikan sekarang. Nanti saja kalau kau dan Beng-ko kawin, akan kuberikan sebagai… hadiah perkawinan!”
Timbul kembali kenakalan Lili, maka Goat Lan juga menjadi gembira, terhibur dari kesedihan hatinya mendengar tentang kematian gurunya.
“Eh, katamu betul, Lili. Aku jadi teringat akan Sin-kai Lo Sian yang bertemu dengan kami di jalan. Katanya ia akan mengajukan pinangan kepada orang tuamu, meminang engkau untuk… untuk siapa, ya?”
Sambil berkata demikian, dengan penuh arti Goat Lan mengerling ke arah Lie Siong. Lili menjadi jengah dan merah sekali mukanya. Ia mengulur tangan hendak mencubit Goat Lan, akan tetapi Goat Lan cepat mengelak, dan Hong Beng lalu menyela,
“Sudahlah, kalian ini bersendau gurau saja. Urusan itu sudah bukan rahasia lagi bagi kita semua, dan urusan itu akan dapat terjadi dengan lancar tanpa ada halangan apa-apa lagi.”
Maka berangkatlah dua pasang muda yang gagah perkasa ini. Di sepanjang jalan, Lili dan Goat Lan bersendau gurau sehingga Hong Beng dan Lie Siong ikut pula menjadi gembira.
Empat orang pendekar remaja ini menuju ke Thian-san dimana mereka hendak mengukur kepandaian dengan tokoh-tokoh besar dunia persilatan. Sedikit pun mereka tidak merasa gentar dan takut setelah mereka berkumpul menjadi satu. Dengan seorang yang dicinta di sebelahnya siapakah yang akan merasa takut?
**** 153 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar